AMBU (2019)

3 komentar
“Pergunakan air mata karaktermu dengan bijak, atau dampaknya akan lenyap”. Ambu rupanya tidak memegang prinsip tersebut. Begitu menyukai air mata, debut penyutradaraan Farid Dermawan ini terus menumpahkannya, khususnya di pipi Fatma (Laudya Cynthia Bella) yang matanya sembab hampir di segala situasi. Bukan itu caranya merebut simpati penonton.

Fatma tidak hanya mesin air mata, juga individu yang memanfaatkan penyakit kronis sebagai alasan bertindak otoriter. Oh ya, dia sakit. Apalagi kalau bukan kanker. Tapi dia menolak memberi tahu siapa pun, termasuk puterinya, Nona (Lutesha) mengenai vonis dokter bahwa usianya takkan lama. Mengapa? Entah, filmnya urung menjabarkan secara gamblang. Saya berasumsi, Fatma khawatir Nona bakal menolak rencananya. Sebuah rencana yang bakal mengubah arah hidup Nona, namun sang pemilik hidup tak pernah ia ajak berbagi opini.

Nona sendiri membenci sang ibu, lalu menjadikan clubbing tiap malam sebagai pelarian. Apa alasan kebencian Nona? Sederhana. Orang tuanya bercerai, dan naskah karya Titien Wattimena (Salawaku, Aruna & Lidahnya, Dilan 1991) mengikuti stigma bahwa sikap anak korban perceraian selalu begitu.

Rencana Fatma adalah menjual seluruh harta bendanya, kemudian membawa Nona ke Baduy untuk tinggal bersama neneknya, Ambu Misnah (Widyawati). Sudah 16 tahun Fatma tak berjumpa Ambu, dan melihat keengganan sang ibu menerima kepulangannya dengan tangan terbuka, bisa ditebak keduanya berpisah akibat konflik besar. Meski dihadapkan pada sikap ketus Ambu, Fatma tetap kukuh menyimpan rahasia. Padahal kejujurannya bisa meredam beberapa konflik, sekaligus memberi lebih banyak quality time sebagai keluarga. Apalagi, akhirnya perubahan sikap Ambu terjadi pasca ia mengetahui penyakit Fatma.

Seperti kita tahu, Baduy amat menghormati alam. Mereka menolak pemakaian listrik atau berbagai bentuk teknologi modern lain karena enggan merusak alam. Berpijak pada kepercayaan itu, Ambu turut menghadirkan cerita tentang proses Nona—si bocah metropolitan dengan segala pernak-pernik artificial—menemukan, kemudian mencintai alam (disimbolkan lampu kunang-kunang miliknya).

Cerita di atas sejatinya bermakna, mengingat pentingnya manusia untuk menghargai alam. Tapi egoisme (terselubung) Fatma turut diperkuat olehnya. Mendorong orang kota tiba-tiba harus hidup tanpa teknologi di daerah pelosok sama buruknya dengan memaksakan modernisasi kepada rakyat Baduy. Penekanannya ada di kata “tiba-tiba”. Elemen problematik bukan pada adaptasi yang mesti Nona jalani, melainkan fakta bahwa Fatma, tanpa alasan jelas, menolak mendiskusikannya dahulu.

Saya sungguh menyukai penggambaran Baduy dalam Ambu. Kita diajak mempelajari berbagai kultur, sembari menikmati nuansa damai serta keindahan alam di sana, yang ditangkap sempurna oleh sinematografi garapan Yudi Datau (Arisan!, Supernova, Critical Eleven), yang cerdik bermain warna dan cahaya. Terik cahaya matahari kekuningan memancar di sela-sela tembok bambu, sementara langit malam terbentanng dengan warna kebiruan. Walaupun lemah di departemen naskah, aspek teknis Ambu tidak main-main.

Pun walau banyaknya tumpahan air mata menandakan minimnya kesubtilan, sutradara Farid Dermawan masih meluangkan beberapa momen guna memakai penceritaan visual demi menyalurkan emosi. Favorit saya adalah tatkala kamera ditempatkan di atas, memperlihatkan ketiga generasi wanita tengah meresapi emosi masing-masing dalam tiga ruang terpisah di rumah Ambu. Shot tersebut memberi sentuhan apik perihal pemanfaatan dekorasi latar.

Selain kisah soal dua hubungan ibu-anak, Ambu mempunyai subplot romansa yang terjalin antara Nona dengan pria lokal bernama Jaya (Andri Mashadi), yang setia menemani hari-hari penuh kepenatan di Baduy. Tidak dipaparkan secara luar biasa, namun suasana manis nan ringan miliknya, cukup menambahkan warna pada tearjerker satu ini. Tapi penyelamat terbesar berasal dari penampilan Widyawati sebagai ibu tangguh berhati kokoh yang enggan dikalahkan melankoli.

Saat akhirnya tangis Ambu tumpah, hati saya pun bergetar. Ini yang saya maksud dalam kalimat pembuka di atas. Air mata Ambu memberi dampak hebat justru karena jarang ditampilkan. Hal sama berlaku untuk Hapsa (kembalinya Endhita setelah tujuh tahun), sahabat lama Fatma yang selalu ceria. Dan tengok bagaimana Widyawati menangani momen tersebut. Berbeda dengan Fatma, tangis Ambu tak memancarkan kelemahan, melainkan luapan perasaan campur aduk seorang ibu (termasuk cinta luar biasa besar kepada puterinya) yang tertahan selama belasan tahun. Sang aktris senior baru saja menyelamatkan filmnya.

3 komentar :

Comment Page:
Mahendrata Iragan Kusumawijaya mengatakan...

Bercerita tentang girl power ga sih bang?

Rasyidharry mengatakan...

Niatnya gitu, tapi hancur semua karena air mata.

yando mengatakan...

Widyawati played so good in here, and yet she did not got any nominees at all at the FFI. What a laugh !