Tampilkan postingan dengan label Adhiyat Abdulkhadir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Adhiyat Abdulkhadir. Tampilkan semua postingan

KOKI-KOKI CILIK 2 (2019)

Dua minggu terakhir merupakan waktu yang mengasyikkan bagi film anak. Setelah Doremi & You menebar kebahagiaan lewat musikal, kini giliran Koki-Koki Cilik 2 menyuguhkan sekuel sedap. Walau kali ini aktivitas memasak bagai hanya hidangan pendamping, drama keluarga yang melibatkan jajaran penampil serta karakter baru, bertindak selaku menu utama yang berhasil meluluhkan hati.

Bima (Farras Fatik) dan teman-temannya kembali berkumpul, berencana mengadakan reuni di Cooking Camp dua tahun selepas peristiwa film pertama, hanya untuk menemukan bahwa tempat itu sudah ditutup setelah komentar miring dari Evan (Christian Sugiono), seorang mantan chef sekaligus pemilik restoran ternama, mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik terhadap Cooking Camp yang sekarang dikelola Chef Grant (Ringgo Agus Rahman).

Cukup aneh ketika anak-anak tidak tahu perihal penutupan lokasi seterkenal Cooking Camp, yang juga mempunyai tempat di hati mereka. Setidaknya para orang tua pasti mendengar kabar itu. Alhasil, berangkat dengan penuh suka cita, mereka disambut kamp kosong dan Chef Grant—dengan jenggot palsu jelek—yang kehilangan semangatnya.

Di tengah situasi tersebut, datanglah Adit (M Adhiyat) bersama tantenya, Adel (Kimberly Ryder). Adit boleh berusia paling muda, tapi kemampuan memasaknya luar biasa. Sayang, kesan pertamanya di mata anak-anak Cooking Camp kurang baik. Bima dan teman-teman menganggap Adit arogan.....sampai masakan si bocah menyentuh lidah.

Terpukau oleh masakannya, Adit pun diajak turut bergabung dalam usaha food truck yang dirintis guna membangkitkan Cooking Camp. Dari situlah pelan-pelan Adit merasa dicintai, suatu hal yang jarang ia temukan, mengingat ia senantiasa jadi korban perundungan di sekolah, pun kurang dekat dengan sang ayah.

Paruh awal Koki-Koki Cilik 2 sebenarnya tidak berjalan mulus. Perubahan hati dan sikap Adit terjadi begitu cepat, plus naskah buatan Vera Varidia (Me vs Mami, Surat Cinta untuk Kartini, Koki-Koki Cilik) terlalu banyak menebar konflik. Tentu di saat anak-anak membuat bisnis makanan bersama, masalah bakal kerap terjadi, namun bukan berarti film ini mesti menyediakan gesekan dan/atau pertengkaran baru tiap beberapa menit.

Tapi setelah drama utamanya mengambil alih, Koki-Koki Cilik 2 mulai menemukan pijakan, bahkan membuat saya terenyuh oleh tuturannya. Ada satu titik balik khusus yang amat berkesan, yakni tatkala Adit kehilangan kontrol emosi akibat sikap salah satu pengunjung food truck, dan Adel berusaha menenangkan sang keponakan dengan berkata, “Adit anak baik”.

Terasa emosional  berkat aura keibuan hangat dari Kimberly ditambah bagaimana adegan tersebut memotret kasih sayang melalui kata-kata sederhana. Makin bermakna setelah latar belakang Adit digali lebih jauh, yang juga diikuti dua kejutan. Kejutan pertama mudah diprediksi, sementara yang kedua, biarpun mengejutkan, agak bermasalah karena melibatkan insiden masa lalu, yang secara logika, mustahil dilupakan karakternya. Di luar masalah itu, keberadaannya efekif menambah bobot rasa. Salah satunya berkat penampilan paling solid sepanjang karir Christian Sugiono, juga M. Adhiyat yang sekali lagi membuktikan diri berpotensi menjadi aktor dengan sensibilitas tinggi di masa depan.

Mengedepankan Adit, porsi Bima pun berkurang jauh, yang mana patut disayangkan setelah kita melalui banyak hal bersamanya di film pertama. Tapi paling tidak, Koki-Koki Cilik 2 mampu membayarnya lunas dengan menciptakan ikatan kuat di antara para bocah. Teramat kuat, air mata bisa saja menetes sewaktu melihat mereka bicara hati ke hati, berpelukan, kemudian melakukan “ritual transfer energi”.

Terselip pula pesan anti-bullying selaku bumbu penyedap, yang walau takarannya minim, tetap meninggalkan dampak besar. Orang tua akan memperoleh materi penting untuk diajarkan, yaitu tentang efek perundungan yang masih bisa, atau bahkan baru dirasakan jauh di masa depan.

Mengambil alih tugas penyutradaraan, Viva Westi (Rayya, Cahaya di Atas Cahaya, Jenderal Soedirman) mungkin belum sejago Ifa Isfansyah dalam mempresentasikan makanan guna membuatnya nampak sedap dengan mengeksplorasi detail tekstur. Tapi kekurangan itu juga dipengaruhi variasi masakan yang dipilih, juga fakta bahwa naskahnya tidak menyelipkan adegan memasak sebanyak film pertama. Lain cerita jika membahas penghantaran rasa, di mana sang sutradara menerapkan dramatisasi secukupnya sehingga sukses menjadikan Koki-Koki Cilik 2 sebuah film keluarga yang demikian hangat.

PENGABDI SETAN (2017)

Timbul dua pertanyaan sebelum menonton remake dari horor cult rilisan tahun 1980 karya Sisworo Gautama ini. Pertama, apakah bisa menandingi versi aslinya? Kedua, bisakah Joko Anwar, yang selama karirnya dikenal akan keunikan karya memberi pembeda di tengah minat publik terhadap horor lokal yang mulai tumbuh kembali? Jawaban bagi keduanya: bisa. Sebagai penggemar Pengabdi Setan (10 tahun mengejar restu Rapi Films membuat lagi filmnya) serta film genre, Joko tak sekedar mereka ulang, melainkan menyertakan sentuhan personal sembari tetap menghormati sumbernya. 

Sejak awal tanda positif telah terpampang. Selain tata artistik yang seperti biasa amat Joko perhatikan, kita tak langsung diberi teror prematur. Sempat tampak Mawarni (Ayu Laksmi) terbaring sambil merapal sesuatu, namun itu merupakan siratan poin kunci alur dan penegasan tone ketimbang gebrakan buru-buru. Selebihnya penjabaran kondisi tiap anggota keluarga: penyakit Mawarni meredupkan karir bernyanyinya lalu menyulitkan ekonomi keluarga, Rini (Tara Basro) mesti menjaga tiga adik laki-lakinya, Suwono si bapak (Bront Palarae) terpaksa menjual berbagai barang untuk hidup, Toni (Endy Arfian) rela mengesampingkan kepentingan pribadi, juga Ian (Adhiyat Abdulkhadir) si bungsu yang bicara memakai bahasa isyarat.
Karakter kerap dilupakan sineas horor, padahal kepedulian penonton atas mereka mempengaruhi pembangunan tensi. Pula harus diingat, di balik sampul kengeriannya, Pengabdi Setan adalah kisah kekeluargaan. "Keluarga di atas segalanya" merupakan poros penggerak. Begitu Mawarni meninggal kemudian menebar teror, kengerian berlipat ganda, sebab alih-alih pertarungan melawan entitas jahat biasa, karakternya dihadapkan pada sosok yang identik dengan kenyamanan, yaitu ibu. Kecerdikan Joko meleburkan sentuhan supernatural horor dengan nilai kekeluargaan menghasilkan rentetan momen mencekam yang turut mengaduk-aduk emosi, sebutlah "adegan sumur" atau keterlibatan kursi roda saat klimaks.

Terkait berbaliknya sosok ibu menebar ancaman, inilah kengerian Pengabdi Setan sesungguhnya. Setan bukan hanya menghantui lewat penampakan, namun mempermainkan psikis manusia. Sama halnya bagaimana remake ini memposisikan Ustad (Arswendy Bening Swara) selaku manusia biasa, berbeda dibanding film aslinya, yang serupa horor lokal masa itu, menegaskan kekuatan dominan ulama atas iblis (selalu diakhiri pembacaan ayat suci yang menutup masalah). Pun tersimpan kritik subtil tapi sangat relevan nan tepat sasaran bagi pengultusan "pemuka agama" negeri kita dewasa ini.
Soal menakut-nakuti, Joko jelas memutar otak supaya tiap momen berbeda satu sama lain. Ketiadaan repetisi membuat jump scare-nya efektif, setidaknya tak melelahkan. Terlebih mayoritas teror tersaji dalam suasana yang familiar, seperti wudu, bermain view-master, dan pengajian pasca pemakaman. Menarik pula mendapati homage bagi judul-judul klasik, macam Dead Series-nya George Romero untuk membungkus kemunculan para mayat hidup. Ditambah lagi balutan atmosfer tiap lagu Kelam Malam atau lonceng terdengar. Tata riasnya juga patut diacungi jempol, menciptakan wajah-wajah mengerikan dengan takaran tepat, tidak berlebihan maupun terlampau malas. 

Walau Tara Basro, Bront Palarae, sampai Arswendi Bening Swara semuanya memberi penampilan solid, Nasar Anuz dan Adhiyat Abdulkhadir selaku pelakon cilik paling mencuri perhatian. Aktor cilik dalam film sering menjadi titik lemah karena kapasitas akting yang (wajar) belum terasah. Tapi keduanya begitu baik, bertingkah dan bertutur secara meyakinkan, dari mengekspresikan ketakutan hingga menangani celetukan menggelitik yang sesekali menyegarkan suasana tanpa memunculkan masalah tone berkat ketepatan pembagian waktu. Bisa mencekam, bisa melucu. Pengabdi Setan memang paket lengkap, termasuk keberadaan detail-detail terselubung yang layaknya karya lain Joko, mampu memancing diskusi menarik. 


NOTE: 
  1. Kalau belum menonton filmnya, jangan buka kolom komentar. Banyak diskusi dengan SPOILER.
  2. Karena jumlah melampaui batas, kolom komentar dibagi menjadi lebih dari satu halaman. Klik "Lebih Baru" atau "Latest" untuk membuka halaman berikutnya.