GENERASI MICIN (2018)
Rasyidharry
Oktober 19, 2018
Brandon Salim
,
Cici Tegal
,
Comedy
,
Erick Estrada
,
Fajar Nugros
,
Faza Meonk
,
Ferry Salim
,
Indonesian Film
,
Joshua Suherman
,
Kamasean Matthews
,
Kevin Anggara
,
Kurang
,
Melissa Karim
,
Morgan Oey
,
REVIEW
,
Teuku Ryzki
5 komentar
Generasi Micin adalah tontonan menghibur, tapi menilik dari usahanya
mengangkat jarak antargenerasi sekaligus observasi terhadap remaja kekinian,
film ini kosong. Ibarat hidangan penuh micin, terasa sedap namun kurang
bergizi. Bukan masalah andai tujuannya memang sebatas hiburan ringan, tapi
bahkan sejak sekuen pembukanya bergulir, karya penyutradaraan teranyar Fajar
Nugros (Yowis Ben, Terbang: Menembus
Langit) ini mengincar lebih.
Sekuen yang dimaksud menampilkan
Anggara muda (Brandon Salim), sebagai keturunan Cina masa lalu, menghabiskan
hidupnya bekerja keras belajar berdagang. Bahkan setelah dewasa (diperankan
Ferry Salim) dan menikah, ia menjanjikan sang istri (Melissa Karim) ruko mewah
di Pantai Indah Kapuk. Fakta-fakta tersebut berlaku sebagai perbandingan begitu
kita bertemu putera sulung Anggara, Kevin (Kevin Anggara), si generasi micin
yang (katanya) ingin semua berjalan instan, enggan bersosialisasi, memilih
berkutat dengan gadget dan video game
di kamarnya.
Komparasi lain datang dari Trisno
(Morgan Oey), generasi pasca reformasi, yang merujuk pada salah satu dialog, punya
ciri berkebalikan dengan generasi micin: lambat. Trisno sempat bermimpi jadi
penyanyi, sebelum membuangnya, dan kini hanya menghabiskan waktu bermalas-malasan
di rumah. Generasi Trisno tak digali cukup dalam, tapi tak jadi soal. Pertama,
ini bukan film tentang mereka. Kedua, Morgan menampilkan salah satu performa
terbaik, paling natural, paling asyik disimak sepanjang karirnya. Begitu asyik,
saya lupa bahwa sosok Trisno tak seberapa berarti. Dia hanya memberi petuah
singkat bagi Kevin, sebuah peran yang sejatinya turut diemban Anggara.
Naskah tulisan Faza Meonk (Si Juki the Movie: Panitia Hari Akhir)
kebingugnan hendak menyampaikan apa serta bagaimana. Kadang, Generasi Micin bagai ingin menunjukkan
perbedaan remaja-remaja micin dengan generasi sebelumnya. Salah satu elemen
komedik dari aspek itu adalah cara bicara Kevin saat menjelaskan sesuatu yang secepat
berondongan senapan mesin. Karena, well,
sebagai generasi micin, ia identik dengan hal-hal instan dan cepat. Pun film
ini menampilkan bagaimana remaja sekarang punya keunggulan yang tak dimiliki
pendahulunya, semisal memanfaatkan internet demi kebaikan.
Sedangkan di kesempatan lain,
filmnya justru menakankan bila semua generasi sama saja. Mereka yang tua selalu
merasa generasi di bawah mereka adalah penurunan. Kondisi itu terjadi sejak
dulu dan akan terus berulang. Sebab apa pun generasinya, di usia muda, mereka
hanya ingin bersenang-senang, termasuk berbuat kenakalan seperti saat Kevin
bersama tiga temannya, Dimas (Joshua Suherman) si penggila K-Pop, Bonbon (Teuku
Ryzki) si pelupa, dan Johanna (Kamasean Matthews) melakukan kejahilan-kejahilan
di sekolah sebagai pemenuhan tantangan dari sebuah situs misterius. Poin di
atas (semua generasi sama) bahkan diucapkan secara gamblang oleh Chelsea
(Clairine Clay), si pujaan hati Kevin, di ending,
yang (biasanya) berperan selaku perangkum pesan.
Dua tuturan kontradiktif di atas
saling bertabrakan. Layaknya banyak tokoh remaja di dalamnya, Generasi Micin mengalami krisis
identitas, penuh kebingungan, termasuk ketika mengakhiri kisahnya lewat epilog
berkepanjangan yang kelabakan menutup berbagai cabang cerita pada sisa
durasinya, dari soal kehidupan sekolah Kevin dan kawan-kawan, kehidupan Trisno,
romansa Kevin dan Chelsea, hingga perihal situs misterius tadi.
Namun sekali lagi, bila anda
sebatas mengharapkan kelezatan seperti masakan bertabur micin, film ini mungkin
memuaskan. Naskah ditambah penyutradaraan Fajar Nugros mengisinya dengan
semangat bersenang-senang di tiap momen, menertawakan siapa pun, apa pun, di
mana pun. Hampir semua tokoh maupun situasi didesain konyol. Terkadang tawa hadir
kala humornya terasa dekat, seperti Ibu Dimas (Cici Tegal) yang tergila-gila
menonton drama Korea hingga lupa solat meski berjilbab, hingga kisah “telur
dipotong sepuluh”, yang saya percaya, kerap anda dengar. Sayangnya tak jarang
juga humornya berlangsung datar, tenggelam dalam absurditasnya sendiri,
misalnya tiap hansip bermata juling (Erick Estrada) muncul.
Seperti Kevin dengan penjabaran
super cepat yang tak memperhatikan apakah lawan bicaranya paham atau tidak, Generasi Micin terus menerjang, membabat
habis hampir semua kesempatan dengan humor tanpa peduli apakah tepat sasaran.
Seperti kandungan micin dalam masakan pula, itu bisa menghasilkan kelezatan, tapi
alangkah baiknya bila kadarnya dikontrol.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:Mendingan tengkorak atau ini bang ?
Ooh jdi Dimas tuh ngomelin ibunya tentang itu... Makasih banyak bang rasyid���� Kenapa sih gk ada subtitlenya kan gk smua org tau bhsa daerah atw bhsa inggris?
@Muhammad Tengkorak, nggak bagus, tapi paling nggak kasih warna baru.
@Zhee kalau sub Bahasa Indonesia biasanya ada kalau filmnya full daerah, Makassar misal. Kalau campur dan banyakan Indonesia, ya memang lebih praktis pakai sub Inggris.
Ooh gitu yah pantesan... Makasih banyak bang rasyid😁🙏
Tengkorak coba nonton lagi yang versi bioskop mas, jauh lebih bagus. Banyak adegan dipotong. Semuanya lebih rapi dan lebih seru.
Posting Komentar