Tampilkan postingan dengan label James Newton Howard. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label James Newton Howard. Tampilkan semua postingan

REVIEW - A HIDDEN LIFE

You have to remember what you knew in the better hour”. Kalimat yang keluar dari mulut protagonis A Hidden Life itu akan terus saya ingat. Di masa bahagia, cenderung mudah bagi manusia mempertahankan kepercayaan dan prinsip, namun begitu dihadapkan di depan rintangan, apalagi jika menyangkut hidup-mati, semuanya bisa lenyap dalam sekejap. Franz Jägerstätter terus memegang teguh apa yang ia yakini, dan dari situ, saya memahami mengapa Terrence Malick tertarik mengangkat kisah hidupnya.

Bagaimana bisa mempercayai sesuatu yang tak pernah kita lihat? Pertanyaan spiritual macam itu memang topik khas sang sutradara. Berlatar tahun 1939 di sebuah desa kecil bernama St. Radegund di Austria, Franz (August Diehl) tinggal bersama sang istri, Franziska (Valerie Pachner), dan tiga puteri mereka, menjalani hidup sederhana nan bahagia sebagai petani. Sampai Perang Dunia II pecah. Satu per satu, para pria desa termasuk Franz, dipanggil untuk mengabdi pada Nazi. Tapi Franz menolak.

Sebagai penganut Katolik taat, ia menolak ambil bagian menjajah negeri sekaligus merenggut nyawa milik orang-orang tak berdosa. Warga kampung mengutuk sikap Franz, yang dianggap tak menghormati keluarga mereka yang bertaruh nyawa demi bangsa di peperangan. Dari tatapan sinis, umpatan, hingga lemparan benda-benda jadi santapan rutin Franz sekeluarga. Bahkan meski Uskup setempat memintanya mementingkan urusan bangsa (baca: Gereja ingin Nazi bersikap lunak pada mereka), Franz tetap kukuh. Franz menolak mengucap sumpah setia kepada Adolf Hitler dan Nazi.

Malick menyebut, bahwa melalui A Hidden Life, ia kembali melakukan proses produksi konvensional dengan naskah terstruktur, dan itu terasa betul. Dibanding tiga judul terakhirnya, kali ini karakternya lebih matang, pemahaman atas pergolakan batin dan proses pikirnya tersampaikan secara lebih mulus, yang otomatis memperkuat presentasinya soal rasa.

Tapi jangan kira Malick banting setir ke arah lain. Kekhasannya tetap nampak. Kamera arahan sinematografer Jörg Widmer— yang sejak The New World (2005) senantiasa ambil bagan dalam film Malick sebagai kru Emmanuel Lubezki— terus menari, nyaris tak menyisakan satu pun still frame, menyoroti lanskap Radegund dengan dominasi pemakaian wide lenses; musik orkestra gubahan James Newton Howard setia mengiringi; dan potongan adegan-adegan kerap bak saling potong secara acak. Hanya saja, sebagaimana terakhir kali Malick tampilkan di The Tree of Life sembilan tahun lalu, semuanya tampil padu, membentuk satu kesatuan rasa.

Diehl dan Pachner, diberi kesempatan memainkan emosi, menghidupkan dua sejoli yang menderita, kebingungan, ketakutan, tapi tak kehilangan iman dan harapan. Mereka bukan sekadar sepasang individu tanpa nyawa yang asyik berlarian dan berpelukan di tengah keindahan alam “negeri di atas awan” bernama Radegund. Mereka manusia sungguhan, yang seiring waktu, dituntut menghadapi cobaan yang semakin berat.

Cobaan-cobaan, yang entah disengaja atau tidak oleh Malick, mewakili realita masa kini. Politisasi agama, pola pikir sempit masyarakat yang mudah menghakimi orang lain karena dianggap berbeda, tendensi mencari kambing hitam sebagai penggampangan atas sebuah masalah, sampai keengganan kontemplasi demi mencari kebenaran, semuanya terasa familiar walau A Hidden Life mengambil latar lebih dari delapan dekade lalu.

Berjalan selama hampir tiga jam (sekitar 174 menit), sejatinya A Hidden Life bisa tampil lebih padat. Pertengahan durasi terkesan draggy akibat rentetan repetisi, yang andai dipotong hingga 30 menit sekalipun, takkan melemahkan, bahkan berpotensi memperkuat narasi. Untungnya situasi menyentuh berbasis hubungan Franz-Franziska selalu datang. Walau raga terpisahkan sewaktu Franz mendekam di penjara, surat-surat sarat ungkapan cinta yang saling menguatkan, tetap menyatukan jiwa keduanya. Melalui selipan-selipan flashback singkat, Malick pun menggambarkan bagaimana rasa cinta seseorang kerap memperoleh suntikan kekuatan dari memori-memori indah bersama.

Available on HBO MAX

THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS (2018)

Andai The Nutcracker and the Four Realms bersedia memberi lebih banyak balet serupa sumbernya—pertunjukan balet dua babak The Nutcracker karya Marius Petipa yang mengadaptasi cerita The Nutcracker and the Mouse King buatan E. T. A. Hoffmann—atau setidaknya menyelipkan nomor musikal, film ini bakal jadi salah satu favorit saya tahun ini. Saya bukan tengah mengkritisi film karena tidak menjadi hal yang saya harapkan dan bukan tujuannya, tapi sulit disangkal bahwa sekuen balet di tengah (plus satu di kredit) juga kemeriahan visual warna-warni miliknya mampu menutupi kelemahan narasinya.

Formula klasik Disney mengenalkan kita pada tokoh utamanya. Clara Stahlbaum (Mackenzie Foy) sedang berduka, menolak menikmati malam Natal, selepas kematian ibunya, Marie (Anna Madeley). Hubungan dengan sang ayah (Matthew Macfadyen) pun merenggang, sebab Clara merasa, Mr. Stahlbaum hanya peduli soal reputasi alih-alih perasaan sang puteri. Awalnya ia menolak ajakan pesta malam Natal, tapi demi bertemu ayah baptisnya, Drosselmeyer (Morgan Freeman), yang diyakini menyimpan kunci untuk membuka hadiah dari mendiang ibunya (sebuah telur misterius), Clara pun datang.

Syukurlah dia bersedia, karena begitu tiba di lokasi pesta, kita langsung disambut oleh tari ballroom memesona, diisi orang-orang dengan gaun glamor, ruangan mewah, serta orkestra megah. Sebuah keindahan audiovisual yang bagi saya dapat sekuat elemen naratif perihal mengolah emosi. Tapi daya pikat artistiknya belum berhenti. Ketimbang langsung memberikan kuncinya, Drosselmeyer membagikan hadiah pada para hadirin dengan meminta mereka menyusuri tali masing-masing. Tali Clara menuntunnya ke Four Realm, dunia fantasi di mana sang ibu dahulu menjadi Ratu.

Bersama Kapten Phillip Hoffman (Jayden Fowora-Knight), si prajurit nutcracker penjaga jembatan, Clara dibawa menuju kerajaan tempat Marie dahulu memerintah guna menemui tiga dari empat penguasa alam: Sugar Plum (Keira Knightley) dari Land of Sweets, Hawthorne (Eugenio Derbez) dari Land of Flowers, dan Shiver (Richard E. Grant) dari Land of Snowflakes. Kembali kita disuguhi setting serta kostum fantasi pemikat mata. Meski suara bernada tinggi kepunyaan Keira Knightley mungkin kerap terdengar mengganggu, rambut arum manisnya adalah sentuhan apik yang membuat sosoknya penuh daya tarik.

Satu penguasa lain adalah Mother Ginger (Helen Mirren) dari Land of Amusement yang konon jadi penyebab pecahnya perang antara keempat alam akibat usahanya menghancurkan semua yang Marie bangun. Land of Amusement sendiri, seperti ketiga alam lain, diisi makhluk-makhluk berpenampilan unik, walau Mouse King dan lima “Badut Matryoshka” mungkin akan jadi mimpi buruk bagi beberapa orang.

Daripada menerapkan flashback, naskah buatan Ashleigh Powell menuturkan backstory lewat balet. Diawali tribute bagi Fantasia (1940), pertunjukkan yang memasang pebalet Misty Copeland selaku figur sentral ini tak pernah berhenti memukau. Tata setting properti yang mengusung kejayaan dan kemeriahan teater musikal hingga yang sempurna ditangkap oleh kamera Linus Sandgren (La La Land, First Man) versi anyar untuk musik ikonik buatan Pyotr Ilyich Tchaikovsky yang digubah oleh James Newton Howard (King Kong, Batman Begins, The Hunger Games), jadi penyusun capaian artistik fantasi yang amat membuai, dan saya berharap sekuen ini takkan usai.

Balet tersebut saya yakin digarap oleh Lasse Hallström (What’s Eating Gilbert Grape, Hachi: A Dog’s Tale, Dear John), yang berbagi kredit penyutradaraan dengan Joe Johnston (Jumanji, Jurassic Park III, Captain America: The First Avenger), yang mengambil alih proses pengambilan gambar ulang selama sebulan. Kemungkinan besar Johnston diberi tanggung jawab merangkai sekuen aksi, yang sayangnya kurang memikat. Masih dibungkus visual cantik, namun pertarungan antara Mouse King melawan ratusan prajurit mainan timah, atau aksi Helen Mirren melempar pecut, semestinya tersaji seru, bukan aneh dan canggung.

Mackenzie Foy adalah aktris muda berbakat yang sanggup menjadikan Clara sesosok jagoan lovable yang perjalanannya menyenangkan disimak, sehingga mudah menggaet dukungan penonton dalam upayanya menggapai tujuan.....andai saja tujuan yang film ini berikan padanya jelas. Naskahnya kebingungan menentukan garis akhir serta bagaimana cara mencapainya, yang berakibat hambarnnya dampak emosi.

Konflik awal Clara adalah duka ditambah pemikiran bahwa sang ayah tidak mempedulikannya. Masalah dengan ayah tuntas di paruh awal saat Clara belajar melihat dari perspektif berbeda. Sementara dukanya berubah jadi ketidakpercayaan diri. Clara merasa tak sehebat sang ibu. The Nutcracker and the Four Realms kelabakan menyatukan beragam persoalan itu, lalu bersembunyi di balik pesan dari Marie, jika SEMUA yang Clara butuhkan ada dalam telur pemberiannya. Alhasil, SEMUA problematika pun tuntas begitu Clara memahami makna hadiah tersebut. Di tengah kerancuan narasinya, sulit menampik harapan kalau film ini menyelipkan lebih banyak elemen terkuatnya.