REVIEW - THE MATRIX RESURRECTIONS

8 komentar

The Matrix merupakan seri film dengan kemunduran kualitas luar biasa parah. Film pertamanya yang rilis tahun 1999 amat revolusioner. Salah satu yang terbaik sepanjang masa. Empat tahun berselang, menyusul Reloaded, yang meski punya beberapa gelaran aksi memikat, jelas wujud penurunan. Kemudian Revolutions menutup trilogi dengan kekecewaan mendalam, dan pantas masuk jajaran sekuel terburuk yang pernah dibuat.

Seperti judulnya, Resurrections diharapkan jadi titik kebangkitan. Sejam pertamanya memang bak sebuah kebangkitan, kala naskah buatan Lana Wachowski, David Mitchell, dan Aleksandar Hemon "mereplikasi" sekuen pembuka film aslinya, kala Trinity kabur dari serbuan para agen setelah menemukan keberadaan Neo. Tapi ada perubahan, salah satunya sosok Trinity yang berbeda dari yang kita kenal. 

Seolah jadi perpanjangan tangan penonton, Bugs (Jessica Henwick) turut menyaksikan peristiwa tersebut dan menyadari perbedaannya. Tidak lama kemudian, Bugs pun mendapati bahwa Thomas Anderson alias Neo (Keanu Reeves) masih hidup, selepas tak sengaja bertemu Morpheus, yang kali ini diperankan Yahya Abdul-Mateen II, menggantikan Laurence Fishburne. 

Kenapa ada versi lain dari Trinity dan Morpheus? Lalu bagaimana bisa, Neo yang terakhir kita tahu berkorban nyawa di konklusi Revolutions, masih segar bugar? Apakah wanita bernama Tiffany (Carrie-Anne Moss) yang selalu mencuri perhatiannya juga adalah Trinity yang hidup kembali?

Sebaiknya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas anda temukan sendiri, sebab itulah pondasi utama satu jam pertamanya, yang kembali melemparkan perenungan kompleks perihal eksistensi. Pasca perluasan mitologi dalam Reloaded membuat ceritanya hilang fokus, sementara Revolutions justru membuang segala narasi tentang kemanusiaan, The Matrix akhirnya kembali ke dasar. 

Pemakaian eksposisi verbal sarat istilah teknis asing yang disampaikan begitu cepat memang menuntut konsentrasi penonton, tapi jika berhasil mengikutinya, paruh awal Resurrections menawarkan misteri yang sangat mengikat. Penceritaan meta dirambah, termasuk menyentil kegundahan The Wachowskis perihal tuntutan memproduksi film keempat (Neo ibarat representasi mereka selaku kreator), lalu memancing pertanyaan atas segala yang kita saksikan di triloginya. Sebagaimana Neo 22 tahun lalu, penonton diajak mempertanyakan, "Apakah semua itu nyata?". 

Sayangnya, misteri tersebut ditutup lewat simplifikasi, yang menegaskan bahwa film ini, terutama first act-nya, bertujuan sebagai retcon semata bagi konklusi Revolutions. Tidak salah, bahkan perlu dilakukan, mengingat "dosa besar" yang film ketiganya lakukan. Tapi setelah satu jam penuh penelusuran rumit, jawabannya menyisakan harapan lebih. 

Sejak itu Resurrections tak mampu mengembalikan kekuatan narasinya, walau keputusan menjadikan cinta selaku motor penggerak si protagonis, membawa kisahnya ke ranah lebih personal dibanding tiga installment sebelumnya. 

Setidaknya, sebagai sineas yang selalu membuka tangan lebar-lebar akan kemajuan teknologi, Lana Wachowski (karena terbentur jadwal produksi serial Work in Progress, Lilly Wachowski absen di kursi penyutradaraan) mampu membawa filmnya tampil memukau di departemen tersebut. "That Looks real", ucap Neo kala melihat langit buatan Io, kota pengganti Zion. Itu pula yang saya rasakan tiap Resurrections memamerkan CGI miliknya. 

Canggih. Kata ini wajib dipunyai The Matrix, baik terkait pengemasan dunianya, maupun dalam eksekusi aksi. Di luar dugaan, kuantitas aksi Resurrections terhitung minim, apalagi jika dibandingkan durasinya yang mencapai 148 menit. Lebih banyak teori, filosofi, perenungan, dan diskusi. Beberapa tampil seolah hanya untuk diri sendiri, alih-alih menstimulus pikiran penonton, namun konsistensi Lana dalam bercerita membuat pacing-nya terjaga. 

Aksinya sendiri cenderung inkonsisten. Sangat inkonsisten. Ada kalanya, tepat selepas kreativitas tinggi seperti "bom manusia" di klimaks, kita langsung disuguhi aksi minim gaya, yang bagai bukan berasal dari seri The Matrix. Eksplorasinya tak seliar dulu, yang ketimbang "pendewasaan", lebih pantas disebut "penurunan". Neo paling terkena dampak. Mengurangi kesan godlike hero dalam dirinya adalah pilihan masuk akal, namun lain cerita saat ia cuma dibekali energy shield membosankan.

The Matrix Resurrections merupakan definisi sempurna untuk reaksi "it's good, but...". Selalu ada kata "tapi". Termasuk mengenai recasting. Secara narasi, termasuk latar waktunya, mengganti Morpheus jadi keputusan tepat. Terlebih Yahya Abdul-Mateen II bisa melahirkan versi karakter yang berbeda. Sebaliknya, mengubah Smith dari Hugo Weaving ke Jonathan Groff justru melukai filmnya. Terdapat sebuah momen di klimaks, yang hanya akan berhasil memantik antusiasme bila Smith masih diperankan Weaving. Groff is good, but...

8 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Mungkinkah (maaf) karena transformasi gender sang sutradara membuat RASA serta hal lainnya menurun dalam membuat film ini bang Rasyid? Terlebih kualitas film Wachowski Brother selain Matrix pertama banyak yg amsyong secara kualitas.

Rasyidharry mengatakan...

Apa hubungannya?

Firman mengatakan...

Setuju sekali .. Hugo Weaving's Smith tak tergantikan.Recast menjadikan bobot karakter dari Mr.Smith tereduksi parah

Anonim mengatakan...

Reduksi? Elektron kali ah wkwkwkw

David Putera Anugrah mengatakan...

Kalo bandingin sama reloaded dan revolutions, menurut mas,film ini film sekuel terbaik dari seri the Matrix gak sih? Kalo aku sih iya.

Rasyidharry mengatakan...

Revolutions nggak perlu diitung tuh. Ambles. Kalo dibandingin Reloaded 11-12 lah. Adds some, loses some

Udin mengatakan...

kenapa dibikin prekuel film pertamanya aja ya?

Anonim mengatakan...

prekuel udah dibuat dalam bentuk antologi berjudul animatrix