MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK (2017)

32 komentar
Satay western. Demikian karya teranyar Mouly Surya yang telah lalu lalang di festival-festival internasional ini disebut. Istilah tersebut mengingatkan pada spaghetti western, salah satu sub-genre yang mencapai masa keemasan di era 1960-an sejak Sergio Leone merengkuh puncak kesuksesan. Sebagaimana spaghetti western dengan ambiguitas moral serta kekerasan, satay western punya elemen-elemen khas, selain tentunya buatan sineas Indonesia. Faktor kultural Sumba jadi partikel penyusun pondasi, tetapi lebih spesial tatkala Mouly mampu menerapkan unsur western ke realita modern berisi isu-isu relevan, khususnya feminisme. 

Berdasarkan ide cerita dari pengalaman nyata Garin Nugroho saat menyaksikan pemenggalan di pasar Sumba, naskah garapan Mouly bersama Rama Adi menempatkan seorang janda bernama Marlina (Marsha Timothy) di tengah ancaman perampok. Sang pemimpin, Markus (Egi Fedly), mendatangi Marlina, mengutarakan maksud merampok harta benda sekaligus memperkosanya. Begitu perampok tiba, praktik patriarki turut mendera. Marlina dirampas haknya, diminta diam, patuh, memasak makan malam, melayani nafsu seksual para pria. Hilangkan setting perampokan, kita bakal melihat cerminan dunia nyata terkait anggapan "wanita adalah pelayan pria".
Ucapan Markus bahwa Marlina beruntung berkesempatan ditiduri delapan pria walau berstatus janda terdengar menusuk, sebab kalimat bernada serupa, yaitu kesuksesan wanita diukur lewat keberhasilan mendapatkan (atau didapatkan) pria, kerap berseliweran di sekitar kita. Sementara siksaan berlangsung, Mouly merangkai nuansa menghantui tatkala mayat suami Marlina terduduk di sudut ruangan. Dari kacamata patriarki, protagonis kita tak berdaya. Sendiri, tanpa pelindung bernama pria. Namun selaku respon bagi maskulinitas spaghetti western, Marlina enggan tinggal diam, mengeksekusi penindasnya, bahkan memenggal salah satu kepala perampok. Inilah akhir babak pertama, "The Robbery".

Sesuai judulnya, film ini memiliki empat babak: The Robbery, The Journey, The Confession, The Birth. Marlina memutuskan membawa kepala itu ke polisi, menembus lanskap padang gersang Sumba yang dibungkus sinematografi Yunus Pasolang, diiringi gitar plus bunyi siul musik buatan Zeke Khaseli dan Yudhi Arfani yang bagai berkiblat pada karya Ennio Morricone. Bermodalkan segala rasa western itu, Marlina tampil segar, mendobrak monotonitas gaya sinema Indonesia seperti ketika Joko Anwar menyuguhkan noir melalui Kala. Bahkan lebih unik, karena Marlina merupakan western berlatar masa kini, memungkinkan bandit versinya mengendarai motor trail dan truk alih-alih kuda dan keretanya (walau Marlina sendiri sempat menaiki kuda). 
Penuturan isu sosial Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak berlanjut di babak-babak berikutnya, termasuk mengkritik kinerja aparat serta respon publik yang justru kerap mencibir korban pelecehan. Malah dalam sebuah kesempatan, sempat salah satu perampok, Frans (Yoga Pratama), dengan nada kebencian memanggil Marlina "Si Pembunuh", seolah lupa siapa penjahat sesungguhnya. Menariknya, di antara isu pelik juga aura suram, tawa penonton masih sempat dipancing oleh beberapa selentingan menggelitik juga sederet komedi hitam yang melibatkan khayalan liar dan petikan alat musik sebagai cue jika komedi akan segera muncul.

Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak merupakan kendaraan bagi Marsha Timothy menyentuh dimensi lain aktingnya. Marsha piawai memerankan tokoh yang memendam campur aduk emosi tetapi jarang meluapkannya. Suatu bentuk olah rasa yang lantang walaupun subtil. Ekspresi wajahnya nampak terbebani tapi tindakannya tanpa keraguan. Langkahnya pasti, pelan tapi tak gontai. Seperti filmnya sendiri, yang berkat visi kuat Mouly Surya, bergerak perlahan namun punya tujuan, kemudian bermuara pada konklusi sempurna yang memaparkan filosofi "kelahiran kembali" sembari menunjukkan kekuatan terbesar seorang wanita. 

32 komentar :

Comment Page:
Alvi mengatakan...

sempat mengira dari judulnya kalau ini bakal review sarkas agan lainnya, tapi pas di paragraf pertama ada nama Mouly Surya yg terlibat, mulai tertarik dan mmg kyknya film must watch ini, apalagi kalo mmg ada adegan 18+ nya :D

Anonim mengatakan...

ada rencana review good time, robert pattinson??
udah kelua di torrent

Anonim mengatakan...

Kenapa sih dinkolom komenyar ini selalu ada komentar "Kapan mereview film ini?"
atau "Sudah nonton film itu?" Padahal Rasyid baru saja mereview sebuah film.

Seolah yg bertanya cuma ingin mengejar Rasyid agar menonton ini dan itu.

Guyz, simak dan diskusikanlah film yg baru direview. Film2 lainnya itu akan diulas bila dia sudah merasa perlu mengulasnya, tak perlu menagih-nagih.

Andi mengatakan...

Tayang reguler kapan ya mas?

Jackman mengatakan...

Ini film segmented atau film yang bisa dinikmati semua orang Mas?

Rasyidharry mengatakan...

@Alvi Lah? Haha. Nggak seberapa kok adegan violence-nya, cuma satu yang rada eksplisit

@Anonim Good Time segera :)

@Anonim Haha itu ada benernya. Nanti juga kalo sempat dan merasa perlu bakal ditulis. :)

@Andi Mulai 16 November

@Jackman Agak segmented, tapi kayak fiksi & Don't Talk Love, film Mouly selalu ada unsur yang bisa dinikmati semua penonton

Unknown mengatakan...

katanya saat tayang di bioskop entar ada adegan yg di potong ya.benar gak ?

Rasyidharry mengatakan...

Kata Mouly cuma beberapa detik. 20-30 detik, mayoritas close-up gambar kepala

agoesinema mengatakan...

Kalau sekelas Fiksi yg menang piala citra itu berarti wajib tonton. Mudah2an tayang di kendari. Karena di sini lg demam film lokal Molulo yg berhasil menggeser film2 lain seperti Thor Ragnarok

Rasyidharry mengatakan...

Semua film Mouly Surya wajib tonton :D
Amin, semoga tayang

Gerhana mengatakan...

ketinggalan nonton film ini. masi adakah d bioskop?

Rasyidharry mengatakan...

Baru tayang 16 November besok, ini review setelah nonton premiere

h3nQ mengatakan...

model kyk filmnya si Quentin ya bang? cerita kyk kill bill? :)

Rasyidharry mengatakan...

Beda, QT kan pondasinya dialog, dan baru bikin western sejak Django, lanjut Hategul Eight. Kalau Kill Bill fokus ke balas dendam, Marlina ke aftermath-nya

Anonim mengatakan...

Mas, kalau harus pilih satu, antara marlina dan posesif, lebih baik nonton yg mana?

Klo marlina pakai alur lambat macam film2 festival? Penuh simbolis atau yg bikin mikir gak?

Rasyidharry mengatakan...

Pilih Marlina. Sampai bertahun-tahun ke depan juga belum tentu ada film lokal gini lagi (mungkin Buffalo Boys di 2018 yang pure western). Nggak berat kok, tempo ya medium lah, agak pelan tapi nggak nyeret. Cerita ringan, apalagi kalau dibanding film-film Mouly sebelumnya

dramaaddict mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
dramaaddict mengatakan...

Mas, ini bisa dinikmati semua orang? Atau segmented seperti blade runner 2049?

Review justice league ditunggu ^^

dramaaddict mengatakan...

Mas, ini bisa dinikmati semua orang? Atau segmented seperti blade runner 2049?

Review justice league ditunggu ^^

Rasyidharry mengatakan...

Oh bisa, nggak seberat itu. Tempo agak lambat tapi nggak nyeret, dan durasi pun bersahabat. Humor juga ada

susan mengatakan...

Ini film mirip2 "i spite on your grave" gak sih bro?hehe

Unknown mengatakan...

Baru kelar nonton nya menurut saya film nya cukup bagus sangat indah dan menyentil sistem di indonesia tapi film ini juga akan susah di nikmati oleh penonton awam karena ceritanya terbilang sederhana dan minim kejutan sehingga penonton awam akan cukup bosan juga..

Rasyidharry mengatakan...

@susan Kalau I Spit On Your Grave soal balas dendamnya, Marlina pasca balas dendam :)

@Redo Mungkin, dan temponya agak lambat. Padahal nggak wajib itu cerita kompleks dan kejutan

Unknown mengatakan...

Benar juga tapi kan karena cerita nya sederhana jadi alurnya mudah ditebak jadi akan lebih sulit disukai penonton biasa tapi bagi saya sih sudah bagus ini film ceritanya memang sederhana tapi Menyatuh dgn baik dgn sisi visual yg cantik serta musik yg juga indah dengar dan saya suka cara pengambilan gambar lewat satu sudut kamera.

Rasyidharry mengatakan...

Hehe itu dia, sayang mayoritas penonton menjadikan twist & kompleksitas sebagai takaran film bagus. Nggak salah sih, bebas, cuma sayang aja.

Ricky Manurung mengatakan...

Ini jenis film sy banget mas...kelam, ada dark comedy nya, dan gila (horor). Btw Indonesia jago bikin jenis film begini. Selevel sm film copy of my mind lah...hahaa...

Rasyidharry mengatakan...

Begini maksudnya? Gabungan genre kah?
Yeah, Joko & Mouly termasuk nama-nama yang bakal bawa industri film kita lompat jauh

Ricky Manurung mengatakan...

Iya mas...film ini apa bisa d siarin di tv lokal mas?

Rasyidharry mengatakan...

Sepertinya nggak, bukan film yang bisa dijual di tv & disukai penonton tv

Chan hadinata mengatakan...

Spolier dikit mas
Itu yg scene seakan2 dihantui oleh perampok yg kepalanya buntung..
Maksudnya apa yah??

Rasyidharry mengatakan...

Karena biar gimana, Marlina masih dihantui pemenggalan itu, jadi terus "diikuti". Sama buat tambahan black comedy juga

Unknown mengatakan...

salah satu yang membuat sy bingung ketika di akhir babak Journey marlina masih menenteng kepala marcus dengan lilitan kain, tapi di awal confession tahu2 kepala itu sudah ada di kotak kayu yg dititipkan ke topan... kok bisa? adakah maksud lain?