Tampilkan postingan dengan label Alfred Molina. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Alfred Molina. Tampilkan semua postingan

REVIEW - SPIDER-MAN: NO WAY HOME

Selepas Avengers: Endgame, saya berujar, "I've never seen anything like this". Wajar saja, mengingat statusnya sebagai kulminasi perjalanan satu dekade lebih. Tapi bahkan setelah itu, Spider-Man: No Way Home mampu memancing respon serupa. Sekali lagi Marvel Studios mendobrak batas kemustahilan. 

Di berbagai lokasi (termasuk studio tempat saya berada), para penonton bersorak, tertawa, menangis, bertepuk tangan. Pemandangan yang makin asing akibat pandemi. No Way Home melakukannya sebagai fan service bagi penonton multigenerasi. No Way Home ibarat rumah, bukan saja untuk penggemar Spider-Man, pula mereka yang merindukan theatrical experience.  

Ditulis oleh Chris McKenna dan Erik Sommers, kisahnya meneruskan akhir Far from Home (2019), kala identitas Peter Parker (Tom Holland) selaku Spider-Man terungkap, seketika menjadikannya musuh publik. Satu-satunya jalan keluar yang ia temukan adalah, meminta Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) merapal mantra penghapus ingatan orang-orang akan identitasnya. 

Kita tahu akhirnya mantra tersebut kacau akibat interupsi Peter. Kita tahu, karena itu gerbang multiverse terbuka. Kita tahu banyak musuh lama dari versi Raimi dan Webb kembali. Semua telah diungkap di materi promosi, dan lebih baik jika anda tetap tidak "buta" akan hal-hal lain. 

No Way Home merupakan fan service, di mana kata "service" tak berhenti di ranah trivial. Semakin anda mengenal Spider-Man, baik versi komik maupun layar lebar, semakin anda bakal menyadari, bahwa film ini sukses menangkap esensi tokohnya. 

Menyenangkan melihat Otto Octavius / Doctor Octopus (Alfred Molina) dan Norman Osborn / Green Goblin (Willem Dafoe) terlibat banter, Flint Marko / Sandman (Thomas Haden Church) masih mementingkan keluarga, atau bagaimana Max Dillon / Electro (Jamie Foxx) dan Curt Connors / Lizard (Rhys Ifans) memperkenalkan identitas satu sama lain. Tapi tak kalah menyenangkan saat mendapati No Way Home memahami betul siapa Spider-Man. 

Serupa julukan "friendly neighborhood" miliknya, juga kalimat "with great power comes great responsibility", si manusia laba-laba bukan cuma menumpas kejahatan, namun menebar kebaikan. Terdengar serupa, tetapi tak sama. Poin tersebut turut ditekankan filmnya, terutama terkait cara Peter menyikapi kedatangan tamu-tamu tak diundang dari dunia lain. 

Bertugas memperluas cakupan MCU tak membuat film ini lalai mengurus semestanya sendiri. Di antara gejolak multidimensi, No Way Home tetap kisah remaja. Tetap berpusat di Peter dan orang-orang terdekatnya. Apa masalah utama Peter selain menghadapi setumpuk villain? Dia, bersama MJ (Zendaya) dan Ned (Jacob Batalon), dipersulit ketika mendaftar kuliah, selaku dampak terungkapnya identitas Spider-Man. Sementara May (Marissa Tomei) mengesahkan posisi sebagai pemberi motivasi personal Peter dalam aksi heroiknya. 

Spider-Man memang sejatinya cerita coming-of-age. Peter mengalami pendewasaan pasca melewati fase-fase seperti kita, termasuk percintaan. No Way Home mematenkan Peter-MJ sebagai salah satu pasangan terkuat MCU. Lalu di akhir cerita, tampak jelas Peter jauh lebih dewasa dibanding saat muncul pertama kali dalam Captain America: Civil War lima tahun lalu. Jadilah trilogi Homecoming sebuah kisah yang utuh. 

Kebaikan hati dan kepintaran. Begitu filmnya mendefinisikan Peter Parker. Dua aspek tersebut membentuk paruh keduanya, yang mengetengahkan sisi ilmiah Peter ketimbang kemampuan baku hantam (walau di sebuah kesempatan, sisi ini pun dimanfaatkan secara cerdik guna menerapkan kejeniusan Peter di bidang sains ke dalam aksi). Pacing-nya tersendat, namun bisa dimaafkan karena kesesuaiannya menggambarkan esensi penokohan seorang Peter Parker. 

Melewati babak kedua, No Way Home enggan melepas cengkeramannya. Keseruan, kejutan, fan service, campur aduk. Lupakan kekurangan perihal penyuntingan yang ada kalanya tampak tergesa-gesa, sebab di titik itu No Way Home memenuhi hakikatnya sebagai blockbuster: membuat penonton berdecak kagum. 

Aksinya kelas satu. Bukan cuma mengandalkan fan service, Jon Watts terbukti makin matang mengarahkan kemeriahan spektakel, termasuk dengan tidak menjadikan Doctor Strange glorified cameo belaka, juga dipakai menciptakan aksi unik selaku ciri "sang penyihir". Beginilah semestinya crossover. Tidak asal menumpuk karakter, pula menerapkan kekhasan masing-masing. 

Tentu third act-nya tak tertandingi. Di situ segala macam rasa memuncak. Entah dari aksi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya dapat tersaji, atau hadirnya konklusi emosional, tidak hanya untuk trilogi Homecoming, pun semua cabang cerita yang membentang selama hampir dua dekade. Ya. Semua. Baik persoalan yang urung dituntaskan, penebusan dosa, proses mengatasi duka serta rasa bersalah, dan lain-lain. 

Sempurna? Mungkin belum. Seperti saya singgung di atas, ada beberapa celah seputar pacing dan penyuntingan. Tapi sepanjang 2021, atau bahkan dalam beberapa tahun terakhir, tidak ada blockbuster dengan pencapaian setara Spider-Man: No Way Home, yang benar-benar menunjukkan alasan mengapa theatrical experience mustahil tergantikan. Suatu pengalaman komunal, di mana puluhan, bahkan ratusan orang, berbagi rasa tanpa perlu saling mengenal atau berinteraksi langsung, disatukan oleh layar raksasa yang menampilkan keajaiban bernama "sinema".