TOKO BARANG MANTAN (2020)
Rasyidharry
Februari 21, 2020
Comedy
,
Cukup
,
Dea Panendra
,
Iedil Dzuhrie Alaudin
,
Indonesian Film
,
Marsha Timothy
,
REVIEW
,
Reza Rahadian
,
Romance
,
Titien Wattimena
,
Viva Westi
9 komentar
Toko Barang Mantan relevan untuk masa sekarang, di mana kata “mantan”
dipandang begitu dramatis, sementara keambyaran diagungkan. Kisahnya tentang
Tristan (Reza Rahadian) si “mahasiswa abadi” yang rela meninggalkan kuliah demi
mengelola Toko Barang Mantan. Seperti namanya, toko ini melayani jual-beli
barang-barang kenangan pemberian mantan. Bila sunguh-sungguh ada di dunia
nyata, mungkin toko ini sudah viral. Tapi tidak di filmnya. Bahkan Tristan
sampai kesulitan membayar sewa gedung.
Kenapa? Mungkin akibat kengototan
Tristan untuk tidak berpromosi lewat media sosial. Menurutnya, proses tatap
muka antara penjual dan pembeli wajib terjadi, demi pemaknaan mendalam terhadap
barangnya. Mungkin juga karena sebagai seseorang yang tidak percaya cinta,
bahkan sampai menyebutnya “tai kucing”, Tristan tidak cocok menjalankan bisnis ini.
Jadi bagaimana bisa sosok skeptis sekaligus idealis sepertinya terpikir akan
konsep tersebut? Konsep yang semestinya hanya dipedulikan oleh mereka yang
memuja cinta (terkadang secara berlebihan) beserta segala kenangannya.
Inkonsistensi itulah kelemahan terbesar
Toko Barang Mantan. Penceritaan, yang
dimotori Viva Westi (Jenderal Soedirman,
Koki-Koki Cilik 2) di kursi sutradara dan Titien Wattimena (trilogi Dilan) selaku penulis naskah, memang tak
sebegitu solid. Tampak dari beberapa menit awal yang berlangsung cepat
cenderung buru-buru, berantakan, dan sulit diikuti. Satu per satu konsumen mengunjungi
Tristan dan dua karyawannya, Rio (Iedil Dzuhrie Alaudin) dan Amel (Dea
Panendra), guna menjual barang pemberian mantan masing-masing, yang juga memfasilitasi
penampilan deretan cameo.
Humor absurd mengiringi kemunculan
tiap konsumen, yang sejatinya tidak dibarengi materi dasar kuat, namun
setidaknya berhasil memancing senyum berkat penampilan maksimal jajaran cast, di mana mereka tak jarang
melakukan improvisasi, yang berjasa memperkuat kesan organik. Nanti saya bakal
membahas Reza Rahadian, tapi pertama-tama pujian harus diberikan kepada Dea
Panendra, yang sekali lagi melahirkan karakter pendukung memorable. Asyik, sesekali menggelitik, pun berperan menambah bobot
emosi kala melakoni adegan dramatis.
Kealamian akting juga memegang
kunci dalam presentasi romansa Tristan dan Laras (Marsha Timothy). Laras
merupakan mantan Tristan semasa kuliah. Bisa dibilang mantan terindah, sebab
hingga kini, Tristan masih menyimpan perasaan. Tapi reuni keduanya dibarengi
hal mengejutkan, saat Laras memberikan undangan pernikahan. Dahulu, Laras pergi
karena Tristan selalu enggan mengucap kata “cinta”. Sekarang permasalah serupa
lagi-lagi jadi penghalang usaha Tristan merebut kembali hati sang mantan.
Penokohan Tristan dan Laura yang
sama-sama keras, memproduksi dinamika berupa naik-turun rasa yang amat
dibutuhkan sajian romansa. Rasa manis saat keduanya saling menggoda, atau
kepedihan sewaktu pertengkaran pecah, semua terasa nyata berkat penampilan Reza
dan Marsha yang memang “nyata”. Di satu titik, Tristan mengutarakan
kekagumannya atas respon malu-malu Laras. Di situ, Marsha mampu menunjukkan
bagaimana seseorang yang sedang jatuh cinta dibuat tersipu mendengar
gombalan-gombalan, yang walau ditampik oleh otak, nyatanya membuat hati tidak
karuan.
Saya selalu lebih menyukai
penampilan Reza di film-film sederhana seperti ini ketimbang transformasi
ekstrim yang kerap ia lakukan. Karena seperti sudah sering saya sampaikan di
ulasan-ulasan lain, minimal di generasi ini, tidak ada pelakon lain yang sebaik
Reza dalam urusan kreativitas mengolah emosi, memainkan intonasi, dan
mengeksplorasi ragam aksi-reaksi saat berakting. Natural sekaligus jauh dari
monoton.
Viva Westi sadar betul
kapasitas kedua pemain utamanya, lalu menggantungkan semua urusan membentuk
rasa kepada mereka. Tidak banyak modifikasi atau inovasi di pengadeganan.
Kamera lebih sering mengambil posisi close
up agar menangkap ekspresi aktor semaksimal mungkin. Dan itu bukan masalah, melainkan keberhasilan memanfaatkan potensi. Satu-satunya kelemahan adalah,
begitu konfik memanas meningkat, sutradara terlalu bergantung pada peningkatan
intensitas melalui adu teriakan. Tapi itu pun bukan dosa besar. Tidak sebesar dosa mantan yang meninggalkan kita saat sedang sayang-sayangnya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
9 komentar :
Comment Page:Wkwkwk kalimat terakhir merupakan curhatan mas rasyid ?
Btw film kajeng kliwon ngga direview mas ? Lumayan untuk nambah list yg "itu"
Kalimat terakhir "itu juga dosa sayang"
Murni - Ratu Ilmu Hitam
Endingnya juga ngeselin mas. Udah kayak me vs mami aja yang sama2 produksi mnc juga. Padahal di pertengahan udah mulai nyaman ngikutin alurnya setelah di menit2 awal kayak ngacak banget.
Haha setuju. Menit2 awal ngacak. Terutama yg awal banget itu perpindahan scene per scene nya kayak kasar bgt. Tengah mulai engaging karena acting reza n marsha. Eh endingnya bisa tiba2 keadaan menjadi terlalu sempurna begitu..
Mas Rasyid, mungkinkah di Indonesia susah mencari wig yg terlihat natural? Kok ya setiap ada film yang mengharuskan pemeran nya pake wig panjang, baik itu film pendekar apa bukan, pasti wig nya ngeselin.
Emang belum bisa dibilang bagus, tapi ngelihat proses pra-produksi film kita yang kebanyakan ngebut, wig Reza ini termasuk lumayan. Mengganggu karena kita masih aneh lihat Reza rambut panjang
Wah Yoga belom pernah liat wig Agnez Monica di iklan kosmetik Lakme ya? Persis wig jualan Mangga Dua. Bikin ngakak. Padahal di situ dia bareng artis Megan Fox
Yg ini? OMG..OMG...
https://youtu.be/-dyl4l8V9dU
Nyebelin deh, hr ini br mau nnton di 21 BTM Bogor krn di situs filmindonesia.or.id msh tercatat tayang, taunya nympe BTM udh ga ada ๐๐ *curcol*
Posting Komentar