REVIEW - LAYLA MAJNUN
Film terbaru buatan sutradara Monty Tiwa ini dibuat berdasarkan kisah cinta Layla dan penyair bernama Qays ibn al-Mullawah dari abad ke-7, yang telah diabadikan melalui banyak media, salah satunya puisi Layla and Majnun karya Nizami Ganjavi yang ditulis pada 1188. Acha Septriasa memerankan Layla, sosok wanita religius, mandiri, sekaligus cerdas. Dia menjalani hidup sesuai keinginannya, baik sebagai pengajar sebuah pondok pesantren, maupun penulis novel.
Hingga suatu hari, ia dipaksa menjalani perjodohan dengan Ibnu (Baim Wong), teman masa kecilnya sekaligus calon bupati. Awalnya Layla menolak. Selama ini ia begitu vokal menentang perjodohan, khususnya jika itu merenggut kebebasan seorang wanita. Tapi karena sang ibu (Dian Nitami) sudah banyak menerima bantuan dari ayah Ibnu (August Melasz), Layla tak mampu menolak. Selepas kepergiannya selama dua minggu ke Azerbaijan untuk menjadi dosen tamu, Layla bakal langsung menikahi Ibnu.
Di sanalah Layla bertemu Samir (Reza Rahadian), salah satu mahasiswanya, yang dahulu sempat belajar di Indonesia. Hanya dalam waktu singkat, Layla yang di awal film enggan menikah, seketika jatuh hati kepada Samir. Apakah masuk akal? Pertanyaan itu bakal selalu bisa dimentahkan dengan jawaban, "Bukankah cinta memang tidak logis?", sehingga izinkan saya memodifikasinya sedikit. "Apakah penonton bisa mempercayai cinta keduanya?".
Naskah buatan Alim Sudio kurang berhasil menciptakan rasa percaya itu. Ya, Samir jatuh hati setelah karya Layla menyembuhkan lukanya (elemen yang bisa ditarik ke gagasan lebih besar, soal kekuatan dari keindahan suatu karya literatur mengobati luka suatu bangsa tanpa memedulikan sekat jarak dan budaya). Tapi bagaimana dengan Layla? Andai tidak ada perjodohan, akankah Layla sebegitu mencintai Samir? Andai perangai Ibnu tak menghasilkan perbandingan "baik vs buruk" yang jomplang, akankah Layla sebegitu mencintai Samir?
Kalau bukan karena performa Reza dan Acha, mungkin Layla Majnun bakal hambar, pula menjemukan. Keduanya membuat saya betah melakoni perjalanan menikmati pemandangan Azerbaijan, yang ditangkap dengan cukup baik oleh Anggi Frisca selaku penata kamera. Acha selaku kuat perihal mengolah emosi, sedangkan Reza kembali membuktikan, kalau tuntutan berbicara menggunakan logat asing (sesekali bahasa setempat juga dipakai) tak mengahalangi ekspresi rasanya.
Ending-nya berusaha menjauhkan film ini dari tragedi yang mengisi kisah aslinya. Bukan semata demi akhir bahagia yang lebih disukai penonton, melainkan wujud pesan dari naskahnya, seputar ikatan keluarga. Gagasan yang menarik, walau lemahnya eksplorasi soal elemen kekeluargaan, membuat keputusan tersebut lebih mudah diapresiasi ketimbang dicintai.
Available on NETFLIX
REVIEW - JUNE & KOPI
Film bertema persahabatan manusia dengan anjing masih menjadi barang langka (sangat langka!) di industri perfilman Indonesia. Kalau tidak salah, judul pertama dan terakhir yang melakukannya adalah Boni dan Nancy (1974). Mungkin karena mayoritas penduduk kita beragama Islam, cerita soal anjing dianggap tidak menjual. Sehingga perilisan June & Kopi garapan sutradara Noviandra Santosa (Pintu Merah), di luar masih tersisanya kelemahan-kelemahan, sangat pantas diberikan apresiasi.
Kisahnya dimulai sewaktu Aya (Acha Septriasa), menemukan anjing berjenis mongrel di jalanan. Anjing itu mengikuti Aya ke rumah, membuatnya tidak punya pilihan selain menampungnya, meski awalnya mendapat tentangan dari sang suami, Ale (Ryan Delon). Pertama, karena mereka sudah mempunyai seekor anjing, staffordshire terrier hitam bernama Kopi. Kedua, karena anjing yang oleh Aya dinamai June itu, takut terhadap anak kecil akibat trauma semasa tinggal di jalanan. Masalahnya, Aya dan Ale tengah menantikan kelahiran bayi mereka. Buah hati yang amat dinanti, setelah di kehamilan pertamanya, Aya mengalami keguguran.
Tentu pada prosesnya, kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Selain bicara tentang persahabatan manusia dengan anjing, naskah buatan Titien Wattimena juga menaruh perhatian terhadap trauma healing June. Bagaimana pelan-pelan ia menyadari tidak semua anak kecil berbahaya, bagaimana ia mengubah ketakutan menjadi dorongan melindungi, setelah kelahiran Karin (Makayla Rose Hilli). Memang ada simplifikasi perihal proses penyembuhan itu, namun bagaimana filmnya mampu memposisikan para anjing sebagai makhluk hidup dengan kemampuan berpikir serta perasaan, ketimbang sebatas hewan peliharaan, cukup mengesankan.
June & Kopi dibuat berdasarkan pengalaman Noviandra saat mengadopsi anjing bernama Cody. Pemahamannya sebagai penyayang anjing nampak betul diaplikasikan dalam penyutradaraan. Beberapa kali, point-of-view shot diterapkan, agar penonton bukan cuma tahu apa yang June lihat, pula apa isi kepalanya. Semakin meyakinkan, sebab June dan Kopi masing-masing diperankan oleh dua ekor anjing dari tempat penampungan, yang tampil meyakinkan, berkat pelatihan dari Noviandra selama dua sampai tiga bulan.
Di jajaran penampil manusia, tidak mengejutkan ketika Acha piawai mengolah rasa. Kejutan menyenangkan justri diberikan si cilik Makayla, yang bisa menjalin ikatan emosional dengan para anjing. Saya pun menyukai bagaimana Ryan Delon menghidupkan sosok Ale, yang oleh naskahnya tetap digambarkan sebagai figur hangat nan penyayang, biarpun acap kali menentang kehadiran June. Ale tidak jahat. Dia mempunyai alasannya sendiri.
Memberi kehangatan memang jadi fokus utama June & Kopi. Kehangatan yang sanggup menutupi kekurangan-kekurangan di berbagai departemen, sebutlah naskah yang punya tendensi melanggar logika demi membuktikan sebuah poin (seburuk apa pun kinerja mereka, mana ada polisi mengeluhkan hujan yang HAMPIR turun di tengah pencarian anak hilang?), maupun tone warna yang mendadak berubah di salah satu lokasi. Kehangatan yang membuktikan bahwa June & Kopi dibuat dengan hati, berdasarkan kasih sayang terhadap anjing. Konklusinya bakal membuatmu bercucuran air mata, walau setelahnya, menyusul epilog singkat yang sejatinya kurang diperlukan.
Available on NETFLIX