Tampilkan postingan dengan label Andy Oesman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Andy Oesman. Tampilkan semua postingan

REVIEW - THE SACRED RIANA 2: BLOODY MARY

The Sacred Riana 2: Bloody Mary dibuka oleh rekap film pertama, seolah pembuatnya mengakui bahwa penonton bakal melupakan ceritanya. Dan memang betul, karena selepas rekap pun saya tak mampu mengingatnya secara utuh. Tapi di luar penceritaan, The Sacred Riana: Beginning (2019) punya estetika memikat mata, serta terselip beberapa ide kreatif dalam caranya menakut-nakuti. 

Selama ini horor-horor buatan Billy Christian cenderung jatuh ke area "tanggung". Potensial, menyimpan beberapa keunggulan, namun berujung tak maksimal. Bukannya membaik Billy justru merilis karya terburuknya sejauh ini. Jika saya melupakan alur Beginning bukan karena mau, namun sungguh saya berharap bisa melupakan pengalaman bernama The Sacred Riana 2: Bloody Mary. 

Melanjutkan akhir film pertama, Riana mendapati boneka Riani miliknya kini berada di tangan siswi penghuni asrama Elodia. Dia pun pindah ke asrama yang dikelola Bu Martha (Roweina Umboh) tersebut. Boneka Riani rupanya disimpan oleh Elsa (Elina Joerg), yang bersama Merry (Shenina Cinnamon), Asia (Anindhita Asmarani), Rika (Helene Kamga), dan Anna (Sharon Sahertian), tergabung dalam kelompok perundung. 

Demi mendapatkan Riani lagi, Riana meminta bergabung ke kelompok Elsa, dan sebagai syaratnya ia harus melakukan permainan bloody mary. Caranya sama seperti yang kita sering baca di internet, yakni menyebut nama Bloody Mary tiga kali di depan cermin. Bisa ditebak, Bloody Mary (Carolina Passoni Fattori) benar-benar hadir menebar teror.

Teror macam apa? Sepanjang film Bloody Mary bakal muncul, kemudian menarik satu per satu korbannya ke dalam dunia cermin. That's it. Hanya itu yang ditawarkan naskah buatan Billy dan Andy Oesman selama kurang lebih 103 menit durasinya. Bloody Mary menampakkan diri, menculik korban, satu siswi hilang, karakter lain kebingungan, lalu Bloody Mary menampakkan diri lagi, menculik korban lagi, satu siswi hilang lagi.....you got the point.

Repetitif, tanpa upaya menawarkan misteri, atau mengeksplorasi hal apa pun. Persahabatan Riana-Anna tampil dangkal, sedangkan konflik cinta segitiga mendadak dipaksa masuk untuk memecah hubungan keduanya. Isu perundungan yang ditanamkan di awal dibiarkan berlalu begitu saja. Bahkan jika dipikirkan lebih jauh, konklusinya membuat segala pelajaran yang para perundung terima jadi lenyap tanpa bekas. 

Bicara soal konklusi, terdapat satu poin membingungkan. Ega (Armando Jordy), putera Bu Martha, menyelidiki kematian seorang siswi yang terjadi sebelum kedatangan Riana. Entah naskahnya lalai atau ingatan saya turut dihapus oleh Riana, tapi misteri tersebut tidak diberi penyelesaian. 

Satu yang bisa saya apresiasi adalah desain artistiknya. Tidak luar biasa, tapi karena sangat familiar dengan lokasi syutingnya (Benteng Van Der Wijk terletak di kampung halaman saya), saya tahu bagaimana film ini berhasil menyulap benteng tua jadi asrama creepy yang nampak asing. 

Sayangnya latar itu tak dibarengi teror memadai. Billy menanggalkan segala ide menarik film bertama untuk beralih ke trik berisik murahan. Sosok Bloody Mary punya tata rias creepy, tapi begitu dia bicara....YA TUHAN. Kenapa hantu dari Eropa, yang juga dikurung dengan mantra berbahasa asing, bicara memakai Bahasa Indonesia? Kenapa pula dia bicara seperti orang kepedasan yang baru menghabiskan 10 mangkuk seblak?

Naskahnya juga melakukan kecurangan tatkala Bloody Mary menyerang Ega, walau dia tak terlibat permainan memanggil namanya. Menurut Riana, itu terjadi karena Ega menghalangi jalan si hantu. Ada kalanya horor memerlukan suspension of disbelief agar bisa dinikmati, tapi ini terlalu bodoh. Sangat bodoh. Sebodoh cara karakternya mengalahkan Bloody Mary. Lebih baik Mbak Mary lanjut makan seblak saja. 

LORONG (2019)

Kata “klise” didefinisikan dengan sempurna oleh Lorong, sebuah film yang bergerak sesuai pakem. “Mudah ditebak” tidak serta merta melahirkan dosa, namun ketika dilengkapi pula oleh penggarapan ala kadarnya serta tensi yang datar-datar saja, saya bertanya-tanya, “apa yang coba ditawarkan para pembuatnya?”.

Selepas proses persalinan, Mayang (Prisia Nasution) disambut kabar duka dari sang suami, Reza (Winky Wiryawan), bahwa buah hati mereka—yang hendak dinamai Reno—telah meninggal dunia. Tapi entah mengapa, Mayang yakin Reno masih hidup. Meyakini Mayang menderita depresi, Reza dibantu karyawan rumah sakit termasuk dr. Vera (Nova Eliza), berusaha menyadarkan sang ibu yang malang.

Tapi Mayang tetap ngotot, selalu nekat kabur dari kamar guna mencari Reno, menggiring kisahnya menuju peristiwa berulang di mana Mayang akan terbangun dari mimpi buruk, mencabut infus, bersusah-payah menyusuri lorong rumah sakit, lalu bertemu Darmo (Teuku Rifnu Wikana) si petugas kebersihan.

Pengulangan tersebut seakan membuktikan kebingungan Andy Oesman (The Sacred Riana: Beginning) dalam mengembangkan kisah yang bak diniati jadi versi jauh lebih sederhana dari Rosemary’s Baby-nya Roman Polanski. Begitu sederhana, naskahnya merasa tidak perlu mengangkat ambiguitas soal “apakah Mayang memang mengalami gangguan jiwa?”. Fakta sesungguhnya langsung diungkap di pertengahan durasi.

Sejatinya itu langkah berani, berpotensi membawa proses eksplorasi kisahnya ke arah berbeda. Sayangnya itu urung dilakukan, sehingga Lorong gagal menyediakan alasan mengapa penonton harus terus menaruh perhatian sampai akhir. Sementara sebagai usaha memfasilitasi selera penonton kebanyakan, turut dimasukkan elemen mistis berupa penampakan hantu wanita di beberapa kesempatan.

Naskahnya berniat menjadikan si hantu lebih dari sebatas penebar teror, meski pada akhirnya, kehadirannya tidak signifikan mempengaruhi berhasil atau tidaknya Mayang menyibak segala kebenaran. Pun kemunculannya tak pernah mengerikan akibat lemahnya penyutradaraan Hestu Saputra (Cinta tapi Beda, Hujan Bulan Juni, Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar).

Terbiasa mengarahkan drama, Hestu jelas belum menguasai teknik mengarahkan horor. Pacing maupun pemilihan sudut kamera pilihannya terkesan seadanya, kurang menunjang pembangunan atmosfer dan intensitas. Babak ketiga jadi korban terbesar pengarahan lemah sang sutradara. Padahal konsep klimaksnya menarik, menyimpan kengerian dari suatu peristiwa brutal nan ironis, yang dampaknya bakal menguat andai bersedia menambahkan kadar kekerasan.

Malang bagi Prisia Nasution. Penampilannya solid, cukup meyakinkan mengekspresikan keputusasaan seorang ibu yang hatinya remuk redam, walau cakupan emosi karakter Mayang sebenarnya tidak terlalu luas (ketakutan dan menangis). Prisia mesti lebih cermat memilih peran. Sempat digadang-gadang sebagai calon aktris Indonesia nomor satu, entah sudah berapa tahun ia tidak mendapatkan film berkualitas.

THE SACRED RIANA: BEGINNING (2019)

The Sacred Riana: Beginning adalah film khas Billy Christian (Rumah Malaikat, Petak Umpet Minako, Mereka Yang Tak Terlihat), tidak kurang, tidak lebih: Tata artistik menawan dan konsep segar yang gagal mencapai potensi akibat kombinasi penulisan dan penyutradaraan lemah, khususnya perihal adegan bertensi tinggi.

Terinspirasi dari karakter The Sacred Riana, sang pesulap pemenang Asia’s Got Talent 2017, filmnya mengisahkan bagaimana Riana kecil (Jessiana Marriera Pariston) yang pendiam selalu dianggap aneh orang teman-temannya. Fakta bahwa kedua orang tuanya (Prabu Revolusi dan Citra Prima) menjalankan usaha pemakaman membuat ejekan terhadapnya makin deras. Seolah belum cukup, kehidupan Riana dipenuhi bencana. Pasca rumahnya habis terbakar, Riana sekeluarga tinggal di kediaman Oom Johan (Willem Bevers). Tidak berapa lama, Oom Johan tewas dalam kecelakaan pesawat.

Sebagai kolektor barang antik bernuansa mistis dari seluruh dunia, rumah Oom Johan pun banyak diisi benda-benda mengerikan, termasuk boneka yang Riana temukan dan ia beri nama Riani. Bagi Riana, Riani merupakan satu-satunya teman. Tapi sejak keberadaan Riani, sikap Riana berubah aneh. Dia tak lagi bicara, kerap melakukan gestur aneh, bahkan mampu menggerakkan barang-barang. Kondisi tersebut berlanjut hingga ia dewasa.

Saya lega ketika filmnya melompat ke masa remaja Riana, sebab sosok Riana kecil benar-benar sulit disaksikan. Saya takkan menyalahkan Jessiana, karena jangankan aktris cilik sepertinya, pelakon berpengalaman pun akan kesulitan menyampaikan deretan dialog kaku milik naskah buatan Billy bersama Andy Oesman. Ketika pemain cilik berakting buruk, maka bobot kesalahan terbesar ada di dua aspek: Naskah yang tak memahami bagaimana anak kecil bersikap dan sutradara yang kurang jeli mengarahkan. Bukan berarti Riana remaja (The Sacred Riana) tampil superior, sebab ia tertolong kekhasan karakternya, yang lebih banyak diam.

Suatu hari, setelah absen beberapa waktu dari sekolah, Riana dikunjungi guru BP-nya, Klara (Aura Kasih). Lega rasanya mendapati Klara bukan satu lagi tokoh psikolog klise yang skeptis akan fenomena mistis. Tidak hanya percaya, Klara bahkan familiar dengan hal berbau supranatural. Di kunjungan berikutnya, dia mengajak serta tiga anak didiknya, Lusi (Agatha Chelsea), Hendro (Angrean Ken), dan Anggi (Ciara Nadine Brosnan). Kelak diketahui, ketiganya pun memiliki kelebihan, yang sebelum bertemu Klara, sempat membuat mereka dikucilkan layaknya Riana.

Mengumpulkan sederet remaja indigo berkemampuan berbeda berpotensi melahirkan kesegaran. The Sacred Riana: Beginning bisa saja dibungkus layaknya X-Men dengan sentuhan horor supranatural (Ya, seperti film “satu itu” yang kemungkinan takkan pernah dirilis). Didukung musik gubahan Andi Rianto (30 Hari Mencari Cinta, Arisan!, Critical Eleven), film ini kadang terasa bagai kisah fantasi kelam khususnya Billy beberapa kali memilih menekankan aura keajaiban ketimbang kengerian.

Sungguh sayang, di mayoritas waktu, The Sacred Riana: Beginning masih tergoda untuk berjalan di jalur horor lokal formulaik, tepatnya pasca pengenalan Bava Gogh (Carlos Camelo), pembunuh berantai dengan korban anak-anak, yang tak berhenti menebar teror bahkan setelah meregang nyawa. Bava Gogh punya tampilan unik berkat dandanan ala Eropa dari period era, namun kemunculannya gagal menebar teror akibat gaya akting over-the-top konyol sang aktor.

Dari cerita menjanjikan soal remaja korban perundungan yang bergulat dengan bakatnya, film ini beralih menuju repetisi melelahkan, ketika satu demi satu karakter jadi korban teror Bava Gogh (serta hantu-hantu lain), berteriak, jatuh ketakutan, sebelum dihampiri karakter lain yang hendak menolong sambil meneriakkan namanya. Satu lagi adegan “andalan” The Sacred Riana: Beginning adalah “sesi curhat” penuh pilihan kalimat membosankan, selaku wujud terapi dari Klara terhadap keempat anak didiknya. Pola itu terus diulang, hingga mencapai pertengahan durasi, saya curiga bahwa para penulisnya lupa kalau film ini berjudul The Sacred Riana, karena Riana sendiri menghilang cukup lama dan baru kembali beberapa saat jelang babak ketiga.

Jurang pembeda The Sacred Riana: Beginning dengan horor lokal beralur tipis kebanyakan adalah saat Billy konsisten mempresentasikan ide menarik seputar metode menakut-nakuti. Tidak selalu mengerikan atau mengejutkan, tapi paling tidak saya beberapa kali dibuat tersenyum, terhibur oleh kreativitas Billy, sebagaimana dicontohkan satu momen yang memanfaatkan sebuah lukisan.

Ironisnya, penyebab kegagalan film ini menelurkan teror mengerikan juga Billy sendiri, tepatnya ketidakmampuan sang sutradara menangani sekuen beroktan tinggi. Kebanyakan gambarnya cantik, pun mudah mengambil banyak photo still menarik dari film ini. Tapi kondisi berubah kala terjadi pergerakan, baik dari kamera maupun objek (termasuk manusia) di layar. Nyaris tiada intensitas, entah disebabkan gerak kamera yang terlampau pelan atau terlambat menangkap momentum. Sederhananya, Billy jago mengambil gambar diam daripada gambar bergerak. Tunggu, tapi bukankah film sendiri merupakan "gambar bergerak"?