REVIEW - TEMURUN
Temurun terasa seperti karya yang lahir dari kecintaan pembuatnya terhadap film-film Ari Aster (judul serta premis yang mengingatkan pada Hereditary, beberapa imageries yang bak berkiblat ke Midsommar). Melalui debut penyutradaraannya, Inarah Syarafina nampak berambisi membawa warna berbeda di kancah horor tanah air, walau di saat bersamaan, seperti terdistraksi oleh tuntutan mengikuti kemauan pasar, yang notabene berlawanan dengan pendekatan khas sineas yang dijadikan bahan rujukan.
Di tengah kondisi finansial serba kekurangan, Dewi (Yasamin Jasem) dan Sena (Bryan Domani) mesti merawat ibu mereka, Dyah (Karina Suwandi), yang mengalami gangguan mental. Pasca sebuah tragedi merenggut nyawa sang ibu, mendadak datanglah Agung (Kiki Narendra), ayah dari kakak beradik tersebut yang sudah bertahun-tahun hilang tanpa kabar. Agung mengajak Dewi dan Sena tinggal bersamanya, di rumah mewah dengan segala gelimang harta.
Naskah buatan Vontian Suwandi (juga menjalani debut penulisan) coba mengedepankan pendekatan subtil yang enggan menyuapi penonton. Ketika Agung menjemput anak-anaknya, di tengah perjalanan nampak kerumunan orang tengah mengamati dua mayat pria tergantung di pohon. Identitas mayat tersebut maupun alasan kematian mereka tidak pernah dijabarkan secara gamblang, namun penonton yang peka bakal segera menyadari bahwa Dewi dan Sena bukan tengah menuju kehidupan baru yang damai.
Perkenalan dengan nenek kedua protagonis kita, Gayatri (Jajang C. Noer), yang memimpin bisnis penjagalan hewan keluarga, segera memunculkan misteri. Di balik kekayaan keluarga mereka, ada rahasia kelam yang disembunyikan selama turun-temurun, termasuk oleh Gayatri. Sekilas terdengar familiar, namun naskahnya cukup cerdik menjaga rasa penasaran, saat secara berkala menebar remah-remah petunjuk yang efektif membuat penonton terus mempertanyakan fakta seputar tokoh-tokohnya.
Satu hal yang agak disayangkan adalah presentasi isu gendernya yang kurang tajam. Naskahnya menyimpan subteks mengenai peran gender, tepatnya soal gesekan antara perempuan yang akhirnya memiliki kuasa, dengan kegelisahan laki-laki akibat tak menggenggam kuasa. Menarik sekaligus penting, tapi pilihan konklusinya membuat pesan yang hendak disuarakan jadi ambigu.
Intinya, Temurun adalah horor yang bersedia bertutur. Taktik menerornya pun menyertakan gambar-gambar mencekam yang Inarah susun, di mana mayoritas mendapatkan tambahan kekuatan berkat kejelian Karina Suwandi mengolah gestur. Yasamin Jasem pun, yang kembali membuktikan totalitas memainkan emosi, mampu menampilkan akting terbaik sepanjang karirnya, biarpun buruknya tata suara acap kali membuat ucapannya (dan para pemain lain) sukar dicerna.
Tapi seperti sudah disinggung di awal tulisan, film ini seperti terjebak dalam pilihan dilematis, antara menyusun karya bernuansa alternatif atau mengikuti selera pasar. Alhasil di tengah pendekatan yang ingin tampil beda, ia tetap melempar jumpscare, yang sayangnya digarap secara kurang maksimal.
Walau cukup ahli melahirkan gambar-gambar mencekam, Inarah belum lihai mengatur timing serta energi dalam jumpscare (juga tanggung jawab departemen penyuntingan). Tengok momen penutupnya, yang ketimbang berhasil mencapai tujuan untuk mengakhiri kisah saat intensitas berada di puncak, justru terkesan mendadak dan antiklimaks (Perempuan Tanah Jahanam jadi satu dari sedikit horor Indonesia yang berhasil menerapkan teknik tersebut untuk mengakhiri durasi). Bukan presentasi yang buruk, namun menyisakan pekerjaan rumah yang tidak sedikit.
REVIEW - MONKEY MAN
Ditinjau dari permukaan, Monkey Man yang menandai debut penyutradaraan Dev Patel (juga menulis naskah bersama Paul Angunawela dan John Collee) hanyalah satu dari sekian banyak "kloning" John Wick yang bertebaran dalam satu dekade terakhir. Sampai kita menyelami filmnya lebih dalam, kemudian menyadari bagaimana Patel memberi pembeda lewat sentuhan personal berbasis aspek kultural yang mampu menghadirkan dampak emosional.
Melakukan pengambilan gambar di Batam (itu sebabnya di sebuah shot nampak bangunan minimarket yang familiar), Monkey Man berkisah tentang pria tanpa nama (Dev Patel), yang dirujuk sebagai "Kid" di kredit filmnya. Kid kerap bertarung di arena tinju bawah tanah milik Tiger (Sharlto Copley) dengan mengenakan topeng monyet. Dia dibayar untuk kalah, membiarkan petarung lain memukulinya hingga babak belur.
Kid hanya punya satu tujuan dalam hidupnya, yakni membalas dendam kepada Baba Shakti (Makarand Deshpande), pemuka agama yang terjun ke dunia politik, dan anak buahnya, Rana Singh (Sikandar Kher), seorang polisi korup. Keduanya menjual agama demi kepentingan politis serta kekayaan pribadi, bahkan tidak ragu merenggut nyawa rakyat jelata, termasuk ibu Kid.
Estetika Monkey Man jelas berkiblat ke John Wick. Beberapa adegan aksi berlatar ruang gelap berhiaskan lampu neon, sedangkan Kid nantinya bakal menghajar para musuh sembari mengenakan setelan jas rapi. Tapi sekali lagi, Patel tidak berniat melahirkan kopian semata. Dia ingin "bersuara". Alhasil, paruh pertamanya lebih berfokus pada penceritaan ketimbang baku hantam.
Prosesnya tidak selalu mulus. Layaknya individu yang baru belajar berjalan, filmnya sempat tertatih-tatih di awal tatkala absennya aksi tak mampu ditambal oleh cerita yang belum seberapa menarik. Terasa melelahkan, walaupun Patel coba menutupi kelemahan tersebut melalui berbagai trik pengadeganan stylish, pula teknik penyuntingan bertempo cepat yang dinamis.
Titik baliknya adalah sebuah montase latihan yang menjauh dari templat generik. Di situ Kid mempelajari banyak hal. Bukan cuma kekuatan fisik, ia pun menemukan "ritmenya", juga jati diri yang mengakar kuat pada aspek kultural. Tentang Hanuman yang menolak jatuh demi menggulingkan para dewa, tentang Siwa yang membawa kehancuran guna memberi ruang bertumbuh bagi kehidupan baru.
Patel menyusun montase itu bukan cuma untuk mengisi durasi atau memenuhi obligasi. Dia menjadikannya sebagai narasi kecil yang indah, lalu menggiringnya menuju titik puncak menggugah yang menyulut kebencian penonton terhadap politisasi agama, kekerasan polisi, dan praktik-praktik busuk lain yang dipakai para penguasa untuk mempertebal dompet mereka.
Sejak montase tersebut, tidak hanya sang protagonis, filmnya pun bertransformasi, dari kloning John Wick yang digarap secara layak, menjadi suguhan spesial yang mampu berdiri sendiri. Aksinya brutal (sebuah aturan tak tertulis bila ingin mengikuti jejak si Baba Yaga), dihiasi tata kamera yang bak secara tegas menolak stagnasi, juga iringan musik kreatif nan variatif yang membentang dari distorsi metal hingga petikan akustik syahdu.
Monkey Man merupakan wajah perlawanan dari kaum marginal, termasuk para Hijra (transgender) yang membentuk komunitas di sebuah kuil. Di satu titik Kid membunuh musuhnya menggunakan sepatu hak tinggi, sementara di kesempatan lain kita menyaksikan sari yang berayun dalam gerak lambat di tengah pertumpahan darah. Tatkala tontonan serupa cenderung memuja maskulinitas belaka, Patel melukiskan warna yang berbeda.
REVIEW - THE MINISTRY OF UNGENTELMANLY WARFARE
The Ministry of Ungentelmanly Warfare menandai kali pertama Guy Ritchie menggarap cerita berbasis figur nyata. The Covenant (2023) sebatas terinspirasi dari berbagai peristiwa kalah perang pecah di Afganistan, sedangkan eksistensi Raja Arthur di King Arthur: Legend of the Sword (2017) masih diperdebatkan kebenarannya hingga kini.
Naskahnya, yang dibuat berdasarkan buku Churchill's Secret Warriors: The Explosive True Story of the Special Forces Desperadoes of WWII karya Damien Lewis, menggambarkan versi (sangat) fiktif dari Operasi Postmaster yang dijalankan pada 14 Januari 1942. Walau demikian, Ritchie nampak tak seleluasa biasanya. Seperti murid bandel yang tak berkutik di bawah pengawasan guru.
Di tengah ancaman invasi Nazi yang makin menguat, pihak Inggris menjalankan misi rahasia untuk menyabotase suplai bagi kapal selam U-boat milik Jerman yang reputasinya amat ditakuti pihak lawan. Gus March-Phillipps (Henry Cavill) yang ditunjuk sebagai pemimpin operasi kemudian membentuk tim yang terdiri dari: Anders Lassen (Alan Ritchson) si "Palu Denmark", Freddy Alvarez (Henry Golding) si ahli bahan peledak, Geoffrey Appleyard (Alex Pettyfer) si ahli siasat, dan Henry Hayes (Hero Fiennes Tiffin) si navigator handal.
Cavill nampak bersenang-senang memerankan sosok prajurit liar yang gemar menjadikan kematian musuh sebagai bahan lelucon. Sangat berlawanan dengan karisma yang membuatnya digadang-gadang sebagai pemeran Bond berikutnya (Menariknya, konon Ian Fleming yang di film ini diperankan oleh Freddie Fox, terinspirasi melahirkan kisah James Bond setelah terlibat dalam Operasi Postmaster).
Berbeda dengan sang aktor, Ritchie justru terlihat kurang bersenang-senang, di saat kesan itulah selama ini memberi daya hibur bagi film-filmnya. Menulis naskahnya bersama Paul Tamasy, Eric Johnson, dan Arash Amel, Ritchie hanya menyuguhkan formula usang yang telah berulang kali diterapkan oleh suguhan spionase.
Kelima prajurit yang menjalankan Operasi Postmaster punya modal penokohan menarik. Mereka adalah orang-orang "gila" yang mampu menertawakan kematian. Tapi alih-alih memberi sorotan lebih bagi mereka, Ritchie memilih memecah narasinya menjadi dua fokus. Kisah kedua mengambil latar di Fernando Po, sebuah pulau di sekitar Teluk Guniena yang diduduki oleh Spanyol. Pulau itulah yang jadi destinasi March-Phillipps dan timnya.
Di Fernando Po telah menanti dua agen lain: Richard Heron (Babs Olusanmokun) yang memakai kedok pemilik bisnis judi, dan Marjorie Stewart (Eiza González) yang juga seorang aktris. Eiza sanggup meleburkan sensualitas dengan ketangguhan seperti biasa, namun keputusan narasinya untuk terus melompat antara dua latar acap kali mematikan intensitas yang telah terbangun.
Apalagi konflik di Fernando Po tampil kurang bertenaga. Penulisan Ritchie lebih cerewet dari biasanya, namun tak dibarengi celetukan-celetukan tajam atau humor menggelitik khas Britania Raya yang merupakan salah satu keunggulannya. Hasilnya membosankan.
Klimaksnya dihiasi musik buatan Christopher Benstead yang makin menguatkan aroma ala The Dirty Dozen (1967), sementara Alan Ritchson selalu mencuri perhatian di tiap adegan aksi sebagai Lassen si jagoan brutal, tapi sekali lagi, Ritchie tidak selepas biasanya. Baku tembak generik dengan penyuntingan berantakan jelas belum cukup mengobati rasa lelah akibat perjalanan hampir dua jam yang minim kesan.
REVIEW - SHERIFF: NARKO INTEGRITI
Sheriff: Narko Integriti karya sutradara Syafiq Yusof (Misteri Dilaila, Polis Evo 3) tidak se-brainless yang saya duga. Pergulatan tokoh-tokohnya menampilkan aksi kucing-kucingan yang mengedepankan permainan pikiran. Keseimbangan antara otak dan otot sempat didapat, sebelum ia tergoda menjerumuskan diri ke dalam lubang yang kerap melemahkan sajian misteri macam ini, yakni menumpuk twist yang dipaksa hadir terlampau banyak di penghujung durasi.
Kata "Sheriff" di judulnya bukan merujuk pada jabatan kepolisian, melainkan nama sang protagonis, Sherifuddin Hussein (Zul Ariffin), anggota ISCD (Integrity and Standards Compliance Department) yang bertugas menangkap sesama polisi yang melakukan tindak kriminal. Perawakannya tinggi besar, tidak kenal takut di hadapan penjahat, gemar pula melempar lelucon sarkas. Sosoknya mengingatkan pada karakter Ma Seok-do (Don Lee) di seri The Roundup.
Sasaran Sherifuddin kali ini adalah pembunuh berantai yang dipanggil "Meth Killer" karena modus operandinya. Pertama, dia hanya mengincar anggota geng pengedar narkoba yang dipimpin Tony Ifrit (Aaron Aziz). Kedua, karena ia selalu menabur sabu-sabu di atas mayat korban. Identitas "Meth Killer" adalah Nazri "Naz" Mutalib (Syafiq Kyle), polisi dari departemen narkotika.
Di situlah letak daya tarik naskah buatan Syafiq Yusof dan Nazifdin Nasrudin (berdasarkan cerita karya Yusof Haslam, ayah Syafiq). Identitas si pembunuh sudah diungkap sejak awal. Kita tahu ia polisi, yang juga memiliki kakak seorang polisi dari departemen yang sama, yaitu Syazlin (Azira Shafinaz). Alhasil Sheriff: Narko Integriti bisa sepenuhnya menaruh fokus pada gesekan antara Sherif dan Naz, daripada cuma memaksa penonton menantikan pengungkapan jati diri sang pelaku di akhir.
Begitu ditugaskan mengusut kasus, Sherif langsung mencurigai bahwa pelakunya merupakan salah satu anggota departemen narkotika. Dia pun mengadakan interogasi, di mana hampir semua polisi tak memiliki alibi meyakinkan. Hanya Naz yang punya alibi sempurna. Terlalu sempurna, hingga Sherif menaruh kecurigaan terhadapnya. Permainan pikiran penuh adu taktik macam itulah yang menyusun film ini di paruh keduanya.
Bagaimana Naz berupaya mengecoh penyelidikan Sherif, dan sebaliknya, bagaimana Sherif kukuh mencari pengakuan Naz, menghasilkan suguhan cerita detektif yang seru. Apalagi Syafiq Yusof mampu bercerita dengan pacing cepat yang tak pernah terasa berantakan, sambil sesekali menyelipkan sekuen aksi untuk menambah daya hibur, termasuk sebuah kejar-kejaran mobil yang cukup intens.
Sheriff: Narko Integriti punya bekal memadai, tapi tidak untuk bertahan selama 132 menit. Durasinya bergulir terlalu lama, hingga filmnya kehabisan bensin memasuki paruh akhir. Tidak ada lagi adu taktik menegangkan. Hanya ada klimaks berisi baku tembak konvensional, serta penantian menuju konklusi yang diisi begitu banyak kejutan, yang akhirnya tak lagi mengejutkan. Setiap filmnya seperti hendak usai, muncul twist baru yang memperpanjang kisahnya selama beberapa menit. Melelahkan.
REVIEW - MALAM PENCABUT NYAWA
Bagi pencerita, elemen mistis semestinya jadi media yang membebaskan. Di sana batasan eksplorasi tak lagi dihalangi oleh garis-garis logika yang penuh aturan. Tapi apa daya, tuntutan industri menjadikan dunia tanpa batas tersebut sebagai komoditas. Formula pun dirancang, pola-pola yang mesti diikuti pun mulai mengekang atas nama uang. Begitulah kondisi perfilman horor Indonesia belakangan ini.
Untunglah beberapa sineas masih berani berpikir liar. Joko Anwar dengan Siksa Kubur beberapa waktu lalu jadi salah satu yang terdepan. Kali ini menyusul Malam Pencabut Nyawa garapan Sidharta Tata, selaku adaptasi novel Respati karya Ragiel JP, yang memperlakukan aspek klenik bukan sebatas alat menakut-nakuti, tapi gerbang pembuka bagi ruang eksplorasi yang lebih luas.
Respati (Devano Danendra) mengira dirinya hanya menderita insomnia biasa akibat duka selepas kematian kedua orang tuanya. Sekalinya tertidur, ia bermimpi aneh dan melihat banyak orang asing mengalami nasib nahas. Belakangan barulah Respati sadar, ia bukannya bermimpi buruk melainkan masuk ke mimpi orang lain, yang nyawanya tengah terancam oleh kehadiran sosok misterius bernama Sukma (Ratu Felisha).
Satu hal yang langsung nampak sedari menit-menit awal filmnya adalah keunggulan di departemen teknis. Sidharta Tata enggan membuat horor cepat saji. Dibantu Bagoes Tresna Aji selaku penata sinematografi, disusunnya rangkaian gerak kamera stylish, yang makin terasa dinamis ketika penyuntingan dari Ahmad Fesdi Anggoro turut berkontribusi. Banyak transisi unik sekaligus tak terduga muncul di film ini.
Terkait penceritaan, naskah yang ditulis Sidharta bersama Ambaridzki Ramadhantyo menghadirkan salah satu kisah paling ambisius yang dimiliki horor lokal dalam beberapa waktu terakhir. Formula khas horor dikembangkan ke ranah fantasi yang berpijak pada seluk-beluk dunia mimpi. Seiring penyelidikannya, Respati mempelajari banyak hal, salah satunya adalah, seseorang harus mati bila ingin lepas dari kejaran Sukma di dunia mimpi. Anggaplah Malam Pencabut Nyawa sebagai Inception dengan kearifan Indonesia.
Keputusan untuk menjauh dari pemakaian jumpscare (horor Indonesia rilisan 2024 yang paling anti mengageti penontonnya) sungguh saya apresiasi, biarpun naskahnya belum mampu memaksimalkan kemungkinan tak terbatas yang disediakan oleh konsep mimpi. Beberapa titik penceritaannya masih terasa monoton.
Paruh akhir menjadi panggung Sidharta dan tim mencurahkan segala kreativitas mereka. Diawali adegan kesurupan yang tersaji intens, lalu dilanjutkan oleh klimaks seru yang dikemas layaknya pertarungan dalam film pahlawan super. Tentunya sang protagonis tidak lupa memamerkan "superhero landing" versinya.
Di klimaks itu perpaduan apik antara CGI dengan efek praktikal yang sama-sama mumpuni semakin kentara, sehingga menciptakan parade visual cantik. Pengadeganan Sidharta pun seperti biasa hadir penuh gaya, termasuk lewat upaya berani melakukan reka ulang bagi salah satu momen paling ikonik di Inception.
Tapi di luar segala pameran teknis sarat trik di atas, Malam Pencabut Nyawa juga patut dipuji karena satu hal yang jauh lebih sederhana. Apalagi kalau bukan pemakaian Bahasa Jawa. Tidak ada campuran dipaksakan dengan Bahasa Indonesia, bahkan dialognya cukup banyak memakai kromo. Yah, belakangan ini saya semakin yakin kalau horor kita masih menyimpan masa depan cerah.
REVIEW - FURIOSA: A MAD MAX SAGA
Bagaimana cara mengungguli dua jam kejar-kejaran mobil epik berlatar padang tandus dengan jagoan perempuan tangguh serta barisan karakter unik bernama Mad Max: Fury Road (2015)? Jawabannya "tidak ada". Furiosa: A Mad Max Saga yang bertindak selaku prekuel bukanlah mahakarya serupa pendahulunya, namun tetap suguhan aksi bertenaga, yang membuktikan bahwa bagi sang sutradara usia hanyalah sebuah angka.
Tatkala banyak sineas blockbuster muda zaman sekarang terlampau bergantung pada manipulasi komputer, George Miller yang sewaktu memasuki masa produksi sudah menginjak 77 tahun menunjukkan bagaimana adegan aksi semestinya diarahkan dengan segenap jiwa dan raga.
Fury Road bak taktik Miller memanfaatkan embel-embel "Mad Max" agar bisa dengan mudah membuat film dengan jagoan utama perempuan. Hasilnya luar biasa. Furiosa kini dicintai penonton modern layaknya Max di mata masyarakat 80-an. Di sini kita bakal melihat proses yang dilalui si jagoan sebelum menyandang gelar "Imperator".
Furiosa kecil (Alyla Browne) terpisah dari sang ibu (Charlee Fraser) setelah diculik oleh Dementus (Chris Hemsworth) beserta pasukan geng motor liarnya. Kehidupan berat di tanah tandus menggembleng Furiosa, membuatnya tumbuh menjadi perempuan dewasa yang kuat (Anya Taylor-Joy), dan bekerja untuk Immortan Joe (Lachy Hulme). Walau demikian Furiosa bukanlah budak siapa pun. Dia hanya ingin bebas, untuk kemudian pulang seperti janjinya kepada sang ibu.
Furiosa punya cara bercerita yang lebih konvensional dibanding Fury Road. Ketimbang mengembangkan cerita seiring aksi kebut-kebutan, kini naskah yang ditulis Miller bersama Nico Lathouris sesekali menghentikan pacuan gas guna menyediakan ruang bagi cerita untuk berkembang.
Keunikan cara tutur mungkin tak lagi dipunyai film ini, tapi setidaknya Furiosa berhasil memunculkan keserasian dengan Fury Road. Timbul kesan bahwa keduanya memang kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sebuah cerita besar mengenai perjalanan panjang protagonisnya mencari jalan pulang.
Kesan tersebut makin menguat sebab Miller dan Lathouris tidak luput melengkapi detail semesta Mad Max. Tempat-tempat yang sebelumnya cuma terdengar namanya seperti Bullet Farm dan Gas Town akhirnya berkesempatan kita kunjungi, meski sayangnya, secara desain artistik tak ada yang benar-benar membedakan keduanya. Sebatas lokasi industrial usang di tengah padang gersang.
Selama 148 menit durasi, filmnya melempar berbagai macam penderitaan ke arah Furiosa, baik yang bersifat fisik maupun psikis, sebagai penegas betapa mematikan kehidupan di Wasteland. Berat, namun mereka yang berhasil bertahan bakal menjadi individu tangguh. Furiosa termasuk salah satunya, yang dihidupkan oleh persona sarat karisma milik Anya Taylor-Joy, sementara Chris Hemsworth nampak bersenang-senang memerankan antagonis sinting yang membantai manusia hanya untuk merasakan pacuan adrenalin.
Miller boleh saja tidak menginjak pedal gas sesering di Fury Road, tapi penyutradaraannya yang jeli mengatur timing (kapan seseorang jatuh menghantam tanah, kapan senjata tajam membelah tubuh korban, kapan lesatan peluru menembus area vital, dll.) benar-benar memberi energi tingkat tinggi bagi Furiosa. Belum lagi ditambah raungan musik buatan Tom Holkenborg.
Entah mengapa kualitas CGI-nya agak menurun, namun itu tak begitu berdampak berkat pengarahan Miller. Satu lagi keunggulan sang sineas senior adalah keengganan bergantung pada manipulasi penyuntingan. Acap kali kita diajak melihat proses utuh dari sebuah serangan (bisa tembakan, tusukan, pecutan, hingga ledakan) yang karakternya terima. Hasilnya dinamis, hard-hitting, bertenaga, dan tentunya, sebagaimana tajuk franchise-nya, "gila".
REVIEW - IF
Melalui If, John Krasinski yang menyutradarai sekaligus menulis naskah seolah ingin membuat film Pixar versinya (mungkin dengan tambahan inspirasi dari serial animasi Foster's Home for Imaginary Friends). Keunikan dunia serta karakter, pula kemampuan filmnya mengaduk-aduk perasaan memang mengingatkan pada judul-judul milik rumah produksi tersebut, hanya saja dengan kualitas penceritaan yang lebih inkonsisten.
Di dunia film ini teman imajiner benar-benar eksis, dan mereka dipanggil IF (Imaginary Friends). Bentuknya beragam. Ada monster, naga, hantu, astronot, dan lain-lain sesuai dengan imajinasi bocah yang menjadi teman mereka. Apabila si bocah telah tumbuh dewasa, para IF bakal tak lagi bisa dilihat, kemudian memulai proses untuk menemukan partner baru.
Fakta-fakta itulah yang dipelajari Bea (Cailey Fleming), gadis 12 tahun yang untuk sementara tinggal bersama neneknya (Fiona Shaw) karena ayahnya (John Krasinski) bakal menjalani operasi jantung. Di situlah Bea mulai mengalami peristiwa ajaib di mana ia bisa melihat para IF sejak pertemuannya dengan Cal (Ryan Reynolds), seorang pria yang bertugas menemukan pasangan baru bagi IF yang telah dilupakan oleh teman lamanya.
Sedikit membahas karya-karya Pixar, salah satu keunggulan mereka adalah soal bangunan dunia yang luar biasa detail. Naskah Krasinski belum berada di level serupa. Banyak lubang bertebaran terkait rules di dunia ciptaan sang sineas. "Kenapa Bea bisa melihat semua IF termasuk yang bukan miliknya?" merupakan salah satu yang paling menonjol.
Penyelamatnya adalah kemampuan Krasinski sebagai sutradara mengolah deretan momen menyentuh yang tak asal menguras air mata, tapi turut didukung keindahan estetika. Sebutlah beberapa sekuen imajinasi yang terselip di babak kedua. Kemunculannya mengacaukan aliran penceritaan, berpotensi memancing kebingungan bagi penonton anak yang juga merupakan target pasar film ini, namun tetap memiliki rasa berkat sensitivitas penggarapan Krasinski. Begitu pula epilognya yang tetap tampil amat manis walaupun melanggar (atau lebih tepatnya "terlalu menyederhanakan") rules yang filmnya bangun sendiri.
Musik buatan Michael Giacchino turut berkontribusi besar memberi dampak emosi. Inilah salah satu karya terbaik sang komposer dalam beberapa tahun terakhir. Sebagaimana scoring ikoniknya di Inside Out (2015), musik If memiliki efek magis yang bakal dengan cepat menempel di memori tiap penonton.
Para pelakonnya tidak kalah berjasa. Cailey Fleming memancarkan kemurnian hati Bea, Ryan Reynolds kembali piawai menggabungkan kejenakaan dengan kehangatan, bahkan John Krasinski dengan screen time terbatas mampu mencuri perhatian sebagai sosok ayah yang enggan memandang dunia melalui kacamata negatif. Belum lagi jajaran pengisi suara bertabur bintang yang menghidupkan para IF dengan ragam wujud aneh mereka.
Desain karakternya yang kreatif patut diberi pujian, meski di paruh akhir, terungkap bahwa desain yang didominasi makhluk aneh tersebut juga jadi cara curang guna mengalihkan perhatian penonton dari twist yang sebenarnya tidaklah sedemikian mengejutkan.
Di luar berbagai kekurangan naskahnya, kemampuan If memancing haru jelas pantas disebut "kelas satu". Sebuah kisah yang bakal terasa dekat justru bagi orang dewasa, yang di tengah kemonotonan hari-hari mereka, sesekali memerlukan pelukan hangat dari teman lama yang tak semestinya dilupakan.
REVIEW - DO YOU SEE WHAT I SEE
Mengadaptasi salah satu kisah paling populer (First Love) dalam siniar bernama sama, Do You See What I See memang bukan terobosan baru dalam horor Indonesia. Masih menjadikan pocong sebagai pusat teror, masih didominasi pencahayaan temaram, masih pula mengambil latar kuburan di adegan puncak. Walau demikian, ia adalah salah satu yang paling kompeten dalam beberapa waktu terakhir. Pembuatannya tidak berusaha mendobrak formula, tapi memastikan tiap divisi digarap secara layak.
Si pendamba cinta pertama itu bernama Mawar (Diandra Agatha), yang baru berulang tahun ke-20. Meski memiliki sahabat-sahabat setia seperti Vey (Shenina Cinnamon) dan Kartika (Sonia Alyssa), Mawar tak juga memiliki kekasih. Kondisi itu berubah setelah Mawar berziarah ke makam orang tuanya. Sambil malu-malu ia mengaku telah bertemu laki-laki impiannya.
Sayangnya itu bukan awal kebahagiaan, sebab tingkah laku Mawar yang sebelumnya ramah mendadak berubah jadi aneh. Vey dan Kartika curiga keanehan itu disebabkan oleh pacar barunya yang dipanggil "Mas Restu". Sebagai penonton, kita sudah lebih dulu tahu bahwa Mas Restu bukan manusia, melainkan pocong. Tapi kesan misterius tetap terjaga, sebab naskah buatan Lele Laila memilih untuk menyembunyikan wujud si hantu sampai menjelang babak akhir.
Naskah Do You See What I See merupakan karya terbaik Lele sejauh ini karena konsistensinya. Tidak ada kengawuran mendadak sebagaimana terjadi di konklusi Pemandi Jenazah. Semua rapi dari awal hingga akhir, pula didukung ketepatan mengatur kuantitas jumpscare. Apalagi keputusan menyembunyikan sosok Restu memaksa Lele memutar otak lebih keras untuk mengembangkan teror. Beberapa jumpscare paling efektif di sini bukan berasal dari penampakan wajah hantu.
Tapi prestasi terbesar naskahnya terletak pada caranya menyusun subteks soal "mereka yang menderita karena cinta". Ada karakter yang terluka akibat diselingkuhi, dan sebaliknya, ada yang terluka akibat dijadikan orang ketiga. Ada yang berduka setelah idola yang ia cintai diberitakan tewas, ada yang dihantui kesepian karena tak mempunyai siapa pun, ada yang jatuh cinta pada sesosok hantu.
Hasilnya adalah benang merah yang menyatukan seluruh aspek cerita Do You See What I See sebagai horor berbumbu kisah cinta. Pilihan konklusinya yang kelam sekaligus mengejutkan juga masih setia melangkah di jalur tersebut. Bukan asal kelam semata agar terlihat keren, tapi punya dampak emosi yang mengingatkan kita betapa jatuh cinta pun bisa sedemikian mematikan.
Naskahnya agak mengendur di klimaks ketika tak memberi cukup materi, namun intensitas berhasil dijaga berkat pengarahan Awi Suryadi, yang sukses membuat Do You See What I See sebagai horor terbaiknya sejak Sunyi (2019). Berbekal kepiawaiannya mengolah teknis, terutama deretan tata kamera stylish (pemakaian sudut pandang orang pertama, split focus shot, dll.), Awi memberikan efek dramatis yang menjauhkan kesan monoton.
Di sisi lain, penampilan solid jajaran pemainnya makin menguatkan presentasi drama film ini. Shenina berjasa membawa bobot dramatik, Sonia mencuri perhatian lewat beberapa celotehannya, sedangkan Diandra, biarpun pelafalan Bahasa Jawanya belum sempurna (ditambah kombinasi dengan Bahasa Indonesia yang mengganggu dan penempatannya kurang natural), mampu menghipnotis berkat tatapan dan senyum tajamnya.
REVIEW - HOW TO MAKE MILLIONS BEFORE GRANDMA DIES
Warisan dapat menghancurkan keluarga. Mungkin darah lebih kental dari air, tapi ia bisa seketika memudar saat dihadapkan dengan lembar demi lembar uang. How to Make Millions Before Grandma Dies merupakan proses karakternya (serta penonton) memahami bahwa harta bukanlah segalanya.
Bila pesan di atas terdengar klise, itu karena debut penyutradaraan layar lebar Pat Boonnitipat ini memang tidak berniat merombak formula. Dia tetaplah tearjerker yang dibuat untuk membanjiri pipi penonton dengan air mata. Ketika di menit awal para karakternya yang merupakan sebuah keluarga tengah berziarah di makam leluhur, tidak sulit menebak adegan seperti apa yang bakal menutup filmnya.
Tapi di sisi lain, ada warna berbeda yang ia tawarkan. Lihat saat si protagonis, M (Putthipong Assaratanakul), mengunjungi rumah sang nenek yang dipanggil Amah (Usha Seamkhum) untuk pertama kali. Dia berjalan melintasi sudut-sudut kota, melewati pepohonan yang basah oleh rintik gerimis, ditemani musik lembut buatan Jaithep Raroengjai. Syahdu.
Kedatangan M bukan kunjungan biasa. Amah baru didiagnosis mengidap kanker usus stadium 4, yang membuat sisa umurnya tinggal setahun lagi. Mengetahui bagaimana sepupunya, Mui (Tontawan Tantivejakul), memperoleh warisan rumah karena merawat kakeknya hingga akhir hayat, M yang gagal meraih kesuksesan sebagai streamer pun berharap bisa mendapatkan keberuntungan serupa.
Sekali lagi, kita tahu ke mana kisahnya bakal bermuara. Rencana culas M untuk memanfaatkan sang nenek nantinya malah berujung benar-benar merekatkan hubungan keduanya. Tapi siapa peduli di saat proses menuju ke sana mampu menghadirkan beragam emosi, dari tawa hangat sampai tangis haru?
Usha Seamkhum yang di usia senjanya baru melakoni debut di film ini membuat saya tenggelam di setiap tatapannya yang menyimpan setumpuk misteri mengenai isi hati Amah. Sedangkan Putthipong Assaratanakul paling piawai membawakan tendensi M menyembunyikan kegundahan serta kesedihan memakai senyum dan tawa (poin ini akan berdampak besar di ending). Mereka berdua menjalin chemistry solid yang melahirkan interaksi penuh warna. Ada saling cela, bertukar canda, dan tentunya berbagi rasa.
Di sisi lain, baik pengarahan Pat Boonnitipat maupun naskah yang ia tulis bersama Thodsapon Thiptinnakorn (SuckSeed, Friend Zone, The Con-Heartist) sama-sama jeli merumuskan tearjerker yang menyentuh tanpa harus terkesan mengemis tangis. Sebagaimana nampak pada momen kedatangan M yang saya singgung sebelumnya, Pat membangun dinamikanya secara bertahap. Cenderung lambat di paruh awal yang berfungsi sebagai fase observasi, sebelum akhirnya meledakkan emosi begitu memastikan penonton sudah terikat dengan karakternya.
Seberapa pun kalian menahan cucuran air mata, kemungkinan besar tembok tersebut bakal runtuh di ending berlatarkan sebuah mobil pikap, yang menyampaikan salam perpisahan dengan begitu indah. Tebersit sebuah pertanyaan saat menyaksikan adegan itu. Apakah tangisan yang tumpah dikarenakan penggarapan filmnya yang bagus, atau semata karena penonton (termasuk saya) segera mengaitkan peristiwa di layar dengan kenangan personal?
Jawabannya adalah "keduanya". How to Make Millions Before Grandma Dies terasa dekat karena ia paham betul dinamika keluarga, khususnya keluarga Asia. Bagaimana warisan bisa melenyapkan kasih sayang, bagaimana berkumpul di rumah nenek merupakan momen hangat yang selalu dinanti, bagaimana si nenek dengan tidak sabar menantikan kedatangan anak-cucu sembari mengenakan pakaian terbaiknya, pula bagaimana kesepian selepas kebersamaan terasa begitu menyengat terutama bagi lansia yang hidup seorang diri. Kenangan tentang segala kebersamaan itulah warisan berharga yang sesungguhnya.
REVIEW - THE IDEA OF YOU
Formula komedi romantis konvensional tak ubahnya fantasi. Setumpuk skenario percintaan, yang karena berbagai alasan, dipenuhi kemustahilan, yang bagi kebanyakan penonton hanya berakhir sebagai angan-angan. The Idea of You, yang mengadaptasi novel berjudul sama buatan Robinne Lee, adalah bukti bahwa sampai kapan pun, kemustahilan tersebut bakal tetap memiliki tempat di hati banyak orang.
Solène (Anne Hathaway) adalah janda berusia 40 tahun dengan seorang puteri remaja bernama Izzy (Ella Rubin). Hayes (Nicholas Galitzine) adalah bintang pop ternama berusia 24 tahun yang diidolakan oleh Izzy. Lihat betapa banyak kemustahilan yang keduanya mesti hadapi. Tapi di situlah alasan mengapa komedi romantis beserta segala fantasinya amat menyenangkan. Melihat Solène si "rakyat biasa" berinteraksi dengan Hayes si megabintang, tanpa sadar senyum saya mengembang.
Apalagi kedua pemain, khususnya Anne Hathaway dengan talentanya mengubah situasi canggung jadi menggelitik, mampu menghidupkan momen meet cute yang benar-benar cute, ketika Solène tanpa sengaja memasuki ruangan Hayes. Keduanya pun berkenalan, kemudian diam-diam menjalin hubungan yang tentu akan dihadang begitu banyak rintangan.
Perihal usia jelas rintangan terbesar, yang bahkan turut mendatangkan perdebatan di antara penonton film ini. Bagi saya sederhana saja. Hayes berada di usia legal. Selesai. Mereka yang ngotot mempermasalahkan itu mungkin sama seperti dua protagonisnya sebelum bertemu satu sama lain: lupa caranya berbahagia.
Naskah yang dibuat sang sutradara, Michael Showalter, bersama Jennifer Westfeldt menolak pendekatan dangkal dalam pengembangan romansa dua tokoh utamanya. Di babak pertama, Solène dan Hayes lebih banyak bicara sembari berbagi luka. Mengenai si perempuan yang trauma akan kebohongan, perihal si pemuda yang khawatir dirinya dipandang sebagai lelucon memalukan belaka.
Alhasil The Idea of You memiliki first act yang benar-benar memahami dinamika dua manusia (dewasa) yang tengah mabuk asmara. Apa yang menyusul berikutnya memang cenderung lebih klise. Adegan seks jinak dengan segala kecanggungannya, hingga dua kali momen putus di pertengahan durasi serta sebelum babak ketiga, merupakan beberapa contoh hal familiar yang bisa ditemukan di sini.
Tapi kuncinya adalah bagaimana orang-orang di balik film ini berhasil mengolah keklisean-keklisean di atas jadi terasa menyenangkan, dan tentunya manis. Menonton The Idea of You bakal mendatangkan senyum bahagia, dan apa lagi yang dihasilkan sebuah cerita cinta yang bagus kalau bukan kebahagiaan?
(Prime Video)
REVIEW - POSSESSION : KERASUKAN
Possession: Kerasukan adalah remake yang dibuat dengan pola pikir "penonton film Indonesia malas berpikir". Hasilnya, Possession (1981) karya Andrzej Żuławski yang sarat metafora mengenai kehancuran rumah tangga pun disulap jadi suguhan yang jauh lebih sederhana, dan tentunya lebih dekat dengan formula horor Indonesia.
Setidaknya departemen artistik film ini sama sekali tidak sederhana. Pencahayaan temaram menyelimuti latar, properti, serta kostum bernuansa lawas. Ditambah iringan musiknya yang cukup megah, lengkap sudah nuansa noir yang digagas oleh Razka Robby Ertanto selaku sutradara. Berkaca dari segi estetika, Possession: Kerasukan jelas bukan film asal jadi.
Sedangkan alurnya secara garis besar masih sejalan dengan versi orisinal, yakni tentang Faris (Darius Sinathrya), yang sepulangnya dari dinas selama berbulan-bulan, dikejutkan oleh permintaan cerai sang istri, Ratna (Carissa Perusset). Faris curiga Ratna berselingkuh, apalagi setelah mengetahui istrinya, yang berprofesi sebagai penulis naskah, kerap menghabiskan waktu berdua bersama Wahyu (Nugie) si sutradara. Kabar itu dibagikan oleh Mita (Sara Fajira), asisten Ratna yang sejak lama mendambakan tubuh Faris.
Sedari awal pasutri ini berinteraksi, naskah buatan Lele Laila dengan tegas langsung menyatakan bahwa Faris bukan suami yang baik. Di matanya, Ratna hanyalah pemuas nafsunya. Pelayan semata. Ratna melawan. "Saya bukan pelayan", ujarnya.
Jika Possession bak media katarsis Żuławski terkait perceraiannya, di mana sang sineas, tanpa memberi cap benar/salah, menggambarkan dinamika destruktif sebuah rumah tangga yang berada di ujung tanduk, maka di versi Indonesia kompleksitas tersebut dikesampingkan. Batasan hitam dan putihnya amat jelas (suami patriarkis jahat melawan istri korban penjajahan hak asasi). Sebuah penyederhanaan yang tak bisa disalahkan karena alasan relevansi zaman.
Sebelum filmnya rilis, muncul perdebatan perihal alasan memilih pocong sebagai tempat Ratna memuaskan hasrat, menggantikan monster tentakel di film aslinya. "Mengapa bukan genderuwo yang identik dengan sifat mesum?", kata beberapa pihak. Setelah menonton, saya mengakui Possession: Kerasukan sudah mengambil keputusan tepat.
Kehadiran genderuwo, atau hantu apa pun yang cenderung diasosiasikan sebagai "hantu laki-laki", bakal terkesan kontradiktif dengan pesan empowerment-nya. Pocong dengan kenetralan gendernya lebih pas menjadi manifestasi hasrat Ratna untuk bebas dari kekangan.
Sayangnya si pocong tak kuasa mengangkat tingkat kengerian filmnya. Ketimbang monster milik Żuławski, pocong di sini, dengan cara kemunculan yang bisa dibilang "eksentrik", lebih sering menampakkan batang hidungnya, guna membuat Possession: Kerasukan tampil sedekat mungkin dengan horor konvensional Indonesia.
Bagaimana Razka Robby Ertanto menyusun alur lambat di paruh awal durasi sesungguhnya cukup efektif menarik perhatian, memancing rasa penasaran tentang ke mana guliran lambat itu bakal bermuara. Sayang, payoff yang sang sutradara berikan sebatas barisan jumpscare generik berupa penampakan pocong, yang selalu digambarkan meluncur ke arah kamera. Lalu seiring berjalannya waktu, Possession: Kerasukan semakin kacau, semakin dipenuhi kebodohan, termasuk keteledoran konyol seorang antagonis mesum di klimaks filmnya.
Tapi beban terbesar tentu diemban oleh individu yang harus meneruskan jejak Isabelle Adjani selaku aktris utama. Seolah menyadari misi yang nyaris mustahil tersebut, filmnya membagi beban tadi kepada dua orang: Carissa Perusset untuk menghidupkan sensualitas karakternya, dan Sara Fajira yang melakoni reka ulang adegan kerasukannya yang ikonik. Keduanya sudah mengeluarkan upaya terbaik, namun Adjani ada di level yang terlampau tinggi untuk dapat dikejar. Kondisi serupa terjadi dalam komparasi antara film ini dengan karya Żuławski.
REVIEW - IMMACULATE
Hanya berjarak sekitar sebulan, The First Omen dan Immaculate, dua horor dengan premis serupa (suster Amerika datang ke Italia, kemudian terjebak konspirasi yang melibatkan bayi iblis) dirilis secara bergiliran, menambah jumlah twin films yang sudah terjadi sejak lebih dari satu abad lalu. Penyelewengan ajaran agama dengan segala ritual, imageries mengerikan, serta entitas tak terlihatnya memang santapan lezat bagi sineas horor.
Perbandingan antara kedua judul jelas mustahil dihindarkan. Apalagi saat di sini kita mendapati Suster Cecilia (Sydney Sweeney) juga memiliki teman seorang suster "nakal" bernama Gwen (Benedetta Porcaroli). Di biara yang ia datangi atas ajakan pastor Sal Tedeschi (Álvaro Morte), Cecilia bertugas merawat para suster senior yang telah mendekati akhir hayat mereka.
Tidak butuh waktu lama bagi Cecilia untuk menyadari ketidakberesan di biara tersebut, di mana beberapa suster nampak bersikap aneh. Bukan cuma itu, suatu hari Cecilia diinterogasi oleh Kardinal Franco Merola (Giorgio Colangeli) perihal keperawanannya. Dari situlah naskah buatan Andrew Lobel mulai pelan-pelan menebar remah-remah yang membangun pesan mengenai isu gender.
Cecilia merepresentasikan perempuan yang terkekang dalam penjara bernama "peran gender". Sebagai perempuan ia dituntut bertindak santun, berlaku suci, lalu hanya diminta mengandung dan melahirkan bayi. Tentu kalau bisa bayi laki-laki, yang diharapkan bakal menjadi figur penting di masa depan.
Jadilah 89 menit durasi Immaculate membentuk proses perempuan lepas dari kekangan "setan". Tidak hanya setan bertanduk dari neraka, tapi juga mereka yang berkontribusi melanggengkan peran gender destruktif tersebut, baik itu laki-laki penguasa maupun sesama perempuan.
Di antara penelusuran tersebut, filmnya menyelipkan deretan jumpscare yang dieksekusi secara generik oleh Michael Mohan selaku sutradara. Mayoritas hanyalah penampakan berisik minim dampak. Beberapa kali Mohan coba menerapkan pembangunan lambat bagi jumpscare-nya, namun daripada terasa mencekam, justru kesan draggy yang didapat akibat kurangnya kemampuan sang sutradara menyusun atmosfer.
Immaculate malah mampu tampil menyentak saat tidak berusaha terlalu keras menggedor jantung. Tengok saat seorang suster tewas akibat jatuh dari lantai atas. Tanpa musik menggebrak namun lebih menggigit, dan menariknya, lebih mengagetkan. Kuncinya ada di timing. Mohan berhasil membuat penonton lengah di momen tersebut.
Sentuhan kekerasannya yang cukup brutal pun memberi daya hibur tambahan, yang turut membuka jalan bagi konklusi memuaskan tatkala kita menyaksikan si perempuan akhirnya meruntuhkan tali kekang yang merenggut kebebasannya. Di situ pula totalitas ledakan akting Sydney Sweeney berkontribusi besar, seolah membuktikan bahwa keputusannya membeli hak cipta naskah Immaculate, lalu memproduserinya sendiri, merupakan langkah tepat.
REVIEW - KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES
Apalagi yang bisa dicapai seri Planet of the Apes pasca trilogi reboot yang ditutup dengan sempurna tujuh tahun lalu? Apakah Kingdom of the Planet of the Apes sebatas upaya mengeruk keuntungan yang memaksakan arah penceritaan? Rupanya bukan. Bahkan secara ambisius ia coba membawa kisahnya ke ranah yang makin kompleks, di mana definisi bagi istilah "perlawanan" dikaburkan.
Berlatar 300 tahun setelah War for the Planet of the Apes (2017), kondisi dunia sudah sama sekali berbeda. Kera berkuasa, sedangkan manusia, akibat terinfeksi flu simian yang bermutasi, kembali menjadi makhluk primitif. Di masa itulah hidup Noa (Owen Teague), simpanse muda dari "klan elang". Disebut demikian karena mereka menjadikan elang sebagai peliharaan yang membantu menuntaskan berbagai aktivitas sehari-hari.
Pertama kali kita bertemu Noa, ia sedang mencari telur elang untuk upacara yang menandai kedewasaannya. Wes Ball (trilogi Maze Runner) yang mengisi posisi sutradara membungkus fase perkenalan itu dengan luar biasa, seolah ingin segera memamerkan segala amunisi yang ia punya. Efek visual yang membuat para kera nampak benar-benar hidup sehingga penonton memedulikan nasib mereka, hingga adegan aksi menegangkan yang tak terkesan artifisial adalah beberapa di antaranya.
Semakin jauh kita mengamati kehidupan Noa, semakin terasa bahwa film ini memiliki bangunan dunia yang cukup solid (tengok bagaimana klan elang kaya akan sentuhan kultural), walaupun nantinya muncul sebuah tanda tanya. Apa yang membuat klan elang hidup begitu terasing hingga masyarakatnya melupakan eksistensi Caesar beserta ajaran-ajarannya? Mungkin sekuelnya kelak bakal memberi jawaban.
Alih-alih hidup dalam damai sebagaimana Caesar perjuangkan, generasi kera ini dibayangi ketakutan akibat tangan besi Proximus Caesar (Kevin Durand), yang memakai nama sang pahlawan untuk berkuasa secara semena-mena. Klan elang pun hancur akibat serangan pasukannya yang sedang mencari keberadaan seorang anak manusia bernama Mae (Freya Allan).
Ditemani Mae yang terus mengikutinya karena kelaparan, juga Raka (Peter Macon) si orang utan bijak yang ingin meluruskan ajaran Caesar, Noa pun melakukan perjalanan mencari tempat Proximus Caesar menawan seluruh anggota klannya. Perjalanan yang meski dilatari lanskap post-apocalyptic megah berhiaskan bangkai kapal tanker dan reruntuhan bandara, di luar dugaan tampil intim, dengan tempo lambat pula berskala kecil (didominasi obrolan dua kera). Langkah berani untuk blockbuster dengan biaya 165 juta dollar.
Bukan berarti Ball tak piawai menangani spektakel. Sebaliknya, ia begitu lihai mengombinasikan gerak kamera dinamis dengan ketepatan pemakaian CGI untuk melahirkan sederet aksi intens. Di situlah letak keunikan Kingdom. Ada kalanya ia terasa sebagai drama yang "kecil", namun saat beralih ke aksi, tanpa terkesan janggal, filmnya bertransformasi menjadi sesuatu yang jauh lebih masif.
Satu yang patut disayangkan adalah kurangnya eksplorasi terhadap tema "nabi palsu" yang diwakili oleh Proximus Caesar. Padahal poin ini merupakan cara cerdik untuk mengaitkan Kingdom selaku sekuel yang berdiri sendiri dengan trilogi reboot-nya, sekaligus pengembangan natural dari kisah sebelumnya. Fokus naskahnya terbagi dengan keharusan memaparkan proses perkenalan Noa dengan dunia luar. Proximus pun berakhir sebagai antagonis pengincar kuasa biasa.
Beruntung, seiring bergulirnya waktu, tema utamanya, yakni pertanyaan soal "Dapatkan manusia dan kera hidup berdampingan?" turut mengalami peningkatan dalam kadar eksplorasinya. Semakin kompleks, karena yang bergesekan adalah dua pihak dengan alasan kuat. Manusia dengan ambisi mengklaim kembali dunia yang mereka bangun, melawan kera yang enggan mengalami kemunduran demi memenuhi hasrat berkuasa pihak lain yang bahkan tak memedulikan mereka.
Konklusi Kingdom of the Planet of the Apes menutup konflik tersebut dengan cantik, sembari menyiratkan bahwa mungkin saja, apa yang baru kita saksikan selama 145 menit (berlalu tanpa terasa) adalah proses lahirnya dua figur yang kelak bakal memimpin spesies masing-masing memperjuangkan kemerdekaan mereka.
REVIEW - MENJELANG AJAL
Suatu hari nanti, di waktu yang tepat, saya yakin sekuel Rumah Dara akan dibuat, dan penampilan Shareefa Daanish sebagai Ibu Dara bakal ramai dibicarakan. Entah kapan "suatu hari nanti" tersebut tiba. Tapi untuk sekarang, nikmati saja dulu pertunjukan tunggal sang aktris, yang mampu mengangkat kualitas sebuah film horor seorang diri, sebagaimana ia kerap lakukan dalam beberapa tahun terakhir.
Di Menjelang Ajal, Shareefa memerankan Sekar, ibu dari tiga anak: Dani (Daffa Wardhana), Ratna (Caitlin Halderman), dan Dodi (Shakeel Fauzi). Sekar bersikap cukup keras pada anak-anaknya. Dia mengusir Dani dari rumah karena si putera sulung menolak berkuliah dan ngotot ingin memilih jalan hidupnya sendiri. Dia tegur pula Ratna yang masih SMA, karena diantar pulang oleh laki-laki lebih tua.
Menurut Sekar, ia hanya ingin anak-anaknya sukses, berbeda dengan dirinya yang cuma membuka warung makan. Masalahnya Sekar bukan sekadar menjalankan bisnis kuliner. Dipakainya ilmu penglaris yang dipasang oleh dukun bernama Mak Ambar (Dewi Pakis). Sampai suatu ketika, tiba-tiba warung makannya sepi pengunjung selama berbulan-bulan, dan di saat bersamaan kondisi fisik serta perilaku Sekar pun menjadi aneh.
Satu hal subtil yang saya apresiasi dari naskah buatan Deni Saputra adalah ketiadaan figur jahat di sini, kecuali sosok setan yang merasuki Sekar (ia hadir karena dipanggil dan hanya murka akibat dilanggarnya sebuah perjanjian). Tidak ada orang jahat, tidak ada dendam kesumat, tidak ada permusuhan, tidak ada upaya menghancurkan kehidupan. Hanya ada kisah mengenai manusia yang terkena dampak tindakannya sendiri.
Penceritaan di paruh pertamanya bergulir apik sekaligus merupakan fase terbaik Menjelang Ajal. Di situlah timbul misteri seputar gangguan yang dialami Sekar, disertai potret menarik terkait dunia klenik dalam lingkup bisnis kuliner. Babak-babak berikutnya tak pernah mengulangi pencapaian itu, namun Dedi Saputra memastikan bahwa naskahnya memang mengandung sesuatu untuk diceritakan, alih-alih sekadar menjembatani penampakan-penampakan hantu.
Peristiwa yang judulnya janjikan pun berhasil digambarkan, tatkala kita melihat sulitnya Sekar menyambut ajalnya, dan mengalami berbagai siksaan fisik. Sementara luka psikis karakter-karakternya tersaji tidak begitu kuat karena minimnnya eksplorasi. Padahal ada potensi untuk menghadirkan drama menggigit seputar ketidaksempurnaan seorang ibu. Seorang ibu juga bisa berdosa. Seorang ibu tidak selalu benar. Seorang ibu juga bisa keliru menilai darah dagingnya. Tapi bukan berarti tiada kasih sayang.
Terkait kualitas teror, sayangnya Hadrah Daeng Ratu selaku sutradara belum mampu mengulangi kengerian Pemandi Jenazah beberapa waktu lalu. Pendekatan atmosferik sarat gambar-gambar mengerikan digantikan oleh jumpscare generik berbalut tata suara berisik. Untunglah kuantitas penampakannya tidak seberapa tinggi, disokong elemen gore yang cukup menyenangkan, dan tentunya tertolong oleh transformasi Shareefa Daanish.
“Aktor menjelma menjadi makhluk artistik yang mampu menghayati perannya tanpa disadari sesuai gerak intuitif". Dahulu Shareefa pernah menulis kalimat tersebut di akun Instagram miliknya. Itu pula yang nampak di Menjelang Ajal. Caranya mengolah ekspresi dan gestur memperlihatkan wujud seni peran yang tidak cuma berusaha nampak seram, tapi memperhatikan nilai artistik.
REVIEW - ABIGAIL
Abigail berangkat dari premis tentang serangan vampir balerina. Dilihat dari sudut mana pun, sebutan "vampir balerina" memang terdengar konyol. Bodoh. Tapi poin terbaik film garapan duo sutradara Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett ini bukanlah keberhasilan "memintarkan" ide tersebut, melainkan kesediaan mengamini kebodohannya. Kenapa harus malu bila kebodohan tersebut mampu melahirkan daya hibur tinggi?
Dikisahkan, enam kriminal bertugas menculik bocah bernama Abigail (Alisha Weir) dengan tujuan meminta uang tebusan sebesar 50 juta dollar kepada ayahnya. Keenamnya memakai nama samaran untuk berkomunikasi, dan Joey (Melissa Barrera) adalah panggilan yang dipakai oleh protagonis kita, sedangkan Abigail merupakan si vampir balerina yang bakal merenggut nyawa enam penculiknya satu per satu.
Penonton yang familiar dengan tipikal tontonan semacam ini pasti sudah hafal pola penceritaannya. Sebelum menyantap menu utama yang lezat, kita harus melewati sajian pembuka yang cenderung melelahkan, karena diisi obrolan membosankan antara karakter-karakter dangkal minim daya tarik. Sebatas upaya memenuhi durasi ketimbang sungguh-sungguh berusaha membangun latar belakang secara solid. Tapi Stephen Shields dan Guy Busick selaku penulis naskah punya rencana lain.
Barisan manusia di Abigail memang tak dibekali penokohan yang sangat mendalam, namun kebanyakan dari mereka terasa "berwarna". Frank (Dan Stevens) si pemimpin tim, hingga Peter (Kevin Durand) si pria berotot besar dengan kapasitas otak kecil, punya kepribadian yang bisa memproduksi rangkaian interaksi menarik, sebab karakter mereka tidak pernah diperlakukan dengan terlalu serius oleh para penulis naskah.
Seluruh manusia di film ini sadar seaneh apa situasi yang sedang dialami. Mereka paham betapa absurdnya dikejar-kejar oleh vampir balerina, atau membekali diri dengan bawang putih sebagai metode membasmi sang monster. Dari situlah kelucuan kerap dibangun.
Ketimbang basa-basi melelahkan, Shields dan Busick pun menyiapkan bentuk adegan yang lebih kreatif guna memperkenalkan tiap individu, ketika Joey memamerkan kemampuan deduksi ala detektif yang ia pakai untuk membaca latar belakang masing-masing orang. Menyenangkan. Apalagi para pemainnya juga nampak bersenang-senang melakoni peran mereka, dari kepiawaian Dan Stevens mengolah sarkasme, pembuktian kematangan Melissa Barrera hasil pengalamannya menjadi final girl, sampai bagaimana Alisha Weir senantiasa mencuri sorotan sebagai predator kecil yang bermain-main dengan mangsanya.
Dihasilkan oleh dua sineas yang menciptakan Ready or Not (2019) dan meningkatkan kadar kekerasan di seri Scream melalui Scream VI (2023), begitu sang vampir mulai beraksi, banjir darah jelas tak terelakkan.
Bettinelli-Olpin dan Gillett menerapkan kekhasan mereka untuk sedikit memodifikasi formula kisah vampir. Di film ini, ketika terpapar cahaya matahari atau jantungnya ditikam, tubuh para vampir tidak terbakar tetapi meledak. Kegemaran meledakkan tubuh itulah yang akan memunculkan komparasi antara konklusi Abigail dengan karya mereka berdua sebelumnya.
Kekurangan malah terletak pada eksplorasi premis "vampir balerina", yang meski mampu memproduksi beberapa momen nyeleneh, sayangnya tak pernah benar-benar jadi bagian esensial yang menambah kesegaran filmnya di ranah eksekusi. Alhasil, petak umpet yang terjadi antara manusia melawan vampir ada kalanya terasa lebih generik dibanding apa yang berpotensi filmnya capai. Tapi semangat bersenang-senang yang tertanam di tiap sudut Abigail membuatnya sanggup mempertahankan kekuatan untuk menghibur penonton hingga akhir.
REVIEW - TOTTO-CHAN: THE LITTLE GIRL AT THE WINDOW
Sampai saat ini, Totto-Chan: The Little Girl at the Window adalah film terindah yang saya tonton sepanjang 2024. Slice of life yang ringan di permukaan namun di dalamnya menyimpan kompleksitas, menggelitik sekaligus menyakitkan, tampil begitu cantik walau mempunyai sisi kelam. Adaptasi novel autobiografi berjudul sama karya Tetsuko Kuroyanagi ini adalah mahakarya yang sanggup mengalirkan air mata selama 114 menit durasinya.
Goresan warna lembut dengan garis putus-putus yang bak mencerminkan keindahan di balik ketidaksempurnaan hidup melatari dunia tempat kita berkenalan dengan gadis cilik bernama Totto-Chan. Perang Dunia II mulai mengintip, tapi ada masalah yang lebih dekat tengah dialami Totto-Chan. Dia dikeluarkan dari sekolah akibat dianggap susah diatur. Sebutan "biang masalah" pun kerap didapat, tapi secara tersirat kita tahu ia bukan sebatas bocah nakal, melainkan pemilik ADHD.
Sampai sang ibu menemukan sekolah baru bagi Totto-Chan, yakni Tomoe Gakuen milik Pak Kobayashi. Di sanalah Totto-Chan bertemu teman-teman yang juga dianggap berbeda, termasuk Yasuaki si pengidap polio, dan rutinitas mereka menjadi pondasi alur film ini. Naskah buatan sang sutradara, Shinnosuke Yakuwa, bersama Yōsuke Suzuki bercerita secara episodik, menghasilkan lompatan-lompatan yang cenderung kasar antar peristiwa.
Hal di atas jadi satu-satunya kekurangan (minor) Totto-Chan: The Little Girl at the Window. Sisanya adalah presentasi indah mengenai hidup. Bagaimana hidup sungguh berat, khususnya pada masa perang, namun Totto-Chan dan kawan-kawan selalu menemukan cara untuk tersenyum berkat kepolosan mereka. Hal-hal sederhana seperti menginap bersama di sekolah guna menunggu kedatangan gerbong kereta bekas yang Pak Kobayashi pakai sebagai pengganti ruangan nyatanya bisa memproduksi kebahagiaan.
Tawa bahagia para bocah dalam ruang aman yang memberi mereka kebebasan mampu menciptakan pemandangan menyentuh, apalagi saat musik kaya rasa gubahan Yuji Nomi senantiasa mengiringi. Pun selaku sutradara, Shinnosuke Yakuwa tahu betul cara mengaduk-aduk hati penonton. Contohnya tiap Totto-Chan: The Little Girl at the Window beralih sejenak dari realisme, menuju momen sureal (dengan gaya animasi berbeda-beda di tiap adegan) yang mewakili indahnya imajinasi anak-anak.
Bahasa visual memang merupakan keunggulan terbesar Yakuwa, yang membuat filmnya piawai menyampaikan pesan dan rasa melalui teknik non-verbal. Lihat adegan saat Pak Kobayashi diam-diam mengamati tindak-tanduk murid-muridnya dari jendela, atau pemandangan indah sekaligus menyakitkan di babak ketiga kala Totto-Chan berlari melintasi kota, mewakili proses tumbuh kembangnya berkenalan dengan konsep kematian serta kehilangan.
Perjalanan coming-of-age tersebut ditutup secara begitu menyentuh lewat satu kalimat hangat. Di situ kita menyaksikan Totto-Chan yang sudah lebih dewasa, yang paham betul rasa sakit dari ujaran-ujaran kebencian, memberikan cinta sebagaimana pernah ia dampakan. Indah.
REVIEW - CIVIL WAR
Melalui Civil War yang jadi film termahal produksi A24 sampai saat ini (50 juta dollar), Alex Garland bukan sedang menudingkan jari ke pihak tertentu, melainkan Amerika Serikat secara menyeluruh. Dilukiskannya gambaran kemungkinan masa depan, di saat negara yang terpolarisasi berujung meruntuhkan dirinya sendiri. Tidak ada benar atau salah. Hanya kehancuran dan kematian.
Alkisah perang sipil tengah pecah di Amerika. Garland tak menjabarkan alasan pastinya, sebab penonton cukup memahami satu hal: kebencian mengakar terlampau kuat di sana. Para loyalis pendukung pemerintahan presiden yang telah menjabat selama tiga periode berhadapan dengan beberapa faksi yang tersebar di berbagai daerah. Lee Smith (Kirsten Dunst), si jurnalis perang ternama, turut meliput peperangan tersebut di garis depan.
Joel (Wagner Moura) dari Reuters, Sammy (Stephen McKinley Henderson) si jurnalis senior The New York Times, dan Jessie (Cailee Spaeny) yang amat mengidolakan Lee, turut serta dalam liputan berbahaya tersebut.
Terdapat satu poin menarik, di mana keempat karakternya nampak seperti perwujudan sebuah keluarga (ayah, ibu, anak, kakek) yang tengah melakukan road trip. Seiring waktu ikatan di antara mereka menguat, pun di sepanjang perjalanan, masing-masing memperoleh pelajaran berharga. Bedanya, bukan kehidupan yang mereka saksikan, tapi bau busuk kematian.
Selama 109 menit, Civil War menempatkan karakternya dalam beragam skenario berbahaya, yang masing-masing mewakili gagasan Garland tentang bagaimana rupa suatu negeri yang dikuasai kebencian. Kita tak pernah mengetahui alasan di balik perang sipilnya, dan bisa saja, orang-orang bersenjata yang karakternya temui pun tidak benar-benar memahami, atau telah melupakan alasan tersebut. Mungkin mereka cuma menikmati kebebasan meluapkan amarah dan kebencian atas nama perang.
Dari situlah kita memahami keresahan Lee, yang diperankan oleh Kirsten Dunst dengan kematangan dan kekokohan hasil gemblengan realita pahit. Berkali-kali ia lolos dari medan perang untuk menginformasikan horor di garis depan lewat foto-fotonya, tapi mengapa peristiwa serupa senantiasa terulang? Apakah profesinya yang konon penuh jasa itu sungguh berdampak? Apakah umat manusia dengan segala hasrat keji mereka memang sudah tak tertolong lagi?
Dibantu tata suara mumpuni yang bakal membuat penonton merasa diletakkan di tengah baku tembak sungguhan, Garland menyajikan ketegangan lewat keping-keping peristiwa yang protagonisnya alami. Jadilah film perang yang tak kalah mengerikan dibanding horor.
Ada kengerian yang bersumber dari implikasi mengenai bakal bagaimana kondisi dunia selepas filmnya usai (imajinasi penonton), ada pula kengerian yang berasal dari paparan lebih gamblang tatkala Garland secara efektif memvisualisasikan kondisi perang sipil tersebut. Menonton Civil War seperti menyaksikan cuplikan hari kiamat dengan atmosfer menghantui yang sukar dihapus dari ingatan.
Satu hal yang agak disayangkan adalah terkait tendensi Garland untuk menjauh dari sudut pandang para jurnalis, menyoroti pusat peperangan secara lebih dekat, guna menghadirkan spektakel yang lebih besar. Hasilnya lebih seru, lebih epik, namun realisme dan keintiman filmnya justru melemah.
Garland memilih jurnalis sebagai protagonis untuk menekankan netralitas Civil War. Bukan berarti sang sineas kurang tegas bersuara. Sebaliknya, poin tersebut membuktikan kalau Garland tidak naif dengan memandang salah satu pihak politik lebih baik dari yang lain. Perjalanan para jurnalisnya merupakan proses menangkap realita secara apa adanya, dan akhirnya realita tersebut cuma menunjukkan potret kematian.
21 komentar :
Comment Page:Posting Komentar