Tampilkan postingan dengan label Aisyah Aqilah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aisyah Aqilah. Tampilkan semua postingan
MELODYLAN (2019)
Rasyidharry
Diangkat dari cerita Wattpad
berjudul sama yang kemudian dijadikan novel, MeloDylan mungkin mewakili anggapan muda-mudi usia remaja awal
mengenai definisi “cerita kompleks”. Mengangkat tema “move on” selaku kegemaran target pasarnya, kita dijejali “lingkaran
setan” di mana tokoh-tokohnya mencintai seseorang, yang sayangnya menaruh hati pada
pihak lain. A mencintai B, B mencintai C, C mencintai D, D mencintai A.
Seperti judulnya telah sampaikan,
dua tokoh utamanya adalah Melody (Aisyah Aqilah) dan Dylan (Devano Danendra).
Sebagai siswi baru, Melody sudah menyulut kehebohan selepas kabar ia diantar pulang Dylan diketahui seisi
sekolah. Dylan memang sosok idola wanita. Tapi si cowok populer sendiri hanya
menyukai Bella (Zoe Abbas Jackson), teman masa kecilnya yang sakit-sakitan. Di
sisi lain, Bella sudah lama menyimpan perasaan kepada Fathur (Angga Aldi
Yunanda), yang rupanya mencintai Melody.
Selanjutnya adalah paparan mengenai
usaha tokoh-tokoh menghadapi kondisi di mana cinta bertepuk sebelah tangan, berusaha
melangkah ke luar dari sakit hati tersebut, yang dipresentasikan melalui
jalinan alur episodik. MeloDylan tampil
bagai kumpulan bab-bab novel, yang satu dan lainnya nyaris tanpa jembatan
penghubung. Akibatnya, narasi bergerak kasar, penuh keterburu-buruann dalam
menyajikan proses yang dilalui karakternya.
Padahal move on butuh proses. Apalagi jika membahas Dylan, yang telah sejak
dahulu mencintai Bella. Bagaimana mungkin semudah itu Dylan mengaku di depan
Bella, kalau ia mulai menyukai Melody? Apa pula yang membuatnya terpikat pada
sang siswi baru? Baik Dylan maupun Melody tak memiliki kualitas menonjol (selain
paras rupawan) supaya penonton setidaknya bisa mempercayai ketertarikan di
antara mereka.
Aisyah Aqilah melalui gaya manja
ditambah sisi keras kepala mempunyai kapasitas serupa Shandy Aulia di Eiffel...I’m In Love. Penampilan
menghibur yang tak mampu ditandingi lawan mainnya, Devano Danendra, yang tanpa
kharisma, nampak tersiksa memerankan pemuda cuek idola remaja. Alhasil,
hubungan Melody-Dylan jauh dari menarik. Saya lebih tertarik menyaksikan
kekonyolan pasangan Anna (Yasmin Napper) dan little prince-nya, Angga (Indra Jegel).
Ya, MeloDylan cukup terselamatkan berkat sentuhan humornya. Dilandasi
naskah buatan Endik Koeswoyo (Me &
You vs The World, Erau Kota Raja), sutradara Fajar Nugros menularkan gaya “gojek receh” yang belakangan makin ia
patenkan pasca kesuksesan dua film Yowis
Ben. Membawa dua pelakon andalannya, Arief Didu dan Erick Estrada (yang
kembali memerankan tokoh bernama Mukidi), banyolan-banyolan “murah” yang sering
memadukan kebodohan dan absurditas mampu melahirkan kesegaran yang jarang
ditemui dalam film setipe.
Seolah Fajar tahu, apabila digarap
sebagaimana romansa putih abu-abu kebanyakan, MeloDylan bakal minim dinamika. Terbukti, begitu menyentuh paruh
akhir tatkala komedi mulai dikesampingkan, filmnya pun tampil menjemukan. Rentetan
konflik dramatik dengan urgensi yang sesungguhnya tinggi namun terkesan
dipaksakan guna menyulut pertikaian mulai mengisi. Apa susahnya bagi Dylan
berpamitan pada Melody (bahkan kalau perlu mengajak kekasihnya itu) untuk
membesuk Bella yang kondisinya anjlok? Momen penutupnya berpotensi menghadirkan
romantika manis, andai saja kita diajak lebih banyak menghabiskan waktu
berkualitas bersama dua protagonisnya.
April 05, 2019
Aisyah Aqilah
,
Angga Aldi Yunanda
,
Arief Didu
,
Endik Koeswoyo
,
Erick Estrada
,
Fajar Nugros
,
Indonesian Film
,
Indra Jegel
,
Kurang
,
REVIEW
,
Romance
,
Yasmin Napper
,
Zoe Abbas Jackson
TEMBANG LINGSIR (2019)
Rasyidharry
Setidaknya karya teranyar Rizal
Mantovani ini sedikit lebih “tepat” perihal penggambaran latar lagu Lingsir Wengi, yang kerap salah dipahami
sebagai “mantera pemanggil hantu”. Sebuah interpretasi yang dipopulerkan
belasan tahun lalu oleh film Rizal lainnya. Tapi jangan salah sangka mengira
bahwa dengan itu, Tembang Lingsir
otomatis menjadi sajian berkualitas. Lihat saja rumah produksi di belakang film
ini. Dan mustahil sebuah film berlatar modern, di mana karakter yang tidak
mampu bicara memilih papan tulis sebagai alat bantu komunikasi ketimbang
telepon genggam, berakhir memuaskan.
Filmnya berkisah tentang Mala (Marsha
Aruan) yang kehilangan suaranya untuk sementara dan harus tinggal bersama
kerabatnya, Om Gatot (Teuku Rifnu Wikana) dan Tante Gladys (Meisya Siregar),
pasca insiden mistis yang merenggut nyawa sang ibu. “Dia aneh!”, demikian
protes Desi (Aisyah Aqilah), puteri Gladys, merujuk pada kebiasaan Mala yang
kerap tiba-tiba diam sebelum menyanyikan Lingir
Wengi. Tapi selain perilaku Mala, ada misteri lain terkait keluarga tersebut.
Seperti biasa, eksplorasi plot atau
misteri bukan hal yang menarik (atau sanggup?) dilakukan oleh penulis naskah
horor negeri ini. Alhasil, guna mengisi durasi, Andhika Lazuardi memakai
kumpulan gangguan mistis, yang menimpa satu per satu anggota keluarga. Jika
teror terhadap Mala usai, kita akan dilempar menuju teror terhadap Tante
Gladys, Om Gatot, dan seterusnya.
Semakin terasa bagai filler akibat pendekatan Rizal, yang
menyeret pembangunan tensi—yang tak pernah sekalipun menyimpan atmosfer
mencekam atau ketegangan—sebelum menutupnya lewat jump scare semurah kerupuk di warteg. Rizal bukan sutradara horor
hebat. Tapi bahkan dibandingkan Jelangkung
atau Kuntilanak, performanya di
sini terlihat malas. Tidak kalah malas adalah tata riasnya. Walau sosok Kanjeng
Ratu dengan semua aksesoris akar pohon jauh dari buruk, namun hantu yang secara
reguler meneror Mala sekeluarga, punya bekas luka di wajah yang tampak seperti
ditempeli pizza bekas makan malam.
Ketika teror absen mengisi, Tembang Lingsir semakin membosankan
sebagai dampak pemakaian kalimat-kalimat dangkal, yang bahkan seorang Teuku
Rifnu pun tak kuasa menyelamatkannya walau telah berusaha sekeras mungkin. Sementara
itu barisan kebodohan pun tak ingin kalah eksis. Salah satunya saat dua teman
Desi ketakutan lalu memilih meninggalkan rumahnya. Terdengar pintar, sampai
kita melihat mereka memutuskan berjalan kaki masuk hutan di tengah malam.
Bukankah sebelumnya mereka mengendarai mobil?
Kebodohan itu penulisnya pilih agar
Tembang Lingsir berkesempatan
menginjeksi alurnya dengan sentuhan slasher,
yang sejatinya berpotensi menghibur andai penempatan unsur gore-nya—yang memaksa filmnya diberi rating “17 tahun ke atas”—tepat.
Paling tidak, melihat karakternya memotong kaki manusia seolah-olah itu daging
sapi bisa membuat saya terjaga lebih lama. Klimaks Tembang Lingsir ditutup tanpa taring pula begitu mendadak setelah
Mala melantunkan Lingsir Wengi. Ya,
horor produksi Baginda KKD alias Maharaja Dheeraj Kalwani ini selesai setelah
satu nyanyian pendek. Mungkin suara Mala begitu jelek sampai Kanjeng Ratu tak
mampu bertahan kemudian musnah. Sayangnya film ini tidak ikut musnah.
Februari 01, 2019
Aisyah Aqilah
,
Andhika Lazuardi
,
horror
,
Indonesian Film
,
Marsha Aruan
,
Meisya Siregar
,
REVIEW
,
Rizal Mantovani
,
Sangat Jelek
,
Teuku Rifnu Wikana
Langganan:
Postingan
(
Atom
)