TEMBANG LINGSIR (2019)
Rasyidharry
Februari 01, 2019
Aisyah Aqilah
,
Andhika Lazuardi
,
horror
,
Indonesian Film
,
Marsha Aruan
,
Meisya Siregar
,
REVIEW
,
Rizal Mantovani
,
Sangat Jelek
,
Teuku Rifnu Wikana
3 komentar
Setidaknya karya teranyar Rizal
Mantovani ini sedikit lebih “tepat” perihal penggambaran latar lagu Lingsir Wengi, yang kerap salah dipahami
sebagai “mantera pemanggil hantu”. Sebuah interpretasi yang dipopulerkan
belasan tahun lalu oleh film Rizal lainnya. Tapi jangan salah sangka mengira
bahwa dengan itu, Tembang Lingsir
otomatis menjadi sajian berkualitas. Lihat saja rumah produksi di belakang film
ini. Dan mustahil sebuah film berlatar modern, di mana karakter yang tidak
mampu bicara memilih papan tulis sebagai alat bantu komunikasi ketimbang
telepon genggam, berakhir memuaskan.
Filmnya berkisah tentang Mala (Marsha
Aruan) yang kehilangan suaranya untuk sementara dan harus tinggal bersama
kerabatnya, Om Gatot (Teuku Rifnu Wikana) dan Tante Gladys (Meisya Siregar),
pasca insiden mistis yang merenggut nyawa sang ibu. “Dia aneh!”, demikian
protes Desi (Aisyah Aqilah), puteri Gladys, merujuk pada kebiasaan Mala yang
kerap tiba-tiba diam sebelum menyanyikan Lingir
Wengi. Tapi selain perilaku Mala, ada misteri lain terkait keluarga tersebut.
Seperti biasa, eksplorasi plot atau
misteri bukan hal yang menarik (atau sanggup?) dilakukan oleh penulis naskah
horor negeri ini. Alhasil, guna mengisi durasi, Andhika Lazuardi memakai
kumpulan gangguan mistis, yang menimpa satu per satu anggota keluarga. Jika
teror terhadap Mala usai, kita akan dilempar menuju teror terhadap Tante
Gladys, Om Gatot, dan seterusnya.
Semakin terasa bagai filler akibat pendekatan Rizal, yang
menyeret pembangunan tensi—yang tak pernah sekalipun menyimpan atmosfer
mencekam atau ketegangan—sebelum menutupnya lewat jump scare semurah kerupuk di warteg. Rizal bukan sutradara horor
hebat. Tapi bahkan dibandingkan Jelangkung
atau Kuntilanak, performanya di
sini terlihat malas. Tidak kalah malas adalah tata riasnya. Walau sosok Kanjeng
Ratu dengan semua aksesoris akar pohon jauh dari buruk, namun hantu yang secara
reguler meneror Mala sekeluarga, punya bekas luka di wajah yang tampak seperti
ditempeli pizza bekas makan malam.
Ketika teror absen mengisi, Tembang Lingsir semakin membosankan
sebagai dampak pemakaian kalimat-kalimat dangkal, yang bahkan seorang Teuku
Rifnu pun tak kuasa menyelamatkannya walau telah berusaha sekeras mungkin. Sementara
itu barisan kebodohan pun tak ingin kalah eksis. Salah satunya saat dua teman
Desi ketakutan lalu memilih meninggalkan rumahnya. Terdengar pintar, sampai
kita melihat mereka memutuskan berjalan kaki masuk hutan di tengah malam.
Bukankah sebelumnya mereka mengendarai mobil?
Kebodohan itu penulisnya pilih agar
Tembang Lingsir berkesempatan
menginjeksi alurnya dengan sentuhan slasher,
yang sejatinya berpotensi menghibur andai penempatan unsur gore-nya—yang memaksa filmnya diberi rating “17 tahun ke atas”—tepat.
Paling tidak, melihat karakternya memotong kaki manusia seolah-olah itu daging
sapi bisa membuat saya terjaga lebih lama. Klimaks Tembang Lingsir ditutup tanpa taring pula begitu mendadak setelah
Mala melantunkan Lingsir Wengi. Ya,
horor produksi Baginda KKD alias Maharaja Dheeraj Kalwani ini selesai setelah
satu nyanyian pendek. Mungkin suara Mala begitu jelek sampai Kanjeng Ratu tak
mampu bertahan kemudian musnah. Sayangnya film ini tidak ikut musnah.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Ngakak baca reviewnya bang Rasyid..
Besok mw membukti'keun kocaknya film ini..
Doa'in yak gw tahan sampe akhir film, wkwkwkwk..
Review Mermaid donk bang, besok mw nuntun Mermaid dan film kocak satu ini..
Duh disayang duitnya, weekend nonton beginian😂
Ada apa dengan Rizal Mantovani dan Jose Purnomo...kenapa film horor mereka sekarang2 ini jadi menurun ya bang rasyid?apa mereka harus belajar dari Joko Anwar atau Timo Tjahjanto ya cara buat film horor yang bagus
Posting Komentar