REUNI Z (2018)

13 komentar
Berjam-jam saya memandangi halaman review yang masih putih polos alias kosong. Sambil duduk ditemani batang demi batang rokok, ingatan saya melayang kembali menuju Reuni Z, kolaborasi kedua Soleh Solihun bersama Monty Tiwa di kursi penyutradaraan setelah Mau Jadi Apa? (2017), berharap memperoleh ide tentang paragraf pembuka. Tapi nihil. Semakin memeras otak, semakin kusut isi kepala. Mungkin saya sedang buntu. Mungkin saya penulis yang buruk. Mungkin karena cuma sedikit hal berkesan dalam filmnya.  Reuni Z memang tidak buruk, tetapi bakal segera terlupakan. Padahal, dilupakan jauh lebih mengerikan dari dikejar zombie.

Berbeda dengan jajaran protagonis, khususnya Juhana (Soleh Solihun) dan Jeffri (Tora Sudiro) yang sulit melupakan permasalahan mereka semasa SMA. Sempat bersahabat, bahkan membentuk band bersama, keduanya bertengkar di panggung, menghasilkan hubungan canggung yang bertahan hingga 20 tahun kemudian tatkala reuni diadakan. Ketika Juhana telah angkat nama sebagai aktor film murahan sekaligus bintang iklan pompa air, Jeffri tetap merasa Juhana menghancurkan mimpinya sukses di dunia musik. Jeffri sendiri kini menikahi Lulu (Ayushita), si mantan bassis, dan sudah dianugerahi momongan, sedangkan Juhana masih hidup seorang diri.
Ketiganya, ditambah Mastur si penggebuk drum yang telah berganti kelamin dan nama menjadi Marina (Dinda Kanya Dewi), bertemu lagi di reuni SMA yang oleh naskah buatan Soleh bersama Agasyah Karim dan Khalid Kashogi bukan cuma dijadikan arena para zombie berburu mangsa empuk, pula memfasilitasi keberadaan ensemble cast. Dari Surya Saputra si tukang bully, Henky Solaiman si guru, Verdi Solaiman si tukang pamer, Fanny Fabriana si MC, Ence Bagus si pria sok alim, Joe P Project si satpam, sampai penampilan pasangan Anjasmara dan Dian Nitami. Begitu ambisius, kisahnya berusaha membagi porsi nyaris sama rata ke setumpuk nama di atas. Waktu pun terbagi, sehingga elemen persahabatan Juhana-Jeffri yang harusnya diutamakan justru sebatas numpang lewat.

Setelah repot-repot menaruh fokus pada banyak tokoh, saat tiba waktunya ajal menjemput akibat serangan zombie, adegan kematian malah tersaji off-screen. Apalagi kalau bukan demi meminimalkan sadisme yang berpotensi memantik debat kusir melelahkan di tahap sensor. Dampaknya, beberapa kematian tak terduga maupun pengorbanan karakternya urung berefek. Polanya sering berulang. Salah satu tokoh terkepung pasukan zombie, sebelum adegan langsung berpindah tanpa memperlihatkan nasibnya. Bahkan sulit mengetahui apakah seseorang sudah meregang nyawa atau belum, jika bukan karena mereka tak muncul di momen penutup.
Poin terkuat Reuni Z, yang sejatinya juga urung dimaksimalkan, adalah komedi. Beberapa kali saya tergelak. Melanjutkan pencapaian di Hangout (2016), Dinda jadi sosok terlucu yang mencuri perhatian berkat kesediaan menanggalkan rasa malu saat melucu. Totalitas. Masalahnya tak semua tokoh menyimpan karakteristik selucu Marina alias Mansur. Jeffri tak lebih dari pria paruh baya yang sesekali bersikap bodoh. Sementara profesi Juhana sebagai aktor film murahan hanya dijadikan jalan supaya film ini bisa memajang beberapa parodi poster film Indonesia klasik serta menyelipkan cameo Joko Anwar. Selebihnya, daya tarik Juhana cuma sebuah slogan yang semakin sering diulang semakin menghilang kelucuannya.

Serbuan zombie dapat memunculkan kesan atmosferik sebagaimana Night of the Living Dead (1968), bisa pula seru seperti Dawn of the Dead, baik versi Romero (1978) atau remake karya Zack Snyder (2004). Tapi kejar-kejaran dengan zombie di Reuni Z tidak menegangkan, mencekam, atau seru. Humornya pun bak berdiri sendiri, di mana mengganti zombie dengan makhluk lain, takkan mempengaruhi gaya leluconnya. Timbul beberapa pertanyaan. Bagaimana zombie mendeteksi korbannya? Mereka bisa ditipu oleh bau, terpancing suara, tapi kadang melihat buruannya. Mereka pun dapat dihentikan melalui serangan di bagian tubuh mana saja, membuat konklusi yang coba bermetafora bahwa mengenai kekuatan persahabatan jadi kurang berarti. Setidaknya riasan dan efek spesial pada klimaks digarap cukup baik.


Untuk ulasan versi vlog bisa ditonton di sini:

13 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Nah, ini Paragraf pembuka yang Epic bang :D

dim mukti mengatakan...

Saya juga berharapnya ada adegan berdarahnya kayak di Rumah Dara atau gigit leher di The Doll 2.. selebihnya oke sih..

Unknown mengatakan...

Koe koe koe koenaon eihhh, hahaha.

Rasyidharry mengatakan...

Bukan gitu atuh. KOU KOOU KOOU KOUNAOON EEEH! 😂

Mukhlis mengatakan...

Nilai film ini brp nbang

Mukhlis mengatakan...

Nilai film ini brp nbang

Alvan Muqorrobin Assegaf mengatakan...

Klo dibanding sama film Hangout masih mending mana mas?

Rasyidharry mengatakan...

Hangout. Selain lebih lucu, mix antar genrenya juga lebih oke.

agoesinema mengatakan...

Hangout aja garing menurutku... artinya ini lbh garing lg

Rasyidharry mengatakan...

Ya, kalau demen sama gaya komedi Soleh macam di 'Mau Jadi Apa?', mungkin enjoy nonton ini.

johan iglesias mengatakan...

Sudah diprediksi dari dulu saat2 dinda kanya dewi masih asik2nya di sinetron. Dia itu harus nyobain masuk industri film. bener juga aktingnya di film2 gak pernah mengecewakan. All out !

Rasyidharry mengatakan...

Yap, pertama mencuri perhatian di 'Tuyul Part 1', setelah itu konsisten main bagus. Tinggal cari peran variatif.

Unknown mengatakan...

Liat trailernya aja gk meyakinkan nih film :v