Tampilkan postingan dengan label Morgan Freeman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Morgan Freeman. Tampilkan semua postingan
ANGEL HAS FALLEN (2019)
Rasyidharry
Angel Has Fallen membawa seri film Fallen
dari gelaran aksi destruktif berskala besar ke arah tontonan medioker yang
mayoritas bagiannya lebih pantas berjajar di rak DVD ketimbang diputar di layar
lebar. Dan bagi Gerard Butler, fakta bahwa ia kalah badass dibanding Nick Nolte yang telah menginjak 78 tahun, seolah
jadi pertanda bahaya untuk karirnya sebagai jagoan laga.
Jangankan Leonidas, Butler bahkan
tak lagi seprima tiga tahun lalu dalam London
Has Fallen. Dia tampak kepayahan dan kurang fit, yang sejatinya bisa
digunakan selaku materi menarik dalam eksplorasi naskah buatan sutradara Ric
Roman Waugh (Felon, Snitch) bersama
Robert Mark Kamen (The Fifth Element, The
Transporter, Taken) dan Matt Cook (Patriots
Day, Triple 9) tentang kondisi fisik sang protagonis.
Selepas menyelamatkan petinggi
negara dua kali, tubuh Mike Banning (Gerard Butler) mencapai batas. Gegar otak
membuatnya kerap mendadak pusing, pun tulang punggungnya semakin rapuh. Fisik
ditambah keberadaan keluarga, membuat Mike mulai berpikir hendak mengambil
pekerjaan di belakang meja sebagai direktur paspampres, walau sebagaimana diungkapkan
kawan lamanya, Wade Jennings (Danny Huston), Mike selamanya adalah singa yang
haus akan aksi di lapangan.
Tapi apa guna memberi penyakit pada
karakter bila itu cuma berpengaruh kala ia tidak sedang beraksi? Setiap Mike
mengangkat senjata, dia selalu baik-baik saja. Seperti saat ratusan drone coba
membunuh Presiden Allan Trumbull (Morgan Freeman), pula membantai seluruh
paspampres kecuali Mike. Dia sempoyongan sebelum serangan, namun tiba-tiba
segar bugar saat dibutuhkan. Bahkan Mike mampu selamat dari ledakan bom persis
di bawah tubuhnya!
Bukan saja satu-satunya paspampres
yang selamat, penyelidikan FBI yang dipimpinn Helen Thomposn (Jada Pinkett
Smith) menemukan DNA Mike di kendaraan pelaku bersama bukti-bukti lain yang
menyudutkannya. Malaikat penjaga Presien telah jatuh, namun kita tahu pasti,
nantinya Mike bakal berhasil membersihkan namanya. Tidak sulit pula menebak
siapa dalang di balik percobaan pembunuhan itu.
Tapi elemen alur semacam itu bukan
poin substansial dalam seri Fallen.
Seberapa besar, gila, dan bombastis adegan aksinya merupakan hal terpenting.
Sayang, khususnya di paruh pertama, penyutradaraan Ric Roman Waugh begitu
medioker, sukar mencerna detail adegan. Baku tembak maupun hantam dikemas lewat
quick cuts yang tersusun oleh
(terlalu) banyak shot, sedangkan aski
kejar-kejaran bertempat di latar super gelap, menghasilkan tensi nol besar.
Beruntung, sejurus kemudian
diperkenalkanlah sosok Clay (Nick Nolte), ayah Mike, yang meninggalkan
keluarganya selepas kembali dari Perang Vietnam dalam kondisi mengidap PTSD.
Dia hidup sendirian di kabin di tengah hutan, membangun terowongan bawah tanah
serta memasang bom perangkap yang cukup untuk meratakan seluruh area hutan. Jangan
mengharapkan kisah kekeluargaan emosional, tapi kehadiran Clay sanggup menambah
energi aksinya, membawa filmnya kembali ke hakikat seri Fallen, dengan ledakan-ledakan over
the top yang menambah daya hibur Angel
Has Fallen, di luar sentuhan humor yang tampil menggelitik berkat perilaku
antik plus kegemaran Clay berkelakar.
Berikutnya, Angel Has Fallen sempat cukup bernyawa, menyuguhkan aksi solidi di
tengah alur bertempo cepat, sebelum mencapai pertarungan puncak, sewaktu Ric
akhirnya memutuskan tak lagi menutupi perkelahian dengan trik kamera atau
penyuntingan.....yang malah berujung bencana. Tersusun atas penyutradaraan
lemah dan koreografi malas, kita hanya disuguhi dua pria paruh baya yang kurang
prima saling berpelukan, mencengkeram, lalu menggeram.
Tanpa ekspektasi apa pun, Angel Has Fallen berpotensi jadi hiburan
sekali waktu sebelum dengan mudah anda lupakan, tapi tatkala sebuah franchise dikenal karena aksi masif
berskala raksasa plus jagoan badass, percuma
melanjutkannya jika skala diperkecil sementara sang jagoan tidak lagi tampak
tangguh. Hasilnya murahan.
Agustus 21, 2019
Action
,
Danny Huston
,
Gerard Butler
,
Jada Pinkett Smith
,
Kurang
,
Matt Cook
,
Morgan Freeman
,
Nick Nolte
,
REVIEW
,
Ric Roman Waugh
,
Robert Mark Kamen
THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS (2018)
Rasyidharry
Andai The Nutcracker and the Four Realms bersedia memberi lebih banyak balet
serupa sumbernya—pertunjukan balet dua babak The Nutcracker karya Marius Petipa yang mengadaptasi cerita The Nutcracker and the Mouse King buatan
E. T. A. Hoffmann—atau setidaknya menyelipkan nomor musikal, film ini bakal
jadi salah satu favorit saya tahun ini. Saya bukan tengah mengkritisi film
karena tidak menjadi hal yang saya harapkan dan bukan tujuannya, tapi sulit
disangkal bahwa sekuen balet di tengah (plus satu di kredit) juga kemeriahan
visual warna-warni miliknya mampu menutupi kelemahan narasinya.
Formula klasik Disney mengenalkan
kita pada tokoh utamanya. Clara Stahlbaum (Mackenzie Foy) sedang berduka,
menolak menikmati malam Natal, selepas kematian ibunya, Marie (Anna Madeley).
Hubungan dengan sang ayah (Matthew Macfadyen) pun merenggang, sebab Clara merasa,
Mr. Stahlbaum hanya peduli soal reputasi alih-alih perasaan sang puteri.
Awalnya ia menolak ajakan pesta malam Natal, tapi demi bertemu ayah baptisnya, Drosselmeyer
(Morgan Freeman), yang diyakini menyimpan kunci untuk membuka hadiah dari
mendiang ibunya (sebuah telur misterius), Clara pun datang.
Syukurlah dia bersedia, karena
begitu tiba di lokasi pesta, kita langsung disambut oleh tari ballroom
memesona, diisi orang-orang dengan gaun glamor, ruangan mewah, serta orkestra
megah. Sebuah keindahan audiovisual yang bagi saya dapat sekuat elemen naratif
perihal mengolah emosi. Tapi daya pikat artistiknya belum berhenti. Ketimbang
langsung memberikan kuncinya, Drosselmeyer membagikan hadiah pada para hadirin
dengan meminta mereka menyusuri tali masing-masing. Tali Clara menuntunnya ke Four Realm, dunia fantasi di mana sang
ibu dahulu menjadi Ratu.
Bersama Kapten Phillip Hoffman (Jayden
Fowora-Knight), si prajurit nutcracker penjaga jembatan, Clara dibawa menuju
kerajaan tempat Marie dahulu memerintah guna menemui tiga dari empat penguasa
alam: Sugar Plum (Keira Knightley) dari Land
of Sweets, Hawthorne (Eugenio Derbez) dari Land of Flowers, dan Shiver (Richard E. Grant) dari Land of Snowflakes. Kembali kita
disuguhi setting serta kostum fantasi pemikat mata. Meski suara bernada tinggi
kepunyaan Keira Knightley mungkin kerap terdengar mengganggu, rambut arum
manisnya adalah sentuhan apik yang membuat sosoknya penuh daya tarik.
Satu penguasa lain adalah Mother
Ginger (Helen Mirren) dari Land of
Amusement yang konon jadi penyebab pecahnya perang antara keempat alam
akibat usahanya menghancurkan semua yang Marie bangun. Land of Amusement sendiri, seperti ketiga alam lain, diisi makhluk-makhluk
berpenampilan unik, walau Mouse King dan lima “Badut Matryoshka” mungkin akan
jadi mimpi buruk bagi beberapa orang.
Daripada menerapkan flashback, naskah buatan Ashleigh Powell
menuturkan backstory lewat balet.
Diawali tribute bagi Fantasia (1940), pertunjukkan yang
memasang pebalet Misty Copeland selaku figur sentral ini tak pernah berhenti
memukau. Tata setting properti yang mengusung kejayaan dan kemeriahan teater
musikal hingga yang sempurna ditangkap oleh kamera Linus Sandgren (La La Land, First Man) versi anyar untuk musik ikonik buatan Pyotr Ilyich Tchaikovsky
yang digubah oleh James Newton Howard (King
Kong, Batman Begins, The Hunger Games), jadi penyusun capaian artistik
fantasi yang amat membuai, dan saya berharap sekuen ini takkan usai.
Balet tersebut saya yakin digarap
oleh Lasse Hallström (What’s Eating
Gilbert Grape, Hachi: A Dog’s Tale, Dear John), yang berbagi kredit
penyutradaraan dengan Joe Johnston (Jumanji,
Jurassic Park III, Captain America: The First Avenger), yang mengambil alih
proses pengambilan gambar ulang selama sebulan. Kemungkinan besar Johnston
diberi tanggung jawab merangkai sekuen aksi, yang sayangnya kurang memikat.
Masih dibungkus visual cantik, namun pertarungan antara Mouse King melawan
ratusan prajurit mainan timah, atau aksi Helen Mirren melempar pecut,
semestinya tersaji seru, bukan aneh dan canggung.
Mackenzie Foy adalah aktris muda
berbakat yang sanggup menjadikan Clara sesosok jagoan lovable yang perjalanannya menyenangkan disimak, sehingga mudah
menggaet dukungan penonton dalam upayanya menggapai tujuan.....andai saja
tujuan yang film ini berikan padanya jelas. Naskahnya kebingungan menentukan
garis akhir serta bagaimana cara mencapainya, yang berakibat hambarnnya dampak
emosi.
Konflik awal Clara adalah duka
ditambah pemikiran bahwa sang ayah tidak mempedulikannya. Masalah dengan ayah
tuntas di paruh awal saat Clara belajar melihat dari perspektif berbeda.
Sementara dukanya berubah jadi ketidakpercayaan diri. Clara merasa tak sehebat
sang ibu. The Nutcracker and the Four
Realms kelabakan menyatukan beragam persoalan itu, lalu bersembunyi di
balik pesan dari Marie, jika SEMUA yang Clara butuhkan ada dalam telur
pemberiannya. Alhasil, SEMUA problematika pun tuntas begitu Clara memahami
makna hadiah tersebut. Di tengah kerancuan narasinya, sulit menampik harapan
kalau film ini menyelipkan lebih banyak elemen terkuatnya.
November 03, 2018
Adventure
,
Cukup
,
Fantasy
,
Helen Mirren
,
James Newton Howard
,
Jayden Fowora-Knight
,
Joe Johnnston
,
Keira Knightley
,
Lasse Hallström
,
Linus Sandgren
,
Mackenzie Foy
,
Misty Copeland
,
Morgan Freeman
,
REVIEW
UNFORGIVEN (1992)
Rasyidharry
Sepanjang sejarah Oscar hanya ada 3 film ber-genre western yang berhasil memenangkan "Best Picture". Dan film yang disutradarai, diproduseri dan dibintangi oleh Clint Eastwood ini adalah salah satunya dan merupakan film western terakhir yang berhasil menang hingga sekarang. Selain menang di "Best Picture", film ini juga menang di 3 kategori lain termasuk "Best Director" untuk Eastwood dan "Best Supporting Actor" untuk Gene Hackman. Clint Eastwood sebenarnya juga mendapat nominasi "Best Actor" melalui film ini tapi dikalahkan Al Pacino.
Di sebuah kota bernama Big Whiskey terjadi sebuah insiden antara 2 orang koboi dan sekumpulan PSK dimana koboi tersebut melakukan kekerasan dengan menyerang salah seorang PSK dengan pisau dan menyayat wajahnya. Tentu saja wanita-wanita tersebut ingin si koboi dihukum seberat-beratnya. Tapi sheriff kota tersebut, Little Bill (Gene Hackman) yang tidak memperbolehkan adanya senjatar dan pembunuhan di kota tersebut berkehendak lain dan hanya menyuruh 2 koboi tersebut membayar denda berupa beberapa ekor kuda. Merasa tidak mendapatkan keadilan, wanita-wanita itu membuat pengumuman akan memberi $1,000 bagi siapa saja yang berhasil membunuh 2 koboi tersebut.
Seorang pemuda, The Scofield Kid (Jaimz Woolvett) tertarik akan hadiah tersebut. Dia lalu menuju Kansas untuk mengunjungi peternakan babi milik William Munny (Clint Eastwood) untuk merekrutnya dalam pekerjaan ini. Munny sendiri disaat muda dulu adalah bandit yang sadis dan seorang pembunuh berdarah dingin sebelum akhirnya sekarang dia hanya menjadi peternak biasa yang menghidupi 2 anaknya yang sudah ditinggal mati sang ibu. Awalnya Munny menolak tawaran tersebut. Tapi setelah merasa dirinya membutuhkan uang bagi kedua anaknya, akhirnya dia menerima tawaran itu. Di tengah perjalanan ikut bergabung juga partner dan kawan lama Munny, Ned Logan (Morgan Freeman). Tapi apakah kedua orang tua yang sudah lama tidak membunuh dan memegang senjata ini mampu untuk menuntaskan pekerjaan tersebut?
Diawal film saya masih tidak terlalu terkesan dengan film ini kecuali dengan beberapa shoot yang memang bagus khususnya adegan-adegan siluet yang muncul diawal dan nantinya muncul lagi di akhir film. Memang cinematography film ini cukup spesial. Dengan pengambilan gambar yang cukup menarik di beberapa bagian. Akting Clint Eastwood dan Morgan Freeman diawal juga tidaklah spesial meskipun bagus. Tapi intensitas cerita dan pandangan saya mulai berubah saat terjadi insiden anatara English Bob dan Little Bill. Cerita menjadi makin menarik, dan ditambah akting yang memang memukau dari Gene Hackman sebagai sheriff yang menurut saya abu-abu. Diawal dia terliaht sebagai sheriff yang berwibawa dan baik, tapi seiring berjalannya film malah dia terlihat sebagai orang yang tidak pandang bulu dalam menjalankan aturan yang dia terapkan dan mengarah kepada sewenang-wenang. Hal ini seakan menjadi sindiran terhadap aturan yang berlaku dimanapun yang mana aturan tersebut terasa "buta" dan tidak fleksibel dalam pelaksanaannya.
Akting Eastwood dan Freeman juga terasa mulai "panas" mulai pertengahan film, khususnya untuk Clint Eastwood. Sebagai peternak yang tua dan lemah (yang untuk naik kuda saja sulit) dia berhasil berakting dengan baik. Lalu disaat karakter William Munny yang dia perankan mulai mengeluarkan sisi pembunuhnya dia juga menunjukkan kharisma dan wibawa yang mampu membuat lawannya takut tanpa dia perlu menghamburkan peluru. Yang jelas film ini memang merupakan kesuksesan besar bagi seorang Clint Eastwood karena peran yang dia mainkan baik didepan kamera sebagai aktor maupun di belakang kamera sebagai sutradara dan produser berhasil dia jalankan dengan sangat baik. Hal itu juga dibuktikan dengan kesuksesan film ini meraup pendapatan diatas $150 juta.
Satu hal lain yang cukup menarik di film ini adalah ambiguitas moral yang coba ditampilkan. Karakter Little Bill yang menjadi sheriff dimana dia adalah orang baik yang coba melindungi kota dari kekerasan akan terasa sebagai sosok yang jahat. Padahal jika ditinjau lebih jauh yang dia lakukan tidaklah keliru dengan melarang penggunaan senjata api dan menghajar orang asing yang berbohong dengan mengatakan dia tidak membawa senjata api. Bukan hal yang baik tapi juga bukanlah hal yang jahat. Sebaliknya karakter William Munny yang di kehidupan nyata akan dikategorikan sebagai orang jahat dan pembunuh berdarah dingin akan terasa sebagai orang tua baik, pria sejati yang mau menolong orang lain dan setia terhadap sahabat dan rela berkorban untuk anak-anaknya. Sebuah ambiguitas moral yang sudah sepatutnya direnungkan penonton dimana dalam melakukan sesuatu tidaklah harus berpatokan pada hukum dan aturan tapi juga harus mempertimbangkan norma dan hati nurani. Bukan film yang sempurna, tapi "Unforgiven" termasuk film western terbaik yang pernah saya tonton dan juga salah satu karya terbaik seorang Clint Eastwood.
April 22, 2011
Bagus
,
Clint Eastwood
,
Gene Hackman
,
Jaimz Woolvett
,
Morgan Freeman
,
REVIEW
,
Western
Langganan:
Postingan
(
Atom
)