KUTUK (2019)

35 komentar
Pepatah “Pengalaman adalah guru yang terbaik” memang benar. Menjalani debut sebagai produser sekaligus penulis naskah, Shandy Aulia memanfaatkan pengalamannya bermain di setumpuk horor buruk, menerapkan segala kelemahan yang ia temui untuk membuat Kutuk semakin busuk. Sambutlah “The Greatest Hits of Shandy Aulia’s Terrible, Horrible, No Good, Very Bad Horror Movie”.

Shandy memerankan Maya, gadis muda yang baru bekerja di sebuah panti jompo yang cuma punya satu pegawai, yakni Gendhis (Vitta Mariana) si perawat judes. Sikap tak menyenangkan Gendhis bukan saja ditujukan pada Maya, pulaElena (Alice Norin) si pemilik panti yang ramah. Nantinya anda akan tahu, kejudesan Gendhis—yang mengingatkan akan kegalakan palsu para senior saat ospek—disertakan oleh naskahnya hanya untuk menambah daya kejut twist terkutuk yang menanti di belakang.

Maya sendiri merupakan karakter yang berjalan di garis tipis pemisah “keberanian” dan “kebodohan”. Belum seberapa lama ia menginjakkan kaki di panti, ia sudah melihat hantu dan mendengar suara-suara aneh. Bahkan selepas mulai bekerja, setiap hari, apa pun yang Maya kerjakan selalu membawanya menuju peristiwa mengerikan. Keputusan Maya untuk terus bertahan bukan membuktikan ia punya nyali atau memedulikan para lansia, melainkan bahwa otak Maya ternyata juga maya.

Menulis naskahnya bersama Fajar Umbara (Sabrina, Mata Batin 2, Ikut Aku ke Neraka), Shandy menerapkan ilmu yang sepanjang karirnya ia pelajari, yaitu “PLOT FILM HOROR HARUS DIKESAMPINGKAN, DISIMPAN SAMPAI BABAK KETIGA DI MANA SEMUA RAHASIA MENDADAK DIUNGKAP LEWAT SATU SEKUEN KALA KARAKTER UTAMANYA MENDAPAT PENGLIHATAN”. Di sini Shandy dan Fajar bukan membuat “plot twist”, melainkan “twist plot”, yaitu kondisi tatkala plot sebuah film dihimpatkan dalam satu twist.

Jadi, di samping pengalaman supernatural Maya, apa yang film terkutuk ini tawarkan selama 82 menit durasinya? Adakah misteri? Atau gejolak drama? Jawabannya adalah “OBROLAN”, saudara-saudara. Kutuk senang sekali menampilkan karakternya menyesap secangkir teh sembari melontarkan dialog membosankan yang dihantarkan oleh para pemainnya tanpa nyawa.

Shandy yang malang. Dia nampak begitu lelah memproduksi sambil menggarap naskah film ini, ia terlihat tak punya sisa tenaga untuk berakting, sehingga menyampaikan baris demi baris kalimat secara datar. Tidak heran. Pasti dia (bersama Bung Fajar tentunya) harus memeras otak, bekerja ekstra, supaya bisa mencetuskan ide penciptaan kalimat menggelikan seperti, “Dari awal kamu memang sudah sentimen sama saya” atau “Kamu pasti udah kena nyinyirnya Gendhis ya?”. Nganu....kenapa gaya bicara karakter yang biasanya formal mendadak berubah ya Mbak Shandy, Mas Fajar? Dan berlatar tahun berapa sebenarnya film ini?

Pun tidak mengejutkan saat nyaris mustahil menemukan teror mengerikan di sini, meski sutradara Rudi Aryanto (Surat Cinta untuk Starla the Movie,The Way I Love You) telah berbaik hati tidak berusaha menghancurkan gendang telinga kita, dengan mengatur volume musik secukupnya, terlebih di menit-menit awal tatkala keheningan kerap dipakai. Setidaknya, Rudi berhasil menyelipkan satu jump scare cerdik nan mengejutkan (clue: melibatkan cermin) berkat pilihan timing sempurna.

Bersenjatakan peristiwa berdarah, klimaksnya menyimpan potensi, walau sayang, berakhir problematik. Rupanya, si hantu hanya coba memberitahukan sesuatu kepada Maya. Di horor kebanyakan, hal itu tak bisa seketika dilakukan karena butuh diadakan ritual dan/atau menyediakan perantara. Tapi Kutuk tidak memerlukan itu. Jadi kenapa baru terjadi jelang akhir? Kenapa pula Maya yang terus diganggu bila ternyata si hantu bukan menargetkan nyawanya? Sungguh produk terkutuk.

35 komentar :

Comment Page:
Alvan Muqorrobin Assegaf mengatakan...

Saya bingung sama movie makernyam gl sayang apa uangx bwt produksi film busuk. Hmmmm

VXVX mengatakan...

Masih aman? Belum ada crew nyasar?

Unknown mengatakan...

Padahal awal² karier Shandy memerankan karakter bagus, walaupun karakter di film hurur sekalipun..

iiosomnia mengatakan...

segera menuju cinecrib dengerin bacotan arya ama razak

Eldwin Muhammad mengatakan...

sekalian review uka-uka the movie :)

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Sofyan buchori mengatakan...

Mas rasyid maaf nih saya mau nanya sesuatu yang ga ada hubungannya dengan review ini. Bagaimana pendapat jujur mas tentang "semesta bumi langit" yang bakal dimulai dari gundala? Apa mas punya ekspetasi sendiri atau malah ga ada?

Rasyidharry mengatakan...

Ya nggak sayang selama masih rame ditonton. Lagian MD modelnya gali lubang tutup lubang. Mereka bikin felem murah yang asal jadi, profitnya buat bikin big budget yang digarap beneran

Rasyidharry mengatakan...

Takut diajakin ngopi kayaknya :(

Rasyidharry mengatakan...

Jelas ekspektasi tinggi. Buat buka jalan genre superhero ke industri kita. Saya sih yakin mayoritas pembuatnya siap berdarah-darah, tinggal penonton siap diajak merangkak bersusah-susah dulu nggak? 😊

Sofyan buchori mengatakan...

Apakah mas punya seperti personal "do's / don't's" buat semesta itu? Kayak "harapanya kayak gini/ jangan kayak gitu"? Soalnya kan "shared universe" kan pakem barat sana.

Rasyidharry mengatakan...

Shared universe juga dikenal di komik kita lho. Godam & Gundala misal, emang ketemu juga di komik. Dos & Don'ts ya sesederhana do like MCU, don't do like the early DCEU. Harus fokus per-film & karakter dulu tanpa lupa teasing for future installment. Dan harus ada 1 mastermind yang kontrol tapi tetep kasih sutradara ruang eksplorasi. Orang itu harus fans komik tapi juga paham film. Sisanya bebas. Pokoknya cuma mau nunggu & excited sama Bumi Langit & Jagad Satria.

Sofyan buchori mengatakan...

Jadi intinya "bikin film bagus dulu, universe belakangan. nanti penonton akan datang dengan sendirinya" ya?

Alasan saya nanya kayak gini karena jujur, no one see this coming, mas. Saya rasa penonton indonesia ga muluk-muluk, punya 1 film superhero modern bagus aja bakal seru. Then this announced, ya masyarakat (terutama yang melek film barat) kaget. Karena (amit2 jabang bayi) universe terakhir yang pd banget ngumumin universe-nya even before the 1st film released was... dark universe (yang dimulai dari tom cruise mummy itu lho).

bukanya saya menolak keberadaan jagat bumi langit, tapi saya rasa terlalu dini/cepat ngumumin hal sebesar ini, sebelum film pertamanya bahkan rilis.

Tl;dr apakah menurut mas saya terlalu paranoid tentang ini? Atau saya tetep pasang radar siaga? (Waduh jadi panjang lebar banget ini ya? Terima kasih banyak buat mas rasyid buat ngejawab comment2 saya 😊).

feri alfredo mengatakan...

ikut nimbrung ya...
secara gundala ini digarap joko anwar, setelah itu Timo Tjahjanto dgn si buta dari gua hantu, perlu dinanti dan penasaran universe ini mau di bawa kemana,
jangan kayak film valentine, saya mending nonton madame X -_-"

Albert mengatakan...

Kalau Jagat Satria Dewa yang dimulai dari Gatotkaca gimana bang? Apa menjanjikan juga?

Crooked Face mengatakan...

Ga usah lebay, tunggu aja filmnya. Kalo bagus, ya syukur. Kalo jelek, ya sudah.

Rasyidharry mengatakan...

Nggak terlalu cepat kok diumumin. Marvel sendiri kan itungannya ngumumin itu sebelum film pertamanya laku (lewat post credits scene Iron Man). Paling penting itu ada rencana jelas. Beda sama Dark Universe, kalau superhero comic itu memang dari sananya udah ada materi yang cukup buat dibikin shared universe. Sama juga di Jagad Satria. Lore yang mau diangkat juga memfasilitasi shared universe. Ada kekhawatiran itu wajar. Bohong kalau saya bilang sama sekali nggak khawatir, termasuk ke Gundala. Terpenting buat penonton ya selalu support

Anonim mengatakan...

Emang lo bisa buat film?
Susah2 buat film, orang2 pada liat review lo jadi gamau nonton film yg lo rating kecil.

Review doang, bikin aja gabisa

Alvan Muqorrobin Assegaf mengatakan...

@feri alfredo iya, Valentine terlalu maksa biar berasa hollywood, (kesannya memandang culture indonesia itu kampungan dan norak, n lebih keren cultur luar negeri) dari mulai art design hingga dialognya sangat barat sekali. Kayak gak bangga gitu kalau dibuat lebih indonesia. Setuju mending madame x, dan film 3 Alif Lam Mim. meski CGI masih belum sempurnah, tapi terasa revolusioner sekaligus futuristik dan bikin indonesia keliatan keren. ceritanya bagus dan mengangkat isu sosial di negeri kita.

GE 99 mengatakan...

@Anonim: ya bagus kalo orang ga ada yg nonton filmnya biar produser film2 sampah pada bangkrut, biar perfilman indonesia maju... film macam kutuk kan cuma mencemarkan nama indonesia di mata dunia... gareth evans udah cape2 bikin the raid, joko anwar udah cape2 bikin pengabdi setan, reputasi indonesia mulai diperhitungkan, eh ini si kampret bikin film horor ga jelas, bikin rusak citra indonesia...

Eldwin Muhammad mengatakan...

HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA 😂😂😂😂😂😂😂😂

Rasyidharry mengatakan...

Nah kalo ini saya yakin pembaca/anak felem yang nge-troll. Ayo ngaku siapa 😂

Anonim mengatakan...

Gue sebagai seorang MOVIE ENTHUSIAST sangat mendukung dan berekspektasi tinggi terhadap Jagat Bumi Langit.
Asalkan diarahkan oleh sutradara yang kompeten dan dukungan dari fans/penonton, saya yakin Jagat Bumi Langit bisa berkembang lebih jauh lagi.
Bos besar MCU, Kevin Feigi berkata "MCU tdk akan sebesar dan sepopuler sekarang kalau bukan karena dukungan Fans".

Anonim mengatakan...

Kalo menurut gue intinya cuma penulisan script yang bagus dan komitmen pada plan, udah itu aja.

DCEU ancur bukan karena terlalu terburu-buru membuat ensmble, bukan, tapi simply karena script mereka ancur.

Mau langsung menampilkan ratusan superhero di film pertama pun ga masalah kalo script bagus. Contoh The Incredibles, tanpa perlu film solo origin Mr.Incredible, Elastigirl, dan Frozone, kita langsung disuguhkan pada dunia penuh superhero tanpa penjelasan awal mula dan it works! Berkat script yg oke.

Sama halnya juga film-film animasi Justice League, tanpa perlu penjelasan asal mula tiap karakternya satu per satu tapi it works. Dan emang Justice League itu kan semacam federasi superhero Amerika yang anggotanya lebih dari ratusan tersebar di seluruh Amerika, ga mungkin tiap anggota dijelaskan satu per satu originnya. Treatment untuk Justice League beda dengan Avengers. Kalo Avengers dimulai dengan kisah perekrutan para anggota. Justice League harusnya dimulai dengan pengenalan pada sebuah dunia penuh superhero layaknya dunia the Incredibles dan bagaimana sebuah federasi superhero bernama Justice League melakukan pekerjaannya dalam kehidupan sehari-hari. Ga butuh kisah tentang bagaimana anggota JL direkrut satu per satu. No, JL bukan soal itu.

Nah, kembali ke BCU, ya dia harus treatment yg paling sesuai universe mereka. Mau itu origin satu per satu lalu ensemble, atau ensemble di awal-awal. No problem. Ga perlu ngikutin pola MCU. Yang penting script harus bagus, punya plan jangka panjang, dan komitmen pada plan itu.

Rasyidharry mengatakan...

Kenapa jangan ensemble dulu di awal? Bukan cuma urusan bagus/jelek tapi impact secara emosi di penonton. Ini udah masuk ke perspektif bisnis juga. Saya berani taruhan, sebagus apa pun Avengers pertama, kalau film itu dulu yang dilepas, pasti flop. Karena penonton nggak kenal, nggak peduli. Dan nggak harus semua dapet film dulu. Macem Avengers, Black Widow & Hawkeye kan nggak. Baru sekarang setelah punya popularitas.

Anonim mengatakan...

kalo masalah impact secara emosi, pasti terjadi di film-film selanjutnya, bukan di film awal, mau awalnya origin solo dulu atau awalnya ensemble dulu pasti sama aja impact-nya ya nanti di film-film selanjutnya yg jadi puncak cerita. Ketika film awal langsung ensemble, emang niatnya bukan untuk bikin impact emosi, tapi untuk mengenalkan karakter dan dunianya. Misal GOTG, dari awal kan langsung ensemble. Impact emosinya ketika GOTG ketemu tim lain (Avengers).

Kalo misal avengers 1 tanpa solo origin tentu ga cocok, karena kembali ke masalah cocok atau engga sama konsep cerita yg mau disajikan. Avengers ini kan awalnya semacam special force yang dibangun dari mengumpulkan segelintir orang terbaik untuk menghadapi misi khusus. Jadi emang harus diexplore latar belakang orang2 terbaik ini di film sebelumnya.

Sementara tim lain, belum tentu punya konsep cerita yang serupa. Misal Justice League, dari root komik dan animasinya, JL ini seharusnya dibawa lebih mirip Incredibles dan Watchmen, langsung diperkenalkan pada dunia penuh superhero di mana manusia berdampingan dengan superhero sejak dulu kala (tak perlu dijelaskan awal mulanya), dan JL sebagai asosiasi superhero menjadi organisasi resmi yang menampung para superhero ini. Jadi bukan soal "mengumpulkan segelintir orang terbaik". Beda konsep.

Sementara di DCEU, JL ini malah dibawa ke pola special force ala Avengers yg mana ga sesuai sama root JL dan juga YA membutuhkan origin solo. Makanya fail.

Nah para Patriot ini root ceritanya kaya apa? Konsepnya mau kaya apa? Harus menyesuaikan.

Eko Pramudya mengatakan...

Yup... di DCEU, JL ini kan polanya mau dibikin serupa kaya Avengers (special forces), tapi tanpa solo origin, makanya ga berhasil. Jadi intinya emang kalau mau bikin pola "special forces" macam Avengers itu memang butuh origin solo dulu. Tapi kalau mau bikin film tentang dunia penuh superhero dimana orang-orang normal hidup berdampingan dengan para superhero yg jumlahnya tidak terhitung, macam The Incredibles, ya enggak perlu origin solo.

Anonim mengatakan...

sebenernya mau gimana pun, ga wajib origin solo dulu sih, misal langsung ensemble 1 tim, buat bikin impact emosi kan bisa crossover dengan tim lain, atau dengan karakter2 lain yg belum muncul ketika ensemble awal, yang jelas mau origin solo atau ensemble dulu, namanya impact emosi ga mungkin terjadi di awal, tapi terjadi seiring berjalannya waktu dengan crossover2 di film-film selanjutnya

Reza Aditya Putra mengatakan...

ya intinya kembali ke konsep ceritanya, kalo konsep macam avengers 1 ya lebih maksimal pake solo movies dulu, kalo konsep macam gotg, incredibles, atau watchmen, ga masalah kalo langsung menampilkan banyak karakter justru lebih tepat kaya gitu sesuai konsepnya

Anonim mengatakan...

Yes, and the point is: ga semua shared universe harus niru konsep Avengers 1. Bikin variasi lah, jangan gitu-gitu aja polanya, supaya ga Deja Vu.

Anonim mengatakan...

dan setau gue juga, di film Gundala ini Joko Anwar bakal langsung tease banyak hero, tinggal porsinya aja atur-atur supaya pas. Kembali ke script dan konsep cerita lagi.

Rasyidharry mengatakan...

Kalau treatment kayak Joko itu bener. Teasing, bukan langsung team up. Apakah langsung team up otomatis jelek? Of course not. Tapi risikonya nggak sebanding. Apalagi kalau konteksnya penonton sini. Tiba-tiba nongol Godam pasti nyeletuk "Ih sapa tuh? Ih apaan sih? Nggak jelas!".

Faisal Fais mengatakan...

Bener sih, bosen cuy kalo gitu" aja. Ane sih berharap di film Gundala ini Gundala ga sendirian, minimal ketemu 2 hero terus bikin mini team gitu kaya Revengers di Thor Ragnarok. Abis itu di film selanjutnya, other hero ngebentuk mini team juga. Lalu di film selanjutnya langsung event prahara macam Civil War, abis itu barulah mereka bersatu bikin 1 tim besar macam Avengers.

Ilham Qodri mengatakan...

kalau liat line-up filmnya yg udah diumumin, kayanya emang pake pola yang beda dengan MCU karena langsung ada Godam & Tira, Aquanus muncul tanpa film solo, lalu ada Patriot dan Patriot Taruna, mantap deh :D

Eko Prasetyo mengatakan...

di trailer Gundala juga udah banyak banget hero yang muncul, jelas beda pola sama DC dan Marvel... ga pake pola keping demi keping puzzle yg tersusun, tapi lebih pake pola pohon yg tumbuh... hope so!