Tampilkan postingan dengan label Hestu Saputra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hestu Saputra. Tampilkan semua postingan
SURAT DARI KEMATIAN (2020)
Rasyidharry
Surat Dari Kematian, selaku adaptasi cerita Wattpad berjudul sama buatan Adham
T. Fusama, punya modal kuat terkait penelusurannya terhadap legenda urban yang
menggabungkan persepsi mistis dan logis. Memang menarik menelisik guna
mempelajari asal usul legenda urban. Pernah berkuliah di Universitas Gadjah
Mada selama lebih dari tujuh tahun, saya tahu betul bahwa kampus-kerakyatan-yang-tidak-lagi-merakyat
tersebut menyimpan banyak kisah mengerikan. Sayang, filmnya gagal memaksimalkan
potensi dan hanya menambah panjang daftar horor lokal berkualitas rendah yang
seolah enggan berhenti mengotori industri.
Ceritanya dibuka saat Pasha (Omara
Esteghlal) mendapat surat ancaman kematian yang mengharuskannya bernyanyi
sambil telanjang bulat (definisi “telanjat bulat” film ini rupanya berbeda dari
pemahaman umum) di depan Gama Plaza kalau ingin tetap hidup. Penonton yang
familiar dengan lingkungan UGM tentu tahu adegan itu tidak diambil di depan
Gama Plaza, tapi biarlah. Ada masalah lebih fatal seputar naskah buatan Evelyn
Afnila (Keluarga Tak Kasat Mata, Roh
Fasik) yang punya struktur penceritaan kacau juga kecacatan logika.
Misalnya di beberapa menit awal
yang terkesan disusun acak, asal melompat dari satu peristiwa ke peristiwa lain
yang tak berkaitan tanpa transisi memadai. Atau di pertengahan durasi, ketika
salah satu karakternya mendapat kabar penemuan sebuah mayat. Dia ditelepon di
malam hari, mengunjungi TKP pada siang hari, namun anehnya, warga sekitar masih
heboh dan baru saja mengangkat mayat tersebut.
Tokoh utamanya adalah Zein (Endy
Arfian) dan Kinan (Carissa Perusset), dua mahasiswa UGM yang menyalurkan hobi
jurnalistik mereka dengan membuat konten YouTube tentang legenda urban di
sekitar kampus. Oh, saya lupa menyebut bahwa kepanjangan UGM di sini bukan “Universitas
Gadjah Mada”, melainkan “Universitas Garuda Mandala”. Cukup kreatif, sebab
filmnya tetap bisa memakai kata “UGM” atau “Gama”, tanpa menyalahi urusan
legalitas.
Setelah gagal mengungkap misteri
Jembatan Perawan, Zein dan Kinan tertarik menyelidiki kasus surat kematian yang
diterima Pasha. Apalagi setelah Reno (Eric Febrian dalam akting kaku yang luar
biasa mengganggu), teman Pasha—yang menggilai Britpop sampai memasang
poster-poster Oasis, Stone Roses, Radiohead, The Cure, Arctic Monkeys, sampai
The Killers yang sebenarnya tidak sinkron karena merupakan band Amerika—menghilang
dari kamar. Dua protagonist kita yakin bahwa: 1) surat kematian itu berhubungan
dengan kematian Darius (Jerome Kurnia) yang gantung diri di Gama Plaza; dan 2)
Joe (Justin Adiwinata), kawan Pasha dan Reno merupakan korban berikutnya.
Mayoritas durasi diisi perdebatan
Zein, yang menggandrungi hal-hal mistis, dan Kinan yang cenderung skeptis. Sewaktu
Endy Arfian tampil dengan logat Jawa khas FTV, Carissa Perusset sejatinya tidak
buruk, tapi dia belum punya kapasitas guna menyelamatkan penokohan buruk Kinan
si jurnalis bodoh (ditinjau dari banyak sisi) yang muncul dengan rencana bodoh
untuk mengungkap identitas pengirim surat kematian. Kinan is a clueless journalist and Carissa herself looks clueless on
handling that.
Mestinya adu argumen kedua tokoh
utama dapat melahirkan investigas menarik melalui benturan sisi logis dengan
mistis, tapi yang tersaji hanya deretan debat kusir minim bobot yang gagal memancing
pemikiran dan pemahaman lebih lanjut terhadap kedua sudut pandang. Surat Dari Kematian terlampau banyak
menghabiskan waktu memperlihatkan Zein dan Kinan beradu mulut ketimbang
mengeksplorasi dereta legenda urbannya, yang sekadar muncul sekilas di adegan
pembuka.
Elemen mistisnya menyimpan beberapa
jump scare yang kebanyakan dieksekusi
oleh sutradara Hestu Saputra (Perfect
Dream, Lorong) memakai trik murahan, seperti wajah hantu yang mendadak
memenuhi seisi layar dibarengi musik berisik garapan Krisna Purna (Siti, Talak 3, Abracadabra) dan Cahya
Kalatidha. Ada satu momen menjanjikan, tatkala sesosok hantu mirip Gollum
menampakkan diri, dalam teror yang awalnya mampu memunculkan atmosfer mencekam,
tapi berubah jadi menggelikan begitu si hantu mulai menyerang. Tawa seisi
bioskop pecah ketika itu terjadi.
Menjanjikan. Potensial. Surat Dari Kematian memang akrab dengan
kata-kata itu. Sama halnya seperti kehadiran guru spiritual Zein, Pak Wibowo
(Landung Simatupang), yang sempat memamerkan ilmu melipat jalan (lebih dikenal
sebagai “melibat Bumi”). Andai hal-hal semacam itu lebih sering dimunculkan
agar memperkaya elemen mistisnya. Tapi akhirnya keterlibatan Pak Wibowo justru
menyulut kejanggalan-kejanggalan lain. Apa hasil dari ritualnya di Gama Plaza? Sebelum
kita tahu, filmnya langsung melompat ke entah berapa hari setelahnya,
membuktikan satu lagi kekacauan penceritaan Surat
Dari Kematian.
Setelah klimaks kental aksi
canggung dan kelalaian filmnya bahwa ada proses autopsi yang bisa menjelaskan
penyebab kematian, datanglah twist yang
coba menjembatani perspektif logis dan mistis. Sayang, akibat gagalnya
presentasi mengenai kedua sisi, dampak kejutan itu tidak sekuat harapan. Dan
jika ingin memunculkan respon “Keren! Nggak ketebak! Mengejutkan!” dari
penonton awam, penjelasannya yang berantakan berujung menghalangi tercapainya
tujuan itu.
Januari 11, 2020
Carissa Perusset
,
Endy Arfian
,
Eric Febrian
,
Evelyn Afnila
,
Hestu Saputra
,
horror
,
Indonesian Film
,
Jerome Kurnia
,
Justin Adiwinata
,
Krisna Purna
,
Landung Simatupang
,
Omara Esteghlal
,
REVIEW
,
Sangat Jelek
LORONG (2019)
Rasyidharry
Kata “klise” didefinisikan dengan
sempurna oleh Lorong, sebuah film
yang bergerak sesuai pakem. “Mudah ditebak” tidak serta merta melahirkan dosa,
namun ketika dilengkapi pula oleh penggarapan ala kadarnya serta tensi yang
datar-datar saja, saya bertanya-tanya, “apa yang coba ditawarkan para
pembuatnya?”.
Selepas proses persalinan, Mayang
(Prisia Nasution) disambut kabar duka dari sang suami, Reza (Winky Wiryawan),
bahwa buah hati mereka—yang hendak dinamai Reno—telah meninggal dunia. Tapi
entah mengapa, Mayang yakin Reno masih hidup. Meyakini Mayang menderita
depresi, Reza dibantu karyawan rumah sakit termasuk dr. Vera (Nova Eliza),
berusaha menyadarkan sang ibu yang malang.
Tapi Mayang tetap ngotot, selalu
nekat kabur dari kamar guna mencari Reno, menggiring kisahnya menuju peristiwa
berulang di mana Mayang akan terbangun dari mimpi buruk, mencabut infus,
bersusah-payah menyusuri lorong rumah sakit, lalu bertemu Darmo (Teuku Rifnu
Wikana) si petugas kebersihan.
Pengulangan tersebut seakan
membuktikan kebingungan Andy Oesman (The
Sacred Riana: Beginning) dalam mengembangkan kisah yang bak diniati jadi
versi jauh lebih sederhana dari Rosemary’s
Baby-nya Roman Polanski. Begitu sederhana, naskahnya merasa tidak perlu
mengangkat ambiguitas soal “apakah Mayang memang mengalami gangguan jiwa?”.
Fakta sesungguhnya langsung diungkap di pertengahan durasi.
Sejatinya itu langkah berani,
berpotensi membawa proses eksplorasi kisahnya ke arah berbeda. Sayangnya itu
urung dilakukan, sehingga Lorong gagal
menyediakan alasan mengapa penonton harus terus menaruh perhatian sampai akhir.
Sementara sebagai usaha memfasilitasi selera penonton kebanyakan, turut
dimasukkan elemen mistis berupa penampakan hantu wanita di beberapa kesempatan.
Naskahnya berniat menjadikan si
hantu lebih dari sebatas penebar teror, meski pada akhirnya, kehadirannya tidak
signifikan mempengaruhi berhasil atau tidaknya Mayang menyibak segala
kebenaran. Pun kemunculannya tak pernah mengerikan akibat lemahnya
penyutradaraan Hestu Saputra (Cinta tapi
Beda, Hujan Bulan Juni, Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar).
Terbiasa mengarahkan drama, Hestu
jelas belum menguasai teknik mengarahkan horor. Pacing maupun pemilihan sudut kamera pilihannya terkesan seadanya,
kurang menunjang pembangunan atmosfer dan intensitas. Babak ketiga jadi korban
terbesar pengarahan lemah sang sutradara. Padahal konsep klimaksnya menarik,
menyimpan kengerian dari suatu peristiwa brutal nan ironis, yang dampaknya
bakal menguat andai bersedia menambahkan kadar kekerasan.
Malang bagi Prisia Nasution. Penampilannya
solid, cukup meyakinkan mengekspresikan keputusasaan seorang ibu yang hatinya
remuk redam, walau cakupan emosi karakter Mayang sebenarnya tidak terlalu luas
(ketakutan dan menangis). Prisia mesti lebih cermat memilih peran. Sempat
digadang-gadang sebagai calon aktris Indonesia nomor satu, entah sudah berapa
tahun ia tidak mendapatkan film berkualitas.
September 13, 2019
Andy Oesman
,
Hestu Saputra
,
horror
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Nova Eliza
,
Prisia Nasution
,
REVIEW
,
Teuku Rifnu Wikana
,
Winky Wiryawan
HUJAN BULAN JUNI (2017)
Rasyidharry
Hujan Bulan Juni selaku adaptasi novel puitis berjudul sama buatan Sapardi Djoko Darmono dari luar tampak sederhana tapi mengandung pergolakan rumit nan filosofis soal cinta di dalam. Mengisahkan Sarwono (Adipati Dolken) dan Pingkan (Velove Vexia), sepasang kekasih yang mengajar di Universitas Indonesia. Sarwono yang memilih puisi sebagai cara mengungkapkan segala isi hati kepada Pingkan mulai khawatir begitu sang kekasih bakal melanjutkan kuliah di Jepang selama dua tahun. Alasannya Katsuo (Koutaro Kakimoto, putera Tetsuo Kurata alias Kotaro Minami), pria Jepang sesama alumni UI yang akan menemani Pingkan selama masa studinya.
Ini bukan semata konflik saling cemburu saling curiga yang kerap dijumpai dalam karya romansa populer. Seperti gaya bahasa metaforik multitafsir Sapardi, skenario karya Titien Wattimena menjadikan puisi media penyusun analogi guna merangkum setumpuk pemikiran serta problematika kompleks. Ada masalah perbedaan suku pula keyakinan yang menyeret keluarga Pingkan (Sarwono adalah Jawa-Islam, Pingkan Manado-Kristen), keresahan terkait kesetiaan, sampai gagasan-gagasan Sarwono terkait cinta. Betapa sulit menuturkan beragam hal tersebut melalui paparan narasi tersurat.
Ketersiratan membantu menyingkat penyampaian sembari menjangkau makna terdalam. Tentu butuh kesediaan penonton menguraikan benang berbentuk kalimat bersayap maupun simbolisme. Sebutlah perjalanan ke Manado yang notabene rumah Pingkan. Di sana pikiran Sarwono diganggu dua pria. Benny (Baim Wong) jadi perwakilan masa lalu Pingkan, dan Katsuo yang segera mengisi rutinitas Pingkan di masa depan. Sementara Pingkan mesti bergulat dengan jati dirinya sebagai keturunan Manado. Proses tersebut makin berarti sebab hadir di rumah atau kampung halaman selaku tempat segalanya bermula, layaknya menyusuri ruang paling dalam sekaligus paling nyata karakternya.
Pun pemakaian sajak Sapardi memberi kenikmatan tersendiri. Mendengarkan lantunan bait demi bait senantiasa mengundang decak kagum atas pengolahan kata sang penulis. Demikian indahnya, tanpa perlu memikirkan interpretasi pasti pun hati ini bisa kembang-kempis dibuatnya. Mendukung usaha Hujan Bulan Juni memvisualkan puisi, sinematografi Faozan Rizal memproduksi jalinan gambar yang menyimpan tuturan di balik keindahan. Kelopak bunga sakura, debur ombak, nyala neon berbentuk salib, masing-masing bagai punya kisah untuk diceritakan. Kisah yang mewakili rasa dua tokoh utama.
Penyutradaraan Hestu Saputra (Cinta Tapi Beda, Air Mata Surga) juga mencapai titik terbaik, menuangkan sensitivitas dalam keintiman Sarwono dan Pingkan lewat kedekatan batin ketimbang fisik. Bentuk olah rasa serupa dilakukan oleh Adipati Dolken dan Velove Vexia. Adipati dengan kelembutan natural yang menyimpan kerapuhan guna menjauhkan Sarwono dari kesempurnaan, Velove dengan energi ditambah keanggunan sehingga Pingkan layak dipuja. Mereka mulus bicara lewat hati, bercinta menggunakan kata. Sedangkan Baim Wong bersama Surya Saputra berjasa menyuntikkan humor segar yang menambah dinamika kunjungan ke Manado.
Sayangnya transformasi bahasa sajak ke sinema belum sepenuhnya lancar. Terdapat dua kelemahan di dua poin vital. Pertama monotonitas alur. Media novel tak menghadapi masalah ini karena membiarkan imaji pembaca bebas bermain. Tapi di film, puisi serta gambar indah tidak sanggup menyembunyikan repetisi momen "tukar puisi" Sarwono dan Pingkan. Kedua, menerjemahkan ambiguitas ending novelnya yang berupa sajak bukan perkara gampang. Kembali, film butuh visualisasi, memaksa ambiguitas tadi dilucuti. Hasilnya adalah penutup yang terburu-buru, dipaksakan, bahkan seperti kebingungan menentukan arah.
November 03, 2017
Adipati Dolken
,
Baim Wong
,
Faozan Rizal
,
Hestu Saputra
,
Indonesian Film
,
Koutaro Kakimoto
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Romance
,
Surya Saputra
,
Titien Wattimena
,
Velove Vexia
Langganan:
Postingan
(
Atom
)