WONDERSTRUCK (2017)

5 komentar

Metode non-linier yang melompat seketika dari satu titik ke titik lain secara bergantian lebih efektik sekaligus mudah dinikmati dalam medium tulisan. Pada novel misalnya, pace cerita tergantung masing-masing pembaca. Terdapat kebebasan mempercepat atau memperlambat tempo, berhenti sejenak, atau bahkan mengulang untuk mencerna kisahnya. Sebaliknya, film memaksa penonton mengikuti sutradara. Resiko membesar bila membicarakan drama yang bertujuan merenggut perasaan. Meleset sedikit saja, peluang menggaet hati bisa hilang. Hal ini dialami Wonderstruck.

Ada dua setting waktu: 1927 dan 1977. Tahun 1927 berkisah tentang Rose (Millicent Simmonds), gadis tuna rungu yang kabur dari “tangan besi” ayahnya demi mencari idolanya, Lillian Mayhew (Julianne Moore), aktris yang karirnya memudar seiring transisi film bisu ke film suara. Sebagai penyesuaian, periode ini pun dikemas bak film bisu. Todd Haynes (Far from Heaven, Carol) selaku sutradara menghadirkan harmoni efek suara dengan visual yang menarik, mengutamakan kesan artistik ketimbang otentik.
Sedangkan tahun 1977 memiliki Ben (Oakes Fegley) sebagai tokoh sentral dibalut sinematografi Edward Lachman yang mencerminkan nuansa warna film 70-an ber-setting urban. Pasca kecelakaan yang merenggut pendengarannya, Ben nekat kabur dari rumah sakit untuk mencari sang ayah, setelah selama ini, mendiang ibunya, Elaine (Michelle Williams) menolak bercerita tentangnya. Rose dan Ben sama-sama tuna rungu, kabur dari rumah dengan tujuan mencari sosok tercinta yang berjarak, serta beragam kesamaan lain termasuk tempat yang disinggahi di tengah perjalanan. Takdir penuh keajaiban (baca: kebetulan) mengaitkan hidup kedua bocah tersebut.

Butuh waktu sebelum benar-benar mampu dihanyutkan oleh alurnya. Bukan sepenuhnya kesalahan Haynes. Kelemahan justru condong ke arah skenario buatan Brian Selznick, yang juga penulis novel sumber adaptasinya. Selznick mentah-mentah memindahkan gaya tutur novel ke naskah, memunculkan transisi kasar antara dua periode. Sebelum benar-benar terikat oleh salah satu kisah, Wonderstruck sudah berlari menuju kisah lain, begitu seterusnya. Sulit berkonsentrasi pada salah satu. Alirannya baru lancar seiring makin jelasnya paralel dua cerita.
Haynes menyebut Wonderstruck sebagai misteri klasik di mana “mengapa” serta “bagaimana” dua kisah saling bertautan jadi daya tarik. Tapi misterinya sendiri kurang mengikat di paruh awal. Filmnya kekurangan alasan kenapa kita perlu peduli dan mau mencari tahu jawabannya. Suratan takdir dua karakter yang terpisah 50 tahun ini tampak bersinggungan. Yeah, so? Itu saja belum cukup membuat misterinya menghanyutkan. Barulah memasuki third act, saat jalinan teka-tekinya menampakkan wajah aslinya, intensitas meningkat. Walau akhirnya antisipasi tinggi yang dibangun tak sebanding dengan jawaban yang ditawarkan, beberapa kejutan hadir mengisi ulang energi Wonderstruck.

Penampilan Millicent Simmonds dan Oakes Fegley cukup solid namun keduanya belum mampu memanggul beban sendirian. Cengkeraman emosi terkuat selalu terjadi saat Simmons dan Fegley berbagi layar dengan orang lain, entah Julianne Moore yang matanya seolah mampu mengungkapkan jutaan kata maupun Michelle Williams yang walau muncul sekilas tetap memperhatikan detail ekspresi dalam berakting. Andai filmnya lebih mengikat di setengah awal perjalanan, babak pamungkas berisi claymation dalam miniatur luar biasa New York bakal dengan mudah memancing kucuran air mata.

5 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Kayaknya ga pernah denger dah nih pilem

Zulfikar Knight mengatakan...

Mas Rasyid, saya tggu review-nya Roman J Israel, Esq. Sama Suburbicon. (Bagi saya Suburbicon gak buruk buruk amat seperti yg dibilang org)

Rasyidharry mengatakan...

@Arif tayang di bioskop tanggal 31

@zulfikar nggak janji deh, palingan rangkum 3-in-1 kayak biasa :)

Anonim mengatakan...

bang rasyid, bikin prediksi pemenang academy award tahun dong ehehehehe

Rasyidharry mengatakan...

Besok ya, Februari habis pengumuman WGA. Sekalian habis list film terbaik 2017 yang telat juga hehe