Tampilkan postingan dengan label Ayu Dyah Pasha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ayu Dyah Pasha. Tampilkan semua postingan

REVIEW - AKHIRAT: A LOVE STORY

Akhirat: A Love Story berangkat dari pertanyaan, "Apa jadinya kalau sepasang kekasih beda agama bertemu di akhirat?". Premis tersebut luar biasa menarik, namun Jason Iskandar, selaku sutradara sekaligus penulis naskah yang telah lebih dari 10 tahun malang-melintang di skena film pendek, kesulitan mengembangkannya agar sesuai dengan medium film panjang dalam debutnya ini.

Protagonis kita adalah Timur (Adipati Dolken) dan Mentari (Della Dartyan), yang berpacaran secara diam-diam karena perbedaan agama. Sewaktu hubungan itu diketahui orang tua keduanya, terjadilah penolakan. Saya mengira bakal dibuat kesal, tapi ternyata Jason mampu mengolah konflik itu dengan bijak. Baik Rahayu (Ayu Dyah Pasha), ibu Mentari, maupun Selma (Nungki Kusumastuti), ibu Timur, tidak melempar ujaran kebencian. Didukung pula oleh akting kuat dua aktris seniornya, nasihat yang mereka bagi terasa betul didasari cinta serta kepedulian teruntuk sang buah hati.

Lalu tibalah tragedi. Timur dan Mentari mengalami kecelakaan lalu lintas. Mereka terbangun di sebuah hutan yang ternyata merupakan akhirat, sementara tubuh keduanya terbaring di rumah sakit dalam kondisi koma. Masalahnya, akibat perbedaan agama, Timur dan Mentari harus melewati gerbang akhirat yang berbeda pula. Menolak dipisahkan, mereka memilih kabur, kembali ke dunia manusia, guna mencari jalan keluar agar bisa bersama selamanya.

Selama menonton Akhirat: A Love Story, satu hal yang selalu muncul di benak saya: Sungguh kacau kerja para malaikat (atau entitas apa pun itu yang diperankan Tubagus Ali dan Yayu Unru). Jika bisa semudah itu kabur dari akhirat, pasti banyak orang melakukannya. Muncul juga pertanyaan, "Mengapa ada arwah yang sadar akan kondisi mereka, sementara arwah lainnya seperti terhipnotis?". 

Terdapat lubang besar terkait "aturan". Tanpanya, timbul inkonsistensi dan kejanggalan, yang menyulitkan emosi tersalurkan. Dampak paling fatal terkait lubang tadi, terletak pada konklusi. Kalau "semua karena cinta" dijadikan jawaban, itu bukan wujud romantisme, melainkan lazy writing. 

Selama pelarian, Timur dan Mentari bertemu arwah-arwah lain. Wang (Verdi Solaiman) yang enggan mengikuti langkah sang istri ke akhirat, Edith (Windy Apsari) yang selalu berkeliaran sendiri, hingga Herman (Ravil Prasetya) dan Diah (Vonny Anggraini) yang mengikat janji setelah mati. Seiring pertemuan-pertemuan tersebut, kisahnya beralih ke soal proses merelakan, sementara perihal perbedaan agama pun terpinggirkan. Entah Jason kebingungan atau memilih main aman, tapi peralihan tersebut mengaburkan pesan filmnya. 

Adipati dan Della menjalin chemistry manis di tatanan romansa, berbekal tatapan meyakinkan sebagai dua sejoli kasmaran, namun tidak demikian kala menghadapi komedi dan eksposisi. Bukan kesalahan cast semata. Penulisan dan pengarahan Jason di elemen komedi juga lemah. Alih-alih dibuat tertawa, saya lebih banyak menutup muka akibat secondhand embarassment. 

Terkait eksposisi juga sebelas-dua belas. Karakternya tidak terdengar seperti sedang berbicara layaknya manusia sungguhan, melainkan robot yang bertugas mengajari penonton. Robot yang buruk, sebab mereka sendiri seolah kurang mengerti tengah membicarakan apa. Saya juga tidak tahu film ini ingin membicarakan apa.


(JAFF 2021)

DANCING IN THE RAIN (2018)

Sungguh hidup seperti putaran roda yang sulit ditebak arahnya. Baru tiga minggu lalu, Screenplay Films baru saja mempersembahkan karya terbaik mereka lewat Something in Between (review), sekarang muncul Dancing in the Rain sebagai salah satu yang terburuk. Film karya sutradara Rudi Aryanto (Surat Cinta untuk Starla the Movie, The Perfect Husband) ini mendobrak batas kengawuran bertutur disease porn. Setelah sempat beralih ke tangan Titien Wattimena, departemen penulisan naskah dikembalikan pada duo Tisa TS-Sukhdev Singh (Magic Hour, London Love Story) yang beranggapan bahwa penyakit merupakan satu-satunya penghasil penderitaan. Padahal, mereka yang sehat pun bisa menderita. Penonton film ini misalnya.

Saya takkan mengaku paham betul mengenai segala aspek medis film ini. Saya bukan ahli, bukan dokter, bukan pula psikolog. Apalah artinya ilmu saya yang butuh waktu 7,5 tahun menyelesaikan studi psikologi dibanding psikolog profesional yang (konon) jadi konsultan naskah sekaligus pendamping sepanjang proses produksi. Saya hanya bisa menyebut bahwa merujuk pada definisi DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition), akting Dimas Anggara sebagai pengidap gangguan spektrum autisme telah memenuhi simtoma-simtoma yang tertulis. Tapi saya tak bisa mengukur akurasinya secara detail, apalagi kondisi penderita autisme amat beragam. Satu hal pasti, Dimas melakukan yang ia bisa, sesuai keinginan sutradara dan petunjuk sang psikolog dalam proses yang saya yakin cukup singkat.

Pun saya yakin, Tisa dan Sukhdev melakukan wawancara kepada psikolog. Bukan karena naskahnya tersaji mendalam, namun beberapa kalimat terdengar bagai hasil verbatim (menulis ulang kata per kata tanpa pengubahan) dari wawancara formal, ketimbang ucapan manusia normal. Tengok saja voice over Ayu Dyah Pasha yang memerankan psikolog. Itu bukan ucapan psikolog pada klien. Itu pembacaan halaman Wikipedia.

Mari beranjak menuju alurnya, yang mengisahkan penderita spektrum autisme bernama Banyu (Dimas Anggara), yang akibat kondisinya, sulit meneukan teman. Di sekolah ia dijauhi, sementara di lingkungan sekitar rumahnya, ia jadi korban bully. Sampai ia bertemu Radin (Deva Mahenra) yang tumbuh sebagai sahabat sekaligus pelindung bagi Banyu. Kemudian Kinara (Bunga Zainal) turut masuk ke hidup mereka, bahkan saat beranjak memasuki masa kuliah, menjalin cinta dengan Radin. Untunglah film ini urung masuk ke ranah cinta segitiga, sebab kebersamaan Radin-Kinara amat disukai oleh Banyu.

Sebelum kehadiran Radin dan Kinara, Banyu hanya memiliki Eyang Uti (Christine Hakim), yang luar biasa sabar merawat sang cucu pasca ditelantarkan kedua orang tuanya. Tentu Christine Hakim merupakan hal terbaik Dancing in the Rain. Caranya meregulasi emosi luar biasa. Momen favorit saya adalah saat Katrin (Djenar Maesa Ayu), ibu Radin, mendatanginya, memaksa agar ia bersedia memutus pertemanan Banyu dengan Radin. Eyang berusaha sabar, pelan-pelan bicara, mempertahankan senyum, walau kita bisa merasakan amarah siap meledak. Hingga di satu titik ia tak kuat lagi, suaranya “pecah”, namun tak lama. Kembali ia mengatur emosinya. Such a bravura performance.

Tapi itu urung menyembunyikan keburukan naskahnya, termasuk penulisan karakter Eyang Uti. Dia betul-betul menyayangi Banyu, satu dari sedikit orang yang mengerti cara menanganinya, sehingga bagaimana mungkin ia seteledor itu meninggalkan Banyu sendirian di pasar? Tentu keteledoran itu dimaksudkan guna menciptakan momen dramatis, tanpa peduli masuk akal atau tidak. Pola serupa terus diulang. Di cafe, beberapa pria dengan lantang mencela Banyu (yang datang bersama Radin dan Kirana), menyebutnya idiot, mengejek gaya berpakaiannya. That’s a terrible soap opera level of dramatization. Sama halnya dengan penokohan dangkal Katrin, yang tak ubahnya sosok ibu antagonis tanpa nurani di sinetron, yang bicara sendiri di depan kamera mengungkapkan rencana jahatnya.

Saya sering kesal mendengar omongan “Ini film kelas FTV” atau “Sinetron banget deh filmya”. Kalimat-kalimat itu adalah simplifikasi rendahan. Tapi Dancing in the Rain benar-benar cocok akan deskripsi tersebut. Naskahnya eksis di universe yang sama dengan Jenazah Mandor Kejam Mati Terkubur Cor-Coran Dan Tertimpa Meteor. Tisa dan Sukhdev membuat semua karakternya terjangkit penyakit, entah agar hidup mereka lebih menderita, memberi pelajaran pada antagonis, atau menghadirkan haru lewat sebuah pengorbanan. Sekalinya mencoba memancing haru melalui momen tanpa penyakit, hasilnya justru canggung, ketika sang pembantu menyanyikan Lelo Ledhung ketika Banyu tengah menangis di dekapan Eyang Uti.

Menciptakan persamaan nasib di antara ketiga protagonis turut melucuti pesan penting mengenai perbedaan, bahwa kita harus memperlakukan semua orang sama, dan walau kita dianggap “normal” dan lebih sehat, bukan berarti kita berderajat lebih tinggi. Tapi apa peduli film yang seenaknya menggambarkan proses transplantasi jantung (silahkan anda cari dari beragam sumber mengenai detail prosedurnya) mengenai pesan? Setidaknya, saya bersyukur Rudi Aryanto masih mampu membungkus filmnya dalam tempo dinamis, enggan tampil bertele-tele dan membuang waktu. Karena jika tidak, menonton film ini akan semakin terasa membuang waktu.