REVA: GUNA GUNA (2019)

4 komentar
Anda tahu dunia horor tanah air sedang mengalami krisis jika film macam Reva: Guna Guna tak sampai membuat anda kejang-kejang. Sebab, tentu saja Jose Purnomo (Jelangkung, Alas Pati, Silam) punya selera visual lebih baik, pula lebih bertalenta dibanding orang-orang di belakang Kain Kafan Hitam atau 11:11: Apa yang Kau Lihat?. Dinilai dari sampul luar, film ini memang produk layar lebar layak putar.

Turut mengambil peran sinematografer seperti biasa, setidaknya Jose tak memberi kesempatan gambar dengan resolusi tiarap dan/atau luput dari proses color grading muncul di hasil akhir filmnya. Sering tampak glitch yang mengindikasikan proses pasca-produksi yang terburu-buru (mungkin DCP baru selesai di saat-saat akhir?), tapi itu bukan kekeliruan sang sutradara. Tiga hantu antagonis (Gemet Aresan, Jurig Jarian, Emak Bongkok) pun wajahnya dibalut riasan memadahi. Tingkat kengeriannya bisa didebat, namun Kiki Aston (Silam, Kuntilanak) dan Dicky Etto (Jaga Pocong, Anak Hoki) jelas tak asal meniupkan bedak ke wajah pemain.

Reva: Guna-Guna memang takkan melukai mata penonton. TAPI, jika diskusi diteruskan menuju pertanyaan “Apakah filmnya melukai otak?”, jawabannya masih “Ya”. Bahkan sejak adegan pembuka yang memperlihatkan Reva (Angel Karamoy) tengah berada di sel tahanan tanpa toilet, seolah memperlihatkan kerja setengah hati tim penata artistik. Pantas Reva nampak begitu tertekan, karena untuk kencing selepas diteror hantu saja ia dipersulit.

Reva merupakan terdakwa pembunuhan atas seluruh anggota keluarganya, kecuali sang ayah, (Ferry Salim). Reva menolak tuduhan tersebut, kukuh pada jawaban bahwa pelakunya adalah tiga setan yang selalu menebar teror selepas ulang tahunnya yang ke-21. Karena psikolognya, Dr. Karina (Wulan Guritno), menyatakan Reva mengidap manik depresif (membahas ketepatan pemakaian istilah medis di film macam ini rasanya percuma), ia pun dikirim ke rumah sakit jiwa.

Keputusan tersebut dijatuhkan pasca proses persidangan ala kadarnya, di mana pengacara Reva menyebut bahwa tak ditemukannya senjata sebagai ketiadaan “motif” alih-alih “barang bukti”. Ya. Motif. Jadi kalau pelaku pembunuhan diajukan pertanyaan, “Apa motif kamu membunuh mereka?”, dia akan menjawab, “Pisau, pak polisi”.

Reva akhirnya tiba di rumah sakit jiwa yang dikepalai Nixon, yang diperankan Marcelino Lefrandt dalam gaya akting over-the-top yang dapat menggiring film ini ke arah psychological b-horror seru, namun naskah garapan Aviv Elham (Suster Ngesot The Movie, Arwah Tumbal Nyai, Alas Pati) memilih bertahan di ranah kisah supernatural medioker dengan plot berupa lompatan antara penampakan hantu, yang jauh dari mengerikan, bahkan tak mengadung jump scare mengejutkan. Mungkin Jose berniat menghindari trik murahan, tapi saat musik berisik buatan Joseph S. Djafar (Suster Keramas, Kain Kafan Hitam, Orang Kaya Baru) tak henti membombardir telinga, niat mulia tersebut terasa semu.

Seiring waktu, serangan trio hantu semakin berbahaya, bahkan sempat membuat Reva berada di kondisi kritis akibat luka tusukan Gemet Aresan. Pendarahannya cukup untuk membuat kolam darah mini, tapi anehnya, jangankan luka, baju Reva sama sekali tidak sobek. Film ini melupakan logika itu, tetapi membuat Angel Karamoy menanggalkan pakaian di beberapa momen tanpa substansi.

Selama di rumah sakit jiwa, Reva sempat dikunjungi sahabatnya, Devi (diperankan Pamela Bowie selaku penampil terbaik film ini), yang lewat dua kunjungannya membuat saya mempertanyakan SOP karyawan di sana. Pada kunjungan pertama, Devi diusir karena membuat Reva menangis, tapi di kunjungan berikutnya, saat paranormal yang ia bawa terlempar hingga memecahkan pintu kaca, semua orang berdiam diri.

Singkat cerita, Devi akhirnya nekat berencana membawa sahabatnya (Atau kekasih rahasia? Kadang film ini seperti berusaha malu-malu menyiratkan hubungan lebih di antara keduanya) kabur. Rencana yang menghasilkan adegan paling intens di Reva: Guna Guna. Tidak perlu hantu. Cukup keberhasilan Jose bermain-main dengan kecemasan penonton, di mana ia bergantung pada atmosfer natural tanpa distraksi musik.

Namun begitu adegan tersebut berhasil menjadikan filmnya terlihat meyakinkan, Reva: Guna Guna kembali terjerumus dalam kebodohan seperti biasa. Sungguh bodoh ketika para petugas rumah sakit jiwa, termasuk Nixon yang digambarkan begitu teliti, tidak mencari keberadaan pasien yang hilang memakai CCTV, memilih repot-repot mengitari seisi gedung di tengah malam. Tapi hal terbodoh datang saat sang pembunuh mengungkap identitasnya lewat adegan konyol, dilengkapi kalimat tak kalah konyol, yang menunjukkan betapa penulisnya bingung bagaimana mesti menutup filmnya.

4 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Mas Rasyid,

Penampil terbaik dalam film ini bukan'nya Marcelino Lefrandt yak? Jutek banget anjeer, bikin kesel, wkwkkwkwk..

Rasyidharry mengatakan...

Marcellino paling bagus kalau filmnya over-the-top juga, ala-ala b-movie gitu. Tapi karena filmnya "serius" jadi berasa out of place. Tapi ya berhasil di taraf bikin sebel.

Anna B mengatakan...

Mas Rasyid numpang nanya dong, emang bener film Us jadwal tayangnya di Indonesia di undur jadi 20 Maret

Rasyidharry mengatakan...

Iya, tayang 20 Maret. Mungkin biar nggak bentrok sama Misteri Dilaila yang target pasarnya mirip