REVIEW - PLAN 75

2 komentar

Plan 75 merupakan buah imajinasi sutradara Chie Hayakawa, yang turut menulis naskahnya bersama Jason Gray. Meski program pemerintah yang menawarkan 1000 dollar bagi lansia berusia 75 tahun ke atas jika bersedia di-eutanasia bersifat fiktif, ide tersebut lahir dari permasalahan yang amat nyata. Di September 2022, untuk pertama kali sepanjang sejarah, lansia di atas 75 tahun mengisi 15% dari keseluruhan populasi Jepang. Masalah di berbagai lini termasuk ekonomi pun muncul.

Protagonisnya adalah Mishi Kakutani (Chieko Baisho). Umurnya 78 tahun, namun masih bertenaga. Geraknya lincah, kemampuan membacanya juga belum terlalu memburuk, apalagi bila dibanding rekan-rekan seusianya. Sewaktu ia terpaksa pensiun, Kakutani bisa mencari lowongan melalui internet. Sayangnya pencarian tersebut tak membuahkan hasil. Tidak ada yang mau menerima wanita tua sepertinya. Tatkala apartemennya segera digusur, Kakutani tiba di persimpangan jalan. 

Narasi filmnya turut memperkenalkan kita pada Himoru Okabe (Hayato Isomura), salah satu karyawan pemberi layanan Plan 75. Disambutnya para lansia yang mendaftar dengan senyum lebar. Ketika seorang kakek kesulitan berjalan, langsung dibawakannya sebuah kursi roda. Sulit dipercaya Okabe bakal mendaftarkan rencana kematian si kakek. Lalu ada Maria (Stefanie Arianne), imigran asal Filipina yang baru bekerja di tempat pembuangan barang-barang milik klien Plan 75. 

Apakah Plan 75 memerlukan tiga cabang narasi guna melempar pesannya? Sesungguhnya tidak. Momentum yang tengah dibangun melalui aliran tempo lambat khas sinema Jepang acapkali terpotong, ketika alurnya berpindah fokus ke karakter lain. Naskahnya pun kurang mampu memberi payoff memuaskan, saat di paruh akhir ketiga manusia tadi saling terkait. 

Memasuki pertengahan, Plan 75 memperkenalkan orang keempat. Yoko Narimiya (Yuumi Kawai) namanya. Seorang customer service dengan tugas menampung keluh kesah klien Plan 75. Kakutani yang akhirnya mendaftar karena merasa berada di jalan buntu, kerap berkomunikasi dengan si gadis muda. Sulit menampik pemikiran bahwa filmnya bakal lebih emosional andai sedari awal menaruh fokus pada hubungan dua wanita beda usia tersebut. Terlebih, pesan-pesan yang terkandung dalam perjalanan Okabe dan Maria sejatinya dapat diemban oleh Narimiya.

Meski meninggalkan ketidakmulusan dalam bercerita, Plan 75 tetap mampu melempar sentilan mengenai isu lansia di Jepang secara subtil (senada dengan pilihan pacing-nya) namun efektif serta tepat sasaran. Program Plan 75 dianggap sebagai tindakan menggampangkan dari pemerintah. Upaya Kakutani mencari solusi masalah finansial terbentur sulitnya menjangkau layanan kesehateraan. Ketika ia datang, layanan itu malah tutup. Sebaliknya, pusat panggilan Plan 75 aktif selama 24 jam. 

Momen paling menyentuh di film mengambil latar di sebuah arena boling. Akting Chieko Baisho menjadi sumbernya. Senyuman si aktris senior menampakkan kebahagiaan, menandakan bahwa sinarnya belum redup. Fase lansia memang ibarat senja. Matahari hendak tenggelam, tapi cahayanya belum benar-benar padam.   

(JAFF 2022)

2 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

OOT, cuman mau bilang, gila! Sama konsistensi nulis review-nya Bang Rasyid. Salut. Gue yang lagi belajar nulis, kudu banyak belajar nih dari blog ini🙌

Anonim mengatakan...

lansia dan young generation sebuah kisah yang tak pernah usang...