Tampilkan postingan dengan label Junior Roberts. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Junior Roberts. Tampilkan semua postingan

REVIEW - IVANNA

Entah apa obrolan yang muncul di balik layar, sebab Ivanna sukses jadi judul terbaik di Danur Universe, justru karena ia tidak terasa seperti bagian semestanya. Seolah Manoj Punjabi berkata pada timnya, "Fuck it. Just do anything you want!". 

Penunjukkan Kimo Stamboel, yang berkat Rumah Dara (2009) pantas masuk jajaran "dedengkot slasher Indonesia" bersama Timo Tjahjanto, kini masuk akal. Ivanna bukan horor hantu-hantuan biasa, melainkan bak slasher yang tengah menyamar. 

Awalnya semua berjalan familiar. Pasca kematian orang tua mereka, Ambar (Caitlin Halderman) dan adiknya, Dika (Jovarel Callum), pindah ke panti jompo yang dikelola oleh Agus (Shandy William) beserta ibunya. Pacar Agus, Rina (Taskya Namya) turut bekerja di sana, merawat tiga lansia: Nenek Ani (Yati Surachman), Kakek Farid (Yayu Unru), Oma Ida (Rina Hassim). Mengingat lebaran sudah dekat, Arthur (Junior Roberts), cucu Oma Ida, turut berkunjung. 

Selepas penemuan ruang bawah tanah, yang di dalamnya menyimpan sebuah patung tanpa kepala, keanehan mulai terjadi. Keanehan yang berhubungan dengan masa lalu tragis Ivanna van Dijk (Sonia Alyssa), gadis Belanda yang dibunuh secara sadis kala Jepang menginjakkan kaki di Indonesia. 

Keberadaan Kimo berjasa menggiring Ivanna ke arah berbeda, tapi pertama, izinkan saya melakukan hal yang belum pernah saya lakukan, yakni mengapresiasi naskah Lele Laila. First act betul-betul dipakai menata panggung pertunjukan berdarah filmnya. Ditanamnya benih untuk hal-hal yang kelak berperan dalam alur. Belum sepenuhnya rapi memang. Ada kalanya ia menjejalkan terlalu banyak info dalam kalimat, tapi setidaknya, kali ini naskah Lele "mau bercerita", dan lebih memiliki struktur, ketimbang kompilasi jump scare seperti biasa. 

Lele juga lebih "nakal" di sini. Kakek yang menyembunyikan botol miras sehari sebelum lebaran, nenek yang dengan santai mengatakan kalau si cucu tidak puasa, hingga pemilihan lebaran selaku latar pertumpahan darah. Ivanna membuat Idul Fitri bagai Idul Adha, tapi alih-alih hewan kurban, justru lansia yang dijagal. Serupa Pengabdi Setan-nya Joko Anwar, film ini ibarat antitesis elemen religius horor tanah air.

Urusan menebar teror, Kimo menerapkan dua metode. Pertama berupa penampakan yang jamak dimiliki horor supernatural, tetapi dalam eksekusinya, Kimo menolak menggunakan efek suara berlebih. Di trailer, adegan Ivanna muncul dari belakang Ambar dikemas dengan efek suara secukupnya, dan secara mengejutkan, momen itu tampil lebih sunyi lagi di film. Kesunyian yang membuat teriakan penonton di studio terdengar jelas, dan saya yakin itu teriakan ketakutan, bukan kekagetan. 

Metode kedua adalah yang menjauhkan Ivanna dari formula semesta Danur, yaitu slasher berdarah. Mayoritas penampakan di seri Danur gagal meninggalkan dampak karena para hantu sebatas "setor muka". Di sini, tiap kemunculan dapat berujung kematian. Ada output yang dihasilkan oleh penampakan. 

Pun saya terkejut kala salah satu kematian memperlihatkan gore dengan kemasan over-the-top ala horor splatter dan b-movie. Serupa Yudi (Tanta Ginting) si polisi yang perannya cenderung komedik, adegan tersebut memang kurang selaras dengan keseluruhan tone film yang serius menjurus tragis, tapi kemampuannya menambah daya hibur tak bisa disangkal. 

Ditambah departemen teknis serta efek spesial mumpuni (secara khusus saya mengagumi sebuah shot berisi transisi mulus dari gelap ke terang kala menggambarkan "penglihatan" yang dialami Ambar), Ivanna memunculkan harapan bahwa semester kedua tahun 2022 bakal jauh lebih cerah bagi horor Indonesia. 

REVIEW - GEEZ & ANN

Melihat kualitas deretan "film Wattpad", di mana Mariposa (yang biarpun cukup solid, masih jauh dari kata "spesial") tampak menonjol dibanding jajaran kompatriotnya, saya pun cukup pesimistis menyambut Geez & Ann, yang diangkat dari novel berjudul sama karya Nadhifa Allya Tsana alias Rintik Sedu ini. Tapi rupanya, walau tetap menyimpan setumpuk kekurangan sekaligus keklisean, Geez & Ann punya lebih banyak "rasa". Hal mendasar yang dalam mayoritas adaptasi Wattpad, kerap dilupakan, tenggelam di balik berondongan kalimat-kalimat (sok) puitis, atau dramatisasi yang (maunya) manis.

Ann (Hanggini) bertemu Geez (Junior Roberts) dalam sebuah acara alumni di sekolah. Ann menjadi panitia, sementara Geez sang alumni, tampil bersama bandnya. Sejak itu, Geez berusaha mendekati Ann, salah satunya dengan memperdengarkan beberapa lagu ciptaannya, dengan alasan "meminta pendapat". 

Izinkan saya membicarakan sesuatu. Ann memberi saran pada Geez, yang intinya kurang lebih, "Musik rock bukan asal keras. Musik rock tidak asal berisik". Padahal lagu-lagu buatan Geez lebih tepat disebut power pop, atau pop rock minim distorsi, sehingga kritik di atas terasa out-of-place. Sebenarnya hal ini tak mempengaruhi kualitas film secara menyeluruh, hanya saja, terasa mengganggu. Mari kembali ke alurnya.

Bersama Geez, Ann menemukan kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sayang, hubungan mereka mendapat batu sandungan, berupa tentangan dari ibunda Geez (Dewi Rezer), yang ingin putera tunggalnya melanjutkan kuliah di Berlin. Pun menurutnya, Ann sekeluarga adalah pecundang miskin yang tidak pantas bagi Geez. Sikap keras tersebut (kalau tidak mau disebut jahat) dipicu oleh kebencian terhadap si mantan suami yang pergi meninggalkan keluarganya. Sebuah latar yang berpotensi menjadikan ibu Geez karakter kompleks, yang secara bersamaan bisa memancing benci sekaligus simpati penonton. Tapi eksplorasi ala kadarnya menghilangkan potensi itu, sekaligus membuat klimaks emosi antara Geez dan sang ibu tak sekuat harapan.

Di tatanan romansa, Geez & Ann merupakan kisah mengenai hubungan jarak jauh alias LDR. Naskah buatan Adi Nugroho (Kuldesak, Jelangkung, Ruang) dan Cassandra Massardi (Get Married 2, Tampan Tailor) tidak terburu-buru melangkah ke fase LDR, seolah paham betul, bahwa segala dinamika rasa dari dua pasangan yang terpisahkan jarak, baru akan tersampaikan apabila penonton sudah lebih dulu merasakan manisnya kebersamaan mereka.

Alurnya bergerak penuh kesabaran, membiarkan penonton terhanyut dalam percintaan Geez dan Ann, yang oleh Rizki Balki (Ananta, Laundry Show) selaku sutradara, dikemas dalam dramatisasi yang tidak asal mengharu biru. Romantis, namun realistis. Iringan lagu-lagu manis pun cukup membantu.

Tentu semua bakal percuma, andai dua pemeran utamanya gagal menjalin chemistry. Saya bersyukur Geeze bukanlah satu lagi "bad boy sok keras" atau "pujangga dadakan" khas romansa remaja Indonesia belakangan. Junior Roberts akan membuat banyak gadis histeris, tapi bintang sesungguhnya adalah Hanggini, yang dalam debutnya ini, tampil begitu natural. Emosi yang dimunculkannya organik. Ketika Ann merasakan cinta, saya pun demikian. Hanggini juga mampu menjaga kenyamanan suatu adegan, menjaganya agar tidak terlampau menggelikan, tatkala naskahnya beberapa kali melempar kalimat-kalimat cheesy.

Pesona filmnya malah luntur saat akhirnya Geez dan Ann menjalani hubungan jarak jauh. Kita lebih sering menghabiskan waktu bersama Ann dengan segala kemangannya, sementara Geez nyaris sepenuhnya hilang. Rasanya ini kesengajaan, di mana perspektif Geez memang disimpan, untuk kemudian dikupas di sekuelnya. Pilihan berisiko yang mengakibatkan kegagalan kisahnya membentuk penelusuran menyeluruh mengenai LDR, dan hanya menyisakan keklisean-keklisean. Geez & Ann hendak menampilkan runtuhnya hubungan saat terpisah jarak, sayangnya saat itu terjadi, filmnya ikut runtuh. Beruntung, konklusinya sukses mengembalikan rasa yang hilang, sekaligus membangkitkan keinginan menanti lanjutan kisahnya. 


Available on NETFLIX

REVIEW - RENTANG KISAH

Rentang Kisah diangkat dari novel non-fiksi berjudul sama mengenai perjuangan YouTuber Gita Savitri Devi kala berkuliah di Jerman. Dan tuturannya sendiri memang tampil seperti buku harian nihil konsep, di mana kisah antara satu halaman dengan halaman lain tidak saling berkaitan, alias tanpa fokus. Ditangani sutradara sekaligus penulis naskah Danial Rifki (Haji Backpacker, Rembulan Tenggelam di Wajahmu, 99 Nama Cinta), filmnya tersusun atas fragmen-fragmen konflik yang datang dan berlalu semaunya.

Alkisah, Gita (Beby Tsabina) yang kebingungan menentukan arah masa depannya, memilih menerima anjuran sang ibu (Cut Mini) untuk berkuliah di Jerman. Semua didasari nasihat ayahnya (Donny Damara), agar Gita “pergi dan melihat dunia”. Tentu realitanya tidak mudah. Gita menghadapi sekat bahasa, keraguan untuk tetap memakai jilbab, juga masalah romansa tatkala kekasihnya (diperankan Junior Roberts? Entahlah. Penampilannya kurang berkesan) berselingkuh dengan salah satu cara berselingkuh paling bodoh yang pernah saya lihat.

Lupakan soal itu. Mari kembali ke perjalanan Gita, yang sesekali diiringi musik-musik easy listening, khususnya saat nomor-nomor klasik macam Juwita Malam atau Manis dan Sayang diperdengarkan. Gita sempat amat terpukul. Mengakhiri hidup pun sempat dipikirkannya. Beruntung, ia punya beberapa teman. Misalnya Fina (Carmela van der Kruk), sesama mahasiswi asal Jakarta, yang saat diperkenalkan pada kita, seolah bakal beperan besar, namun  kemudian menghilang.

Begitu pula sekelompok mahasiswa Indonesia yang mengajak Gita menjadi model video klip mereka. Apakah remaja-remaja ini membentuk band? Nampaknya. Setidaknya itu yang terlihat saat mereka tampil di sebuah bar, dengan Paul (Bio One), yang di kehidupan nyata akhirnya jadi suami Gita, memegang posisi vokalis. Tapi setelahnya, tak sekalipun kita menyaksikan lagi penampilan mereka di atas panggung, pun video klip tersebut entah hasilnya seperti apa.

Begitulah Rentang Kisah. Sebuah buku harian tanpa arah, tanpa jembatan antara masing-masing masalah. Mendadak Gita sudah resmi berkuliah, padahal beberapa menit sebelumnya masih menjalani studienkolleg (program persiapan sebelum menemuh studi di universitas). Mendadak dia lulus, mendadak mulai membuat vlog, lalu mendadak filmnya usai.

Penuturan berantakan turut terjadi pada elemen drama keluarga. Gita dan orang tuanya hidup terpisah. Gita di Jerman, ibu di Indonesia, ayah di Amerika. Naskahnya gagal melakukan sinkronisasi terhadap ketiganya, guna menyampaikan pesan, bahwa meski terpisah, mereka tetap satu keluarga yang utuh. Saya bahkan sempat mengira sang ayah sudah meninggal.

Padahal film ini punya niat baik mengangkat perihal religiusitas tanpa berceramah. Ada pesan toleransi di sini, contohnya saat alih-alih memaksa Gita terus mengenakan jilbab, sang ibu menyerahkan keputusan itu pada panggilan hati puterinya. Tapi membuat suguhan bernuansa religi yang mengedepankan proses spiritual sungguhan memerlukan pendalaman lebih, yang mana gagal Rentang Kisah lakukan. Para tokoh, khususnya Gita dan Paul, melewati fase besar dalam hidup. Perubahan terjadi, pilihan-pilihan penting diambil, namun perjalanan keduanya tak pernah terasa bermakna, karena lagi-lagi, terkesan mendadak. Penonton tak diajak menyelami lebih jauh ruang spiritial personal mereka, guna memahami pergolakan batin beserta alasan-alasan di balik tiap keputusan.

Jajaran pemainnya tidak buruk. Beby Tsabina mampu memanggul beban membawa filmnya, Cut Mini seperti biasa tak kesulitan menghidupkan figur ibu penuh kasih yang “cair” kala berkomunikasi dengan anaknya, demikian pula Donny Damara dengan penampilan emosional yang bisa saja memancing air mata andai dibarengi penceritaan lebih baik dari naskah. Rentang Kisah bak kumpulan kisah-kisah yang saling merentang terlalu jauh, sampai terasa tak berkaitan. 


Available on DISNEY+ HOTSTAR