Tampilkan postingan dengan label Sukhdev Singh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sukhdev Singh. Tampilkan semua postingan

DANCING IN THE RAIN (2018)

Sungguh hidup seperti putaran roda yang sulit ditebak arahnya. Baru tiga minggu lalu, Screenplay Films baru saja mempersembahkan karya terbaik mereka lewat Something in Between (review), sekarang muncul Dancing in the Rain sebagai salah satu yang terburuk. Film karya sutradara Rudi Aryanto (Surat Cinta untuk Starla the Movie, The Perfect Husband) ini mendobrak batas kengawuran bertutur disease porn. Setelah sempat beralih ke tangan Titien Wattimena, departemen penulisan naskah dikembalikan pada duo Tisa TS-Sukhdev Singh (Magic Hour, London Love Story) yang beranggapan bahwa penyakit merupakan satu-satunya penghasil penderitaan. Padahal, mereka yang sehat pun bisa menderita. Penonton film ini misalnya.

Saya takkan mengaku paham betul mengenai segala aspek medis film ini. Saya bukan ahli, bukan dokter, bukan pula psikolog. Apalah artinya ilmu saya yang butuh waktu 7,5 tahun menyelesaikan studi psikologi dibanding psikolog profesional yang (konon) jadi konsultan naskah sekaligus pendamping sepanjang proses produksi. Saya hanya bisa menyebut bahwa merujuk pada definisi DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition), akting Dimas Anggara sebagai pengidap gangguan spektrum autisme telah memenuhi simtoma-simtoma yang tertulis. Tapi saya tak bisa mengukur akurasinya secara detail, apalagi kondisi penderita autisme amat beragam. Satu hal pasti, Dimas melakukan yang ia bisa, sesuai keinginan sutradara dan petunjuk sang psikolog dalam proses yang saya yakin cukup singkat.

Pun saya yakin, Tisa dan Sukhdev melakukan wawancara kepada psikolog. Bukan karena naskahnya tersaji mendalam, namun beberapa kalimat terdengar bagai hasil verbatim (menulis ulang kata per kata tanpa pengubahan) dari wawancara formal, ketimbang ucapan manusia normal. Tengok saja voice over Ayu Dyah Pasha yang memerankan psikolog. Itu bukan ucapan psikolog pada klien. Itu pembacaan halaman Wikipedia.

Mari beranjak menuju alurnya, yang mengisahkan penderita spektrum autisme bernama Banyu (Dimas Anggara), yang akibat kondisinya, sulit meneukan teman. Di sekolah ia dijauhi, sementara di lingkungan sekitar rumahnya, ia jadi korban bully. Sampai ia bertemu Radin (Deva Mahenra) yang tumbuh sebagai sahabat sekaligus pelindung bagi Banyu. Kemudian Kinara (Bunga Zainal) turut masuk ke hidup mereka, bahkan saat beranjak memasuki masa kuliah, menjalin cinta dengan Radin. Untunglah film ini urung masuk ke ranah cinta segitiga, sebab kebersamaan Radin-Kinara amat disukai oleh Banyu.

Sebelum kehadiran Radin dan Kinara, Banyu hanya memiliki Eyang Uti (Christine Hakim), yang luar biasa sabar merawat sang cucu pasca ditelantarkan kedua orang tuanya. Tentu Christine Hakim merupakan hal terbaik Dancing in the Rain. Caranya meregulasi emosi luar biasa. Momen favorit saya adalah saat Katrin (Djenar Maesa Ayu), ibu Radin, mendatanginya, memaksa agar ia bersedia memutus pertemanan Banyu dengan Radin. Eyang berusaha sabar, pelan-pelan bicara, mempertahankan senyum, walau kita bisa merasakan amarah siap meledak. Hingga di satu titik ia tak kuat lagi, suaranya “pecah”, namun tak lama. Kembali ia mengatur emosinya. Such a bravura performance.

Tapi itu urung menyembunyikan keburukan naskahnya, termasuk penulisan karakter Eyang Uti. Dia betul-betul menyayangi Banyu, satu dari sedikit orang yang mengerti cara menanganinya, sehingga bagaimana mungkin ia seteledor itu meninggalkan Banyu sendirian di pasar? Tentu keteledoran itu dimaksudkan guna menciptakan momen dramatis, tanpa peduli masuk akal atau tidak. Pola serupa terus diulang. Di cafe, beberapa pria dengan lantang mencela Banyu (yang datang bersama Radin dan Kirana), menyebutnya idiot, mengejek gaya berpakaiannya. That’s a terrible soap opera level of dramatization. Sama halnya dengan penokohan dangkal Katrin, yang tak ubahnya sosok ibu antagonis tanpa nurani di sinetron, yang bicara sendiri di depan kamera mengungkapkan rencana jahatnya.

Saya sering kesal mendengar omongan “Ini film kelas FTV” atau “Sinetron banget deh filmya”. Kalimat-kalimat itu adalah simplifikasi rendahan. Tapi Dancing in the Rain benar-benar cocok akan deskripsi tersebut. Naskahnya eksis di universe yang sama dengan Jenazah Mandor Kejam Mati Terkubur Cor-Coran Dan Tertimpa Meteor. Tisa dan Sukhdev membuat semua karakternya terjangkit penyakit, entah agar hidup mereka lebih menderita, memberi pelajaran pada antagonis, atau menghadirkan haru lewat sebuah pengorbanan. Sekalinya mencoba memancing haru melalui momen tanpa penyakit, hasilnya justru canggung, ketika sang pembantu menyanyikan Lelo Ledhung ketika Banyu tengah menangis di dekapan Eyang Uti.

Menciptakan persamaan nasib di antara ketiga protagonis turut melucuti pesan penting mengenai perbedaan, bahwa kita harus memperlakukan semua orang sama, dan walau kita dianggap “normal” dan lebih sehat, bukan berarti kita berderajat lebih tinggi. Tapi apa peduli film yang seenaknya menggambarkan proses transplantasi jantung (silahkan anda cari dari beragam sumber mengenai detail prosedurnya) mengenai pesan? Setidaknya, saya bersyukur Rudi Aryanto masih mampu membungkus filmnya dalam tempo dinamis, enggan tampil bertele-tele dan membuang waktu. Karena jika tidak, menonton film ini akan semakin terasa membuang waktu.

LONDON LOVE STORY 3 (2018)


London Love Story 3 jelas ditujukan bagi para penggemar saja. Penonton di luar lingkup tersebut, seperti saya, meski setia mengikuti dari film pertama, akan kesulitan mengingat kejadian-kejadian yang telah lalu. Bahkan sedikit flashback tak begitu membantu. Kenapa dulu Caramel (Michelle Ziudith) meninggalkan Dave (Dimas Anggara)? Apa Dave sebelumnya pernah mengalami kecelakaan? Semua samar-samar di ingatan. Satu yang film ini terus coba ingatkan, bahwa Caramel pernah berdoa supaya Tuhan mengambil nyawanya satu hari sebelum Dave. Doa ini mengerikan bagi Dave, sebab jika kelak Caramel meninggal, ia tahu keesokan harinya akan menyusul.

Doa tersebut hampir jadi kenyataan, saat keduanya mengalami kecelakaan beberapa minggu sebelum melangsungkan pernikahan di Bali. Kecelakaan yang membuat Caramel tidak mampu menggerakkan kakinya, dan menurut Dokter Rio (Derby Romero), ada kemungkinan ia lumpuh total. Identitas Dokter Rio sendiri adalah twist. Kejutan yang eksekusinya penuh lubang logika sekaligus tanpa signifikansi kecuali sebagai pemenuhan obligasi. Karena ini termasuk salah satu ciri khas Screenplay.
Saya membayangkan duo penulis naskahnya, Tisa TS dan Sukhdev Singh menyimpan template berisi checklist mengenai apa saja yang wajib muncul dalam film Screenplay. Twist? Cek. Kecelakaan atau penyakit? Cek. Jalan-jalan dengan mobil mewah? Cek. Dialog puitis? Cek. Khusus soal dialog, kuantitasnya sedikit dikurangi, meski obrolan berkepanjangan tetap setia mengisi. Begitu panjang dan berulang, satu pokok permasalahan bisa dibahas dua kali, di mana sekali pembicaraan bisa berlangsung 5 menit.

Memasuki film ketiga (plus penampilan di produksi Screenplay lain), Michelle Ziudith makin cakap menjual momen bertabur kalimat “puitis”. Dia tersipu, menangis, tertawa dengan alamiah, seolah kata-kata gombal yang Dave lontarkan merupakan hal yang normal keluar dari mulut manusia pada umumnya. Untuk Dimas Anggara, nyatanya ia cukup menarik disimak ketika tak dituntut bermanis ria lewat puisi. Saat Dave berpura-pura hendak menghajar Rio misalnya. Momen ringan namun hidup seperti itu yang sejatinya Screenplay butuhkan agar film-filmnya bernyawa.
Poin plus layak diberikan terhadap kemauan Tisa TS dan Sukhdev Singh bergerak ke ranah lebih kelam. Konflik London Love Story 3 bukan lagi tentang cinta segitiga. Gejolak psikis Caramel kala bergulat dengan ketakutan serta shock tentu lebih rumit daripada kebingungan mengenai memilih kekasih. Kondisi itu membuatnya menolak percaya pada keajaiban. Sudah pasti itu sementara. Kita tahu bahwa setelah proses penuh simplifikasi, Caramel bakal mempercayai keajaiban lagi sebagaimana para penulisnya mempercayakan penyelesaian masalah pada keajaiban. Paling tidak ada usaha merangkai adegan romantis terkait keajaiban tersebut.

Seperti trailer-nya telah paparkan, Caramel akan meminta Dave mengakhiri hubungan mereka. Alasannya dua: Pertama, Caramel tidak tahan melihat sang cinta sejati harus mengurusnya bagai perawat. Kedua, Caramel merasa Dave memberinya harapan palsu dengan meyakinkan jika ia akan segera sembuh. Andai penekanan diberikan kepada alasan kedua, tujuan menyusun konflik yang lebih dewasa bakal terpenuhi. Tapi London Love Story 3 memang khusus untuk para penggemar yang mayoritas belum memasuki usia dewasa.

SURAT CINTA UNTUK STARLA THE MOVIE (2017)

Memerankan empat tokoh serupa dalam empat romansa sepanjang 2017, Jefri Nichol mesti berpindah haluan sejenak tahun depan. Sebelumnya, bolehlah kita sekali lagi menikmati Nichol sebagai bad boy yang (diam-diam) berhati emas. Dia memang terlahir untuk karakter demikian. Dan adaptasi layar lebar lagu buatan Virgoun yang sempat pula diangkat menjadi web series berjudul sama ini jelas memfasilitasi bakat sang aktor. 

Jefri menjadi Herma Chandra, remaja yang sulit diatur, seniman graffiti jalanan yang kerap diburu polisi, enggan berkuliah, ke mana-mana mengendarai mobil tua sambil menenteng mesin tik peninggalan mendiang kakeknya. Singkatnya, Herma adalah hipster. Gemar menghabiskan waktu di cafe hipster pula. Tapi dia juga pecinta alam, mengutuk mereka yang membuang sampah sembarangan. Karena tokoh dalam film remaja arus utama kita wajib memiliki kompas moral supaya penonton ABG bisa mengambil contoh, bukan?
Pasangannya tak lain Starla (Caitlin Halderman), gadis kaya pemilik coffee shop yang pertunangannya baru saja kandas. Jika Jefri masih sering lemah soal pengucapan dialog, Caitlin lebih dinamis. Meski berparas cantik dan berasal dari kalangan atas, ia bukan puteri glamor macam aktris Screenplay lain, sebutlah Michelle Ziudith. Caitlin sebagai Starla merupakan gadis idola manis yang dapat kita jumpai di kehidupan nyata. Itulah mengapa sosoknya mudah disukai. Diawali kesalahpahaman, Starla justru jatuh cinta pada Herma, pun sebaliknya.

Dipandang lewat segi filmis, Surat Cinta Untuk Starla jelas penuh cacat. Dialog berupa kalimat puitis yang dipaksa bersatu ketimbang pembicaraan natural manusia, flashback yang tak terjahit rapi dengan setting masa kini, sampai twist tak substansial selaku pemenuhan obligasi terhadap ciri Screenplay. Tapi beda ceritanya bila memandang film ini drama romantika "kental sakarin" dengan tujuan tunggal memancing jeritan penonton muda, tepatnya golongan SMA ke bawah. Di sela-sela romansa, Ramzy dan Ricky Cuaca memberi bumbu komedi tak lucu, sedangkan Teuku Ryzki alias Kiki menegaskan bahwa personil CJR yang mampu berakting hanya Iqbaal.
Walau dangkal, saya urung menentang hiburan seperti itu. Surat Cinta Untuk Starla sanggup membuat para gadis berteriak tiap Jefri Nichol bicara atau membelai wajah Caitlin Halderman (sebelum akhirnya bicara juga). Suatu hari mereka bakal beranjak dewasa, tak lagi menggemari gaya percintaan demikian, lalu geleng-geleng kepala melihat generasi lebih muda yang tergila-gila. Bukan masalah. Ini yang disebut proses perkembangan. 

Sama halnya proses berkarya Screenplay yang perlahan berkembang. Biarpun duet penulis naskah, Tisa TS dan Sukhdev Singh jalan di tempat, kehadiran Rudi Aryanto (dulu membuat judul "legendaris", Psikopat) menggantikan Asep Kusdinar sebagai sutradara sedikit menghasilkan rasa baru. Mementingkan fokus pada kedua tokoh alih-alih pemandangan (yang tak lagi memakai setting luar negeri mewah) kala terjadi interaksi, hubungan Herma-Starla terjalin melalui obrolan yang memaksimalkan pesona dua pemain utama. It's more about relationship than luxury. Andai naskahnya tak coba tampil rumit secara berlebihan dalam merangkai twist yang berakhir bak benang kusut.

PROMISE (2017)

Film-film produksi Screenplay Films itu penting bagi industri perfilman tanah air. Walau sering dicap berkualitas sinetron, judul-judul macam "London Love Story" dan "ILY from 38.000 Ft" sanggup meraih jutaan penonton bahkan bukan mustahil memperkenalkan kultur menonton bioskop kepada target pasarnya (pemirsa televisi). Lambat laun mereka bakal melirik film lain, menjalani proses "belajar film". Tapi "Promise" adalah kasus spesial di mana para pembuatnya berambisi mengusung kisah dewasa dan bangunan alur rumit, menerapkannya di formula FTV dangkal yang mana tidak selaras hingga gagal bekerja.

Kisahnya dibuka melalui pengenalan sepasang sahabat, Rahman (Dimas Anggara) dan Aji (Boy William). Rahman merupakan remaja polos anak pemuka agama (Surya Saputra). Didikan kolot sang ayah membuatnya malu berinteraksi pula enggan menatap mata wanita dengan alasan menghormati. Tapi kenapa tato Dimas Anggara beberapa kali terlihat? Sebegitu malaskah departemen make-up film ini? Tidakkah sutradara Asep Kusdinar menyadari itu? Come on, menonton porno saja Rahman tidak berani, apalagi membuat tato. Sebaliknya, Aji adalah playboy, anak gaul yang bicara sok asyik, menggulung lengan dan membuka kancing seragamnya. Come on, anak gaul tak lagi berpenampilan begitu termasuk di Jogja yang menjadi setting.

Kenapa Jogja dipilih tak pernah jelas kecuali penegasan protagonisnya adalah pria kampung nan polos pula lurus. Really? Para penulisnya pasti tidak memahami Jogja. Rahman pun hanya sesekali memakai logat Jawa (bukan bahasa Jawa) dan pelafalan Dimas Anggara terdengar menggelikan. Singkat cerita, akibat ketahuan menyimpan film porno pemberian Aji, Rahman diharuskan menikah oleh ayahnya. Ada potensi menggugat konsep perjodohan dan pemikiran kolot bersenjatakan agama, tapi Sukhdev Singh dan Tisa TS selaku penulis naskah urung bereksplorasi, membiarkannya tertinggal sebagai hiasan nihil substansi. Lalu dengan siapa Rahman dijodohkan? Di sini alur "Promise" bererak makin ambisius, memakai gaya non-linier. 
Kisahnya langsung melompat beberapa waktu ke depan, ketika Rahman berkuliah di Milan, bertemu Moza (Mikha Tambayong) yang diam-diam jatuh cinta padanya. Hadir pula Ricky Cuaca sebagai comic relief tak lucu yang tampil hanya untuk bertingkah norak dan menyebalkan. Total screentime-nya tak sampai 10 menit termasuk adegan Ricky marah-marah di tempat umum karena menabrak tiang. Come on, this is Milan for fuck sake! Rahman sendiri rupanya tengah mencari sang istri yang identitas serta alasan kepergiannya belum terungkap. Sampai ia bertemu Aji yang kini menjadi fotografer sukses dan berpacaran dengan model bernama Kanya (Amanda Rawles).

Lupakan fakta jika sebelumnya Rahman dan Aji tak pernah diperlihatkan tertarik akan bidang yang mereka geluti di Milan, karena toh jalan hidup manusia siapa yang tahu. Anda bisa mendadak ingin menjadi politikus saat kuliah walau di SMA bercita-cita sebagai aktivis. God only knows. Mari fokus pada pilihan alur non-linier saja. Apakah pemakaian gaya tersebut penting? Tentu tidak. Sama tidak pentingnya dengan pertanyaan "Kucing jatuh dari pohon apanya dulu?" yang jawaban serta konteksnya teramat menggelikan. Pemakaian alur non-linier tak lebih dari bentuk kemalasan menghadirkan kejutan yang bahkan sama sekali tak mengejutkan.
"Promise" justru tersesat di kerumitan kisah yang dibangun. Alurnya asal melompat, begitu berantakan tanpa disertai alasan jelas mengapa dari titik A ceritanya perlu melompat ke titik D, kemudian kembali ke B, dan seterusnya. Film ini tidak memerlukan kejutan, cukup nuansa romantis. Masalahnya, lompatan alur memaksa paparan hubungan Rahman dan cinta sejatinya ditempatkan di tengah menjelang akhir. Penonton dipaksa tersentuh oleh percintaan yang belum sempat disaksikan. Andai usaha memunculkan kejutan yang tidak perlu ini ditiadakan, bukan mustahil filmnya mampu sedikit mempermainkan emosi. 

Bila ada faktor penyelamat, itu terletak pada beberapa shot memikat mata lengkap disertai warna-warna cerah. Jangan lupakan pula Mikha Tambayong yang sama memikatnya bagi mata. Mengenakan busana yang ditata apik oleh Aldie Harra, walau akting Mikha masih belum layak disebut realistis (sinetron-ish), penonton pria pastinya bakal terhibur oleh gerak-gerik termasuk tariannya sewaktu clubbingAm I being sexist right now? Entahlah, tapi ketika filmnya menempatkan sang aktris selaku eye candy semata yang karakternya tak menyimpan signifikansi, saya bisa apa? 

Setiap tingkah dan keputusan karakter sulit diterima akal sehat. Di produksi Screenplay lain saya dapat menerima perilaku tak logis yang sengaja dibuat demi memuaskan hasrat penonton atas konsep cinta sejati. Kali ini kebodohan mereka sudah keterlaluan, terlampau dipaksakan demi menggerakkan alur atau menambah konflik. Dosis kalimat puitis pun bertambah dan makin menggelikan semisal "Kamu seterang lampu di luar sana" (lampu mana mbak? Berarti kalau mati listrik Rahman tidak lagi terang?). Selipan unsur pernikahan, perjodohan, dan religiusitas tak membuat "Promise"  lebih dewasa sebab semuanya sekedar tempelan yang bila dihilangkan pun tak jadi masalah. Untuk apa pula memaksakan tampil (sok) pintar dengan alur acak dalam suguhan semacam ini? Seolah belum cukup, menjelang akhir filmnya masih menyelipkan unsur penyakit secara mendadak, menambah satu lagi hal tak perlu di tengah ambisi besar yang berujung kehancuran. Ungkapan "less is more" nampaknya patut diresapi Screenplay Films.