WAGE (2017)

18 komentar
Wage menarik karena pernyataan John De Rantau (Denias, Senandung di Atas Awan, Obama Anak Menteng) bahwa karya penyutradaraan pertamanya setelah absen enam tahun ini bukan biopic, melainkan noir. Melihat hasilnya, menyebut film ini sebagai noir sama saja menyebut Pengabdi Setan komedi karena ada selipan humor. Penyertaan beberapa ciri suatu genre atau sub-genre tidak otomatis membuat sebuah film termasuk di dalamnya. Begitu pula Wage, yang hanya satu dari sekian banyak sajian biografi formulaik dilengkapi production value mumpuni dengan penceritaan berantakan.

Pasca menit awal berisi tulisan-tulisan panjang yang memenuhi layar dari kutipan petuah ketua organisasi Shiddiqiyyah, kredit lengkap, sampai narasi prolog, kita berkenalan dengan Wage kecil (Khoirul Ilyas Aryatama) yang ditindas oleh anak-anak Belanda. Sepeninggal ibunya, ia tinggal bersama sang kakak, Roekiyem (Putri Ayudya) dan suaminya, Van Eldick (Wouter Zweers), di Makassar. Saat itulah Wage belajar bermain biola. Wage dewasa (Rendra Bagus Pamungkas) pun menjadi musisi cafe yang diakui kehebatannya. Lalu seiring memanasnya perlawanan rakyat terhadap kolonialisme, ia tergerak ambil bagian, pindah ke Jawa, memulai perjuangan bersenjatakan musiknya.
Sesederhana itu jalinan alur Wage, tetapi naskah buatan Fredy Aryanto (Ketika Mas Gagah Pergi) bersama Gunawan BS, ditambah gaya bertutur John De Rantau menghadirkan kompleksitas tak perlu. Cerita melompat begitu liar nan kasar dari titik satu ke berikutnya. Tanpa transisi maupun penjelasan latar peristiwa juga karakter, Wage bagai rekoleksi memori acak yang telah buram, terkikis dimakan waktu. Bila kerumitan noir dipicu plot atau twist berlapis, Wage didorong ketiadaan struktur narasi solid. Kacaunya alur berujung melemahkan pengembangan karakter, menghalangi penonton terikat pada sosok Wage Rudolf Supratman. 

Minus hati, film ini bak buku sejarah. Bahkan lebih buruk, sebab buku sejarah paling tidak berisi pengetahuan. Sementara lompatan kisah Wage menyulitkan untuk mencerna rangkaian peristiwa guna menyerap informasi. Berjalan hampa, momen ketika Indonesia Raya berkumandang yang mestinya menggetarkan, berakhir numpang lewat. Berlangsung selama 120 menit tanpa rasa atau poin menarik, Wage jadi obat insomnia mujarab, produsen kantuk pemantik niatan walk out. Untung ada Rendra Bagus Pamungkas lewat kemiripan fisik dengan Supratman plus performa meyakinkan memainkan keteguhan sosok yang tak gentar meski pistol ditodongkan tepat ke kepalanya. Walau di sisi lain, talenta Putri Ayudya dan Prisia Nasution terbuang percuma.
Aspek terkuat Wage adalah production value penghasil visual memikat mata. Sinematografi Hani Pradigya menonjolkan kesan sinematik kuat, membungkus tata artistik bernuansa period yang tak kalah mumpuni. Beberapa kali Hani menerapkan pencahayaan rendah, yang di satu sisi menghasilkan kedalaman plus bobot bagi gambar, tapi di sisi lain memperlihatkan salah kaprah film ini terkait definisi noir makin akut. Noir memang identik dengan cahaya temaram, bayang-bayang, hingga asap rokok mengepul. Namun keberadaan unsur-unsur itu tidak seketika membuat filmnya bisa disebut noir. Generalisasi serupa terjadi pula dalam naskah, khususnya terkait poin plot serta penokohan.

Ciri khas lain noir yakni ambiguitas moral protagonis yang mengalami konflik batin. Wage sempat mabuk (sekali), meragukan perjuangan dan kapasitasnya, tapi itu belum menjadikannya pribadi yang bermasalah. Dia manusia biasa dengan segala kelemahan, bukan sosok problematik. Sebagai produk pasca Perang Dunia II, wajar apabila noir diselimuti tone kelam selaku luapan depresi masyarakatnya. Sebaliknya, Wage dikelilingi aura positif, harapan, perlawanan akan represi, hikayat kepahlawanan bertabur pesan moral. Selaku biopic, Wage pantas diapresiasi, namun dilihat sebagai noir layaknya keinginan John De Rantau, Wage merupakan kegagalan akibat tindakan pretensius.

18 komentar :

Comment Page:
KieHaeri mengatakan...

Kenapa ya Mas Rasyid film biografi Indonesia sering terjebak pola gini? Tak jarang ys yang berhasil macam Athirah. Kartini mnurut saya bagus tp ngerasa ada yang kurang. Menurut mas Rasyid sendiri apa masalah utama dan terbesar para sineas Indonesia dalam menggarap sajian biografi ?

Rasyidharry mengatakan...

Masalah Wage sebenernya beda. Tapi soal pola emang bener, dan bukan cuma film lokal. Hollywood pun masih sering kejebak formula biografi "dari kecil sampai mati". Athirah & Istirahatlah Kata-Kata menonjol karena lebih soroti satu fase tokohnya, lebih fokus dan bukan sekedar rangkuman riwayat.

Zamal mengatakan...

OMG ..hanya 2 bintang? Seburuk itukah mas..pdhal bbrpa x saya tertarik buat nntn ini film pas lgi liat trailernya d bioskop...jadi ragu buat nntn nunggu marlina aja ..

KieHaeri mengatakan...

now, i see Mas Rasyid thanks for your explain. Ditunggu review berikutnya Mas..

Rasyidharry mengatakan...

@zamal kalau bisa terpuaskan lihat gambar oke tonton aja. Kalau nggak ya bikin ngantuk dan kesel sama gaya-gayaan "noir cinema" yang bahkan bukan noir.

@Ungki sip, you're welcome :)

Anonim mengatakan...

bang, jangan lupa nanti review film Three Billboards Outside Ebbing, Missouri:))

Unknown mengatakan...

Bang, ada rencana buat review film chasing the dragon gk nnti?

john doe mengatakan...

Kak, dibandingkan Cokroaminoto, bagaimana filmnya? Khususnya dalam hal menyajikan perjalanan seorang tokoh.

Rasyidharry mengatakan...

@Anonim Diusahakan :)

@benny Kalaupun nonton paling Senin baru sempat

@Clumsy Walau sama-sama kayak buku sejarah, Tjokroaminoto jauh lebih rapi

Arif Hidayat mengatakan...

Bahasa mu itu bang, bikin ku ngakak

john doe mengatakan...

Oh begitu. Oke kak, makasih. Sudah ada bayangan ekspektasi kalo mau nonton Wage. Cokro sendiri menurutku seperti fragmen fragmen kejadian Cokro, bener kalo dibilang kaya buku sejarah. Tapi saya mau tanya lagi kak, film biopik seperti Cokro atau Wage misalnya, bukankah lebih baik kalau minim dramatisasi? Boleh ada tapi semadyanya. Bagaimana Kak Rasyid, opininya. Hehe

Rasyidharry mengatakan...

@Arif What? Hahaha Mana yang lucu?

@Clumsy Semua film harusnya didramatisasi secukupnya, kecuali melodrama/tearjerker. Kalau biopic bukan soal dramatis/nggak, tapi memanusiakan tokoh yang diangkat. Kalau sebatas fragmen, "rasa" si tokoh sebagai manusia bisa hilang. Rawan sekali tokoh dalam biopic nggak punya atas, atau bahkan dikultuskan.

john doe mengatakan...

Wah makasih kak opininya. Aktif kalau diajak diskusi. Situs ini jadi rujukan utama selain imdb & Rotten untuk soal film. Semoga istiqomah kak.

Rasyidharry mengatakan...

Amin. Makasih ya. Dengan senang hati, diskusi & sharing informasi itu penting buat film Indonesia :)

Kasamago mengatakan...

Saya masih blm ngeh.. Wage itu nama barat atau nama Jawa ?

Rasyidharry mengatakan...

Jawa, kan hari lahirnya pas Wage

john doe mengatakan...

Kalau barat jadinya aneh (wage: upah) haha

Rasyidharry mengatakan...

Jadi film tentang kehidupan karyawan melawan korporat nanti :D