REVA: GUNA GUNA (2019)
Rasyidharry
Maret 07, 2019
Angel Karamoy
,
Aviv Elham
,
Ferry Salim
,
horror
,
Indonesian Film
,
Jelek
,
Jose Purnomo
,
Joseph S. Djafar
,
Marcellino Lefrandt
,
Pamela Bowie
,
REVIEW
,
Wulan Guritno
4 komentar
Anda tahu dunia horor tanah air
sedang mengalami krisis jika film macam Reva:
Guna Guna tak sampai membuat anda kejang-kejang. Sebab, tentu saja Jose
Purnomo (Jelangkung, Alas Pati, Silam)
punya selera visual lebih baik, pula lebih bertalenta dibanding orang-orang di
belakang Kain Kafan Hitam atau 11:11: Apa yang Kau Lihat?. Dinilai dari
sampul luar, film ini memang produk layar lebar layak putar.
Turut mengambil peran sinematografer
seperti biasa, setidaknya Jose tak memberi kesempatan gambar dengan resolusi tiarap
dan/atau luput dari proses color grading muncul
di hasil akhir filmnya. Sering tampak glitch
yang mengindikasikan proses pasca-produksi yang terburu-buru (mungkin DCP baru
selesai di saat-saat akhir?), tapi itu bukan kekeliruan sang sutradara. Tiga
hantu antagonis (Gemet Aresan, Jurig Jarian, Emak Bongkok) pun wajahnya dibalut
riasan memadahi. Tingkat kengeriannya bisa didebat, namun Kiki Aston (Silam, Kuntilanak) dan Dicky Etto (Jaga Pocong, Anak Hoki) jelas tak asal
meniupkan bedak ke wajah pemain.
Reva: Guna-Guna memang takkan melukai mata penonton. TAPI, jika
diskusi diteruskan menuju pertanyaan “Apakah filmnya melukai otak?”, jawabannya
masih “Ya”. Bahkan sejak adegan pembuka yang memperlihatkan Reva (Angel
Karamoy) tengah berada di sel tahanan tanpa toilet, seolah memperlihatkan kerja
setengah hati tim penata artistik. Pantas Reva nampak begitu tertekan, karena
untuk kencing selepas diteror hantu saja ia dipersulit.
Reva merupakan terdakwa pembunuhan
atas seluruh anggota keluarganya, kecuali sang ayah, (Ferry Salim). Reva
menolak tuduhan tersebut, kukuh pada jawaban bahwa pelakunya adalah tiga setan
yang selalu menebar teror selepas ulang tahunnya yang ke-21. Karena
psikolognya, Dr. Karina (Wulan Guritno), menyatakan Reva mengidap manik
depresif (membahas ketepatan pemakaian istilah medis di film macam ini rasanya
percuma), ia pun dikirim ke rumah sakit jiwa.
Keputusan tersebut dijatuhkan pasca
proses persidangan ala kadarnya, di mana pengacara Reva menyebut bahwa tak
ditemukannya senjata sebagai ketiadaan “motif” alih-alih “barang bukti”. Ya.
Motif. Jadi kalau pelaku pembunuhan diajukan pertanyaan, “Apa motif kamu membunuh
mereka?”, dia akan menjawab, “Pisau, pak polisi”.
Reva akhirnya tiba di rumah sakit
jiwa yang dikepalai Nixon, yang diperankan Marcelino Lefrandt dalam gaya akting
over-the-top yang dapat menggiring
film ini ke arah psychological b-horror
seru, namun naskah garapan Aviv Elham (Suster
Ngesot The Movie, Arwah Tumbal Nyai,
Alas Pati) memilih bertahan di ranah kisah supernatural medioker dengan
plot berupa lompatan antara penampakan hantu, yang jauh dari mengerikan, bahkan
tak mengadung jump scare mengejutkan.
Mungkin Jose berniat menghindari trik murahan, tapi saat musik berisik buatan
Joseph S. Djafar (Suster Keramas, Kain
Kafan Hitam, Orang Kaya Baru) tak henti membombardir telinga, niat mulia
tersebut terasa semu.
Seiring waktu, serangan trio hantu
semakin berbahaya, bahkan sempat membuat Reva berada di kondisi kritis akibat luka
tusukan Gemet Aresan. Pendarahannya cukup untuk membuat kolam darah mini, tapi
anehnya, jangankan luka, baju Reva sama sekali tidak sobek. Film ini melupakan
logika itu, tetapi membuat Angel Karamoy menanggalkan pakaian di beberapa momen
tanpa substansi.
Selama di rumah sakit jiwa, Reva
sempat dikunjungi sahabatnya, Devi (diperankan Pamela Bowie selaku penampil terbaik
film ini), yang lewat dua kunjungannya membuat saya mempertanyakan SOP karyawan
di sana. Pada kunjungan pertama, Devi diusir karena membuat Reva menangis, tapi
di kunjungan berikutnya, saat paranormal yang ia bawa terlempar hingga
memecahkan pintu kaca, semua orang berdiam diri.
Singkat cerita, Devi akhirnya nekat
berencana membawa sahabatnya (Atau kekasih rahasia? Kadang film ini seperti
berusaha malu-malu menyiratkan hubungan lebih di antara keduanya) kabur.
Rencana yang menghasilkan adegan paling intens di Reva: Guna Guna. Tidak perlu hantu. Cukup keberhasilan Jose
bermain-main dengan kecemasan penonton, di mana ia bergantung pada atmosfer
natural tanpa distraksi musik.
Namun begitu adegan tersebut
berhasil menjadikan filmnya terlihat meyakinkan, Reva: Guna Guna kembali terjerumus dalam kebodohan seperti biasa.
Sungguh bodoh ketika para petugas rumah sakit jiwa, termasuk Nixon yang
digambarkan begitu teliti, tidak mencari keberadaan pasien yang hilang memakai
CCTV, memilih repot-repot mengitari seisi gedung di tengah malam. Tapi hal
terbodoh datang saat sang pembunuh mengungkap identitasnya lewat adegan konyol,
dilengkapi kalimat tak kalah konyol, yang menunjukkan betapa penulisnya bingung
bagaimana mesti menutup filmnya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Mas Rasyid,
Penampil terbaik dalam film ini bukan'nya Marcelino Lefrandt yak? Jutek banget anjeer, bikin kesel, wkwkkwkwk..
Marcellino paling bagus kalau filmnya over-the-top juga, ala-ala b-movie gitu. Tapi karena filmnya "serius" jadi berasa out of place. Tapi ya berhasil di taraf bikin sebel.
Mas Rasyid numpang nanya dong, emang bener film Us jadwal tayangnya di Indonesia di undur jadi 20 Maret
Iya, tayang 20 Maret. Mungkin biar nggak bentrok sama Misteri Dilaila yang target pasarnya mirip
Posting Komentar