Tampilkan postingan dengan label Acha Septriasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Acha Septriasa. Tampilkan semua postingan

REVIEW - LAYLA MAJNUN

Film terbaru buatan sutradara Monty Tiwa ini dibuat berdasarkan kisah cinta Layla dan penyair bernama Qays ibn al-Mullawah dari abad ke-7, yang telah diabadikan melalui banyak media, salah satunya puisi Layla and Majnun karya Nizami Ganjavi yang ditulis pada 1188. Acha Septriasa memerankan Layla, sosok wanita religius, mandiri, sekaligus cerdas. Dia menjalani hidup sesuai keinginannya, baik sebagai pengajar sebuah pondok pesantren, maupun penulis novel. 

Hingga suatu hari, ia dipaksa menjalani perjodohan dengan Ibnu (Baim Wong), teman masa kecilnya sekaligus calon bupati. Awalnya Layla menolak. Selama ini ia begitu vokal menentang perjodohan, khususnya jika itu merenggut kebebasan seorang wanita. Tapi karena sang ibu (Dian Nitami) sudah banyak menerima bantuan dari ayah Ibnu (August Melasz), Layla tak mampu menolak. Selepas kepergiannya selama dua minggu ke Azerbaijan untuk menjadi dosen tamu, Layla bakal langsung menikahi Ibnu. 

Di sanalah Layla bertemu Samir (Reza Rahadian), salah satu mahasiswanya, yang dahulu sempat belajar di Indonesia. Hanya dalam waktu singkat, Layla yang di awal film enggan menikah, seketika jatuh hati kepada Samir. Apakah masuk akal? Pertanyaan itu bakal selalu bisa dimentahkan dengan jawaban, "Bukankah cinta memang tidak logis?", sehingga izinkan saya memodifikasinya sedikit. "Apakah penonton bisa mempercayai cinta keduanya?". 

Naskah buatan Alim Sudio kurang berhasil menciptakan rasa percaya itu. Ya, Samir jatuh hati setelah karya Layla menyembuhkan lukanya (elemen yang bisa ditarik ke gagasan lebih besar, soal kekuatan dari keindahan suatu karya literatur mengobati luka suatu bangsa tanpa memedulikan sekat jarak dan budaya). Tapi bagaimana dengan Layla? Andai tidak ada perjodohan, akankah Layla sebegitu mencintai Samir? Andai perangai Ibnu tak menghasilkan perbandingan "baik vs buruk" yang jomplang, akankah Layla sebegitu mencintai Samir?

Kalau bukan karena performa Reza dan Acha, mungkin Layla Majnun bakal hambar, pula menjemukan. Keduanya membuat saya betah melakoni perjalanan menikmati pemandangan Azerbaijan, yang ditangkap dengan cukup baik oleh Anggi Frisca selaku penata kamera. Acha selaku kuat perihal mengolah emosi, sedangkan Reza kembali membuktikan, kalau tuntutan berbicara menggunakan logat asing (sesekali bahasa setempat juga dipakai) tak mengahalangi ekspresi rasanya.

Ending-nya berusaha menjauhkan film ini dari tragedi yang mengisi kisah aslinya. Bukan semata demi akhir bahagia yang lebih disukai penonton, melainkan wujud pesan dari naskahnya, seputar ikatan keluarga. Gagasan yang menarik, walau lemahnya eksplorasi soal elemen kekeluargaan, membuat keputusan tersebut lebih mudah diapresiasi ketimbang dicintai.


Available on NETFLIX

REVIEW - JUNE & KOPI

Film bertema persahabatan manusia dengan anjing masih menjadi barang langka (sangat langka!) di industri perfilman Indonesia. Kalau tidak salah, judul pertama dan terakhir yang melakukannya adalah Boni dan Nancy (1974). Mungkin karena mayoritas penduduk kita beragama Islam, cerita soal anjing dianggap tidak menjual. Sehingga perilisan June & Kopi garapan sutradara Noviandra Santosa (Pintu Merah), di luar masih tersisanya kelemahan-kelemahan, sangat pantas diberikan apresiasi.

Kisahnya dimulai sewaktu Aya (Acha Septriasa), menemukan anjing berjenis mongrel di jalanan. Anjing itu mengikuti Aya ke rumah, membuatnya tidak punya pilihan selain menampungnya, meski awalnya mendapat tentangan dari sang suami, Ale (Ryan Delon). Pertama, karena mereka sudah mempunyai seekor anjing, staffordshire terrier hitam bernama Kopi. Kedua, karena anjing yang oleh Aya dinamai June itu, takut terhadap anak kecil akibat trauma semasa tinggal di jalanan. Masalahnya, Aya dan Ale tengah menantikan kelahiran bayi mereka. Buah hati yang amat dinanti, setelah di kehamilan pertamanya, Aya mengalami keguguran.

Tentu pada prosesnya, kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Selain bicara tentang persahabatan manusia dengan anjing, naskah buatan Titien Wattimena juga menaruh perhatian terhadap trauma healing June. Bagaimana pelan-pelan ia menyadari tidak semua anak kecil berbahaya, bagaimana ia mengubah ketakutan menjadi dorongan melindungi, setelah kelahiran Karin (Makayla Rose Hilli). Memang ada simplifikasi perihal proses penyembuhan itu, namun bagaimana filmnya mampu memposisikan para anjing sebagai makhluk hidup dengan kemampuan berpikir serta perasaan, ketimbang sebatas hewan peliharaan, cukup mengesankan.

June & Kopi dibuat berdasarkan pengalaman Noviandra saat mengadopsi anjing bernama Cody. Pemahamannya sebagai penyayang anjing nampak betul diaplikasikan dalam penyutradaraan. Beberapa kali, point-of-view shot diterapkan, agar penonton bukan cuma tahu apa yang June lihat, pula apa isi kepalanya. Semakin meyakinkan, sebab June dan Kopi masing-masing diperankan oleh dua ekor anjing dari tempat penampungan, yang tampil meyakinkan, berkat pelatihan dari Noviandra selama dua sampai tiga bulan. 

Di jajaran penampil manusia, tidak mengejutkan ketika Acha piawai mengolah rasa. Kejutan menyenangkan justri diberikan si cilik Makayla, yang bisa menjalin ikatan emosional dengan para anjing. Saya pun menyukai bagaimana Ryan Delon menghidupkan sosok Ale, yang oleh naskahnya tetap digambarkan sebagai figur hangat nan penyayang, biarpun acap kali menentang kehadiran June. Ale tidak jahat. Dia mempunyai alasannya sendiri. 

Memberi kehangatan memang jadi fokus utama June & Kopi. Kehangatan yang sanggup menutupi kekurangan-kekurangan di berbagai departemen, sebutlah naskah yang punya tendensi melanggar logika demi membuktikan sebuah poin (seburuk apa pun kinerja mereka, mana ada polisi mengeluhkan hujan yang HAMPIR turun di tengah pencarian anak hilang?), maupun tone warna yang mendadak berubah di salah satu lokasi. Kehangatan yang membuktikan bahwa June & Kopi dibuat dengan hati, berdasarkan kasih sayang terhadap anjing. Konklusinya bakal membuatmu bercucuran air mata, walau setelahnya, menyusul epilog singkat yang sejatinya kurang diperlukan.


Available on NETFLIX

99 NAMA CINTA (2019)

99 Nama Cinta membuktikan jika film bernapas religi cenderung tampil lebih baik bila digarap oleh figur yang tidak “mabuk agama”. Mungkin anda tidak menyangka, tapi Garin Nugroho merupakan penulis naskah dalam karya teranyar sutradara Danial Rifki (Haji Backpacker, Meet Me After Sunset) ini. Walau jauh dari sempurna, damai rasanya mendapati di sini tidak ada kesan memaksa, menghakimi, menyudutkan, apalagi mengafirkan. Bahkan di akhir cerita, protagonisnya tak perlu terdorong mengenakan jilbab selaku bentuk “menemukan iman”.

Protagonis yang dimaksud bernama Talia (Acha Septriassa), pembaca acara gosip televisi dengan rating tinggi berjudul Bibir Talia. Prinsip “semua cuma bisnis, jangan bawa perasaan” diusung Talia. Baginya, kesuksesan program merupakan hal utama, sedangkan sisi kemanusiaan dan moralitas jadi nomor kesekian. Talia tidak ragu menjebak narasumber, mengadakan wawancara tanpa persetujuan demi rating. Talia tidak melangkah di jalan Allah, itu pasti.

Sampai datang ustaz muda misterius, mengaku diperintah oleh ibunda Talia (Ira Wibowo) agar mengajarinya mengaji. Kiblat (Deva Mahenra) nama sang ustaz. Rupanya ia putera Kiai Umar (Donny Damara), kawan lama orang tua Talia, yang dahulu menerima bantuan kala mendirikan pondok pesantren. Kedatangan Kiblat didasari atas janji Kiai Umar membalas budi dalam bentuk pembagian ilmu.

Sekilas 99 Nama Cinta tak ada bedanya dengan film religi kebanyakan. Dua sejoli berlawanan sikap saling jatuh cinta, lalu akhirnya si alim mampu menggiring si biang maksiat menemukan hidayah. Naskah buatan Garin tetap bermuara ke sana, namun proses beserta segala pernak-perniknya jadi pembeda. Melihat penggambaran Kiblat sebagai ulama muda berparas rupawan berpenampilan modis, Garin ingin menjauhkan dakwah Islam dari kekakuan.

Berpijak pada niatan tersebut, dihadirkanlah karakter Husna (Chicki Fawzi), ustazah muda lulusan universitas Korea Selatan yang mengajar di pondok pesantren Kiblat lewat media musik. Membawa ukulele, Husna bernyanyi di kelas sembari menuturkan bahwa dulu Wali Sanga menyebarkan Islam melalui musik. Bagi yang familiar dengan karya Garin, tentu tahu hal ini selaras dengan kegemarannya menyelipkan elemen kesenian sebagai penguat narasi.

Hubungan Talia dan Kiblat tidak langsung berjalan mulus mengingat keduanya amat berlawanan. Si wanita membawakan acara gosip, sedangkan si pria mengajarkan buruknya aktivitas bergosip kepada para murid. Di film lain, saya yakin Kiblat bakal mengonfrontasi Talia, terang-terangan menghakimi profesinya.Tapi tidak di sini. Kiblat adalah sosok toleran. Menyuarakan itu di kelas merupakan bentuk pelaksanaan kewajiban selaku guru agama, namun di depan Talia, ia enggan melarang, meski tak membenarkan juga. Dan baik Kiblat maupun Kiai Umar tak sekalipun menyuruh Talia beribadah.

Semua perubahan murni terjadi atas kesadaran Talia sendiri, yang bermula saat ia dipindahtugaskan mengurus kuliah subuh yang punya rating buruk dan dipandang sebagai acara buangan akibat sebuah kasus. Talia dipusingkan kala mendapati betapa membosankan program tersebut. Para penonton di studio tertidur, dan ketika dievaluasi, sang ustaz pengisi acara (Dedi “Miing” Gumelar) justru berkata “Acara keagamaan memang berat”. Bagaimana bisa muncul ketertarikan memperdalam agama bila ulama berpikiran demikian? Kita pun dapat menebak apa strategi yang dipilih Talia.

Terkait unsur religi, 99 Nama Cinta tampil memuaskan, bahkan termasuk salah satu yang terbaik dalam beberapa tahun terakhir. Masalah justru timbul di luar itu. Beberapa detail membuat saya mengernyitkan dahi. Kenapa Talia, si pembawa acara ternama, harus repot-repot naik bus ekonomi kala mengunjungi pondok pesantren? Apa susahnya menyewa sopir? Bukankah ia juga datang diantar sopir? Demi rating sekalipun, bukankah mustahil sebuah stasiun televisi bersedia “mengumpankan” anggota timnya sendiri sebagai bahan gosip?  Demi kesan dramatis, logika dikesampingkan.

Terkait dramatisasi, terdapat momen yang mengganggu, menggelikan alih-alih menggugah akibat pengadeganan berlebihan dari Danial Rifki, walau untuk hal ini, naskahnya ikut bertanggung jawab karena terburu-buru ingin menjabarkan bahwa Talia adalah individu berperasaan. Sementara romansanya justru hambar, sewaktu kecanggungan serta perbedaan Talia dan Kiblat mengurangi quality time keduanya. Sulit memedulikan keberlangsungan percintaan mereka. Setidaknya, seperti biasa, Acha Septriassa masih aktris dengan penampilan dinamis yang mampu diandalkan guna menghembuskan nyawa di tiap adegan, entah di ranah serius (drama) atau komedik.

JAGA POCONG (2018)

Menjaga pocong adalah premis mengerikan, utamanya karena kegiatan itu amat mungkin dialami siapa saja. Semakin menarik dua figur kunci Jaga Pocong sama-sama menjajaki dunia horor untuk kali pertama: Acha Septriasa yang kerap memamerkan akting-akting dramatik terbaik, dan Hadrah Daeng Ratu di kursi penyutradaraan yang baru saja mempersembahkan tontonan terlucu tahun lalu melalui dua bagian Mars Met Venus. Saya mulai was-was begitu mendapati nama-nama yang tercantum pada departemen penulisan. Aviv Elham (Alas Pati, Arwah Tumbal Nyai) menulis naskah berdasarkan ide cerita Baskoro Adi Wuryanto (Jailangkung, Sakral, Gasing Tengkorak) terdengar bagai kolaborasi dari neraka.

Mila (Acha Septriasa) adalah suster yang menaruh perhatian besar terhadap pasien anak (ini akan jadi modus operandi naskahnya nanti). Ketika ia bersiap pulang dari giliran jaga di rumah sakit, Mila justru diminta secara mendadak menangani seorang pasien di rumah. Mengapa tugas ini dilimpahkan padanya? Menurut sang atasan, “Karena memang harus kamu”. Kalimat itu, yang nantinya bakal dipakai menjelaskan sebuah poin plot penting jelang akhir, merupakan simplifikasi yang jamak kita temui di karya-karya Aviv maupun Baskoro sebelumnya.

Ada satu elemen menarik, yakni kicau burung kedasih, yang konon memberitakan kematian. Kicau tersebut terdengar sebelum seorang pasien di rumah sakit yang Mia rawat meninggal, juga sesampainya Mia di tujuan, dan mendapati bahwa Sulastri (Jajang C. Noer), pasien yang semestinya dia rawat, sudah tak bernyawa. Hanya ada putera Sulastri, Radit (Zack Lee), dan cucunya, Novi (Aqilla Herby). Kicau burung kedasih dapat memberi sentuhan kecil, subtil, namun efektif membangun kengerian, yang sayangnya urung diterapkan lagi begitu Jaga Pocong melancarkan terornya.

Jaga Pocong mengalun lambat di awal, mengajak kita melihat Mila memandikan jenazah Sulastri, mengafaninya, sampai akhirnya diminta menjaga jenazah karena Radit harus mengurus izin pemakaman. Rangkaian aktvitias tersebut dekat dengan realita, dan itulah alasan pembangunan atmosfernya cukup berhasil. Jaga Pocong menempatkan protagonis dalam situasi yang kengeriannya mudah penonton pahami.

Tapi seiring waktu berlalu, naskahnya mulai memperlihatkan kelemahan demi kelemahan. Salah satunya ketiadaan ide mengenai apa yang harus Mila perbuat selama ditinggal seorang diri bersama pocong Sulastri yang terbaring di tengah ruangan. Alhasil, dibuatlah Mila menjadi karakter penuh rasa penasaran (baca: bodoh). Sewaktu tiba-tiba, entah dari mana kain kafan membentang di hadapannya, Mila menarik itu, berusaha mencari ujungnya. Di lain kesempatan, disorotnya wajah pocong dengan senter, seolah tidak puas cuma melihat bagian bawah tubuhnya.

Karakterisasi lain, seperti sudah saya sebutkan, adalah perhatian besar kepada anak-anak. Mia amat mempedulikan Novi, sampai menghabiskan mayoritas durasi film memanggil nama si bocah. Ketimbang Jaga Pocong, film ini mestinya disebut Jaga Novi. Demi mengakali ketiadaan plot (yang sejatinya bukan masalah asal ditangani secara tepat), naskahnya menggiring Mila dalam kesibukan mencari Novi yang berulang kali menghilang. Aviv Elham perlu memahami jika tidak semua peristiwa wajib diverbalkan. Bahasa non-verbal justru berpeluang memaksimalkan penuturan visual sutradara maupun akting pemain.

Keharusan meneriakkan nama Novi cukup mengganggu penampilan Acha, yang meski bukan akting terbaik sepanjang karirnya, jelas jauh lebih baik dibanding banyak pemeran utama horor medioker kita. Acha berteriak, menangis, dengan cara yang memudahkan kita merasakan keputusasaan Mila. Keputusasaan wanita biasa yang terjebak dalam situasi di mana ia benar-benar tidak berdaya. Hadrah paham betul kapasitas aktrisnya dan berusaha memanfaatkannya sebisa mungkin, membiarkan kamera menangkap emosi Acha secara utuh terlebih dahulu sebelum berpindah ke teror berikutnya.

Perihal menangani teror, Hadrah sanggup menghadirkan beberapa jump scare solid, walau keseluruhan, masih jauh dari spesial. Tapi saya rasa itu masalah pengalaman. Jaga Pocong merupakan pengalaman pertama Hadrah menggarap horor, dan merujuk pada fakta tersebut, debut ini jelas tidak buruk-buruk amat. Terlebih, tidak banyak yang bisa diperbuat ketika diberi modal naskah yang miskin kreativitas. Riasan pocong—yang tampak mumpuni dibanding deretan hantu muka bubur basi dalam deretan horor lokal kelas D—pun tak banyak menolong.

Kemudian, setelah nyaris tak memberi kontribusi, naskahnya menghabiskan 10 menit terakhir mempresentasikan twist yang memancing saya bertanya, “Apabila ada jalan gampang guna mencapai tujuannya, untuk apa repot-repot meneror Mila melalui penampakan-penampakan pocong yang nihil signfikansi dengan tujuan itu?”. Lalu ketika saya mulai melontarkan pertanyaaan berikutnya, “Kenapa harus Mila?”, naskahnya langsung menjawab, “Karena memang harus dia”. Oh, baiklah.

BUNDA: KISAH CINTA 2 KODI (2018)


Inspira Pictures. Dengan nama seperti itu, bisa ditebak rumah produksi satu ini bertujuan melahirkan film inspiratif. Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi selaku karya komersil perdananya merupakan adaptasi novel Cinta 2 Kodi buatan Asma Nadia, yang didasari kisah nyata Kartika, seorang pengusaha baju muslim anak. Film ini bukan cuma ingin bicara soal kesuksesan bisnis, walau bagaimana Kartika mampu mengembangkan usaha kecilnya jadi sebesar sekarang sejatinya sudah cukup mengagumkan. Tapi ini buah pikir Asma Nadia. Harus ada yang lebih dari sekedar menghasilkan uang.

Ibarat proses membuat lagu, Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi menyertakan sebanyak mungkin instrumen demi hasil maksimal. Ketika semua alat beserta musisi telah terkumpul, sang komposer justru kebingungan menata porsi dan posisi masing-masing.  Pun sang komposer meminta penggebuk drumnya memainkan pedal ganda walau lagunya bergenre pop. Proses sederhana akhirnya berujung kerumitan tak perlu. Kartika (Acha Septriasa) tertegun mendapati suaminya, Fahrul (Ario Bayu) meminta izin menikah lagi untuk memenuhi keinginan ibunya yang sakit parah. Apa perlunya konflik ini?
Fahrul bahkan meminta Kartika menggugurkan bayi kedua mereka. Lagi-lagi apa perlunya? Selain itu, permintaan ini berlawanan dengan penokohan Fahrul si ayah penyayang. Melompat ke pertengahan film, Fahrul tak sengaja menjatuhkan bahan pesanan Kartika. Fahrul yakin bahan itu jatuh ketika ia nyaris tertabrak mobil. Bila saya di posisi Fahrul, saya akan bergegas kembali ke lokasi, mencarinya. Alih-alih demikian, Fahrul cuma minta maaf, meratap, masuk ke dalam rumah. Tentu Kartika marah besar. Masalah yang takkan berkepanjangan jika terjadi pada manusia normal di dunia nyata.

Penokohan Kartika sebenarnya cukup menarik. Dia mengatur hidup kedua puterinya, angkuh, tenggelam dalam pekerjaan dan lupa keluarga. Keputusan karakterisasi yang dalam konteks “film inspiratif” termasuk berisiko sehingga patut diapresiasi. Andai konflik dikerucutkan di bagian ini, yaitu tentang orang tua yang membanting tulang demi para buah hati namun sempat melupakan tujuan tersebut, alurnya bakal lebih tertata. Sebab seiring masalah bertambah, makin sulit mengidentifikasi arahnya. Soal pemberdayaan wanita? Kesetiaan cinta? Pengorbanan ibu bagi anak? Mana yang utama mana yang pendukung tampak kabur, tak saling mengikat, seolah berdiri sendiri-sendiri.
Penyutradaraan Ali Eunoia dan Bobby Prasetyo untungnya memiliki sensitivitas. Lihat saat Fahrul memohon agar Kartika menerimanya lagi. Ali dan Bobby enggan meledakkan dramatisasi. Dibungkus cahaya temaram sinematografi Yadi Sugandi, dialognya diucapkan setengah berbisik pun tanpa musik. Kedua sutradara membangun keintiman sembari mengandalkan akting pemain. Acha dituntut meluapkan amarah sambil berteriak berulang kali dan sanggup membuatnya tidak repetitif. Selalu ada detail kecil untuk pembeda antar situasi. Bermodalkan charm-nya, Ario Bayo meyakinkan memerankan sosok ayah idola anak-anaknya, yang turut diperankan dengan baik oleh Arina Mindhisya dan Shaquilla Nugraha.

Apakah Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi inspiratif? Sebagai inspirasi semu mungkin saja. Aspek bisnisnya penuh simplifikasi, berorientasi pada hasil ketimbang menelusuri pergulatannya lebih mendalam. Memang baru sampai situ makna “inspiratif”  bagi sebagian masyarakat kita. Pokoknya kesuksesan dapat diraih di tengah keterbatasan tanpa tertarik memahami cara menuju ke sana. Pokoknya permasalahan seberat apa pun dapat terselesaikan. Entah benar-benar selesai atau cuma dijustifikasi sebagaimana film ini menyelesaikan problematika tokoh-tokohnya. Baik Kartika maupun Fahrul menyulut masalah-masalah pelik, berbuat kekeliruan fatal, lalu begitu saja dimaafkan dan terlupakan.

KARTINI (2017)

Saat kisah hidup seseorang diangkat ke film, ada beberapa kemungkinan. Antara namanya begitu besar, berpotensi mendulang uang, atau menyimpan relevansi terhadap isu terkini. Kartini sang pahlawan emansipasi memiliki ketiganya. Kala feminisme makin sering diteriakkan termasuk di Indonesia, kehadiran ikon perjuangan wanita negeri ini dalam layar lebar menjadi tak sekedar menarik, pula penting disimak. Sebab satu poin penting dari pemikiran Kartini, bahwa pergerakannya bukan semata manifestasi sakit hati atau hasrat kebebasan personal. Lebih dari itu, sifatnya komunal, meluas, menyangkut rakyat luas menentang kekangan sistem feodal.

Ditulis naskahnya oleh Bagus Bramanti (Dear Nathan, Talak 3, Mencari Hilal) bersama sang sutradara Hanung Bramantyo, film ini, walau banyak berkutat di lingkungan rumah Kartini (Dian Sastrowardoyo), turut menyelipkan gambaran kondisi sosial politik Indonesia, khususnya Pulau Jawa pada awal 1900 di bawah pemerintahan Belanda. Diceritakan tujuan hidup wanita Jawa hanya menikah, melayani suami yang wajar bila beristri lebih dari satu. Menginjak dewasa, wanita dipingit, tinggal dalam kamar menanti pinangan pria. Wanita (dan rakyat miskin di luar golongan bangsawan) pun dipandang remeh,  tidak semestinya memegang posisi penting macam Bupati. 
Gambaran masa itu terpampang jelas, bagaimana sistem berdampak pada kasta masyarakat lalu dampak kegigihan Kartini yang tak berhenti di diri sendiri, pula membuka jalan lapang bagi pihak lain di banyak sisi (pendidikan, ekonomi). Setidaknya pada tataran informasi agar penonton tahu bagaimana situasi di mana filmnya bertempat, walau batasan durasi menghalangi beberapa detail tersampaikan. Misal kurangnya eksplorasi asal mula hubungan orang tua kandung Kartini, RM Sosroningrat (Deddy Sutomo) dan Ngasirah (Christine Hakim, Ngasirah muda diperankan Nova Eliza) yang substansif menunjukkan kuatnya patriarki mengakar di sistem feodal. Informasi itu urung diberikan, padahal sifatnya penting, khususnya bagi penontom awam sejarah. Sebelum pemutaran, Hanung sempat menyatakan durasi terbatas membuat beberapa poin berpotensi kurang mendalam, untuk itu penonton diharapkan aktif membaca buku selaku salah satu sorotan utama alur. Lalu bagaimana dengan penonton yang cenderung familiar akan tokoh utama?

Bagi golongan penonton tersebut, Kartini urung memunculkan perspektif baru. Cukup membaca segelintir sumber, pemahaman serupa bisa didapat. Terkait kedalaman, khususnya tentang feminisme, Kartini pun mengambil sisi begitu standar. Wanita dijajah pria, dijadikan perhiasan sangkar madu (atau burung dalam sangkar menurut simbolisme filmnya), kemudian melawan, baik secara sembunyi-sembunyi atau frontal membantah. Pandangan feminismenya (paling tidak dari kacamata saya) tepat, bukan misogyny berkedok pembelaan semu hak wanita. Namun saat pergerakan tersebut makin sering didengungkan ditambah kompleksitas penerapan yang acap kali memancing perdebatan di beberapa kondisi, kesederhanaan tuturan itu takkan menyulut perbincangan atau pemikiran lanjut. 
Sesungguhnya ada niat ke sana. Kartini teguh melawan tapi penuh perhitungan, mengandalkan pemikiran di balik jeruji penjara budaya, serta mau bernegosiasi demi win-win solution dan tujuan luas seperti keputusannya di akhir ketimbang membabi buta menentang. Sebaliknya, banyak generasi sekarang terlampau dikuasai amarah, di mana penolakan penindasan pria lewat ekspresi kebencian terhadap lawan jenis (which isn't the real feminism). Dalam satu adegan, Ngasirah mengibaratkan perbedaan wanita kuat Jawa dan Belanda lewat bentuk aksara Jawa yang mengenal tanda "pangkon". Mereka bisa mandiri tanpa lupa berbakti entah untuk orang tua maupun suami. Bukan mengalah, melainkan tuntutan berpikir cerdik menyiasati kekangan. Dua adik Kartini, Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita Nugraha) memang berkata enggan menikah, namun pemikiran ini masuk akal, bahkan mesti dimengerti melihat nasib mayoritas wanita Jawa selaku istri kala itu. Wajar penolakan berbasis trauma pun rasa takut hinggap.

Sayangnya poin di atas sebatas pernak-pernik sekilas daripada fokus utama penceritaan. Seperti sudah disinggung, Kartini tak seberapa mendalam, sebab orientasinya sendiri condong sebagai biopic hiburan. Karena itu pula penggunaan Bahasa Jawanya sepotong-sepotong, dan tidak memakai gaya di zamannya. Hanung berpengalaman menangani biopic serupa (Sang Pencerah, Sokearno, Rudy Habibie) dan penyutradaraannya makin baik. Masih terjebak gaya bertutur terlalu gamblang dalam keharusan menghadirkan tangis untuk momen sedih (plus umlah berlebihan teks narasi), dramatisasinya bisa diterima khususnya berkat penempatan musik tepat guna alih-alih eksploitasi kemegahan suara (alasan Surga Yang Tak Dirindukan 2 amat menyebalkan). Musik karya kolaborasi Andi Rianto dan Charlie Meliala tidak sekedar megah, juga memorable, dan terpenting sesuai mewakili gelora perjuangan titular character
Menghibur berarti mudah dinikmati, dan begitulah Kartini bergulir. Beberapa kali kesan episodik (penyakit umum film biografi) terasa saat babak-babak hidup Kartini tampil silih berganti termasuk tokoh-tokoh datang dan pergi, tetapi kematangan Hanung bercerita menjaga supaya pergerakannya halus, tidak melompat paksa nan kasar antar titik. Menambah daya hibur adalah tata visual dari sinematografi Faozan Rizal. Aspek terbaik gambarnya terletak di kengganan Faozan Rizal "menyiram" tiap adegan dengan cahaya benderang. Pencahayaan difungsikan memberi karakter suatu momen, bukan asal menerangi. Dan keputusan memakai bayang-bayang gelap selain menambah kesan realis turut menguatkan tekstur, memperkaya sekaligus memperindah adegan. 

Kartini merupakan salah satu film Indonesia dengan jajaran cast terbesar dipimpin kepiawaian Dian Sastrowardoyo memanusiakan Kartini. Berkatnya, Kartini tak hanya sosok kosong perwujudan ide semata, melainkan wanita muda muda biasa yang walau berjuang dikelilingi penderitaan, juga dapat bertingkah jenaka terlebih ketika bersama Roekmini dan Kardinah. Di samping permainan watak mendalam sebagai Ngasirah yang memendam setumpuk derita, Christine Hakim jadi penampil dengan pengucapan Bahasa Jawa paling lancar, natural, enak didengar. Djenar Maesa Ayu patut dipuji atas keberhasilan mendorong antipati penonton pada Moeryam meski ia berakhir sebatas keklisean ibu tiri kejam sewaktu potensi kerumitan wanita yang tersudut ketiadaan pilihan urung ditelusuri naskahnya. Reza Rahadian berstatus glorified cameo belaka, pun porsi minim Adinia Wirasti, termasuk kemunculan kembali Sulastri  tokoh peranannya  yang dipaksakan ada demi mengakhiri konflik.