Tampilkan postingan dengan label Shenina Cinnamon. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Shenina Cinnamon. Tampilkan semua postingan

REVIEW - THE SACRED RIANA 2: BLOODY MARY

The Sacred Riana 2: Bloody Mary dibuka oleh rekap film pertama, seolah pembuatnya mengakui bahwa penonton bakal melupakan ceritanya. Dan memang betul, karena selepas rekap pun saya tak mampu mengingatnya secara utuh. Tapi di luar penceritaan, The Sacred Riana: Beginning (2019) punya estetika memikat mata, serta terselip beberapa ide kreatif dalam caranya menakut-nakuti. 

Selama ini horor-horor buatan Billy Christian cenderung jatuh ke area "tanggung". Potensial, menyimpan beberapa keunggulan, namun berujung tak maksimal. Bukannya membaik Billy justru merilis karya terburuknya sejauh ini. Jika saya melupakan alur Beginning bukan karena mau, namun sungguh saya berharap bisa melupakan pengalaman bernama The Sacred Riana 2: Bloody Mary. 

Melanjutkan akhir film pertama, Riana mendapati boneka Riani miliknya kini berada di tangan siswi penghuni asrama Elodia. Dia pun pindah ke asrama yang dikelola Bu Martha (Roweina Umboh) tersebut. Boneka Riani rupanya disimpan oleh Elsa (Elina Joerg), yang bersama Merry (Shenina Cinnamon), Asia (Anindhita Asmarani), Rika (Helene Kamga), dan Anna (Sharon Sahertian), tergabung dalam kelompok perundung. 

Demi mendapatkan Riani lagi, Riana meminta bergabung ke kelompok Elsa, dan sebagai syaratnya ia harus melakukan permainan bloody mary. Caranya sama seperti yang kita sering baca di internet, yakni menyebut nama Bloody Mary tiga kali di depan cermin. Bisa ditebak, Bloody Mary (Carolina Passoni Fattori) benar-benar hadir menebar teror.

Teror macam apa? Sepanjang film Bloody Mary bakal muncul, kemudian menarik satu per satu korbannya ke dalam dunia cermin. That's it. Hanya itu yang ditawarkan naskah buatan Billy dan Andy Oesman selama kurang lebih 103 menit durasinya. Bloody Mary menampakkan diri, menculik korban, satu siswi hilang, karakter lain kebingungan, lalu Bloody Mary menampakkan diri lagi, menculik korban lagi, satu siswi hilang lagi.....you got the point.

Repetitif, tanpa upaya menawarkan misteri, atau mengeksplorasi hal apa pun. Persahabatan Riana-Anna tampil dangkal, sedangkan konflik cinta segitiga mendadak dipaksa masuk untuk memecah hubungan keduanya. Isu perundungan yang ditanamkan di awal dibiarkan berlalu begitu saja. Bahkan jika dipikirkan lebih jauh, konklusinya membuat segala pelajaran yang para perundung terima jadi lenyap tanpa bekas. 

Bicara soal konklusi, terdapat satu poin membingungkan. Ega (Armando Jordy), putera Bu Martha, menyelidiki kematian seorang siswi yang terjadi sebelum kedatangan Riana. Entah naskahnya lalai atau ingatan saya turut dihapus oleh Riana, tapi misteri tersebut tidak diberi penyelesaian. 

Satu yang bisa saya apresiasi adalah desain artistiknya. Tidak luar biasa, tapi karena sangat familiar dengan lokasi syutingnya (Benteng Van Der Wijk terletak di kampung halaman saya), saya tahu bagaimana film ini berhasil menyulap benteng tua jadi asrama creepy yang nampak asing. 

Sayangnya latar itu tak dibarengi teror memadai. Billy menanggalkan segala ide menarik film bertama untuk beralih ke trik berisik murahan. Sosok Bloody Mary punya tata rias creepy, tapi begitu dia bicara....YA TUHAN. Kenapa hantu dari Eropa, yang juga dikurung dengan mantra berbahasa asing, bicara memakai Bahasa Indonesia? Kenapa pula dia bicara seperti orang kepedasan yang baru menghabiskan 10 mangkuk seblak?

Naskahnya juga melakukan kecurangan tatkala Bloody Mary menyerang Ega, walau dia tak terlibat permainan memanggil namanya. Menurut Riana, itu terjadi karena Ega menghalangi jalan si hantu. Ada kalanya horor memerlukan suspension of disbelief agar bisa dinikmati, tapi ini terlalu bodoh. Sangat bodoh. Sebodoh cara karakternya mengalahkan Bloody Mary. Lebih baik Mbak Mary lanjut makan seblak saja. 

REVIEW - KUKIRA KAU RUMAH

Ada kekhawatiran sebelum menonton adaptasi lagu berjudul sama milik Amigdala ini. Perihal kesehatan mental (dalam konteks film ini, bipolar) amat penting, tapi jika ditangani secara keliru, justru bisa melanggengkan stigma negatif dan kesalahan-kesalahan persepsi publik awam. Untungnya Kukira Kau Rumah, selaku debut penyutradaraan Umay Shahab (juga menulis naskah bersama Monty Tiwa dan Imam Salimy), dibuat dengan ketepatan, didasari kesadaran atas urgensi temanya. 

Karena bipolar yang ia derita, Niskala (Prilly Latuconsina) merasa hidup dalam kurungan. Biarpun sang ibu (Unique Priscilla) cenderung suportif, ayahnya (Kiki Narendra) bersikap sangat protektif. Bahkan Niskala mesti berkuliah secara diam-diam di belakang sang ayah. Kedua sahabatnya sejak kecil, Dinda (Shenina Cinnamon) dan Oktavianus (Raim Laode), jadi pemberi kekuatan terbesar, yang senantiasa mendukung dan menjaga Niskala. 

Lalu Niskala bertemu Pram (Jourdy Pranata), seniornya di kampus, sekaligus aspiring singer yang rutin menulis lagu, namun belum mendapat kesempatan memperdengarkannya ke khalayak. Serupa Niskala, Pram juga merasakan lubang di hidupnya. Dua individu yang akrab dengan sepi ini pun akhirnya saling mengisi lewat musik, kemudian menemukan "rumah" dalam diri satu sama lain.

Alurnya memang tidak jauh-jauh beranjak dari formula romansa tentang sepasang individu "bermasalah" yang bersatu lalu saling menguatkan. Tapi bagaimana elemen kesehatan mental diterapkan, tanpa harus jatuh ke ranah iklan layanan masyarakat, adalah suatu pencapaian. Apalagi, seperti saya singgung di atas, penggambarannya akan bipolar tergolong tepat.

Memang presentasinya masih di tataran permukaan, namun mengingat masih rendahnya pemahaman masyarakat kita mengenai bipolar, "perkenalan" seperti ini saja rasanya sudah memadai. Salah satu poin terpenting adalah pengenalan dua sisi, yakni manik dan depresif, pada pengidap bipolar.

Masih banyak yang mendefinisikan bipolar sebagai "mudah ngamuk". Kukira Kau Rumah meluruskannya lewat sebuah sekuen, kala suasana hati Niskala berubah secara ekstrim, dari luapan emosi tinggi (mania) ke rendah (depresi). Sebagai sutradara dan penulis, Umay tahu batasan antara "informatif" dan "iklan layanan masyarakat". Dia memotret kondisi karakternya, menampilkannya, tanpa dibumbui penjabaran cerewet bak sebuah kelas. 

Sedangkan kisah cintanya pun mampu tampil solid. Saya terpikat pada momen kali pertama Niskala dan Pram berduet di atas panggung. Selain karena lagu Belenggu memang manis (bukan cuma titular song milik Amigdala, Kukira Kau Rumah punya deretan soundtrack apik, yang beberapa di antaranya buatan Umay sendiri), Prilly dan Jourdy pun saling berbagi rasa, melahirkan momen yang berhasil ditangkap oleh sang sutradara berkat sensitivitasnya atas romantisme. 

Prilly luar biasa di sini, memamerkan totalitas dengan range yang cukup luas, guna menghidupkan dua sisi pengidap bipolar. Juga kuat dalam mengolah rasa walau dengan porsi kemunculan terbatas adalah Unique Priscilla dan Kiki Narendra. Unique melalui kehangatan, sedangkan Kiki sejak awal bak gunung berapi, yang kita tahu nantinya bakal meletus, pula dengan kadar letusan tidak main-main.

Solidnya presentasi Kukira Kau Rumah sayangnya agak terganggu oleh cara konklusinya dikemas. Di situ terjadi peristiwa mengejutkan yang tak bisa saya sebut. Apakah peristiwa itu sebuah ketidaksengajaan? Atau memang disengaja? Jika disengaja, apa alasan di belakangnya? Dampak emosi berkurang, bahkan memunculkan kebingungan, akibat kurang jelasnya penyampaian gejolak batin salah satu tokoh (bukan cuma di peristiwa itu, juga di keseluruhan cerita), baik di naskah maupun cara Umay merangkai bahasa visual. 

Kekurangan tersebut hadir pada babak konklusi, sehingga berdampak cukup besar (ending can make or break a movie). Tapi tidak mengurangi fakta, bahwa Kukira Kau Rumah, selain dieksekusi dengan solid, juga penting disimak, guna memperluas pemahaman seputar kesehatan mental, khususnya bipolar. 

(JAFF 2021)

REVIEW - PENYALIN CAHAYA

"Kita cuma punya cerita". Teriris hati saya mendengar kalimat tersebut, yang muncul di paruh akhir Penyalin Cahaya. Berkedok praduga tak bersalah, masyarakat kita masih demikian sulit memercayai cerita korban pelecehan seksual. Benar bahwa cerita dapat dipalsukan, namun bukankah bukti pun sama, baik keberadaan maupun ketiadaannya? Mengapa sesulit itu memegang prinsip "percaya korban lebih dulu"? Minimal dengan tidak menghakiminya, menuduhnya berbohong, bahkan menyudutkannya lewat pernyataan, "Salah siapa perilakumu/pakaianmu begitu!". 

Sur (Shenina Cinnamon) mengalami hal-hal di atas. Pasca sebuah pesta perayaan kemenangan kelompok teater tempatnya menjadi pembuat situs web, hidup Sur runtuh dalam semalam. Swafoto yang ia ambil saat mabuk dianggap perbuatan tak bermoral sehingga beasiswanya dicabut. Dia pun diusir dari rumah dan terpaksa menumpang di tempat Amin (Chicco Kurniawan), sahabat sekaligus tukang fotokopi di kampusnya.

"Moralmu buruk". "Harusnya kamu tidak mabuk". "Jangan sampai masalah ini diketahui pihak luar. Reputasi kampus dan teater bisa terancam". "Mari selesaikan masalah ini secara kekeluargaan". Deretan kalimat andalan para enabler pelecehan seksual negeri kita tercinta ini secara bergantian membombardir telinga si protagonis. Sur yakin ia dijebak, tapi hampir semua pihak menolak percaya terhadap ceritanya. Cuma Amin dan Anggun (Dea Panendra) si sutradara teater yang bersedia mengulurkan bantuan. 

Di sekuen pembuka, kelompok teater Sur mementaskan cerita Medusa, yang sosoknya identik dengan kebengisan. Tapi jika menilik detail mitologinya, Medusa merupakan korban pemerkosaan Poseidon, yang lalu diantagonisasi, dicap sebagai pendosa. Sur, dan para korban pelecehan lain terutama wanita, tak ubahnya Medusa. 

Wujud kreativitas eksplorasi naskah buatan sang sutradara, Wregas Bhanuteja, dan Henricus Pria, terlihat kala Sur menyelidiki kebenaran peristiwa malam itu. Investigasi Sur menggiring Penyalin Cahaya bergerak ke ranah misteri, di mana penonton dibuat bertanya "siapa" dan "apa". Kecurigaan mengarah ke Tariq (Jerome Kurnia) yang digambarkan sebagai "si brengsek dalam tim". Tapi benarkah? Atau justru ada musuh dalam selimut? 

Muncul banyak kejutan sepanjang 129 menit durasinya, namun bukan bersifat gimmick belaka. Utamanya, kejutan-kejutan itu memfasilitasi tuturan tentang topeng yang manusia kenakan guna mengikuti tuntutan-tuntutan sosial, juga perihal privilege. Mengingat mayoritas pelaku pelecehan seksual adalah pria, dan bagaimana kultur negeri ini cenderung menguntungkan pria apalagi jika memiliki harta serta kuasa, poin terkait privilege tadi menekankan kenapa memercayai cerita korban itu penting. 

Tapi Penyalin Cahaya tidak menutup mata bahwa pria bisa jadi korban. Persoalan itu turut disinggung, bersama setumpuk isu lain yang tetap terhubung pada kasus pelecehan seksual, dari kesehatan mental hingga kesenjangan kelas serta ekonomi. Jadilah film ini suguhan kaya, ramai, rapi juga padat. Sangat rapi, anda bakal lupa bahwa sutradara dan penulis naskahnya baru menjalani debut film panjang mereka. 

Satu unsur penceritaan yang paling membekas, tajam, sekaligus berani adalah mengenai seni. Seni kerap jadi kedok para pelaku. "Semua atas nama seni", begitu kiranya kata-kata seniman untuk menutupi kebiadaban mereka. Seni yang mestinya jadi sarana menghidupkan jiwa, malah sering mematikan jiwa. Kebebasan berekspresi disalahartikan. Berani, karena tak semua sineas bersedia menyentil ekosistem mereka sendiri. Saya menaruh hormat pada segenap tim Penyalin Cahaya atas keberanian tersebut.

Dibarengi tata artistik mumpuni, khususnya konsistensi luar biasa dalam dominasi warna hijau di berbagai departemen (properti, kostum, cahaya), Wregas membawa sinema alternatif ke titik maksimal, sebagai medium di mana presentasi rasa dipercantik, bukan dilebih-lebihkan atau ditahan. Jijik, sedih, dan marah, adalah emosi-emosi yang menguasai. Jijik melihat korban dipersalahkan, sedih melihatnya merana, marah mendapati korban disudutkan seisi dunia. 

Kekuatan emosi Penyalin Cahaya tentu tidak terlepas dari jajaran pemain, yang merupakan salah satu ensemble cast film Indonesia terbaik dalam beberapa tahun terakhir. Ruth Marini sebagai ibu Sur bakal menguras air mata anda di adegan "sepeda motor", Lukman Sardi sebagai ayah Sur menyulut amarah kita melalui letupan-letupannya, Jerome Kurnia yang menyuguhkan kompleksitas, Dea Panendra dengan perangai "peduli setan" miliknya, Giulio Parengkuan yang sempat membuat saya membeku di salah satu momen, Chicco Kurniawan yang bukan lagi si pemuda lembut nan canggung sebagaimana kerap ia perankan, sampai Lutesha sebagai Farah dengan sisi misteriusnya.

Memimpin ensemble cast di atas adalah Shenina. Teriakannya, tangisnya, keterkejutan serta kebingungan yang berkembang jadi keputusasaan, segala hal darinya mencabik-cabik perasaan. Wregas tahu betul kehebatan sang aktris, sehingga beberapa kali close-up diterapkan. Tubuh saya bergetar kala Shenina menatap lurus ke arah kamera. 

Lalu tibalah babak konklusi. Tidak seperti para pelaku power abuse di film ini, Wregas memanfaatkan kuasanya sebagai seniman. Figur "pencipta" yang bisa melahirkan dunia versinya. Apabila dunia nyata belum juga memihak korban, maka "dunia Wregas" memberi mereka ruang bersuara, memberi mereka kekuatan, memberi mereka sebersit cahaya untuk disalin, dibagikan, kemudian dipancarkan sebagai wujud harapan. 

(JAFF 2021)