Tampilkan postingan dengan label Viva Westi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Viva Westi. Tampilkan semua postingan

TOKO BARANG MANTAN (2020)

Toko Barang Mantan relevan untuk masa sekarang, di mana kata “mantan” dipandang begitu dramatis, sementara keambyaran diagungkan. Kisahnya tentang Tristan (Reza Rahadian) si “mahasiswa abadi” yang rela meninggalkan kuliah demi mengelola Toko Barang Mantan. Seperti namanya, toko ini melayani jual-beli barang-barang kenangan pemberian mantan. Bila sunguh-sungguh ada di dunia nyata, mungkin toko ini sudah viral. Tapi tidak di filmnya. Bahkan Tristan sampai kesulitan membayar sewa gedung.

Kenapa? Mungkin akibat kengototan Tristan untuk tidak berpromosi lewat media sosial. Menurutnya, proses tatap muka antara penjual dan pembeli wajib terjadi, demi pemaknaan mendalam terhadap barangnya. Mungkin juga karena sebagai seseorang yang tidak percaya cinta, bahkan sampai menyebutnya “tai kucing”, Tristan tidak cocok menjalankan bisnis ini. Jadi bagaimana bisa sosok skeptis sekaligus idealis sepertinya terpikir akan konsep tersebut? Konsep yang semestinya hanya dipedulikan oleh mereka yang memuja cinta (terkadang secara berlebihan) beserta segala kenangannya.

Inkonsistensi itulah kelemahan terbesar Toko Barang Mantan. Penceritaan, yang dimotori Viva Westi (Jenderal Soedirman, Koki-Koki Cilik 2) di kursi sutradara dan Titien Wattimena (trilogi Dilan) selaku penulis naskah, memang tak sebegitu solid. Tampak dari beberapa menit awal yang berlangsung cepat cenderung buru-buru, berantakan, dan sulit diikuti. Satu per satu konsumen mengunjungi Tristan dan dua karyawannya, Rio (Iedil Dzuhrie Alaudin) dan Amel (Dea Panendra), guna menjual barang pemberian mantan masing-masing, yang juga memfasilitasi penampilan deretan cameo.

Humor absurd mengiringi kemunculan tiap konsumen, yang sejatinya tidak dibarengi materi dasar kuat, namun setidaknya berhasil memancing senyum berkat penampilan maksimal jajaran cast, di mana mereka tak jarang melakukan improvisasi, yang berjasa memperkuat kesan organik. Nanti saya bakal membahas Reza Rahadian, tapi pertama-tama pujian harus diberikan kepada Dea Panendra, yang sekali lagi melahirkan karakter pendukung memorable. Asyik, sesekali menggelitik, pun berperan menambah bobot emosi kala melakoni adegan dramatis.

Kealamian akting juga memegang kunci dalam presentasi romansa Tristan dan Laras (Marsha Timothy). Laras merupakan mantan Tristan semasa kuliah. Bisa dibilang mantan terindah, sebab hingga kini, Tristan masih menyimpan perasaan. Tapi reuni keduanya dibarengi hal mengejutkan, saat Laras memberikan undangan pernikahan. Dahulu, Laras pergi karena Tristan selalu enggan mengucap kata “cinta”. Sekarang permasalah serupa lagi-lagi jadi penghalang usaha Tristan merebut kembali hati sang mantan.

Penokohan Tristan dan Laura yang sama-sama keras, memproduksi dinamika berupa naik-turun rasa yang amat dibutuhkan sajian romansa. Rasa manis saat keduanya saling menggoda, atau kepedihan sewaktu pertengkaran pecah, semua terasa nyata berkat penampilan Reza dan Marsha yang memang “nyata”. Di satu titik, Tristan mengutarakan kekagumannya atas respon malu-malu Laras. Di situ, Marsha mampu menunjukkan bagaimana seseorang yang sedang jatuh cinta dibuat tersipu mendengar gombalan-gombalan, yang walau ditampik oleh otak, nyatanya membuat hati tidak karuan.

Saya selalu lebih menyukai penampilan Reza di film-film sederhana seperti ini ketimbang transformasi ekstrim yang kerap ia lakukan. Karena seperti sudah sering saya sampaikan di ulasan-ulasan lain, minimal di generasi ini, tidak ada pelakon lain yang sebaik Reza dalam urusan kreativitas mengolah emosi, memainkan intonasi, dan mengeksplorasi ragam aksi-reaksi saat berakting. Natural sekaligus jauh dari monoton.

Viva Westi sadar betul kapasitas kedua pemain utamanya, lalu menggantungkan semua urusan membentuk rasa kepada mereka. Tidak banyak modifikasi atau inovasi di pengadeganan. Kamera lebih sering mengambil posisi close up agar menangkap ekspresi aktor semaksimal mungkin. Dan itu bukan masalah, melainkan keberhasilan memanfaatkan potensi. Satu-satunya kelemahan adalah, begitu konfik memanas meningkat, sutradara terlalu bergantung pada peningkatan intensitas melalui adu teriakan. Tapi itu pun bukan dosa besar. Tidak sebesar dosa mantan yang meninggalkan kita saat sedang sayang-sayangnya.

KOKI-KOKI CILIK 2 (2019)

Dua minggu terakhir merupakan waktu yang mengasyikkan bagi film anak. Setelah Doremi & You menebar kebahagiaan lewat musikal, kini giliran Koki-Koki Cilik 2 menyuguhkan sekuel sedap. Walau kali ini aktivitas memasak bagai hanya hidangan pendamping, drama keluarga yang melibatkan jajaran penampil serta karakter baru, bertindak selaku menu utama yang berhasil meluluhkan hati.

Bima (Farras Fatik) dan teman-temannya kembali berkumpul, berencana mengadakan reuni di Cooking Camp dua tahun selepas peristiwa film pertama, hanya untuk menemukan bahwa tempat itu sudah ditutup setelah komentar miring dari Evan (Christian Sugiono), seorang mantan chef sekaligus pemilik restoran ternama, mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik terhadap Cooking Camp yang sekarang dikelola Chef Grant (Ringgo Agus Rahman).

Cukup aneh ketika anak-anak tidak tahu perihal penutupan lokasi seterkenal Cooking Camp, yang juga mempunyai tempat di hati mereka. Setidaknya para orang tua pasti mendengar kabar itu. Alhasil, berangkat dengan penuh suka cita, mereka disambut kamp kosong dan Chef Grant—dengan jenggot palsu jelek—yang kehilangan semangatnya.

Di tengah situasi tersebut, datanglah Adit (M Adhiyat) bersama tantenya, Adel (Kimberly Ryder). Adit boleh berusia paling muda, tapi kemampuan memasaknya luar biasa. Sayang, kesan pertamanya di mata anak-anak Cooking Camp kurang baik. Bima dan teman-teman menganggap Adit arogan.....sampai masakan si bocah menyentuh lidah.

Terpukau oleh masakannya, Adit pun diajak turut bergabung dalam usaha food truck yang dirintis guna membangkitkan Cooking Camp. Dari situlah pelan-pelan Adit merasa dicintai, suatu hal yang jarang ia temukan, mengingat ia senantiasa jadi korban perundungan di sekolah, pun kurang dekat dengan sang ayah.

Paruh awal Koki-Koki Cilik 2 sebenarnya tidak berjalan mulus. Perubahan hati dan sikap Adit terjadi begitu cepat, plus naskah buatan Vera Varidia (Me vs Mami, Surat Cinta untuk Kartini, Koki-Koki Cilik) terlalu banyak menebar konflik. Tentu di saat anak-anak membuat bisnis makanan bersama, masalah bakal kerap terjadi, namun bukan berarti film ini mesti menyediakan gesekan dan/atau pertengkaran baru tiap beberapa menit.

Tapi setelah drama utamanya mengambil alih, Koki-Koki Cilik 2 mulai menemukan pijakan, bahkan membuat saya terenyuh oleh tuturannya. Ada satu titik balik khusus yang amat berkesan, yakni tatkala Adit kehilangan kontrol emosi akibat sikap salah satu pengunjung food truck, dan Adel berusaha menenangkan sang keponakan dengan berkata, “Adit anak baik”.

Terasa emosional  berkat aura keibuan hangat dari Kimberly ditambah bagaimana adegan tersebut memotret kasih sayang melalui kata-kata sederhana. Makin bermakna setelah latar belakang Adit digali lebih jauh, yang juga diikuti dua kejutan. Kejutan pertama mudah diprediksi, sementara yang kedua, biarpun mengejutkan, agak bermasalah karena melibatkan insiden masa lalu, yang secara logika, mustahil dilupakan karakternya. Di luar masalah itu, keberadaannya efekif menambah bobot rasa. Salah satunya berkat penampilan paling solid sepanjang karir Christian Sugiono, juga M. Adhiyat yang sekali lagi membuktikan diri berpotensi menjadi aktor dengan sensibilitas tinggi di masa depan.

Mengedepankan Adit, porsi Bima pun berkurang jauh, yang mana patut disayangkan setelah kita melalui banyak hal bersamanya di film pertama. Tapi paling tidak, Koki-Koki Cilik 2 mampu membayarnya lunas dengan menciptakan ikatan kuat di antara para bocah. Teramat kuat, air mata bisa saja menetes sewaktu melihat mereka bicara hati ke hati, berpelukan, kemudian melakukan “ritual transfer energi”.

Terselip pula pesan anti-bullying selaku bumbu penyedap, yang walau takarannya minim, tetap meninggalkan dampak besar. Orang tua akan memperoleh materi penting untuk diajarkan, yaitu tentang efek perundungan yang masih bisa, atau bahkan baru dirasakan jauh di masa depan.

Mengambil alih tugas penyutradaraan, Viva Westi (Rayya, Cahaya di Atas Cahaya, Jenderal Soedirman) mungkin belum sejago Ifa Isfansyah dalam mempresentasikan makanan guna membuatnya nampak sedap dengan mengeksplorasi detail tekstur. Tapi kekurangan itu juga dipengaruhi variasi masakan yang dipilih, juga fakta bahwa naskahnya tidak menyelipkan adegan memasak sebanyak film pertama. Lain cerita jika membahas penghantaran rasa, di mana sang sutradara menerapkan dramatisasi secukupnya sehingga sukses menjadikan Koki-Koki Cilik 2 sebuah film keluarga yang demikian hangat.