REVIEW - F1 THE MOVIE
Pengetahuan saya tentang Formula One terbatas pada nama-nama jawara ternama yang disebut atau muncul sebagai cameo di film ini: Michael Schumacher, Ayrton Senna, Lewis Hamilton, Fernando Alonso, Max Verstappen. Bukan masalah, sebab F1 the Movie tak mengharuskan kita menggilai dunia otomotif. Film ini melakukan apa yang film olahraga harusnya lakukan, dengan membuat penonton awam memahami alasan mengapa para penggemar mencintai cabang olahraga yang diangkat.
"Apakah ini film biografi?" mungkin bakal jadi pertanyaan yang banyak mencuat di kalangan non-penggemar. Tapi bukan. Sonny Hayes yang diperankan Brad Pitt bukanlah figur nyata, meski sedikit mengambil inspirasi dari Martin Donnelly yang terpaksa pensiun di usia 26 tahun akibat kecelakaan fatal di sirkuit Jerez.
Hayes mengalami nasib nahas serupa, namun alih-alih pensiun, ia menjadi pengembara. Sesosok serigala penyendiri yang berpindah dari satu balapan ke balapan lain. Semuanya ia menangkan. "The greatest that never was", begitu sebutan yang disematkan oleh para pengamat balap mobil terhadapnya. Brad Pitt dengan perangai congkak bak koboi miliknya memudahkan penonton untuk percaya bahwa Hayes tak terkalahkan di atas lintasan.
Lalu datanglah tawaran dari Ruben Cervantes (Javier Bardem), mantan rekan setim Hayes yang kini jadi pemilik tim balap APXGP, untuk kembali ke ajang F1. APXGP tengah mengalami krisis, di mana satu poin pun belum diraih musim ini. Si pembalap andalan, Joshua Pearce (Damson Idris), punya talenta luar biasa, namun masih terlalu hijau untuk dapat melakukan analisa, guna membantu Kate McKenna (Kerry Condon) selaku direktur teknis memproduksi mobil terbaik bagi mereka.
Ketika seluruh pihak meragukan Hayes, interpretasi Pitt terhadap si karakter membuat penonton mendukung dan meyakini ia bakal sukses secara instan. Tapi di luar dugaan, uji cobanya walau tetap berakhir positif tidak berlangsung mulus. Sebuah keputusan cerdik dari Ehren Kruger selaku penulis naskah. Berkatnya intensitas berhasil dibangun, F1 tak kehilangan kredibilitasnya dengan membuat pembalap tua yang telah puluhan tahun absen tidak segampang itu menaklukkan sirkuit, sekaligus menegaskan ketidaksempurnaan si protagonis.
Sirkuit Silverstone menandai kembalinya Hayes ke F1. Sinematografi arahan Claudio Miranda membangun kemegahan bahkan sebelum balapan dimulai, menangkap keriuhan para spektator yang bersemangat, menciptakan realisme dengan merekam situasi British Grand Prix 2023 secara langsung, sementara lagu We Will Rock You milik Queen bergema, melengkapi atmosfer yang akan membuat bulu kuduk semua orang berdiri.
Begitu balapan dimulai, lesatan F1 the Movie tidak terbendung lagi. Melanjutkan pencapaiannya di Top Gun: Maverick, Joseph Kosinski kembali membangun kesan imersif dengan membuat penonton seolah turut duduk di kokpit mobil, dibantu oleh teknologi kamera baru yang dikembangkan Claudio Miranda bersama Sony.
Di luar tetek bengek teknis, gaya balapan Hayes yang ugal-ugalan dan kerap berjalan di garis batas aturan turut menambah nilai hiburan, sedangkan kontribusi tim konstruktor beserta segala analisis taktis mereka berjasa menekankan bahwa Formula One bukan sebatas kebut-kebutan nihil perhitungan. Saya pun seketika bergumam, "Jadi ini alasan jutaan orang bersedia memandangi lintasan selama dua jam".
F1 the Movie sejatinya masih dihantui keklisean khas film olahraga arus utama, sebutlah selipan romansa yang sesungguhnya tidak perlu ada, dramatisasi yang terkadang lebih baik ditekan kuantitasnya (dua kecelakaan besar di waktu berdekatan berujung mengurangi dampak emosi), maupun pola penuturan ala cerita from zero to hero yang diterapkan di tiap sudut tanpa modifikasi.
Apakah pilihan konklusinya terlampau mengada-ada? Penonton yang rutin mengikuti kompetisi olahraga apa pun cabangnya, tentu setuju kalau keajaiban bukanlah sesuatu yang asing. Individu atau tim di realita pernah menghasilkan kejutan yang lebih mendekati kemustahilan ketimbang sepak terjang Hayes. F1 the Movie bukannya mengada-ada, melainkan merangkul unsur keajaiban yang kerap memperindah dunia olahraga.
REVIEW - WARKOP DKI KARTUN
Di film ini, trio Warkop DKI bertarung melawan robot, bahkan berupaya menggagalkan rencana Korea Barat (ini bukan salah tulis) melancarkan serangan nuklir ke Indonesia di tengah pertandingan kualifikasi Piala Dunia. Tapi bagian terbaiknya justru datang dari cerita paling sederhana, yakni tentang investigasi terhadap kasus kebocoran soal ujian nasional.
Masih ada kejar-kejaran over-the-top yang memicu efek domino hingga ke luar angkasa, namun dibanding dua kisah lainnya, segmen yang bertajuk Contek Sana Contek Sini tersebut paling memiliki kedekatan pada realita, yang mana senada dengan sentilan khas humor Warkop DKI sebelum era 90-an, yang mengakar kuat pada keseharian. Walau jangan mengharapkan tingkat kritis yang sama, mengingat animasi ini didesain bagi segala usia.
Total ada tiga segmen, yang disatukan oleh tugas Dono (Wiwid Widyas Prihantoro), Kasino (Farie Judhistira), dan Indro (Mo Sidik) sebagai anggota CHIPS di bawah pimpinan sang komandan (Indro Warkop). Robot Antik bicara soal bagaimana trio jagoan kita membuat robot guna menyelesaikan "wabah paku" di jalan raya, Contek Sana Contek Sini membawa mereka menyamar sebagai siswa SD untuk mengungkap identitas penyebar bocoran jawaban ujian, sedangkan Maju Mundur Offside akan mewakili impian masyarakat Indonesia berlaga di Piala Dunia yang belakangan tengah meninggi.
Warkop DKI Kartun sebelumnya pernah hidup dalam format serial 13 episode yang rilis pada tahun 2021. Sebuah keputusan jitu, mengingat medium animasi membebaskan pembuatnya mengeksekusi ide seabsurd apa pun. Misal sewaktu adegan kejar-kejaran antara trio Warkop dan si robot sejenak berganti wujud menjadi seperti permainan platformer dengan gaya visual piksel.
Daryl Wilson yang sebelumnya menangani versi serial kembali duduk di kursi sutradara, kali ini berduet dengan Rako Prijanto. Beberapa kru yang sempat bekerja bersamanya mengerjakan dua film Si Juki pun turut bergabung. Serupa Si Juki the Movie, Warkop DKI Kartun digambar dengan garis-garis tegas yang membuat visualnya begitu menarik dilihat.
Tapi seperti Si Juki the Movie pula, masalah muncul ketika setiap frame dipaksakan agar selalu mengandung kelucuan, yang justru memberi hasil berlawanan. Perhatikan bagaimana film-film lawas Warkop DKI membiarkan dinamika yang lebih serius mengalir di sela-sela banyolan, sehingga: 1) Begitu tiba saatnya melucu, dampak humornya lebih besar; 2) Bangunan ceritanya tetap kuat.
Contek Sana Contek Sini jadi segmen terbaik pun berkat pondasi yang lebih solid. Mungkin tanpa sadar para penulisnya (total ada lima orang menggarap naskah film ini) bekerja lebih mudah kala mengembangkan lelucon berdasarkan problematika yang cenderung dekat dengan realita. Humornya kreatif, bahkan acap kali mengecoh ekspektasi. Di sini pula filmnya memanfaatkan kepemilikan Falcon Pictures atas deretan kekayaan intelektual terkenal, guna menyelipkan beberapa cameo menggelitik.
Film ini adalah bentuk modernisasi. Warkop DKI bukan lagi hanya milik generasi tua maupun orang dewasa, walau kesan "kekinian" itu agak diganggu oleh kehadiran humor-humor yang terkesan outdated, seperti penggunaan istilah "kids jaman now", tren tongsis, dll., namun kekurangan itu dipicu oleh pandemi yang memaksa proses produksi tertunda sejak 2019 (naskahnya ditulis pada 2018).
Setidaknya masih ada beberapa bentuk modernisasi lain yang layak diapresiasi, dari lagu-lagu ikonik Warkop DKI yang dibuat ulang tanpa menghapus identitasnya, sampai performa para aktor yang terdengar luar biasa mirip dengan trio legendaris yang mereka isi suaranya. Semua itu memastikan bahwa warisan Warkop DKI akan terus lestari dari generasi ke generasi.
REVIEW M3GAN 2.0
Ada beberapa film yang kerap jadi acuan Hollywood kala memproduksi sekuel: The Empire Strikes Back (1980), The Dark Knight (2008), Aliens (1986), dan Terminator 2: Judgment Day (1991). Mengingat M3GAN (2022) berkisah tentang robot pembunuh, merupakan hal natural saat sekuelnya mengambil opsi terakhir dengan lebih mengedepankan aksi ketimbang horor. Masalahnya Gerald Johnstone selaku sutradara sekaligus penulis naskah gagal memahami alasan keberhasilan mahakarya buatan James Cameron tersebut.
Selepas pembunuhan berantai di film perdana, kini M3GAN (gesturnya dihidupkan oleh Amie Donald, suaranya diisi oleh Jenna Davis) kembali sebagai antihero, dengan misi melindungi Cady (Violet McGraw), meski Gemma (Allison Williams) masih menaruh kecurigaan terhadapnya. Lawan mereka adalah robot lain bernama AMELIA (Ivanna Sakhno) yang dibuat berdasarkan cetak biru M3GAN, namun telah dimodifikasi supaya lebih canggih.
Alurnya "sangat T2". Tapi tatkala Cameron mengeliminasi nuansa horor sembari menggenjot kuantitas baku tembak, Johnstone cuma melakukan poin pertama. Sebagai syarat untuk menghidupkan M3GAN lagi, Gemma menaruh program yang membuat si robot tak bisa membunuh dan melontarkan sumpah serapah. Bayangkan bila T-800 dilarang memakai shotgun miliknya.
Horornya lenyap, tetapi aksinya minim. M3GAN 2.0 pun menjadi 120 menit tanpa taring. AMELIA tidak dipasangi program serupa, namun yang membatasi justru pendekatan sang sineas. Sekalinya pembantaian ia lakukan, semua terjadi begitu cepat, atau secara off-screen. Di satu adegan, ia melempar tombak ke dada korban dan tak setetes pun darah tumpah. AMELIA tidak menari-nari sembari mengamati rasa takut si calon mangsa. Berbeda dengan M3GAN di film pertama, pembunuhan bak pekerjaan rutin yang tidak AMELIA nikmati.
M3GAN 2.0 adalah tontonan penuh potensi yang gagal dipenuhi. Film ini bahkan tak mampu memenuhi janjinya menghadirkan pertarungan over-the-top antara dua robot. M3GAN dan AMELIA baru secara langsung beradu teknologi di babak puncak. Johnstone sejatinya memamerkan kapasitas mengolah aksi lewat permainan tata kamera yang lincah, tapi presentasinya terlalu singkat. Filmnya tidak merasa perlu melunasi janjinya kepada penonton yang sudah sabar menanti.
Di sisi lain, kadar komedinya ditingkatkan. Beberapa di antaranya adalah humor kekanak-kanakan tak lucu, misal saat salah satu karakternya yang berprofesi sebagai ilmuwan cerdas dengan bodohnya salah memakai sapu tangan berbalut obat bius untuk menyeka ingus. Upaya menghadirkan keabsurdan secara lebih kreatif, seperti kala M3GAN berlaku bak Putri Disney yang bernyanyi guna menyampaikan isi hati, dilucuti efektivitasnya oleh eksekusi yang terkesan menahan diri.
Apa gunanya melontarkan ide absurd jika takut akan kekonyolan berlebih? M3GAN 2.0 memang bak kebingungan menentukan jati diri. Belum lagi terkait pesan "pro-AI" yang disamarkan dalam bentuk pesan bijak mengenai harmoni antara manusia dan kecerdasan buatan yang disajikan secara dangkal oleh naskahnya. Apakah pembuat film ini belum menonton Terminator?
REVIEW - THE BRUTALIST
Seorang pria berjejalan di dalam kapal yang penuh nan gelap. Hampir tak terlihat apa pun di sana. Rasanya menyesakkan. Sampai akhirnya cahaya mulai nampak. Dia bergegas keluar, berdiri di bawah bentangan langit biru sembari bersorak bahagia, sementara musik latar terdengar meraung megah mengiringi pemandangan yang turut membuat kita merasakan kelegaan yang teramat sangat tersebut.
Begitulah awal dari perjalanan tiga setengah jam The Brutalist. Si pria, seorang imigran penyintas holokaus asal Hungaria, telah tiba di Amerika yang konon merupakan tanah impian. Adegan menggugah itu berakhir saat kamera mendongak ke atas, lalu memperlihatkan Patung Liberty selaku simbol kebebasan berdiri dalam posisi terbalik. Mungkinkah "American Dream" hanya sebatas angan semu?
Pria itu bernama László Tóth (Adrien Brody). Dia pergi seorang diri meninggalkan sang istri, Erzsébet (Felicity Jones), yang diharapkan bakal segera menyusul. Untungnya László tidak seorang diri. Sepupunya, Attila (Alessandro Nivola), telah membangun kehidupan di Philadelphia dengan menjalankan bisnis furnitur. Attila telah mengganti nama belakangnya dari Molnár menjadi Miller, pula memeluk Katolik selepas menikahi Audrey (Emma Laird). Di situlah untuk pertama kalinya, László sadar bahwa harga mimpi di Amerika begitu mahal. Ada kalanya individu mesti membayar dengan jati diri mereka.
Sejatinya László bukan pria biasa. Di Eropa Timur, namanya sudah cukup kondang sebagai arsitektur penganut gaya brutalisme, yang cenderung menekankan pada "kementahan" bangunan, sebagaimana film ini sendiri, yang coba memandang kehidupan sebagaimana adanya. Pertemuan László dengan Harrison Lee Van Buren (Guy Pearce) si industrialis yang mengagumi karyanya, jadi awal proses The Brutalist menelanjangi wujud asli kehidupan dengan berpijak pada upaya protagonisnya meraih mimpi.
Ditulis oleh sang sutradara, Brady Corbet, bersama partnernya, Mona Fastvold, naskah The Brutalist punya kemampuan menjaga atensi penonton selama tiga jam lebih. Durasi panjang yang terasa penuh sebab kisahnya memang ambisius. Dinamika László-Harrison dipakai untuk menyentil setumpuk isu, dari xenofobia, rasisme, hingga jurang kelas. Bagaimana individu dari kelompok mayoritas, terutama bila ia juga memiliki harta dan kuasa, seperti lintah yang enggan berhenti menyedot daya hidup kaum minoritas. Bahkan Corbet dan Fastvold memakai alegori yang lebih ekstrim: pemerkosaan.
Tapi bahkan durasi 200-an menit tak serta merta membuat The Brutalist menunjukkan segalanya. Beberapa peristiwa sebatas disiratkan, atau kita dengar dari cerita orang ketiga. Serupa karya arsitektur, film ini adalah monumen yang dapat membuat para penikmatnya mempelajari segudang cerita tanpa perlu menyaksikannya.
Jasa departemen lain perihal menjaga atensi pantang dilupakan. Musik gubahan Daniel Blumberg kadang terdengar melankolis, kadang menghantui, lalu sesekali menggelegar layaknya ledakan perasaan yang sudah terlalu lama dipaksa terkubur. Sedangkan sinematografi arahan Lol Crawley menghadirkan keindahan yang janggal. Direkam memakai format VistaVision yang eksistensinya mulai dilupakan, gambarnya menyimpan keintiman, tak jarang mencuatkan klaustrofobia, namun terlihat masif secara bersamaan. Kita seperti diajak mengingat, betapa di tengah luasnya hamparan dunia mungkin eksistensi manusia nampak sangat kecil, namun bukannya tidak berarti.
Di departemen akting, Adrien Brody tampil luar biasa. Matanya menyimpan bermacam emosi, tidak terkecuali kesenduan yang seolah ingin terus menetap. Sebuah performa yang mampu melibatkan penonton supaya ikut "merasakan". Sebaliknya, Felicity Jones yang memasuki sentral penceritaan di paruh kedua memancarkan martabat dalam diri Erzsébet, yang menolak untuk terkoyak biarpun semesta bak berkonspirasi meruntuhkan hidupnya dan sang suami.
Sebab ini bukan sebatas perusakan oleh satu pihak. Selain para mayoritas pemilik kuasa, László dengan obsesinya terhadap idealisme, yang turut mencerminkan obsesi terhadap diri sendiri, juga terlibat dalam penghancuran hidupnya, sementara kecelakaan demi kecelakaan kerap terjadi di luar kendali. Benarkah (seperti yang disampaikan konklusinya) destinasi lebih penting daripada perjalanan yang dilalui, atau anggapan itu sekadar pemaksaan perspektif positif guna memandang tragedi demi menghibur diri?
(MAX)
REVIEW - THE LIFE OF CHUCK
Saya baru saja menemukan film yang paling saya cintai tahun ini. The Life of Chuck punya cerita yang tidak memenuhi kaidah logika, sebab kita memang tidak perlu memandangnya secara logis. Cukup resapi tiap momen dengan hati, rasakan, renungkan, lalu begitu kredit penutup bergulir, mungkin seperti saya, kalian akan duduk terdiam melihat ruang kosong yang nampak di layar, kemudian tanpa sadar berujar, "Hidup ini berharga".
Kisahnya mengadaptasi novela berjudul sama karya Stephen King, dan acap kali cara bertuturnya memang terkesan "terlalu novel', dengan segala narasi cerewet serta obrolan panjang. Tapi dibanding segala keindahan yang The Life of Chuck tawarkan, kecerewetan itu ibarat setitik noda yang nyaris tak kasatmata.
Alurnya dibagi menjadi tiga babak yang masing-masing merekam fase hidup Charles "Chuck" Krantz (Tom Hiddleston). Kronologinya berjalan mundur, di mana babak ketiga muncul paling awal, menggambarkan kondisi dunia yang mendekati gerbang kiamat. Di tengah kehancuran yang datang silih berganti, guru sekolah menengah bernama Marty (Chiwetel Ejiofor) dibuat kebingungan oleh rentetan iklan berisi ucapan terimakasih bagi Chuck.
Poster, baliho, hingga televisi menampilkannya. Orang-orang di seluruh dunia turut melihatnya, tapi tak satu pun mengenal identitas Chuck. "39 Great Years! Thanks Chuck!" tulis iklan yang bak ucapan pensiun tersebut. "Dia terlalu muda untuk orang yang sudah bekerja selama 39 tahun", ucap Marty. Banyak tanda tanya di kepala si guru, tapi dunia tetap bergerak menuju kehancuran, bak memamerkan ketidakpedulian terhadap rasa penasarannya.
Film ini disutradarai oleh Mike Flanagan (juga sebagai penulis naskah dan editor) yang baru kali pertama mengarahkan suguhan non-horor. Jejaknya selaku "ahli teror" masih terasa. Momen saat Marty duduk bersama mantan istrinya, Felicia (dipreankan Karen Gillan yang piawai mengolah emosi), di bawah bentangan langit malam yang pelan-pelan menampakkan anomali, mungkin adalah adegan paling menyeramkan yang pernah Flanagan ciptakan di layar lebar.
Kala itu malam mencekam, sekaligus mengingatkan betapa dibanding luasnya semesta, eksistensi umat manusia begitu kecil, begitu kerdil, begitu rapuh, begitu fana. Tapi bukan berarti tanpa makna. "I contain multitudes". Begitu bunyi kutipan dari puisi Song of Myself karya Walt Whitman yang dibacakan Miss Richards (Kate Siegel), guru Chuck semasa kecil di babak pertama. Kalimat yang memandang eksistensi manusia layaknya sebuah semesta tersendiri sehingga amat berharga.
Kutipan puisi di atas jadi kunci untuk memahami keabsurdan misteri mengenai jati diri protagonisnya. Tapi hal utama yang Flanagan ingin penontonnya lalui bukanlah proses memahami, melainkan merasakan. Rasakan saja adegan-adegan magis yang sang sineas ciptakan. "Tarian di jalanan" yang mendominasi babak keduanya jadi panggung bagi Tom Hiddleston dan Annalise Basso untuk menunjukkan kemampuan berkomunikasi lewat gerak tubuh.
Mark Hamill turut mencuri perhatian lewat penampilannya sebagai Albie, kakek Chuck yang mulai menunjukkan kerapuhannya, baik secara fisik maupun psikis. Albie tersiksa oleh pengetahuannya atas apa yang akan terjadi. Ada kalanya ketidaktahuan adalah sebuah berkah. Sama seperti perasaan saat menonton The Life of Chuck, yang sukses membangun antusiasme lewat setumpuk tanda tanya. Apa yang akan terjadi setelahnya? Ke mana ceritanya bakal bermuara? Sinema sebagai miniatur kehidupan memang sama misteriusnya.
REVIEW - 28 YEARS LATER
28 Years Later adalah film zombie paling indah yang pernah saya tonton. Kematian, sebagaimana sudah ditetapkan sejak film pertama, bukanlah sumber kehancuran. Para zombie bukan berbentuk mayat hidup. Kematian tak mampu menyakiti. Justru mereka yang hidup, beserta "kejahatan" dari emosi negatif manusia-lah pelakunya. Film ini memandang kematian sebagai konsep yang sepatutnya dirayakan alih-alih ditakuti.
Kelompok penyintas yang kini kita ikuti kehidupannya, tinggal secara terasing dari daratan utama Britania yang telah dikarantina dengan membangun desa di Pulau Lindisfarne. Di tengah kehidupan damai itu, Spike (Alfie Williams) yang baru saja menginjak usia 12 tahun, bersiap menjalani ritual pendewasaan. Bersama sang ayah, Jamie (Aaron Taylor-Johnson), Spike bakal berburu "mereka yang terinfeksi" (supaya lebih ringkas akan saya sebut "zombie" setelah ini). di daratan utama.
Seiring Spike dan Jamie berjalan menyeberangi samudera yang sedang surut, filmnya menyelipkan barisan rekaman film berita dari era Perang Dunia II, untuk menunjukkan bahwa sejak dahulu, anak-anak telah dipaksa dewasa lebih cepat dengan berkontribusi dalam aksi saling bunuh. Seolah ingin menyesuaikan dengan pengarahan Danny Boyle yang penuh gaya, penulisan Alex Garland pun menolak menyusun narasi secara biasa-biasa.
Sesampainya di daratan utama, kita segera mendapati kalau para "zombie" sudah berevolusi menjadi bermacam jenis. Salah satu jenisnya memiliki berat badan berlebih dan cuma bisa bergerak dengan cara melata. Panah Spike melesat menembus leher salah satu "zombie" tersebut yang berkelamin laki-laki. Tiba-tiba, sesosok "zombie" perempuan langsung menyerang Jamie. Apakah serangan itu didasari duka yang menyulut upaya balas dendam?
"Zombie" lain justru sebaliknya, punya ukuran tubuh lebih besar dari manusia normal, pula lebih kekar sekaligus lebih kuat. Mereka yang disebut "Alpha" itu berkeliaran dengan rambut panjang berantakan tanpa mengenakan sehelai pun pakaian. Di satu titik, salah satu Alpha yang dipanggil "Samson" menjawab pertanyaan saya di atas.
28 Years Later menunjukkan bahwa infeksi dari "virus amarah" lambat laun menuntun umat manusia kembali ke sisi liar mereka. Di zaman yang dipenuhi amarah seperti sekarang, baik berupa pertikaian dunia nyata maupun keributan media sosial, film ini membawa relevansi tinggi. Sejatinya bukan hanya amarah. Segala bentuk emosi dan perilaku negatif bakal menggiring kita menuju kehancuran serupa.
Sebutlah prasangka. Isla (Jodie Comer), istri Jamie, sedang mengidap penyakit misterius yang menyiksa hari-harinya. Jamie tahu bahwa di daratan utama, hiduplah seorang dokter misterius bernama Kelson (Ralph Fiennes). Tapi prasangka yang terlanjur berkuasa di hati Jamie menghalanginya meminta pertolongan sang dokter. Menolak menerima penjelasan Jamie, Spike nekat membawa ibunya ke daratan utama guna menemui Kelson.
Tatkala berburu bersama sang ayah, Spike beberapa kali ragu untuk melepaskan anak panahnya. Ada kalanya tembakan Spike gagal mengenai sasaran akibat dikuasai rasa takut. Sewaktu melakukan perjalanan bersama ibunya, rasa takut itu berangsur lenyap. Seiring ia melihat bentangan dunia luar, Spike mengalami proses pendewasaan didasari rasa cintanya.
28 Years Later merupakan kisah coming-of-age berkedok film zombie, dan Boyle memastikan presentasinya tidak kekurangan gaya. Deretan musik berbasis gitar garapan Young Brothers mengiringi aksi karakternya, sementara sinematografi arahan Anthony Dod Mantle membuat pertumpahan darahnya bukan sekadar mengumbar kekerasan murahan. Termasuk teknik "poor man's bullet time" yang muncul saat protagonisnya menghabisi para "zombie", di mana Boyle memasang 20 buah iPhone 15 Pro Max di sebuah papan kayu.
Tapi bukan di situ letak keindahan 28 Years Later. Momen tersebut hadir selepas pertemuan Spike dan Kelson di paruh kedua. Di tengah kuil buatan Kelson, sembari ditemani oleh alunan musik dreamy, Spike menerima pemahaman mengenai konsep kematian. Bukan berarti filmnya mendadak banting setir ke ranah melodrama. 28 Years Later terasa puitis, indah, bahkan menyentuh, namun dengan caranya sendiri yang tetap mengandung kesan "sakit".
Di antara tulang-belulang yang menyusun kuil tersebut, Spike (dan penonton) belajar bahwa daripada cuma meratapi nyawa yang direnggut oleh kematian, lebih baik mengenang cinta yang pernah dihasilkan oleh kehidupan. Film zombie tidak pernah seindah dan sehidup ini.
REVIEW - ELIO
Belum sampai lima menit film ini bergulir, tangis saya sudah jatuh melihat si protagonis yang wajahnya pun dibasahi air mata. Elio (Yonas Kibreab) namanya, bocah 11 tahun yang tak menangis layaknya "karakter kartun". Hanya setitik air mata mengalir di pipi Elio, sementara hatinya merenungkan kesepian yang menghantui. Mungkin ia sendiri tidak sepenuhnya memahami alasan kepiluannya. Ada kalanya kita berada di kondisi serupa. Kedalaman jiwa manusia memang tak kalah misterius daripada jagat raya.
Sebagaimana karya-karya terbaik Pixar, Elio memahami kompleksitas emosi manusia. Adegan di atas memperlihatkan Elio berbaring di semacam planetarium di kantor bibinya, Olga (Zoe Saldaña), yang tergabung dalam kesatuan angkatan udara. Elio yang sebatang kara sepeninggal kedua orang tuanya, terhipnotis oleh hipotesis bahwa umat manusia tidak seorang diri di alam semesta. Dia berharap alien menculiknya, membawanya pergi ke dunia di mana ia diinginkan oleh para penghuninya.
Kelak harapan itu jadi kenyataan, walau sedikit berbeda dari apa yang Elio imajinasikan, di mana ia malah terjebak di tengah konflik luar angkasa, yang turut membawanya menjalin persahabatan unik dengan makhluk dari Hylurg bernama Glordon (Remy Edgerly). Saya tak menyebutnya "alien", karena bagi Glordon pun Elio merupakan alien. Semua hanya perihal perspektif. Pastinya, mereka sama-sama teralienasi di tempat tinggal masing-masing.
Momen saat Bumi pertama kali disambangi oleh makhluk ekstraterestrial yang menciptakan gangguan bagi beragam benda elektronik serta berjasa menghapus skeptisme dalam diri Olga, memancarkan atmosfer mencekam nan magis khas film bertema "kunjungan alien". Trio sutradaranya, Madeline Sharafian, Domee Shi (Turning Red), dan Adrian Molina (Coco) kentara mengerjakan pekerjaan rumah mereka di adegan tersebut.
Begitu pula Julia Cho, Mark Hammer, dan Mike Jones selaku penulis naskah. Close Encounters of the Third Kind (1977) buatan Steven Spielberg terkenal lewat tagline-nya yang berbunyi "We are not alone", yang hingga kini seolah jadi kalimat wajib dalam film mengenai invasi alien. Elio mengambil kalimat yang bersinonim dengan kengerian itu menjadi sesuatu yang lebih bermakna, dengan menerapkannya dalam perjalanan protagonisnya mengusir rasa sepi.
Sewaktu kisahnya mengajak penonton bertualang menjauhi Bumi, biarpun Elio dan Glordon adalah duo yang mudah dicintai, alurnya sebatas melempar suguhan buddy comedy generik. Luar angkasa dengan segala keanehannya tidak lebih dari pernak-pernik visual yang memikat mata akibat minimnya eksplorasi. Padahal pembangunan dunia kerap jadi keunggulan Pixar. Sebaliknya, Elio mencapai fase terbaik tiap alurnya menjalin koneksi dengan kehidupan di Bumi. Di situlah ia sukses mengawinkan elemen fiksi-ilmiah dan drama humanis dengan apik.
Saya kembali meneteskan air mata di babak ketiga tatkala Elio yang tengah melayang di orbit Bumi akhirnya diyakinkan bahwa ia tidaklah seorang diri. Bagi individu yang sudah terlalu lama terkurung dalam rasa sepi, ucapan "Kamu tidak sendiri" ibarat gaya tarik gravitasi yang menjaganya supaya tak terbang mengawang-awang di ruang hampa bernama "kesendirian".
REVIEW - HOW TO TRAIN YOUR DRAGON (2025)
Banyak yang menyebut How to Train Your Dragon sebagai salinan mentah dari versi animasinya. Tidak salah, tapi justru karena itulah remake ini berhasil. Golnya jelas. Dean DeBlois (juga menyutradarai film orisinalnya) dan tim tak berniat membawa interpretasi baru, tapi sebatas mengulang sihir lamanya. Alhasil, penonton yang familiar dengan animasinya akan dipuaskan oleh perasaan nostalgia, sedangkan penonton muda bakal merasakan magis sebagaimana kita, "penonton senior", alami 15 tahun lalu.
Semuanya masih sama. Ceritanya sama, Mason Thames punya tampilan fisik sama persis dengan karakter Hiccup yang ia perankan, bahkan Gerard Butler kembali memerankan Stoick si kepala suku yang dahulu ia isi suaranya. Dua dekade telah berlalu sejak Butler menghidupkan Leonidas yang ikonik, namun seruan perang yang sang aktor lontarkan tetap sama menggetarkannya.
Pada dasarnya, materi asli How to Train Your Dragon memang cenderung fleksibel. Animasi membebaskannya, tapi live-action pun adalah medium presentasi yang cocok. Misal penggambaran Hiccup. Di versi animasi pun, ia bukanlah protagonis yang cartoonish dan bersikap sebagaimana pemuda yang canggung secara sosial di dunia nyata. Menerjemahkannya ke realita bukan sebuah kemustahilan.
Dibekali materi luar biasa kuat, DeBlois sadar betul bahwa kesalahan fatal yang berpotensi terjadi adalah, jika ia memaksakan diri untuk mengutak-atiknya, lalu memberi perbedaan semata-mata supaya segalanya tidak serupa. Tujuan "mengulangi" pun ditetapkan, dan sang sineas secara konsisten terus melangkah di jalur tersebut.
Saya tetap dibuat terikat oleh mitologi dunia fantasinya yang kaya, di mana Viking dari Desa Berk menjalin permusuhan abadi dengan para naga; jajaran karakter utamanya, baik Hiccup dengan segala ide jenius yang membuatnya mudah disukai, maupun kelima kawannya, Astrid (Nico Parker), Snotlout (Gabriel Howell), Fishlegs (Julian Dennison), Ruffnut (Bronwyn James), dan Tuffnut (Harry Trevaldwyn), kembali membawa pesona unik masing-masing; kisah mengenai hubungan disfungsional antara si protagonis dengan ayahnya yang terus-terusan enggan mendengarkan sang putra pun masih menyentuh hati.
Toothless si naga Night Fury tidak diubah jadi monster realistis yang buruk rupa. Sentuhan realisme dihadirkan oleh beberapa detail tubuhnya yang lebih kentara, tapi mata besar nan menggemaskan miliknya masih sama seperti dulu. Genre fantasi dibuat supaya penikmatnya berkesempatan sejenak bertualang menjauhi kemonotonan dunia nyata, jadi kenapa harus memaksa berpijak pada realita?
Peralihan dari medium animasi nyatanya tak mengurangi kualitas pengarahan DeBlois, yang baru kali ini mengarahkan film panjang fiksi live-action. Adegan "penerbangan perdana" yang menandai terjalinnya koneksi antara Hiccup dan Toothless tampil dengan daya magis luar biasa, begitu pula klimaksnya, yang semakin bombastis berkat iringan musik garapan John Powell yang meraung-raung secara dahsyat membelah langit Berk. How to Train Your Dragon kembali terbang tinggi.
REVIEW - GJLS: IBUKU IBU-IBU
Di GJLS: Ibuku Ibu-Ibu, blooper muncul di tengah film alih-alih dipakai mengiringi kredit penutup. Kalau ia dibuat oleh seorang auteur dalam bentuk arthouse, niscaya film ini bakal disebut "eksperimental". Sebuah sinema avant-garde yang meleburkan batasan antara fiksi dan realita, alih-alih sebatas komedi konyol biasa.
Tapi Monty Tiwa selaku sutradara beserta trio komedian GJLS yang membintanginya memang tak berniat melahirkan avant-garde. Mereka hanya ingin bersenang-senang dalam membuat film yang sebagaimana telah disiratkan di judul "gak jelas".
Rispo (Ananta Rispo), Rigen (Rigen Rakelna), dan Hifdzi (Hifdzi Khoir) adalah kakak-beradik putra Pak Tyo (Bucek Depp), pemilik kos-kosan yang berantakan selepas kematian istrinya. Tunggu sampai kalian tahu rupa ibu para pemuda gila itu. Masalah hadir saat ketiganya tidak menyetujui sang ayah memacari Feni (Nadya Arina), SPG rokok yang berusia lebih muda dari mereka.
Di sisi lain, Rispo tengah terlilit pinjol akibat ketagihan judol, Rigen mesti mengganti mobil temannya yang ia hilangkan saat jadi korban gendam, sedangkan Hifdzi mesti segera menikahi pacarnya, Yuni (Reynavenzka), yang hamil. Belum lagi membahas kedatangan Sumi (Luna Maya), teman Tyo semasa sekolah yang motivasinya patut dicurigai. GJLS: Ibuku Ibu-Ibu mencampur segala problematika di atas menjadi 95 menit yang bersikap peduli setan pada segala prinsip filmis.
Saya sudah menyinggung soal blooper-nya. Para aktor yang tak bisa menahan tawa, obrolan dengan para kru di balik layar, hingga adegan yang berkali-kali diulang, merupakan pemandangan biasa di sini. Penyuntingan yang ditangani oleh Oliver Sitompul bak mengacungkan jari tengah pada kaidah sinema apa pun.
Tiba-tiba muncul adegan musikal dengan lagu yang membicarakan perihal feromon, tiba-tiba genrenya beralih ke horor, tiba-tiba pula karakter Mulyo Nurut yang diperankan Benidictus Siregar datang dan pergi dengan cara luar biasa absurd. Jangan pikirkan hal-hal di luar nalar, pula tanpa jawaban, yang bisa mendadak kita temukan. GJLS: Ibuku Ibu-Ibu memang dibuat oleh sekumpulan orang goblok, dengan target pasar penonton goblok. Saya salah satunya.
GJLS: Ibuku Ibu-Ibu tidak takut melangkah ke "zona berbahaya" kala melempar humornya, termasuk lewat lelucon yang berpusat pada orang-orang dengan cacat fisik. Saya bisa membayangkan dalam seminggu ke depan, media sosial bakal dibuat membara oleh debat panas mengenai cara melucu film ini.
Saya menganggap deretan "lelucon pinggir jurang tersebut" lumayan kreatif, namun tidak dengan banyolan yang menjadikan perempuan sebagai objek. Setiap jenis komedi semacam itu muncul di layar, saya berharap ide-ide khas GJLS, seperti yang mereka tampilkan di film pendek Kuyup (2020) lebih diberi ruang (naskahnya ditulis oleh sang sutradara, Monty Tiwa, bersama Rza Kumar, Mohammed Syazsa, dan Erik Tiwa, tanpa melibatkan trio pemeran utamanya).
Saya tidak menyebut Rispo, Rigen, dan Hifdzi bakal lebih bermoral atau bersikap politically correct, tapi trio goblok ini tentu punya segudang ide yang lebih kreatif dibanding sekadar adegan "masturbasi dadakan". Seketika saya teringat film-film Warkop DKI, terutama sebelum era Soraya yang dimulai sejak Atas Boleh Bawah Boleh (1986). Warkop selalu memastikan, polah mesum karakter dalam film mereka langsung mendapat hukuman setimpal tanpa harus menunggu sampai ending.
Tapi jika membicarakan talenta trio GJLS dalam hal mengocok perut, tak ada keluhan sama sekali. Rigen dengan amarah tanpa akhirnya, Hifdzi dengan Bahasa Thailand dan goyangan sensualnya, serta Rispo yang bisa membuat semua kata-kata dari mulutnya berubah jadi materi humor brilian. Mungkin Rispo memang seorang sinema avant-garde bertopeng komedian goblok.
REVIEW - BLOOD BROTHERS: BARA NAGA
Blood Brothers: Bara Naga, yang hingga tulisan ini dibuat bercokol di posisi kedua daftar film Malaysia terlaris sepanjang masa, mengangkat kisah persaudaraan berlatar dunia kriminal, yang menebarkan aroma khas sinema Hong Kong era 90-an. Komparasi yang lebih spesifik sekaligus presisi mungkin demikian: film terbaru Syafiq Yusof (berduet di kursi sutradara dengan Abhilash Chandra) ini punya jiwa The Godfather dan fisik The Raid.
Sebutan "blood brothers" yang terpampang di judulnya merujuk pada hubungan Ghaz (Sharnaaz Ahmad) dan Ariff (Syafiq Kyle), yang sudah seperti kakak-beradik kandung karena kesamaan nasib di kehidupan keduanya. Walau tak sedarah, mereka tetap terikat janji darah kala menyatakan kesetiaan pada organisasi Dato Zul (Wan Hanafi Su), yang merupakan salah satu anggota kelompok 7 Naga.
Dato Zul menguasai segala bisnis dunia hitam. Saking berkuasanya, pihak kepolisian pun tak mampu meringkus sang naga. Sebagai orang kepercayaan sekaligus anak angkat Dato Zul, Ghaz pun memiliki kekuasaan serupa. Apalagi ia hendak menikahi putri bosnya tersebut, Sheila (Amelia Henderson). Fadlan (Shukri Yahaya), adik Sheila, juga nampak sepenuhnya berada di belakang Ghaz.
Siapa yang tak gentar di hadapan Ghaz? Tubuh tinggi besar, kekar, lengkap dengan brewok memenuhi wajahnya, yang oleh Ghaz sendiri disebut sebagai "jambang surga". Blood Brothers memang masih meluangkan waktu untuk menyelipkan humor penyegar, terutama selepas Jaki (Syazwan Zulkifly), kakak kandung Ariff yang menyandang posisi comic relief, mulai terseret ke dalam konflik dunia kriminalnya.
Bukan cuma Ghaz dan Ariff. Semua anggota organisasi Dato Zul memiliki ikatan kuat bak keluarga. Mereka bermain biliar bersama sambil minum-minum, tertawa, pula berpelukan guna merayakan persaudaraan yang begitu solid. Sampai terjadilah tragedi yang membuat Ariff dituduh mengkhianati organisasi dan mesti berhadapan dengan Ghaz yang telah ia anggap sebagai kakak sendiri.
Pengkhianatan, saling tusuk dari belakang, teman jadi musuh, musuh jadi teman. Sekali lagi, layaknya sinema kriminal Hong Kong dari masa lalu, Blood Brothers menegaskan soal ketiadaan loyalitas hakiki di dunia hitam. Di satu titik, Dato Zul resmi menyerahkan tahtanya pada Ghaz. Sheila menyaksikan peristiwa itu dari celah pintu kamar yang terbuka sambil memasang wajah khawatir, yang mengingatkan ke pemandangan ikonik saat Kay menyadari Michael Corleone telah dianugerahi gelar "Don" di akhir The Godfather.
Peliknya konspirasi dunia kriminal memungkinkan film ini untuk memasang kejutan demi kejutan di beberapa titik alurnya. Beruntung, naskah buatan Abhilash Chandra, Ghazwan Tomasi, Ayam Fared, dan Ashraf Modee Zain masih mampu mengontrol kuantitas twist-nya supaya berada di takaran yang tepat, dan tidak lepas kendali layaknya film Syafiq Yusof sebelumnya, Sheriff: Narko Integriti (2024).
Adegan aksi tetap jadi nilai jual terbesar Blood Brothers. Dibantu tata kamera dinamis arahan Nicholas Chin, Syafiq Yusof dan Abhilash Chandra berhasil menyusun deretan baku hantam hard-hitting yang penuh gaya, pula melaju cepat, tanpa harus menyulitkan penonton menyaksikan detail gerakan di layar. Sewaktu pertarungan finalnya melempar penghormatan yang layak terhadap klimaks The Raid melalui satu lagi suguhan "threesome" intens, sah sudah status Blood Brothers: Bara Naga sebagai salah satu film aksi terbaik tahun ini.
REVIEW - PREDATOR: KILLER OF KILLERS
Prey (2022) berhasil membangkitkan franchise-nya karena ia memahami esensi film orisinalnya, ketika mengadu sang alien pemburu dengan manusia yang masih mengakrabi sisi hewani yang menstimulus insting bertahan hidup mereka. Predator: Killer of Killers membawa pemahaman serupa, bahkan melipatgandakannya, lalu melahirkan film Predator terbaik sejak Arnold Schwarzenegger memamerkan maskulinitasnya di hutan Val Verde.
Alurnya dibagi menjadi tiga latar waktu, di mana setiap masa memiliki "pembunuhnya" masing-masing. Skandinavia tahun 841 membawa kita mengikuti Ursa (Lindsay LaVanchy) selaku pemimpin para prajurit Viking yang terlibat pertempuran dengan pasukan Krivich. Di Jepang tahun 1609 ada konflik antara Kenji dan Kiyoshi (Louis Ozawa), dua putra seorang samurai yang menempuh jalan hidup berbeda. Kemudian ada kisah tentang Torres (Rick Gonzalez), pilot yang terjun ke Perang Dunia II di tahun 1942.
Format animasi memberi kebebasan eksplorasi bagi sang sutradara, Dan Trachtenberg, mengingat perjalanan menempuh tiga masa niscaya bakal memerlukan biaya luar biasa besar bila dipresentasikan dalam bentuk live action. Menyaksikan visual Predator: Killer of Killers terasa seperti mengunjungi museum berisi lukisan-lukisan yang menangkap jejak kekerasan umat manusia secara indah.
Darah tumpah, anggota tubuh terpotong-potong, kepala terlontar ke angkasa. Semua terjadi kala tiga protagonis kita mesti menyambut kunjungan para Predator. Setiap karakter menghadapi monster yang berbeda sesuai gaya bertarung mereka, yang membuat jalannya cerita tak pernah terasa monoton.
Naskah garapan Micho Robert Rutare sejatinya tak menyediakan jalinan cerita kompleks, tapi kesederhanaan tersebut diolah secara efektif, sehingga durasi yang cenderung singkat (90 menit) tak menghalangi Killer of Killers mengembangkan mitologi franchise-nya. Belum pernah dunia Predator dikembangkan semenarik ini, tanpa harus menggelar eksperimen yang terlalu liar (I'm looking at you 'The Predator').
Segala gelaran aksi film ini tampil begitu badass bukan saja karena penggunaan kekerasannya, tapi juga ketiadaan kesan basa-basi di tiap pertarungan. Tiga protagonisnya tidak perlu dibuat mengerti dan coba menganalisa makhluk apa yang mereka hadapi. Monster? Alien? Mereka tak peduli. Satu hal yang ketiganya pahami betul adalah, mereka mesti membunuh bila tak mau dibunuh.
Babak terbaiknya adalah pertarungan di Jepang, yang mayoritas dipaparkan secara non-verbal. Karakternya tak memerlukan kata-kata dan bicara melalui ayunan katana, yang disajikan dalam rangkaian koreografi kelas satu, yang mendapat manfaat besar dari pemakaian medium animasi dengan segala kebebasannya. Fase Perang Dunia II tampil paling generik layaknya suguhan blockbuster bombastis khas Hollywood, biarpun rentetan pertarungan udaranya tetap digarap dengan kualitas mumpuni.
Predator: Killer of Killers memang kisah soal aksi saling bunuh, namun di sisi lain ia juga tampil bak potret mengenai bagaimana umat manusia sebagai makhluk berakal, menempuh proses untuk meninggalkan kebarbaran mereka, kemudian belajar bahwa balas dendam takkan mendatangkan kedamaian, pun kekerasan bukan selalu menjadi jawaban atas segala permasalahan.
(Disney+)
REVIEW - BRING HER BACK
Bring Her Back adalah horor yang akan membuat penontonnya merasakan ragam emosi negatif, dari sedih, cemas, marah, hingga tentunya takut. Serupa Talk to Me tiga tahun lalu, duo RackaRacka (Danny Philippou dan Michael Philippou) selaku sutradara kembali memakai formula genrenya, untuk menunjukkan bahwa pemisahan antara dunia orang hidup dan orang mati mestinya tetap dipertahankan, semenyakitkan apa pun itu.
Biarpun bukan saudara kandung, Andy (Billy Barratt) dan adiknya yang memiliki gangguan penglihatan, Piper (diperankan Sora Wong yang mengidap koloboma dan mikroftalmia di kehidupan nyata), tetap saling menyayangi. Ikatan keduanya diuji saat sang ayah tiba-tiba meninggal akibat kanker, dan mereka mesti tinggal di bawah asuhan mantan konselor bernama Laura (Sally Hawkins).
Tentu Laura memperlihatkan perilaku aneh, tapi di sinilah kecerdikan naskah buatan Danny Philippou dan Bill Hinzman menampakkan diri. Kecurigaan kita kerap disulut oleh tindak-tanduk Laura, namun ada kalanya ia memancarkan kehangatan. Kompleksitas tersebut turut dimotori oleh penampilan luar biasa dari Sally Hawkins, melalui dualitas dalam senyuman yang tak selalu jadi simbol kepedulian.
Bring Her Back bersedia menghabiskan waktu untuk memberi ruang eksplorasi kepada tema dan karakternya. Andy bakal jadi figur yang paling kuat menjalin ikatan emosional dengan penonton, selaku sesosok remaja yang luka batinnya kerap disalahartikan selaku sebagai bentuk kenakalan.
Sungguh rumit problematika yang berkecamuk di hati Andy, yang terombang-ambing antara cinta dan benci. Sewaktu menemukan ayahnya yang dahulu kerap memukulinya dalam kondisi tak sadarkan diri, dia hanya mematung alih-alih langsung memberi pertolongan. Trauma, kesedihan, sampai rasa bersalah, semuanya bercampur lalu menimbulkan perasaan berduka yang aneh di dadanya.
Meski lebih mengedepankan cerita, Danny dan Michael selalu memastikan agar kita tidak lupa bahwa film yang sedang disaksikan adalah sebuah horor, dengan secara rutin menaruh situasi disturbing, yang acap kali mengandung elemen kekerasan yang tidak asal mengumbar gore, tapi menyimpan dampak nyata bagi psikis penonton. Momen saat Andy memberi makan pada anak asuh Laura yang lain, Oliver (Jonah Wren Phillips), merupakan awal dari terbukanya gerbang neraka ke dunia bangunan duo RackaRacka.
Secara bertahap filmnya bakal mengungkap kebenaran di balik misterinya, sembari memperkenalkan penonton pada suatu jenis ritual sinting dengan modus operandi kreatif, yang menjauh dari keklisean upaca mistis khas sinema horor. Dari situlah Bring Her Back menghadirkan proses soal melihat kebenaran, yang nyatanya tak memiliki kaitan dengan keterbatasan indera penglihatan seperti yang Piper alami. Mata yang lebih tajam itu bernama "hati".
REVIEW - THE PHOENICIAN SCHEME
Banyak yang menyebut Wes Anderson belakangan ini (tepatnya memasuki era 2020-an) tengah mengalami stagnasi, karena sebatas mengulangi segala kekhasannya, semata untuk memuaskan barisan penggemarnya. Kritikan tersebut dilontarkan seolah gaya sang auteur bisa dengan mudah direpetisi oleh sineas mana pun.
Saya menolak anggapan di atas. Menonton The Phoenician Scheme masih menghadirkan setumpuk kekaguman. Bagaimana bisa seseorang menyusun gambar-gambar dengan presisi luar biasa? Proses berpikir macam apa yang berseliweran di otaknya kala mengolah ide-ide komedi yang sedemikian absurd? Sampai kapan pun momen perilisan karya terbaru Wes Anderson akan selalu layak untuk dirayakan.
Kali ini perayaan tersebut berpusat pada kehidupan Zsa-Zsa Korda (Benicio del Toro), seorang taipan bisnis yang tak segan memakai metode kotor guna mengeruk keuntungan. Kemanusiaan merupakan hal trivial di matanya. "I don't need my human right", ucap Korda. Ketika pesawatnya jatuh akibat usaha pembunuhan yang sudah berkali-kali terjadi, Korda nampak tak ambil pusing.
Tapi hati Korda tak sekosong kelihatannya. Dia bermimpi mengunjungi akhirat, dosa-dosanya diadili di hadapan Tuhan yang diperankan oleh Bill Murray dalam kemunculan singkat, sementara Knave, yang diperankan Willem Dafoe dalam kemunculan tak kalah singkat, jadi pembelanya. Charlotte Gainsbourg pun tampil sejenak sebagai istri pertama Korda. Sungguh luar biasa bagaimana nama-nama besar tersebut bersedia muncul dalam porsi begitu minim.
Masalah hadir saat rencana kotor Korda menguasai infrastruktur Fenisia terbentur konspirasi yang dijalankan oleh gabungan pemerintah dunia yang sudah sejak lama berambisi menjatuhkan si pebisnis. Dimulailah perjalanan Korda guna menyelesaikan permasalahan itu bersama Liesl (Mia Threapleton), putri sekaligus ahli waris seluruh kekayaannya yang juga seorang suster, dan Bjørn Lund (Michael Cera), ahli ilmu serangga yang bertindak selaku asisten administrasi Korda.
Liesl kebingungan, mengapa sang ayah yang ia anggap asing justru menjadikannya ahli waris, dan tak memberikan status itu kepada sembilan anak laki-laki yang Korda miliki. Apakah karena Liesl anak kesayangan Korda, atau ada alasan rahasia lainnya? Sebaliknya, apakah Liesl masih menyimpan sedikit saja kasih sayang terhadap ayahnya?
The Phoenician Scheme dengan segala skema finansial kotor yang protagonisnya rencanakan sekilas bakal terkesan intimidatif bagi penonton awam, namun alur yang ditulis oleh Wes Anderson berdasarkan cerita buatannya bersama Roman Coppola sejatinya sederhana: Pemerintah dunia sepakat mengatrol harga sebuah material guna melambungkan pengeluaran Korda, dan kini si pebisnis licik berupaya mengecoh para investor supaya bersedia membagi beban keuangan tersebut.
Penjelasan di atas sejatinya tidaklah penting. Kompleksitas skema serta elemen finansialnya bukan perihal yang perlu dipusingkan. Penonton cukup memahami bahwa melalui serangkaian kunjungan tersebut, Korda dan Liesl pelan-pelan mulai merenungkan kembali makna status mereka sebagai ayah dan anak.
Beberapa investor yang sempat disebut tadi antara lain Hilda (Scarlett Johansson), sepupu Korda yang hendak ia nikahi karena alasan finansial, hingga dua bersaudara Leland (Tom Hanks) dan Reagan (Bryan Cranston), yang nantinya terlibat pertandingan basket melawan Korda dan Pangeran Farouk (Riz Ahmed) guna menyelesaikan konflik bisnis mereka. Di sisi lain, Nubar (Benedict Cumberbatch), saudara tiri Korda yang juga salah satu investor, ditengarai bakal memberi batu sandungan terbesar.
Komedi hitam yang disajikan dengan gaya deadpan, deretan konflik unik yang diberi resolusi tak kalah unik, dan tentunya berbagai keindahan visual simetris dan penataan properti serba perfeksionis yang ditangkap oleh kamera arahan Bruno Delbonnel, yang mana semuanya merupakan ciri khas Wes Anderson, menjadi suguhan utama selama 105 menit durasi The Phoenician Scheme.
Familiar? Ya, tapi bukan berarti kehilangan pesonanya. Kecanggungan polah tokoh-tokoh rumusan Anderson, yang di film ini paling berhasil diwujudkan oleh Mia Threapleton dengan segala tutur kata "datarnya" sebagai si suster penyuka pipa rokok dan alkohol, selalu terasa seperti petualangan melintasi semesta absurd yang tak pernah terkesan "lurus-lurus saja".
Sikap dingin minim ekspresi yang jadi ciri para tokoh buatan Anderson senantiasa mewakili bagaimana individu disfungsional saling terkoneksi, tidak terkecuali di The Phoenician Scheme. Mungkin inilah film terhangat sang sineas sejak magnum opus-nya yang rilis lebih dari satu dekade lalu, The Grand Budapest Hotel. Di balik segala tetek bengek bisnisnya, The Phoenician Scheme memberi makna pada konsep keluarga yang tak memedulikan hubungan darah maupun gelimang harta.
REVIEW - TAK INGIN USAI DI SINI
Konon laki-laki adalah makhluk maskulin yang kebal akan ragam jenis melankoli. Realitanya sungguh berbeda. Sadar atau tidak, laki-laki punya tendensi berlama-lama meratapi kesedihan, bahkan melipatgandakan lukanya melalui pemikiran atau tindakan tertentu, apa pun alasannya. Mungkin kami, laki-laki, tidak selogis yang orang-orang percaya.
Tak Ingin Usai di Sini yang merupakan remake dari romansa Korea Selatan berjudul More than Blue (2008) akan dengan mudah dicap sebagai "film perempuan", tapi sesungguhnya ia bakal lebih dekat bagi para laki-laki, yang mendapati kesamaan dengan perjalanan Kawidra alias K (Bryan Domani), beserta isi hatinya kepada Clarissa alias Cream (Vanesha Prescilla).
Status sebagai yatim piatu yang sebatang kara mendorong K dan Cream menjalin persahabatan sejak SMA. Jika Cream ibarat kompas yang menunjukkan ke mana K mesti melangkah baik dalam hal besar maupun kecil, maka K adalah jangkar yang menjaga Cream supaya tidak karam dan tenggelam selama mengarungi samudera kehidupan.
Bryan dan Vanesha menjalin chemistry solid yang kerap menghadirkan suasana manis, biarpun dinamika dua sejoli dengan kepribadian layaknya kutub yang berlawanan (K cenderung dingin sedangkan Cream selalu berapi-api) bukanlah suatu hal baru. Sewaktu K merasa terpuruk, Cream setia menyulut semangatnya lagi. Sebaliknya, saat emosi Cream sedang meninggi, K datang untuk menenangkan.
Sayang, penceritaannya sempat kurang rapi. Dua protagonis yang tadinya masih berkuliah tiba-tiba sudah menjalani dunia kerja, di mana Cream mampu menggapai cita-citanya sebagai penulis lirik lagu di perusahaan rekaman. Semua terkesan serba instan. Menilik beratnya latar belakang Cream, tidakkah penonton semestinya diberi kesempatan mengamati proses si karakter yang pastinya berliku supaya koneksi dengan si karakter ikut terbangun?
Selepas memasuki dunia kerja pun K dan Cream masih bersama, masih tinggal di satu rumah, dan masih tak menjalin hubungan romansa. K punya alasan. Dia mewarisi gen kanker mendiang ayahnya, dan kini telah mengidap penyakit tersebut dalam stadium akhir. Didorong cinta yang begitu besar, K ingin mencarikan sosok laki-laki sempurna bagi Cream, supaya "sahabatnya" itu tak lagi sebatang kara sepeninggal dirinya kelak.
Itulah yang saya maksud di paragraf pembuka. K tahu hatinya bakal tercabik-cabik menyaksikan Cream menjalin cinta dengan laki-laki selain dia. Bahkan kelak K mengakui ketakutannya menjemput ajal seorang diri bila Cream meninggalkannya demi orang lain. Tapi K memilih tenggelam lebih dalam di kepiluannya, melakukan pengorbanan yang akan beresonansi dengan para penonton laki-laki dengan segala kesukaan mereka mengakrabi patah hati.
Robert Ronny selaku sutradara sekaligus penulis naskah tahu betul hal apa saja yang membuat romansa Korea Selatan begitu efektif mengaduk-aduk perasaan, lalu mempertahankan formula serupa di Tak Ingin Usai di Sini. Alur yang bergerak ke teritori tak terduga lewat kehadiran Armand (Rayn Wijaya) si dokter gigi dan Vero (Davina Karamoy dalam penampilan paling menghiburnya) si fotografer, sampai rangkaian momen romantis yang juga sarat kreativitas.
Salah satu pemandangan paling menyentuh hadir saat K berdiri di depan kaca guna menjajal setelan jas, sebelum gemuruh emosi mengacaukan pikirannya. Bryan Domani tampil kuat di situ, menghidupkan situasi perih tatkala karakternya membayangkan masa depan yang takkan pernah ia lalui. Kata siapa laki-laki harus selalu kokoh tanpa air mata?
REVIEW - GOWOK: KAMASUTRA JAWA
"Gowok" adalah sebutan bagi perempuan yang bertugas mengajari laki-laki yang belum menikah perihal rumah tangga, terutama cara memuaskan hasrat sang istri. Ketika dua karakter film ini terlibat aktivitas seksual dalam adegan yang tak terlalu jinak untuk ukuran film lokal arus utama, saya mendengar beberapa penonton cekikikan. Mungkin penonton zaman sekarang lebih membutuhkan edukasi seks dibanding karakternya yang hidup di tahun 1950-an.
Andaikan Gowok: Kamasutra Jawa menghabiskan 132 menit durasinya (versi uncut) guna menyoroti perjalanan seksual secara total, saya akan menyebutnya salah satu film lokal terpenting dalam beberapa waktu terakhir. Sayangnya tidak. Naskah yang ditulis sang sutradara, Hanung Bramantyo, bersama Aci dan ZZ Mulja Salih, bertualang terlampau jauh meninggalkan persoalan seksualitas.
Kisahnya bermula di Bumirejo tahun 1950, ketika Ratri (Alika Jantinia) masih menimba ilmu pergowokan dari Nyai Santi (Lola Amaria). Inilah fase terbaik filmnya, sebab penonton pun diajak mempelajari seluk-beluk tradisi yang telah punah tersebut. Kita memahami ritualnya, kita pun tahu bahwa istilah "Gowok" berasal dari nama Goo Wook Niang, perempuan Tionghoa yang memperkenalkan tradisi itu pasca tiba di tanah air bersama Laksamana Cheng Ho.
Seksualitas bukan hal jorok di sini. Daripada memperlakukannya sebagai pokok bahasan tabu (alasan mengapa masyarakat kita miskin edukasi hingga mudah menertawakan adegan "panas"), Gowok: Kamasutra Jawa memandang seks layaknya ritual suci nan agung, di mana sanggama merupakan wujud penyatuan suci antara dua manusia yang saling cinta. Tapi seksualitas pun menyimpan sisi gelapnya, yang disulut oleh nafsu tak terkendali.
Suatu ketika, datanglah Kamanjaya (Devano Danendra), putra seorang camat yang hendak digowok oleh Nyai Santi sebelum berkuliah. Lalu timbul masalah: Kamanjaya dan Ratri justru saling jatuh cinta. Bahkan keduanya melanggar aturan kala nekat mengintip ritual Nyai Santi di bawah air terjun, dalam sebuah adegan yang meniupkan nuansa magical realism ke dalam kisahnya.
Penceritaan Gowok: Kamasutra Jawa mulai mengembang terlampau besar hingga keluar jalur sewaktu kisahnya melompat ke tahun 1965. Di luar seksualitas dan romansa ala Romeo & Juliet yang telah muncul sedari awal, elemen-elemen lain turut memenuhi alurnya, dari cerita pemberdayaan, konflik pelik sarat konspirasi seputar keluarga bangsawan, dan tentunya konflik politik. Seorang Hanung Bramantyo takkan melewatkan latar 1965 tanpa menyinggung soal PKI bukan?
Proses bercerita ibarat guliran sebuah roda. Supaya bisa berputar, ia memerlukan angin sesuai takaran. Tapi jika diisi secara berlebihan, alih-alih berjalan, roda itu bakal meledak. Demikianlah kondisi film ini. Bukannya mengerucut, kisahnya justru terus dan terus membengkak. Sulit untuk menaruh kepedulian, apalagi saat karakter minor yang baru diperkenalkan di paruh kedua, mendadak diberi porsi besar pada konklusinya.
Nantinya dikisahkan bahwa Ratri tak lagi ingin mewarisi ilmu gowok milik Nyai Santi. Didasari saran Kamanjaya, dia bergabung ke dalam organisasi perempuan yang jadi cikal bakal Gerwani demi menggapai mimpinya sendiri. Apa pastinya mimpi Ratri? Entahlah. Sebelum berambisi mendukung keinginan Ningsih (Annisa Hertami) mendirikan sekolah perempuan, Ratri terus menyebut kata "mimpi" tanpa pernah mengelaborasinya.
Setidaknya paruh kedua film ini memberi suntikan daya melalui akting para pemainnya. Raihaanun (Ratri dewasa) dengan martabat tinggi di tiap tutur katanya, serta Reza Rahadian (Kamanjaya dewasa) yang kembali bertransformasi dan secara mulus melafalkan dialek ngapak, berhasil jadi penawar tatkala filmnya makin hilang arah.
REVIEW - BALLERINA
Ballerina (dipasarkan dengan judul lengkap From the World of John Wick: Ballerina), selaku spin-off dengan latar di antara film John Wick ketiga dan keempat, adalah actioner yang hebat. Dia punya banyak hal yang membuat genrenya terasa usang, kemudian mengubah bagaimana keklisean itu berjalan.
Misal ketika protagonisnya tengah memilih senjata. Kita semua familiar dengan "adegan wajib ada" yang membosankan ini. Mendadak filmnya mengecoh ekspektasi dengan mendatangkan baku tembak secara tiba-tiba. Lihat juga apa yang terjadi sewaktu tokoh utamanya mengendarai mobil untuk pergi dari lokasi pembantaian, pada sebuah momen yang biasanya hanya berstatus transisi antar adegan.
Si protagonis bernama Eve (Ana de Armas), balerina yang dilatih sebagai pembunuh oleh Ruska Roma, organisasi kriminal tempat John Wick (Keanu Reeves) dahulu sempat bernaung. Eve yang termotivasi untuk mencari pembunuh sang ayah pun berlatih mati-matian. Dia berlatih balet hingga kakinya berlumuran darah, berkali-kali pula terkena lesatan peluru karet serta pukulan menyakitkan selama latihan, dalam training montage yang tersaji keren berkat iringan musik elektroniknya. Selama 125 menit durasi, departemen penyuntingannya jeli mengawinkan timing gerak karakternya dengan hentakan musik.
Nantinya Eve mengetahui bahwa pembunuh sang ayah merupakan sekelompok sekte pembunuh yang diketuai oleh Chancellor (Gabriel Byrne). Tapi sebelum menumpahkan darah demi balas dendam, ia mesti melakoni misi perdana, yang mengharuskannya melindungi Katla Park (Choi Soo-young) di sebuah kelab malam.
Ana de Armas mengenakan mantel bulu, lalu dengan kepercayaan diri yang sekuat tarikan gravitasi, berjalan dalam balutan gerak lambat. Karisma seorang jagoan laga jelas dimilikinya. Ketika melakoni baku hantam pun ia nampak meyakinkan. Untungnya di misi perdana tersebut, Even tidak secara ajaib langsung dibuat sehebat John Wick. Dia terjatuh ke lantai, bahkan ditendang hingga terlempar menghantam dinding kaca. Tata suaranya membuat semua pemandangan itu terasa menyakitkan. Tapi Eve selalu bangkit. Itulah keunggulan terbesarnya.
Di seri John Wick, orang-orang menggerakkan pistol dengan begitu mulus bak sedang menari, dan Len Wiseman yang duduk di kursi sutradara melanjutkan tradisi tersebut (walau konon banyak adegan aksi merupakan hasil reshoot di bawah arahan Chad Stahelski). Tapi Ballerina tidak sebatas mengulangi teknik gun fu. Naskah buatan Shay Hatten menyediakan setumpuk ide kreatif, yang banyak di antaranya jarang, atau malah belum pernah ditampilkan film-film lain.
Aksi lempar piring di dapur, penggunaan sepatu ski sebagai alat ganti pisau, sampai yang terbaik adalah sewaktu alat pelontar api yang kehadirannya di genre aksi belakangan ini sudah tak lagi spesial, mampu digunakan sebagai basis untuk sebuah momen luar biasa kreatif yang memadukan kebrutalan dengan keindahan. Daripada aksi biasa, di situ Eve dan lawannya bak tengah berduet dalam suatu pertunjukan tari kontemporer.
Alurnya memang tidak memiliki kedalaman dan masih bergulir di formula kisah balas dendam ala kadarnya, meski babak ketiganya sedikit membawa kesegaran saat meminjam lalu memodifikasi formula horor folk. Kita pun takkan dibuat memedulikan Eve, apalagi terikat secara emosional dengannya. Tapi menilik rangkaian kreativitas di atas, ada pencapaian luar biasa tinggi yang lebih pantas untuk dirayakan, alih-alih mengeluhkan perihal penceritaan.
REVIEW - LOST IN STARLIGHT
Salah satu keunggulan animasi adalah kemampuan meruntuhkan batasan penceritaan. Sebuah medium yang membuka diri pada kebebasan tanpa terikat oleh aturan. Ketika live action memotret realita suatu peristiwa, animasi mengeksplorasi ragam posibilitas cara untuk meluapkan rasa yang tertanam di dalamnya. Lost in Starlight hanya akan menjadi sajian fiksi ilmiah generik bila dipresentasikan sebagai live action, tapi medium animasi membuatnya bisa lebih berekspresi.
Kisahnya berlatar di Korea Selatan tahun 2051, di mana kunjungan ke Mars oleh para astronot bukan lagi lompatan mencengangkan. Han Ji-won selaku sutradara (turut menulis naskahnya bersama Kang Hyun-joo) enggan mengimajinasikan masa depan yang suram. Disusun oleh gaya visual ala Studio Ghibli, ia tampilkan gambaran futuristik indah nan kaya warna. Mungkin inilah dunia yang ingin Han Ji-won tinggali.
Di salah satu sudut kota, nampak beberapa karyawan perusahaan pindahan memakai drone untuk mengangkat barang ke lantai 4. Mesin-mesin di film ini meringankan pekerjaan manusia, namun tak sampai terlampau cerdas hingga berpotensi memberontak layaknya di banyak kisah fiksi ilmiah. Dunia Lost in Starlight tampil futuristik, namun masih menyisakan kedekatan dengan realita. Bukan sebuah utopia yang terlalu sempurna.
Kehidupan protagonisnya pun jauh dari sempurna. Nan-young (Kim Tae-ri) adalah astronot yang berharap dipilih untuk berangkat di ekspedisi ke Mars berikutnya, namun pihak NASA masih meragukan kondisi psikisnya. Pasalnya, pada tahun 2026, ibu Nan-young yang juga seorang astronot, tewas akibat terjangan gempa di Mars.
Di sisi lain ada Jay (Hong Kyung), seorang ahli reparasi yang telah lama mengubur impiannya menjadi musisi. Serupa Nan-young, kebahagiaan Jay juga lenyap di antara bintang-bintang. Tapi bintang bernama takdir pula yang memberi mereka kebahagiaan baru, saat serangkaian kebetulan berjasa mempertemukan, kemudian makin mendekatkan Nan-young dan Jay.
Naskahnya mengambil pendekatan khas romansa Korea arus utama guna menjabarkan kisahnya, di mana tiada kesubtilan dalam presentasi romansa dua tokoh utamanya. Bungkus gaya itu dengan format animasi yang ekspresif, maka hasilnya adalah sebuah "match made in heaven". Han Ji-won mampu melukiskan segala perasaan yang protagonisnya rasakan di tiap interaksi mereka.
Lost in Starlight pun berhasil menghadirkan romansa yang manis, menggemaskan, tak jarang menggelitik, dan terpenting, sangat likeable. Apalagi barisan balada romantis senantiasa mengiringi penceritaannya. Han Ji-won memang memiliki sensitivitas terkait seleksi lagu. Di salah satu adegan, Jay dan Nan-young mampir ke toko musik dan menemukan piringan hitam berisi soundtrack film Once (2007). Sang sutradara memilih kiblat yang tepat.
Konfliknya meninggi begitu Nan-young akhirnya terpilih untuk berangkat ke Mars. Jay selalu mendukungnya, namun di sisi lain ada ketakutan luar biasa andai ekspedisi itu berujung maut sebagaimana yang menimpa ibu Nan-young. Rasanya banyak dari penonton bakal merasa familiar, bahkan bisa jadi pernah bersinggungan dengan situasi dilematis yang serupa.
Emosinya berkulminasi di klimaks cantik sekaligus epik, ketika Han Hi-won memaksimalkan kapasitas mediumnya untuk menyuguhkan perjalanan sureal yang protagonisnya alami. Rintangan meningkat, bahaya meninggi, tapi toh pada akhirnya cinta terlalu kokoh untuk dapat dihancurkan. Di Lost in Starlight, cinta begitu kuat sampai bisa menembus batasan seperti apa pun yang semesta sediakan.
(Netflix)

.png)

%20(1).png)







.png)

.png)

.png)

%20(1).png)

.png)

.png)

.png)

.png)

%20(1).png)

%20(1).png)

.png)

.png)
1 komentar :
Comment Page:Posting Komentar