Tampilkan postingan dengan label Rafki Hidayat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rafki Hidayat. Tampilkan semua postingan
KAFIR: BERSEKUTU DENGAN SETAN (2018)
Rasyidharry
Kalau anda mencari horor yang tidak semata bergantung pada jump scare berisik dan mengandung kisah
untuk dituturkan, maka Kafir: Bersekutu
dengan Setan menawarkan alternatif tersebut. Tanpa kaitan dengan Kafir (2002) kecuali pada kemiripan
judul dan penampilan Sujiwo Tejo sebagai dukun santet, film yang naskahnya
digarap oleh Upi (#TemanTapiMenikah,
Sweet 20, My Stupid Boss) dan Rafki Hidayat ini akan diingat selaku film
yang berani mencoba pendekatan berbeda di tengah badai horor yang minim
variasi, baik perihal gaya maupun kualitas. Perlu diapresiasi, meski menyimpan
setumpuk kelemahan sehingga memperpanjang penantian atas “horor bagus” pasca Pengabdi Setan.
Kafir: Bersekutu dengan
Setan dibuka oleh
atmosfer menjanjikan. Terasa tidak nyaman, berbekal nuansa lawas hasil
pewarnaan, tata artistik, serta musik, yang
tak pelak memunculkan komparasi dengan Pengabdi Setan. Sri (Putri Ayudya), bersama sang suami, Herman
(Teddy Syach) dan puterinya, Dina (Nadya Arina) sedang makan malam bersama, sembari
menanti kepulangan si anak laki-laki, Andi (Rangga Azof). Mendadak Herman
muntah darah. Dia tewas dengan beling keluar dari mulutnya. Tidak salah lagi,
Herman merupakan korban santet. Siapa pun pelakunya ia benar-benar ingin
menghancurkan keluarga ini sampai ke akarnya. Itulah mengapa meja makan dipilih
jadi panggung pembunuhan.
Mengapa meja makan? Karena di situ, beserta aktivitas makan
bersama, seringkali jadi ajang bertukar rasa antar anggota keluarga. Mematikannya,
berarti mematikan suatu keluarga. Benar saja, sepeninggal Herman, kehangatan memudar.
Kafir: Bersekutu dengan Setan memakai
bentuk horor psikologis guna membungkus paruh awalnya. Trauma yang dialami Sri
jadi sorotan. Lagu kesukaan Herman dilarang diputar, pun enggan ia memasak opor
ayam kesukaan mendiang suaminya itu. Sewaktu Andi—yang membawa pacar barunya,
Hanum (Indah Permatasari)—tersedak kala makan, wajah Sri langsung dipenuhi
teror. Memori kematian tragis Herman muncul, dan Putri Ayudya tampil meyakinkan
memerankan wanita yang terluka luar-dalam.
Sri melihat panci yang terjatuh sendiri, “kembaran” Andi,
sampai noda hitam yang tak kunjung hilang di langit-langit. Apakah itu semua
nyata atau sebatas produk trauma mendalam? Naskahnya tak pernah menyelami
pertanyaan itu lebih jauh, meninggalkan banyak kekosongan berwujud observasi
tanpa eksplorasi dalam alur bertempo lambat. Jangan harapkan jump scare bombastis. Beberapa usaha
mengageti penonton tetap dilakukan, tapi tak dieksploitasi. “Atmosferik” adalah
kesan yang ingin diciptakan, walau ketidakmampuan sutradara Azhar Kinoy Lubis (Jokowi, Surat Cinta untuk Kartini)
mengkreasi tensi, khususnya kala tiada peristiwa besar terjadi, menghalangi
tercapainya tujuan tersebut.
Penonton hampir tidak pernah ditempatkan di posisi
karakterya. Sri ketakutan, saya tidak. Sebabnya sederhana: keanehan-keanehan di
sekitar Sri tak nampak mengerikan di layar. Benda-benda bergerak, alat musik
berbunyi sendiri, semua itu menyeramkan apabila terjadi di realita. Namun di
film, anda tidak bisa sekedar menangkap peristiwa itu di kamera lalu berharap
ketakutan otomatis timbul di hati penonton. Butuh ketrampilan juga sensitivitas
guna melukis gambar-gambar menyeramkan, supaya ketakutan karakternya
tersalurkan ke penonton. Azhar tidak (atau belum) mempunyai itu.
Dinamika meningkat saat Jarwo (Sujiwo Tejo) masuk,
menampilkan gaya creepy nan eksentrik
miliknya. Di sini terjadi “hal besar” ketimbang sekedar peristiwa poltergeist, sehingga Azhar memperoleh
amunisi berlebih. Adegan yang melibatkan api di kediaman Jarwo tersaji
mendebarkan pula mencengangkan. Selain itu, filmnya mulai memasuki babak
penelusuran misteri. Berkutat pada pertanyaan “Siapa pelaku santet?”, pengenalan
misterinya menarik. Jika berhenti di perihal “siapa”, jawabannya mudah ditebak
bahkan sejak setengah jam pertama, tapi dalam jenis cerita whodunit, proes pun penting.
Penelusuran fakta yang tersibak satu demi satu merupakan
pondasi yang wajib dibangun lebih dulu. Namun Kafir: Bersekutu dengan Setan lalai melibatkan penonton dalam
penyelidikan. Terlihat saat beberapa kali karakternya menemukan petunjuk yang
urung diungkap kepada penonton. Dengan demikian, durasi bergulir dan alur terus
bergerak maju, tapi bak tanpa progres. Seluruhnya ditimbun, disimpan bagi third act yang terasa tidak sinkron dengan
keseluruhan film, khususnya terkait pembawaan over the top Indah Permatasari dan Nova Eliza. Penampilan keduanya
di klimaks bak berasal dari horor yang mengedepankan unsur “fun” atau bahkan b-movie. Tidak buruk, hanya bukan di sini tempatnya. Their performance don’t belong here.
Paling tidak klimaksnya menyimpan momen lumayan menegangkan
yang melibatkan darah dan kekerasan. Sayang, kelebihan itu lagi-lagi tidak
berlangsung lama, tepatnya sampai film ini melakukan simplifikasi terkait cara
mengakhiri konflik. Perkelahian yang ditangani begitu canggung oleh Azhar
adalah cara yang dimaksud. “Beat ‘em up”
is the easiest (read: the laziest) way to ends a conflict in any movie. Ingin
sekali rasanya berkata “Saya mengagumi film ini”, dan jelas saya mengapresiasi
usahanya ampil beda. Tapi setelah horor buruk gentayangan silih berganti di
bioskop, saya, dan rasanya mayoritas penonton, ingin segera menyaksikan hasil lebih
tinggi.
Agustus 04, 2018
Azhar Kinoy Lubis
,
Cukup
,
horror
,
Indah Permatasari
,
Indonesian Film
,
Nadya Arina
,
Nova Eliza
,
Putri Ayudya
,
Rafki Hidayat
,
Rangga Azof
,
REVIEW
,
Sujiwo Tejo
,
Teddy Syach
,
Upi
Langganan:
Postingan
(
Atom
)