REVIEW - PARANOIA

18 komentar

Saya menghabiskan 20 menit menatap layar kosong, bingung harus mulai menulis dari mana. Ada perasaan tidak percaya, bahwa kolaborasi trio Riri Riza, Mira Lesmana, dan Jujur Prananto, yang pernah melahirkan Petualangan Sherina (1999) serta Ada Apa dengan Cinta? (2001), pula keberadaan Nirina Zubir, Lukman Sardi, dan Nicholas Saputra di depan kamera, berujung film seburuk Paranoia. Seburuk-buruknya thriller adalah saat ketegangan digantikan oleh tawa akibat kekonyolan. 

Alurnya mengisahkan tentang Dina (Nirina Zubir), yang setelah berkali-kali pindah guna menghindari kejaran sang suami, Gion (Lukman Sardi), kini akhirnya menetap di Bali bersama puterinya, Laura (Caitlin North-Lewis). Dina kabur akibat tidak tahan lagi dengan perilaku abusive Gion. Biarpun sudah berpisah, pun Gion sekarang tengah mendekam di penjara, Dina tak pernah bisa lepas dari kecemasan. Apalagi ia membawa barang yang amat berharga bagi Gion. 

Pasca Gion dibebaskan karena pandemi, kecemasan itu datang lagi. Dina percaya, di mana pun ia bersembunyi, Gion dapat menemukannya. Alhasil, saat muncul pria tak dikenal bernama Raka (Nicholas Saputra), kepalanya dipenuhi pertanyaan. Apakah Raka cuma kebetulan berada di dekatnya, ataukah ia orang suruhan Gion? 

Ada begitu banyak potensi penceritaan, sebutlah perihal kecurigaan Dina kepada Raka, trauma KDRT yang tak pernah benar-benar lenyap, hingga paralel antara ketakutan protagonis dan ketakutan massa semasa wabah COVID-19 (poin terakhir mungkin memang bukan tujuan filmnya). Semua cocok sebagai pondasi thriller psikologis. Tinggal mana yang mau dijadikan sorotan utama oleh Riri, Mira, dan Jujur selaku penulis naskahnya.

Tapi di antara semua potensi itu, tak satu pun mampu diolah dengan baik. Presentasi sikap paranoid Dina bak pemenuhan kewajiban semata. Bukan bentuk pendalaman cerita, bukan pula elemen penambah ketegangan. Tidak berlebihan menyebut Paranoia sebagai "thriller nihil ketegangan".

Rangkaian peristiwanya cuma numpang lewat. Misal ketika Dina menaruh kecurigaan pada Raka. Diungkapkannya itu ke Laura (karena sang puteri terus mengunjungi Raka), kemudian ia lakukan pencarian via Google, lalu selesai. Penonton tidak dibuat ikut menduga-duga, misalnya lewat tindak-tanduk misterius Raka. Filmnya ingin membuat penonton memedulikan Dina dan Laura, tetapi saya malah berharap ada hal buruk menimpa keduanya, agar minimal terjadi sesuatu yang signifikan. 

Daripada invenstigasi, Paranoia lebih tertarik mengeksploitasi obsesi publik terhadap Nicholas Saputra. Betapa menawan dia, sampai bisa memikat hati ibu dan anak (Laura "mengklarifikasi" bahwa ia melihat figur ayah dalam sosok Raka, tapi saya yakin bukan kesan itu yang penonton dapat). Jumlah adegan flirting lebih banyak dari ketegangannya, hingga di titik terasa bagai fan fiction murahan. 

Implementasi era pandemi, khususnya terkait penggambaran karakternya memakai masker juga menggelikan (kerap tampak seperti iklan layanan masyarakat), namun bagian terkonyol tentu klimaksnya. Aksi perkelahian yang harusnya jadi puncak intensitas malah tersaji luar biasa canggung. Pengarahan, pilihan shot, penyuntingan, semua canggung. 

Kemudian konklusinya.....astaga. Baik naskah maupun penyutradaraan sama-sama bertanggung jawab di sini. Bagaimana mungkin konklusi seburuk ini, sekonyol ini, sebodoh ini, dicetuskan oleh sosok-sosok sehebat Riri Riza, Mira Lesmana, dan Jujur Prananto? Bagaimana mungkin setelah gambar diambil, mereka melihatnya, lalu berkata, "Ya, ini bagus"? Andai Paranoia dibuat oleh Nayato atau Baginda KKD, saya bakal maklum. 

Akibat keterbatasan? Rasanya tidak, dan itu bukan alasan masuk akal, mengingat para pembuatnya pernah membidani Kuldesak (1997), yang dibuat diam-diam dengan segala keterbatasan di bawah represi rezim. Entahlah. Sungguh menyedihkan.

Setidaknya departemen akting memberi hasil positif. Nirina amat kuat, berkat totalitas melakoni momen-momen penguras emosi, sementara Lukman Sardi meyakinkan sebagai suami menjijikkan sekaligus kriminal intimidatif. Caitlin North-Lewis pun menampakkan potensi menjanjikan, selama di masa depan nanti, pilihan film dan perannya tepat. Nicholas Saputra? Tidak buruk, hanya saja, sang aktor tak diberi materi memadai, dan seolah cuma ada untuk memancing teriakan histeris penggemarnya. Saya juga berteriak. Teriakan saat meratapi kualitas Paranoia. 

18 komentar :

Comment Page:
Mukhlis mengatakan...

Whaaaat! Emang sejelek itu ya mas? Sampai KKD DKK di bawa-bawa?
Wah, padahal ada rencana mau nonton barengan sama Eternals kamis besok. Tapiiiii.... Yasudahlah.
Entah kamis besok jadi nonton apa engga, secara kata orang-orang Eternals juga rotent.
Ah, 2film, 2 sutradara yang saya expect tinggi, ternyata sama-sama zonk.
Untuk Eternals nunggu review mas rasyit aja lah kalau gitu.
PINTU SURGA TERAKHIR? noe expect.

Anonim mengatakan...

Gila, paragraf pertama langsung to the point��

Irfan mengatakan...

Film yg dinanti tp kok jadi ragu ya mau nontonya

Aunul Hakim mengatakan...

Setelah liat ulang trailernya baru ngeh, kayak unsur thrillernya just perpaduan musik sama akting pemain aja. Ternyata bener ceritanya mehhh. Jadi makin gak yakin buat nonton ini kamis besok :(( padahal ada modal nama2 besar di belakang layar dan pemain2nya. Semoga mba Anya masih nangkring di bioskop atau Eternals aja dahh kamis ini..

Vian mengatakan...

Langsung terkesiap dan terhenyaque melihat nilainya, mengingat Nicholas Saputra ada di sini

Anonim mengatakan...

Malah bikin penasaran nonton buat liat kebodohan konklusinya.
.����

Anonim mengatakan...

waduhhh...sayang bgt

Cesar mengatakan...

Waduh.. Padahal film ini masuk nominasi FFI kategori film terbaik.

Unknown mengatakan...

Untung baca duluan..

Mansuréssa mengatakan...

Jadi ragu mau nonton, padahal salah satu yg saya tunggu2, tapi mas, jika kualitas nya seburuk itu kenapa bisa masuk 4 nominasi FFI bahkan masuk film terbaik. Sedangkan film Seperti Dendam malah tidak masuk sama sekali?

Rasyidharry mengatakan...

Seperti Dendam bukan nggak masuk nominasi, tapi emang nggak daftar. Baru daftar tahun depan

reza mengatakan...

Mas, 4 nominasi FFI termasuk best picture tak berartikah menurut pandangan mas?hehe

Rasyidharry mengatakan...

Aktris pantes. Suara yaaah nggak jelek lah. Film terbaik & sutradara itu yang bikin koprol

hilpans mengatakan...

Saya nunggu Ladya Cheryl dan ratu Felisha aj degh klo gtu...dibulan Desember

Anonim mengatakan...

Ohh belum didaftarkan ya bang untuk tahun ini? Saya kira tidak bisa masuk FFI tahun ini karena beberapa kru utamanya bukan dari Indonesia, seperti sinematografer nya kalo tidak salah Akiko Ashizawa

Panca mengatakan...

Padahal Paranoia opsi kedua kalau tidak kedapetan tiket eternals.. Ehhh.. Malah Reviewnya banyak yg bilang ancur..

Unknown mengatakan...

Untung gak menang. Kalau menang, malah kejadian "Ekskul" terulang lagi.

Farron mengatakan...

Konklusinya gimana? Udah beberin aja spoilernya di komentar gue. Gak bakal gua tonton juga filmnya. Dan KKD itu apaan?