POKÉMON: DETECTIVE PIKACHU (2019)

15 komentar
Pokémon: Detective Pikachu adalah sepenuhnya fan service. Artinya, jika bukan penggemar, mungkin karya penyutradaraan Rob Letterman (Shark Tale, Monsters vs. Aliens, Goosebumps) ini bakal terasa membosankan. Tapi jika seperti saya, yang menghabiskan masa kecil mengoleksi VCD asli seharga lima belas ribu rupiah, terkejut menyaksikan evolusi Magikarp menjadi Gyarados atau saat Psyduck pertama kali pamer kekuatan, setidaknya anda bakal terhibur, bernostalgia, sambil tetap menyadari setumpuk kekurangannnya.

Diadaptasi dari gim Nintendo 3DS berjudul sama, Pokémon: Detective Pikachu berkisah tentang pemuda bernama Tim Goodman (Justice Smith), mantan pelatih pokémon yang kini hidup sendirian menjalani pekerjaan membosankan. Sampai ia mendengar kabar kematian sang ayah, Harry Goodman, akibat kecelakaan kala bertugas (dia berprofesi sebagai polisi). Hubungan keduanya sendiri renggang setelah Tim menolak tinggal bersama Harry pasca sang ibu meninggal ketika usianya baru 11 tahun.

Begitu tiba di apartemen Harry, Tim justru bertemu Pikachu (Ryan Reynolds), yang anehnnya, bisa ia pahami perkataannya. Pikachu tersebut rupanya merupakan partner Harry. Dia percaya sang detektif masih hidup, dan meminta Tim membantu investigasinya, yang melibatkan berbagai misteri, termasuk serangan pokémon terkuat ciptaan manusia, Mewtwo.

Filmnya berlatar di Ryme City, sebuah metropolitan di mana manusia dan pokémon hidup harmonis dan setara, berkat Howard Clifford (Bill Nighy) sang pebisnis visioner, yang memenuhi segala deskripsi sebagai “korporat jenius yang menyimpan rencana jahat”. Penokohan Howard, juga kisah mengenai “ayah yang kurang akrab namun sejatinya mencintai sang anak”, menunjukkan bahwa Pokémon: Detective Pikachu dibangun atas pondasi klise. Tapi di antaranya, terselip banyak kelokan yang sanggup menggiring plotnya agar terus berjalan sekaligus membuat penonton meragukan tebakan mereka.

Sayang, elemen misterinya semakin kusut seiring waktu berjalan, dikarenakan para penulis naskahnya cuma kompeten melontarkan pertanyaan, namun tidak demikian kala harus mengeksplorasi kemudian menjawabnya secara rapi. Akhirnya, Pokémon: Detective Pikachu gagal menjadi noir yang mengesankan, tapi bukankah hal itu bisa diduga? Diniati sebagai pembuka franchise, intensi utama film ini tentu menggaet kepercayaan penggemar. Caranya? Apalagi kalau bukan fan service.

Keputusan untuk tak banyak mengubah desain pokémon, dengan hanya menambahkan detail realis secukupnya (bulu Pikachu, sisik Charizard, dll.), jadi kemenangan terbesar film ini, biarpun di beberapa kesempatan, inkonsistensi CGI cukup kentara. Saya terlempar menuju nostalgia begitu satu per satu wujud familiar memasuki layar, dari Lickitung si lidah panjang, kebuasan Gyarados dan Charizard, Bulbasaur yang menggemaskan, sampai Mr. Mime yang menghadirkan humor paling lucu dan kreatif sepanjang film. Bicara soal komedi, walau agak sulit membiasakan diri mendengar suara Reynolds dari tubuh Pikachu, sang aktor seperti biasa piawai menangani momen komedik, sedangkan Justice Smith sebagai Tim si remaja canggung sukses membangun chemistry solid dengan tokoh-tokoh CGI.

Para penggemar pun pasti sadar bahwa Lucy Stevens (Kathryn Newton) si reporter magang sekaligus pemilik Psyduck yang membantu investigasi Tim dan Pikachu, mengambil inspirasi dari karakter Misty. Referensi-referensi kecil semacam itu memberi hiburan tersendiri, walau kepuasan terbesar berasal saat lagu tema Pokémon terdengar, yang akan membuatmu tergoda ikut bernyanyi bahkan selepas film usai. Penyutradaraan Rob Letterman mungkin belum sepenuhnya memenuhi potensi dalam merangkum pertarungan gila nan imajinatif antara beragam jenis pokémon, tapi selaku pembuka franchise, Pokémon: Detective Pikachu telah bekerja cukup baik.

15 komentar :

Comment Page:
SALEMBAY mengatakan...

pikachu emang terlihat bagus dan mirip btw kalau buat sonic sama ginnie di film aladdin pendapatnya gimana nih bang. ..?

Anna B mengatakan...

Nonton film ini cuman ngarep bisa liat pokemonnya doang, ga berharap hal lain, dan akhirnya puas ngeliat pokemon-pokemon dihidupkan sekeren mungkin di film ini, walau berharap selain mewtwo bakal ada legendary pokemon lain kayak ho-oh atau palkia (kalo ada sequel kayaknya bakal muncul dah). Keren reviewnya seperti biasa

Satria wibawa mengatakan...

(Maybe)Spoiler


Adegan "ditto" creepy menurut saya
Dan rencana penggabungan manusia dengan pokemon?
Wtf 😐

Rasyidharry mengatakan...

Sonic sama sih sama kebanyakan orang, terganggu sama desain mata (yang untungnya bakal dibenerin). Sisanya oke. Seneng lihat Carrey ngelawak lagi. Kalau Aladdin, well, pasrah 😂

Rasyidharry mengatakan...

Ooh jelas, pokemon legendaris disimpen buat sekuelnya. We're on our way into big and crazy world here :)

Rasyidharry mengatakan...

Lho, dari anime juga buat saya Ditto udah creepy kok 😂
Penggabungan manusia dan Pokemon nggak seaneh itu sebenernya. Nggak inget Digimon? :)

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

mas bro sudah nonton upin ipin kah?
kata pak dokter bagus itu

Ilham Ramadhan mengatakan...

puas lihat pokemon2nya. seakan mewakili impian dari kecil dulu saat bermain pokemon Red di Gameboy Color.

Gary Lucass mengatakan...

Bang rasyid mau nanya itu kalo budget produksi udah termasuk gaji smua pemainnya ato beda lagi, apakah budget yg dicantumkan itu cuma untuk visual effect kostum dll teknis lainnya

Netizen Baik Hati mengatakan...

Wah, saya mau nonton masih ragu2. Saya malah lebih tertarik ke bioskop buat nonton Sonic karena ada om Jim Carey. Udah lama gak liat slaptik2 konyol jim carey.

Rasyidharry mengatakan...

Kagak tertarik. Biar dia sama anak-anaknya yang nonton 😂

Rasyidharry mengatakan...

Sudah termasuk semua kecuali biaya marketing, yang biasanya sekitar 70-100% biaya produksi. Makanya hitungan gampangnya, film dianggap balik modal kalau dapat 2x biaya produksi.

Rasyidharry mengatakan...

Kalau demen Pokemon dari kecil, kemungkinan bakal puas kok. Give it a try

Gary Lucass mengatakan...

Berarti film se ansamble avenger sejenis kbanyakan budget abis buat di pemainnya ya soalnya dulu gua kira cuma buat efek dll, baru baca kasusnya johnny depp yang dari pirates 3 sampe 5 gajinya sampe kisaran 50-70 million yang notabene gaji dia sendiri bisa bikin satu film kaya hellboy sama kasusnya kaya RDJ, bisa sampe overprice gitu ya bang

Rasyidharry mengatakan...

Nah 2 orang itu memang pasang perjanjian dapet fee dari persenan profit. Kalau RDJ nggak overpriced sih, karena dengan adanya dia otomatis profit juga naik. RDJ gaji buat Endgame cuma 10 juta, nah tambah 2,5% profit itu bisa jadi 85 juta bahkan lebih. Kalau di Indonesia baru Reza Rahadian yang bisa pasang deal gitu