MEET ME AFTER SUNSET (2018)
Rasyidharry
Februari 24, 2018
Agatha Chelsea
,
Billy Davidson
,
Fatmaningsih Bustamar
,
Haqi Achmad
,
Indonesian Film
,
Iszur Muchtar
,
Kurang
,
Maxime Bouttier
,
REVIEW
8 komentar
Meet Me After Sunset adalah film romansa, sehingga saat
tokoh utama laki-laki melihat perempuan misterius berjalan sendiri di tengah
malam, membwa lentera sambil bersenandung untuk kemudian tiba-tiba hilang di
balik kabut, bukan jadi hal menyeramkan. Si laki-laki justru makin tertarik
dengan si perempuan. Di film horor, peristiwa itu bakal disebut penampakan.
Sementara di kehidupan nyata, saya akan menutup jendela rapat-rapat, berbaring
sambil mendengarkan lagu riang. Namun dengan begitu takkan ada drama, takkan
ada film.
Si laki-laki bernama Vino (Maxime Bouttier), remaja tampan
asal Jakarta yang terpaksa menuruti keinginan orang tuanya pindah ke Ciwidey,
Bandung. Walau digilai seisi sekolah, Vino terlanjur kepincut pada perempuan
bertudung merah tadi. Gadis (Agatha Chelsea) namanya. Orang-orang
memandangnya aneh karena jangankan bersekolah, keluar rumah pun hanya di malam
hari, menuju bukit, menari di tengah kunang-kunang. Gadis hanya memiliki
seorang sahabat, yakni Bagas (Billy Davidson), yang tahu segala rahasianya.
Usaha Vino merebut hati Gadis dengan cara mewujudkan
mimpi-mimpinya pun dimulai. Apabila Vino bagai pangeran dari negeri dongeng,
wajar. Sebab Meet Me After Sunset
memang ingin terasa dan terlihat seperti dongeng. Negeri dongeng di mana rumah
kampung bertembok anyaman bambu memiliki perabot unik berwarna-warni ketimbang
nuansa cokelat dari kayu yang telah usang. Di luar, rembulan selalu benderang
di malam hari, sedangkan kala sore, langit selalu memamerkan warna khas magic hour tanpa pernah dirundung
mendung.
Plotnya bergerak semata demi memfasilitasi sinematografi
arahan Gunung Nusa Pelita memamerkan gambar-gambar yang meski acap kali artificial, tampak cantik. Meet Me After Sunset memang enak dilihat
berkat komponen visual unik. Tidak hanya sinematografi, pilihan kostum termasuk
pemakaian baju astronot saat Vino dan Gadis berkencan meletakkan garis pembeda
dibanding romansa remaja di kebanyakan film kita. Aspek ini cukup membantu
selaku penawar bagi alur lemah penuh peristiwa yang dipaksakan.
Mengapa Gadis tidak bisa ke Bandung? Bukankah Bagas atau
ayahnya (Iszur Muchtar) bisa mengantar? Bagaimana mungkin sang ayah tidak tahu
anaknya tidak suka badut atau cokelat? Daftar pertanyaan seputar kejanggalannya
bisa diteruskan tetapi akan terlalu panjang. Sisi positifnya, skenario ciptaan
Haqi Achmad dan Fatmaningsih Bustamar mampu menggambarkan dilema Gadis yang
terjebak cinta segitiga dengan baik. Alasan kebingungannya jelas, biarpun pembagian
waktu—kapan penonton mesti mendukung Vino sang protagonis, kapan mesti ikut
merasa dilematis—tersaji kusut. Resolusi masalah tersebut kurang berdasar, tapi
bukankah cinta tak perlu alasan logis?
Filmnya ditutup oleh twist
yang—berbeda dengan paparan konfliknya—tidak datang mendadak. Beberapa benih ditebar
sepanjang durasi sehingga penonton yang jeli dapat mengira-ira apa yang bakal
terjadi. Sementara iringan lagu Dulu Kini
Nanti milik Citra Scholastika tak pernah gagal menyuntikkan rasa manis
sekaligus haru pada sebuah adegan film (sebelumnya dipakai oleh Mars Met Venus). Agatha Chelsea cocok
mewakili nuansa manis tersebut, sedangkan Maxime Bouttier untuk ke depannya
perlu lebih berhati-hati memilah, mana bad
boy unik pula asyik, mana yang sebatas tengil dan menyebalkan. Jefri Nichol
selalu siap mengajari.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
8 komentar :
Comment Page:Kyknya ini sekuel lupus,dan hanya saya yg ketawa waktu"lupus"cerita ke geng nya ke vino
Anak sekarang nggak kenal Boim & Gusur haha
Wah kurang ya.. padahal udah nunggu banget
Indonesia film romansa mulu -_-
Adegan pas pelet Yudha Keling sih yang awkward banget bagi saya, lebih baik dipotong deh tuh scene. Padahal castnya udah pas, Maxime muka blasteran karena ibunya & Agatha muka oriental karena ibunya
@benny nggak "mulu" juga sih. Cuma kebetulan akhir-akhir ini jatah tanggalnya mepet satu romance dan lainnya, karena produksi film makin banyak,jatah tanggal pun makin terbatas
@Banumustafa Buat sidekick yang komedik sebenernya nggak perlu sampai pake Yudha yang eksistensinya di film cuma sebatas bahan olok-olok
Kalimat terakhirmu bang, bikin ngakak. Sampe bawa-bawa Jeffri Nichol lagi. Hahahaha....
Girl in the red hood
Posting Komentar