Tampilkan postingan dengan label The Guys. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label The Guys. Tampilkan semua postingan

THE GUYS (2017)

Raditya Dika tengah bertransisi. Sejak Koala Kumal usungan temanya mulai mengalami pendewasaan, setidaknya dewasa dalam konteks Dika yang biasanya melulu soal putus cinta dan usaha move on ke lain hati. Hanya selang empat bulan pasca Hangout, ia menelurkan karya berjudul The Guys. Namun kali ini Dika bagai kelelahan akibat film yang dia sutradarai sekaligus tulis naskahnya rilis amat berdekatan tanpa putus dalam dua tahun terakhir, menyebabkannya kering ide. Apalagi usaha bertambah dewasa belum berhasil mulus. The Guys adalah bentuk Dika menjauhi keklisean komedi khasnya tetapi berujung jatuh dalam keklisean humor yang jauh lebih umum.

Coba tengok beberapa situasi berikut. Alfi (Raditya Dika) diajak sahabatnya, Rene (Marthino Lio) makan di restoran Italia mahal memakai voucher demi mengangkat derajat keduanya di mata pasangan sebelum terungkap voucher itu sudah habis masa berlakunya. Juga ketika Alfi, Rene, Sukun (Pongsiree Bunluewong) dan Aryo (Indra Jegel) mendapati roti mereka basi tapi Aryo tetap menyantapnya sampai habis. Paling familiar tentu ketika Alfi salah mengira Amira (Pevita Pearce) akan memeluknya di pertemuan pertama mereka. Kondisi tersebut entah telah berapa ratus kali dimunculkan komedi lokal, sehingga di titik ini, paling banter hanya memancing senyum ketimbang gelak tawa.
Ketika penulisan lelucon Dika minim ide segar ditambah pembawaan deadpan dan sekilas olok-olok terhadap tinggi badannya semakin menjemukan, The Guys patut berterimakasih pada Marthino Lio dan Pongsiree Bunluewong. Adegan Rene sakit perut di tengah presentasi adalah highlight berkat totalitas ekspresi Lio, sementara Pongsiree Bunluewong memikat lewat kelakuan clueless "lost in translation" untuk menggambarkan kesulitan Sukun berbahasa Indonesia yang kerap membuatnya mengucapkan kata berbeda arti. 

Pada tatanan cerita, Dika berambisi menyatukan kisah cinta, persahabatan, plus keluarga. Tercipta kondisi unik sewaktu ayah Amira sekaligus bos Alfi, Pak Jeremy (Tarzan) menyukai ibu Alfi, Yana (Widyawati Sophiaan). Alfi dan Amira pun terjebak dilema, hendak memilih cinta mereka sendiri atau membahagiakan kedua orang tua yang sama-sama dirundung kesepian setelah ditinggal pasangan masing-masing. Apabila skenario diolah dengan baik, ada potensi romantika kompleks kala karakter bukan sekedar memikirkan bagaimana mengambil hati sang pujaan, namun dibenturkan pergulatan seputar keluarga. Sayang, ambisi para penulisnya menghapuskan potensi tersebut. 
Cabang cerita berdesakan, mengaburkan fokus, meminimalisir porsi eksplorasi tiap-tiapnya. The Guys berorientasi pada garis finish, lupa agar konklusi berdampak maksimal, butuh pemaparan proses, supaya penonton memahami pergulatan tokohnya. Hubungan Alfi dan Amira tiada terkesan romantis. Pasca pengorbanan Alfi menyelamatkan Amira dari amarah Pak Jeremy, praktis kebersamaan mereka berkurang, tertutupi keping-keping cerita lain, padahal momentum awalnya menjanjikan, tersaji manis ditemani lagu Bila Bersamamu milik Nidji. Jalinan chemistry Dika dan Pevita lemah dan canggung, ditambah lagi Alfi bukan sosok protagonis yang layak didukung akibat berbagai tindakan tak simpatik seperti membiarkan Amira menunggu kemudian membatalkan janji atau mengacaukan makan malam. 

Ketika kisah-kisahnya mencapai resolusi, tidak bisa dipungkiri ada cengkeraman haru, namun segalanya terasa manipulatif. Emosi terpantik karena peristiwa yang (tiba-tiba) terjadi secara alamiah mudah menyentuh perasaan, serupa iklan layanan masyarakat berbalut pesan moral kesukaan masyarakat. Kita langsung disuguhi peristiwa mengguncang tanpa mengenal siapa tokohnya, tak tahu kehidupan mereka sebelum itu. Tidak bermaksud menyuguhkan studi, sebatas berharap menguras air mata penonton. Manipulatif. 
Lihat kisah Alfi dan teman-teman. Sepanjang film penonton hanya tahu mereka tinggal seatap dan pamer kebodohan. Momen persahabatan hangat cuma tampil melalui dialog singkat berkonteks nostlagia, bukan diperlihatkan langsung. Pilihan konklusi pun sama sekali terpisah dengan konflik-konflik mereka sepanjang film alias mendadak muncul. Sedangkan soal drama keluarga, lagi-lagi kita langsung melihat Alfi mengambil keputusan, entah bagaimana tahapan proses pikir yang ia lalui. Jika ada guratan emosi alami, itu didasari akting kuat Widyawati yang lewat senyum simpul atau ragam respon non-verbal lain menyiratkan bermacam kecamuk dalam hati Bu Yana. Menjadi timpang kala disandingkan bersama Tarzan yang piawai unjuk kejenakaan tapi tidak untuk drama.

Dika seperti terjebak dalam krisis identitas seiring usahanya berkembang. The Guys bisa berujung sajian kuat apabila menekankan satu persoalan saja, misal office comedy, menggali kelucuan para pegawai kantoran di tempat kerja yang mana berbanding lurus dengan hasrat Dika menuju pendewasaan tutur. Alih-alih demikian, Dika tak ubahnya karakter-karakter yang ia sering perankan: susah move on, memaksa menyertakan formula aman nan familiar demi memuaskan penggemar lama ketimbang menarik minat kelompok baru. Mungkin Raditya Dika butuh rehat sejenak.