TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJK (2013)
Akhir tahun 2013 serasa "pengulangan" akhir tahun 2012 dimana ada dua film lokal unggulan yang rilis. Jika di tahun 2012 ada biopic Habibie & Ainun maka 2013 punya Hanung dengan biopic Soekarno. Kemudian ada adaptasi novel best seller 5 CM yang juga mendulang sukses. Untuk film adaptasi novel, maka akhir tahun 2013 mempunyai Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk yang merupakan adaptasi novel karya Hamka. Disutradarai oleh Sunil Soraya (Apa Artinya Cinta?) konon film ini memakan waktu lima tahun untuk produksinya dimana dua tahun diantaranya digunakan untuk penulisan naskah oleh Donny Dhirgantoro dan Imam Tantowi. Bahkan film ini merupakan film termahal yang pernah diproduksi Soraya Intercine Films. Segala fakta tersebut seolah memperlihatkan betapa ambisiusnya film ini. Bahkan durasinya pun mencapai 165 menit dimana sangat jarang film Indonesia yang memiliki durasi sepanjang itu. Jadi apakah dengan ambisi yang begitu besar dan nampak menjadi film yang masif Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk bisa menjadi film yang tampil memuaskan?
Ceritanya adalah tentang Zainuddin (Herjunot Ali), seorang pemuda Makassar yang memilih untuk belajar ilmu Agama di Batipuh, Padang Panjang yang merupakan tanah kelahiran ayahnya. Disanalah Zainuddin bertemu dengan Hayati (Pevita Pearce), kembang desa yang begitu dipuja disana. Zainuddin pun jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Hayati, sebuah perasaan yang ternyata juga dialami oleh sang gadis. Cinta keduanya yang bersemi itu nyatanya tidak disetujui oleh tetua adat Batipuh yang juga keluarga Hayati. Menurut mereka Zainuddin yang bukan berasal dari suku yang sama dengan Hayati tidak diperkenankan menjalin cinta dengan kembang desa Batipuh. Hubungan cinta mereka berdua pun harus terpisah meski sumpah setia terlontar dari mulut keduanya. Halangan cinta mereka bertambah besar saat Hayati dipinang oleh Aziz (Reza Rahadian) yang berasal dari keluarga kaya, terpandang dan yang paling penting bersuku. Zainuddin yang patah hati akhirnya merantau ke Jawa bersama sahabatnya, Muluk (Randy Nidji) untuk memulai karir sebagai penulis.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk bukanlah versi lokal dari Titanic meski memasang embel-embel kisah tentang kapal mewah yang tenggelam. Dari ceritanya ini lebih seperti Romeo & Juliet sedangkan dalam pengemasannya, Sunil Soraya terlihat mengambil beberapa inspirasi dari The Great Gatsby. Tata artistiknya boleh dibilang salah satu yang terbaik dalam perfilman Indonesia. Disini kita akan menemukan berbagai set megah khususnya di lokasi rumah mewah milik Zainuddin. Baik itu saat mome pesta besar-besaran atau sekedar adegan yang memperlihatkan ruangan-ruangan di dalamnya sangat terlihat bahwa pengemasannya tidak main-main dimana itu merupakan hal yang jarang ditemui dalam film-film lokal. Kemudian hal-hal lainnya seperti kostum, properti termasuk mobil antik serta set lainnya pun tersaji dengan meyakinkan. Itu masih ditambah dengan sinematografinya yang cukup mengesankan dalam menangkap tata artistik yang megah tersebut. Sayang penggunaan warna biru diawal film benar-benar mengganggu mata dan amat sangat mengurangi keindahan visualnya. Sangat disayangkan karena hal itu akhirnya juga turut mengurangi sisi romantisme yang coba dibangun.
Mengesankan di tata artistiknya, dari segi cerita sesungguhnya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk punya potensi sama besar untuk berhasil dan gagal. Film ini bisa saja menjadi sebuah drama romantis mendayu-dayu yang berlebihan mengumbar romantisme dan tragedi, namun jika digarap dengan baik film ini bisa menjadi sebuah kisah romansa epic yang luar biasa dan masih sangat jarang hadir di perfilman negeri ini. Salah satu rintangan terbesarnya adalah karena dialog yang muncul kebanyakan memakai bahasa melayu yang dirangkai layaknya puisi romantis. Jika aktornya tidak menangani dialog itu dengan tepat maka yang terjadi tidak lebih dari barter dialog gombal yang menggelitik. Keputusan untuk tetap setia pada penggunaan dialog seperti di novel Hamka ini jelas patut diacungi jempol. Film inipun terasa seperti film-film barat yang diadaptasi dari novel Shakespeare yang memakai bahasa sastra Inggris yang puitis. Pada akhirnya penuturan Sunil Soraya tidaklah buruk. Kisah tentang cinta sejati yang berbalut pengkhianatan, persahabatan serta usaha pantang menyerah untuk bangkit dari keterpurukan hidup tersaji dengan lumayan. Namun di beberapa bagian saya merasa bosan disaat filmnya hanya menampilkan barter dialog puitis antara Zainuddin dan Hayati khsususnya di bagian ending yang sampai membuat saya berharap filmnya cepat usai.
Para pemainnya tampil baik disini. Reza Rahadian seperti biasa mampu menangani peran seperti apapun. Pevita Pearce pun tidak buruk sebagai Hayati. Caranya menghantarkan dialog puitis mungkin tidak luar biasa namun masih sanggup menyampaikan emosi yang dirasakan karakternya. Justru Herjunot Ali jadi poin terlemah disini. Disatu sisi dia tampil cukup baik disaat masih menjadi Zainuddin si anak kampung yang polos, namun saat sudah menjadi Zainuddin sang penulis ternama ia kesulitan dan nampak berlebihan saat harus tampil sebagai sosok yang kharismatik. Caranya menghantarkan ekspresi pun lebih pantas ditampilkan dalam pertunjukkan drama panggung daripada film. Jangan salahkan penonton yang tertawa saat Herjunot menampilkan beberapa ekspresi yang sedikit berlebihan itu. Terkadang saya malah membayangkan bahwa akan lebih baik jika Reza Rahadian yang memerankan karakter Zainuddin dimana saya yakin ia tidak akan kesulitan memainkan Zainuddin yang kharismatik. Kejutan terbesar justru datang dari penampilan Randy Danishta sang keyboardist Nidji. Sosok Muluk yang ia perankan berhasil menjadi scene stealer yang selalu saya tunggu kemunculannya.
Bagaimana dengan rekonstruksi tenggelamnya kapal Van Der Wijk sendiri? Efek CGI yang muncul tidaklah terlalu buruk, bahkan saat menampilkan kapal yang tengah berlayar bagi saya cukup baik. Namun yang jadi masalah justru pada eksekusi momennya yang terkesan hanya numpang lewat. Untuk menggambarkan sebuah tragedi memilukan, sequence tersebut terlalu apa adanya dan sekilas berlalu saja. Bagaimana horor dan ketegangan saat momen kapal tersebut tenggelam sama sekali tidak dieksplorasi, padahal itu bisa menjadi adegan yang sangat emosional dan merupakan hook dari film ini sendiri. Pada akhirnya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk memang memuaskan dari kemegahan tata artistiknya. Terasa bagaikan versi lokal dari The Great Gatsby lengkap dengan lagu Sumpah & Cinta Matiku milik Nidji yang nampak dibuat sebagai "versi lain" dari Young & Beautiful-nya Lana Del Rey yang setia mengiringi setiap momen dramatis di The Great Gatsby. Sayang jika menilik kedalaman emosi, film ini masih terasa kurang berhasil, khususnya dalam merangkum kisah romansa tragis yang terjalin antara Zainuddin dan Hayati. Momen tenggelamnya kapal Van Der Wijk pun tampil hanya sekilas saja. Film ini akhirnya sama seperti kehidupan Zainuddin yang megah diluar namun kosong di dalam.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Adegan percakapan terakhir Zainuddin dan Hayati memang terasa sangat membosankan... padahal seharusnya saya sebagai penonton dibuat nangis, tapi malah nggak sabar supaya filmnya cepat selesai..
Namun memang harus diakui visualisasi film ini benar-benar salah satu yang terbaik di dunia perfilman Indonesia :)
Terlalu bertele-tele+ekspresi "unik" Herjunot hehe
Posting Komentar