Tampilkan postingan dengan label Raditya Dika. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Raditya Dika. Tampilkan semua postingan

SINGLE PART 2 (2019)

Kita berada di tahun 2019 dan Raditya Dika masih berkutat pada banyolan soal menjomlo. Sesungguhnya ia tahu tema tersebut sudah ketinggalan zaman, sehingga memutuskan tampil lebih serius, dewasa, bahkan sesekali berkontemplasi dalam Single Part 2. Tapi Raditya Dika dan kata “serius”, “dewasa”, dan “kontemplasi” tidak eksis dalam satu dunia.

Hasilnya adalah drama-komedi kacau yang tak pernah yakin hendak menuturkan apa serta bagaimana. Dika sama bingung dan ragunya dengan Ebi (karakter yang ia perankan), sehingga makan waktu 128 menit baginya untuk menampilkan usaha seorang pria menyatakan cinta. Single Part 2 merupakan film terpanjang Raditya Dika sejauh ini, dan sayangnya, juga yang terburuk.

Pasca konklusi film pertama, saya pikir Ebi telah memacari Angel (Annisa Rawles) dan lolos dari kehidupan melajang. Rupanya Ebi justru terperangkap dalam status friendzone, meski si gadis pujaan berulang kali menyiratkan adanya kesamaan perasaan. Tapi mulut Ebi membeku tiap hendak menyatakan cinta, dan ketika keberanian berhasil dikumpulkan, penghalang eksternal selalu saja hadir. Entah berupa dampak dari perbuatan dua temannya, Johan (Yoga Arizona) dan Nardi (Ridwan Remin), atau hal-hal trivial yang seharusnya tak mengganggu perjuangan Ebi.

Ditulis oleh Dika bersama Sunil Soraya (Single, The Guys, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur) dan Donny Dhirgantoro (5 cm, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Antologi Rasa), Single Part 2 termasuk suguhan one-trick pony, di mana membuat Ebi gagal menyatakan cinta dijadikan jalan tunggal supaya plot terus berjalan. Mayoritas durasi hanya diisi situasi tersebut, kesan yang dihasilkan perlahan berubah dari menggelitik, menjadi dipaksakan, sebelum akhirnya makin menyebalkan.

Ebi—kembali diperankan Dika lewat gaya biasa, yang di titik ini, sudah kehilangan pesonanya—sama sekali bukan protagonis likeable. Di film pertama ia adalah pria sial yang (sebagaimana kita semua) merindukan cinta, namun kini, ia hanya pria penyia-nyia kesempatan.

Begitulah perspektif Dika perihal presentasi dewasa. Perenungan mengapa di usia 30 tahun, karakternya masih melajang. Tapi menuakan usia karakter, atau menempatkannya di sebuah kelab single berisi pria-pria aneh dan uzur, tidak serta- merta membuat film anda lebih dewasa. Sebaliknya, itu merupakan cara pandang kekanak-kanakan mengenai pendewasaan.

Sulit bersimpati terhadap Ebi, yang tak lagi perlu bersusah-payah “membuka pintu”, sebab pintu tersebut telah terbuka, namun menolak melangkah masuk atau terkadang tidak menyadari terbukanya pintu tersebut. Apalagi ketika pasangannya adalah gadis seperti Angel. Pertama, dia cantik. Kamera Muhammad Firdaus (My Stupid Boss, My Generation, Target) pun gemar mengagumi kecantikannya lewat close-up. Kedua, Annisa punya kapasitas menangani peran utama guna menyedot atensi di tiap kemunculannya.

Naskahnya mengandalkan beberapa selipan kalimat untuk mewujudkan ambisinya terdengar bijaksana, berharap kebijaksanaan tersebut mampu menjadikan film ini drama mendalam. Tapi sukar menganggap serius deretan kalimat bijak itu, tatkala konflik utamanya hanya berputar soal usaha mengungkapkan cinta yang dihalangi hal-hal tak signifikan.

Keseriusan filmnya bahkan menganggu aliran komedi, yang sebenarnya masih mampu memancing segelintir tawa, menunjukkan betapa Dika belum sepenuhnya kehabisan akal terkait cara menyajikan hiburan ringan. Sayangnya, bahkan hingga titik terakhir Dika terus berhasrat menampilkan tontonan bermakna tanpa pernah sepenunya yakin mesti melakukan apa. Ditutupnya Single Part 2 lewat epilog tak berujung tentang bagaimana hidup dipenuhi kejutan. Memang hidup penuh kejutan, seperti saat saya tak menyangka Raditya Dika bakal jatuh serendah ini.

TARGET (2018)

Target lebih bagus daripada Hangout (2016). Sesama komedi meta di mana para aktor memerankan diri sendiri bercampur misteri whodunit, proses Raditya Dika mempermainkan image jajaran pemainnya di Target jauh lebih berhasil. Dia memberi Cinta Laura kesempatan jadi sosok paling tangguh. Dia memberi penokohan tak terduga kepada Willy Dozan dan Samuel Rizal  yang tak pernah kita kira ingin kita lihat. Tapi kita ingin melihat Ria Ricis kena batunya akibat lawakan-lawakan tak lucu ciri khasnya, dan Radit pun memberikan itu. Walau Hangout juga bermain-main dengan image dunia nyata itu, dalam Target peran mereka signifikan dan punya momen puncak masing-masing. Radit menepi, membiarkan sorotan terbagi rata, membuka kesempatan bagi humor yang lebih variatif. Alhasil, jadilah film soal ensemble cast, bukan “Radit dan kawan-kawan”.

Kredit pembukanya langsung menggigit lewat desain grafis yang mengingatkan akan karya-karya Saul Bass yang jadi langganan Alfred Hitchcock. Pun ditambah musik suspense garapan Andhika Triyadi (Dear Nathan, Dilan 1990, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss) aroma Hitichcockian seketika merebak, mengawali pertemuan sembilan selebritis yang bermain bersama dalam film berjudul Target: Raditya Dika, Cinta Laura Kiehl, Samuel Rizal, Willy Dozan, Abdur Arsyad, Hifdzi Khoir, Ria Ricis, Romy Rafael, Anggika Bolsterli. Mengharapkan proses cepat nan mudah selama sehari, para pesohor ini justru mendapati diri mereka tengah dikurung sosok misterius bertopeng bernama Game Master di sebuah gedung kosong. Bukan itu saja, mereka dipaksa melakukan berbagai permainan maut sembari direkam gerak-geriknya melalui kamera yang tersebar di tiap sudut gedung. Game Master ingin menciptakan film yang nyata, dengan konflik nyata, serta kematian nyata.

Penjahat bertopeng, perangkap dengan perintah dilematis yang memaksa para korban mengorbankan diri sendiri atau orang lain, praktis Target adalah modifikasi dari Saw. Hanya saja tiada peralatan canggih dengan cara kerja rumit, karena perangkapnya monoton, cuma “lubang lantai” dan pistol. Hanya ada hidup atau mati, tanpa ada kehilangan bersifat parsial. Dampaknya, saat seseorang meregang nyawa, momen itu cuma numpang lewat. Apalagi karakternya menganggap kematian-kematian itu bak angin lalu. Terdapat beberapa adegan perkelahian dengan eksekusi kurang meyakinkan, canggung, meski salah satunya membuat Cinta Laura terlihat badass sementara satu momen lain bakal membuat penonton bersorak, khususnya bagi yang menghabiskan masa kecil bermain peran sebagai tokoh-tokoh dalam sinetron laga Deru Debu (1994-1996) seperti saya.

Perangkapnya memang bersifat sekunder. Bagaimana para korban menyikapi perangkap itulah yang diutamakan. Karena bukan slasher yang bergerak secara “kill-and-run”, Target mampu menjalin dinamika tersebut. Willy Dozan si legenda laga diubah jadi pria genit yang membenci kekerasan dan berjualan obat anti-wasir. Samuel Rizal yang rasanya seumur hidup terjebak oleh typecast Adit si pria keren dalam dua film Eiffel...I’m In Love tampil memparodikan image itu, sebagai pria yang bangga atas status selebritisnya dan acap kali bertingkah bodoh karenanya. Dari situ komedinya bisa bekerja. Kita suka melihat seseorang memerankan sosok yang berlawanan dengan tipenya. Ada satu potensi lain, yakni Anggika Bolsterli sebagai aktris yang mengkhawatirkan tampang selaku asetnya, sayang opsi itu urung dimanfaatkan. Menyenangkan melihat nama-nama di atas memperoleh fokus besar, sebab “dick jokes” murahan jelas terdengar lebih lucu saat dilontarkan Samuel Rizal ketimbang Raditya Dika dengan gaya yang kita sudah hafal betul.

Apakah Target film pintar? Tentu tidak. Beberapa permainan mautnya tidak diberi aturan pasti, yang mengakibatkan intensitas minimalis, dan saat permainan itu dikaitkan dengan motif pelaku yang diungkap di paruh akhir, modus operandinya menyisakan setumpuk pertanyaan di ranah logika pula menghadirkan kesan penggampangan. Radit enggan repot-repot memikirkan segenap detail tadi, terpenting ada permainan misterius plus twist soal pelaku. Mungkin kesederhanaan pikir itu yang ada di kepalanya. Tapi berkat kesederhanaan itu, Radit lebih mudah menjalin konstruksi yang rapi. Dia menyempatkan diri menebar petunjuk, sehingga walau ditempatkan bukan dengan cara yang memancing keterlibatan penonton memecahkan teka-teki, tatkala jawaban diungkap, poin-poinnya saling terhubung, meninggalkan saya dengan rasa puas ketimbang kesan tiba-tiba nan dipaksakan.

Mengapa lagi-lagi Raditya Dika membuat meta whodunit? Entahlah. Mungkin ia tidak puas dengan eksperimen perdananya dua tahun lalu, mungkin dia memang mencintai konsep itu, atau mungkin sekedar “cari gampang” karena dia tidak perlu menciptakan karakter (plus lelucon) yang sepenuhnya baru, melainkan cukup sedikit menggali lalu memparodikan image jajaran nama-nama tenar. Namun berapa banyak sineas kita berani menjamah ranah itu? Tidak banyak. Berapa banyak film liburan secara umum, atau lebaran secara khusus, yang bersedia melangkah ke sana alih-alih mengangkat konsep familiar macam horor dan sajian religius? Jauh lebih sedikit. Saya akan menyambut gembira jika Raditya Dika terus kembali lewat eksperimennya.

THE GUYS (2017)

Raditya Dika tengah bertransisi. Sejak Koala Kumal usungan temanya mulai mengalami pendewasaan, setidaknya dewasa dalam konteks Dika yang biasanya melulu soal putus cinta dan usaha move on ke lain hati. Hanya selang empat bulan pasca Hangout, ia menelurkan karya berjudul The Guys. Namun kali ini Dika bagai kelelahan akibat film yang dia sutradarai sekaligus tulis naskahnya rilis amat berdekatan tanpa putus dalam dua tahun terakhir, menyebabkannya kering ide. Apalagi usaha bertambah dewasa belum berhasil mulus. The Guys adalah bentuk Dika menjauhi keklisean komedi khasnya tetapi berujung jatuh dalam keklisean humor yang jauh lebih umum.

Coba tengok beberapa situasi berikut. Alfi (Raditya Dika) diajak sahabatnya, Rene (Marthino Lio) makan di restoran Italia mahal memakai voucher demi mengangkat derajat keduanya di mata pasangan sebelum terungkap voucher itu sudah habis masa berlakunya. Juga ketika Alfi, Rene, Sukun (Pongsiree Bunluewong) dan Aryo (Indra Jegel) mendapati roti mereka basi tapi Aryo tetap menyantapnya sampai habis. Paling familiar tentu ketika Alfi salah mengira Amira (Pevita Pearce) akan memeluknya di pertemuan pertama mereka. Kondisi tersebut entah telah berapa ratus kali dimunculkan komedi lokal, sehingga di titik ini, paling banter hanya memancing senyum ketimbang gelak tawa.
Ketika penulisan lelucon Dika minim ide segar ditambah pembawaan deadpan dan sekilas olok-olok terhadap tinggi badannya semakin menjemukan, The Guys patut berterimakasih pada Marthino Lio dan Pongsiree Bunluewong. Adegan Rene sakit perut di tengah presentasi adalah highlight berkat totalitas ekspresi Lio, sementara Pongsiree Bunluewong memikat lewat kelakuan clueless "lost in translation" untuk menggambarkan kesulitan Sukun berbahasa Indonesia yang kerap membuatnya mengucapkan kata berbeda arti. 

Pada tatanan cerita, Dika berambisi menyatukan kisah cinta, persahabatan, plus keluarga. Tercipta kondisi unik sewaktu ayah Amira sekaligus bos Alfi, Pak Jeremy (Tarzan) menyukai ibu Alfi, Yana (Widyawati Sophiaan). Alfi dan Amira pun terjebak dilema, hendak memilih cinta mereka sendiri atau membahagiakan kedua orang tua yang sama-sama dirundung kesepian setelah ditinggal pasangan masing-masing. Apabila skenario diolah dengan baik, ada potensi romantika kompleks kala karakter bukan sekedar memikirkan bagaimana mengambil hati sang pujaan, namun dibenturkan pergulatan seputar keluarga. Sayang, ambisi para penulisnya menghapuskan potensi tersebut. 
Cabang cerita berdesakan, mengaburkan fokus, meminimalisir porsi eksplorasi tiap-tiapnya. The Guys berorientasi pada garis finish, lupa agar konklusi berdampak maksimal, butuh pemaparan proses, supaya penonton memahami pergulatan tokohnya. Hubungan Alfi dan Amira tiada terkesan romantis. Pasca pengorbanan Alfi menyelamatkan Amira dari amarah Pak Jeremy, praktis kebersamaan mereka berkurang, tertutupi keping-keping cerita lain, padahal momentum awalnya menjanjikan, tersaji manis ditemani lagu Bila Bersamamu milik Nidji. Jalinan chemistry Dika dan Pevita lemah dan canggung, ditambah lagi Alfi bukan sosok protagonis yang layak didukung akibat berbagai tindakan tak simpatik seperti membiarkan Amira menunggu kemudian membatalkan janji atau mengacaukan makan malam. 

Ketika kisah-kisahnya mencapai resolusi, tidak bisa dipungkiri ada cengkeraman haru, namun segalanya terasa manipulatif. Emosi terpantik karena peristiwa yang (tiba-tiba) terjadi secara alamiah mudah menyentuh perasaan, serupa iklan layanan masyarakat berbalut pesan moral kesukaan masyarakat. Kita langsung disuguhi peristiwa mengguncang tanpa mengenal siapa tokohnya, tak tahu kehidupan mereka sebelum itu. Tidak bermaksud menyuguhkan studi, sebatas berharap menguras air mata penonton. Manipulatif. 
Lihat kisah Alfi dan teman-teman. Sepanjang film penonton hanya tahu mereka tinggal seatap dan pamer kebodohan. Momen persahabatan hangat cuma tampil melalui dialog singkat berkonteks nostlagia, bukan diperlihatkan langsung. Pilihan konklusi pun sama sekali terpisah dengan konflik-konflik mereka sepanjang film alias mendadak muncul. Sedangkan soal drama keluarga, lagi-lagi kita langsung melihat Alfi mengambil keputusan, entah bagaimana tahapan proses pikir yang ia lalui. Jika ada guratan emosi alami, itu didasari akting kuat Widyawati yang lewat senyum simpul atau ragam respon non-verbal lain menyiratkan bermacam kecamuk dalam hati Bu Yana. Menjadi timpang kala disandingkan bersama Tarzan yang piawai unjuk kejenakaan tapi tidak untuk drama.

Dika seperti terjebak dalam krisis identitas seiring usahanya berkembang. The Guys bisa berujung sajian kuat apabila menekankan satu persoalan saja, misal office comedy, menggali kelucuan para pegawai kantoran di tempat kerja yang mana berbanding lurus dengan hasrat Dika menuju pendewasaan tutur. Alih-alih demikian, Dika tak ubahnya karakter-karakter yang ia sering perankan: susah move on, memaksa menyertakan formula aman nan familiar demi memuaskan penggemar lama ketimbang menarik minat kelompok baru. Mungkin Raditya Dika butuh rehat sejenak.