SESAT (2018)
Rasyidharry
Agustus 24, 2018
Aghi Narottama
,
Arswendy Bening Swara
,
Bemby Gusti
,
Cukup
,
Endy Arfian
,
Evanggala Rasuli
,
horror
,
Indonesian Film
,
Laura Theux
,
Rebecca Klopper
,
REVIEW
,
Sammaria Simanjuntak
,
Tony Merle
,
Vonny Cornelia
4 komentar
Dalam Sesat, Sammaria Simanjuntak (Demi
Ucok, Cin(t)a) menuntun kita menyusuri proses karakternya menghadapi duka.
Diperlihatkan seluk beluknya dengan seksama, memastikan kita paham dan
melangkah sesuai jalur, selama kita bersedia menaruh perhatian. Tapi saat tiba
waktunya menangani teror makhluk halus pengabul permintaan, sang penunjuk jalan
justru bak kebingungan sendiri. Keharusan menakut-nakuti, yang nampak bukan salah
satu keahliannya, membuat Sammaria tersesat.
Bicara storytelling alias penceritaan, di antara jajaran horor lokal tahun
ini, Sesat memang yang terbaik. Melalui
naskah hasil karyanya bersama Evanggala Rasuli, Sammaria memaparkan sebuah
keluarga kecil yang tidak sempurna, tapi jelas bahagia. Khususnya ketika
menyoroti hubungan hangat Amara (Laura Theux) dengan ayahnya (Willem Bivers).
Kehangatan singkat yang membuat saya ingin menghabiskan waktu lebih lama berada
di tengah-tengah mereka. Begitu pula dengan Amara yang begitu terpukul setelah
sang ayah meninggal. Sebab dialah pendukung terbesar mimpi Amara sebagai atlet,
juga perekat kala ia dan sang ibu (Vonny Cornelia) kerap berselisih.
Kini bersama ibu dan adiknya, Kasih
(Rebecca Klopper), Amara terpaksa tinggal di Desa Beremanyan, di rumah sang
kakek (Arswendy Bening Swara), si penulis novel yang tampak merahasiakan
sesuatu sebagaimana tatapan tak ramah nan misterius warga setempat. Makan waktu
beberapa lama sampai Sesat memulai
usahanya menggedor jantung penonton, tapi Sammaria tidak meninggalkan kita
dalam kehampaan. Di tengah pergerakan lambat temponya, senantiasa hadir sesuatu
untuk dituturkan, entah pergumulan batin Amara atau mitologi setan Beremanyan
yang dijabarkan selangkah demi selangkah.
Berkat informasi dari seorang teman
sekolah (Endy Arfian), Amara mengetahui kemampuan Beremanyan mengabulkan
permintaan siapa saja yang memanggilnya, meski untuk itu, pengorbanan perlu
dilakukan. Melalui kliping surat kabar yang tertempel di dinding ruang kerja
kakek, kita diberi pemahaman akan riwayat Desa Beremanyan yang dinaungi
keberuntungan. Amara pun yakin legenda tersebut benar adanya, dan tatkala ia
akhirnya nekat melakukan ritual, itu bisa memaklumi, sebab campur aduk
kesedihan akibat kehilangan, kerinduan, juga kesepian memang mampu menyeret
manusia melakukan hal gila.
Saya tidak bisa membahas detail progresnya,
kecuali bahwa Sesat melangkah ke
ranah serupa karya klasik Brian De Palma, yang sekaligus menandai bertambahnya
kecepatan laju film ini, sembari menyelipkan elemen gore yang cukup efektif memancing ngeri. Selain rapi bercerita,
naskahnya menyimpan pengembangan menarik yang mengandung dua kejutan. Pertama perihal
mitologi Beremanyan, yang muncul bukan sekedar atas nama efek kejut, pula masuk
akal sekaligus memperkaya bangunan dunianya. Kedua, sewaktu Sammaria dan
Evanggala memelintir selipan romansanya, yang justru menghadirkan relevansi seputar
remaja. Apabila disimak, intisari keduanya saling bertautan, yakni ego yang meruntuhkan
kepedulian.
Sejak tadi saya membahas elemen
penceritaan, karena Sesat sendiri
seperti memilih berkonsentrasi di sana. Sempat luput mengeksplorasi detail peran
penting suatu benda kesayangan Amara yang berujung menciptakan kebingungan,
pada akhirnya kebingungan penonton belum ada apa-apanya dibandingkan yang
Sammaria rasakan sewaktu menyajikan teror. Selain peristiwa berdarah di sekolah
plus jump scare pertama yang efektif
menggedor jantung berkat ketepatan timing
meski triknya tergolong murahan, praktis Sesat
dipenuhi cara menakut-nakuti medioker.
Sammaria seolah terlalu khawatir
menjadi murahan, kemudian memilih berhemat menampilkan sosok Beremanyan, yang
akhirnya berujung fatal akibat pengadeganan canggung di sana-sini. Daripada
penampakan si peneror, Sammaria lebih banyak menampilkan dampak yang terjadi
pada korban. Tubuh mereka diseret, dilempar, dibanting ke sana kemari, dalam
kemasan tak meyakinkan, yang acap kali didorong sudut kamera serta perpindahan
adegan yang kurang memfasilitasi kengerian. Musik buatan “trio Pengabdi Setan”, Aghi Narottama, Bemby Gusti, dan Tony Merle
sesekali memperdengarkan sentuhan unik namun tak menolong lemahnya departemen
penyutradaraan.
Ketimbang kulminasi teror,
klimaksnya justru menjadi puncak kelemahan filmnya menebar teror. Sebenarnya,
konklusi yang Sesat miliki adalah
titik akhir yang sesuai untuk mengakhiri seluruh proses karakternya, namun
ketiadaan puncak gejolak dalam pertarungan manusia melawan iblis, yang hadir
tak sekuat pertarungan manusia melawan sisi gelapnya sendiri, meninggalkan
ketidakpuasan teramat besar pasca filmnya usai. Sebuah potensi besar yang gagal
terpenuhi, setidaknya Sesat bukan
horor pesakitan, sekaligus memberi karir Laura Theux—yang membuat Amara lebih
berwarna ketimbang banyak protagonis horor lokal—“nyawa baru” pasca Jaran Goyang yang memalukan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Adegan pensil mekanik sih yang cukup bagus walaupun motif kenapa bisa sampe konflik kayak gitu rada kurang masuk akal.
Sama penyelesaian konfliknya gampang banget. Gue kira bakalan susah dan penuh darah secara Jajang c Noer bilang seolah2 masalah dengan Beremanyan itu nggak ada jalan keluarnya.
Kalo dicompare plus minusnya sama sebelum iblis menjemput gimana bang?
Kalo dicompare plus minusnya sama sebelum iblis menjemput gimana bang?
@Heru Awalnya mikir gitu, tapi setelah diinget-inget, kejadian fitnah+bullying yang didasari sakit hati gitu di real life buanyak banget, jadi make sense. Tapi ya, klimaksnya terlalu gampang.
@Unknown Overall, Sesat lebih kuat di narasi, tapi urusan teror SIM jelas jauh di atas.
Posting Komentar