FRIEND ZONE (2019)
Rasyidharry
Maret 17, 2019
Baifern
,
Chayanop Boonprakob
,
Comedy
,
Jason Young
,
Naphat Siangsomboon
,
Pattaranad Bhiboonsawade
,
REVIEW
,
Romance
,
Sangat Bagus
,
Thai Movie
,
Thodsapon Thiptinnakorn
6 komentar
Friend Zone adalah barang langka. Sebuah tontonan ringan, bahkan
tampak bodoh di permukaan, namun di balik itu, sangat menghargai inteligensi
penonton. Romansanya ditampilkan serta terus dibangun via momen demi momen
ketimbang kalimat puitis, sedangkan motivasi karakternya ditanam kuat-kuat
meski secara subtil.
Saya pernah mendengar ungkapan
berbunyi, “Pasangan bisa disebut saling mencintai jika sudah berani kentut di
depan satu sama lain”. Palm (Naphat Siangsomboon) dan Gink (Pimchanok
Leuwisetpaiboo a.k.a. Baifern) telah melangkah lebih jauh. Jangankan buang
angin, Gink buang air besar di hadapan Palm dalam salah satu momen terlucu film
ini, yang memproduksi salah satu kalimat terlucu tahun ini (“What’s wrong with your butthole?”).
Saya percaya ungkapan di atas. Terdengar
konyol, tapi ada benarnya. Berarti keduanya merasa nyaman bersikap apa adanya.
Kurang lebih begitulah hubungan Palm dan Gink, hanya saja, mereka bukan
sepasang kekasih. Selama 10 tahun Palm terjebak di zona pertemanan setelah menggali
kuburnya sendiri dengan berkata bahwa ia mencintai Gink sebagai teman.
Jadilah Palm menghabiskan satu
dekade menemani Gink ke mana-mana walau tanpa status hubungan cinta, termasuk
ikut mengarungi beberapa negara guna menguntit kekasih Gink, Ted (Jason Young),
yang dicurigai tengah berselingkuh di tengah perjalanan bisnisnya sebagai produser
musik. Kenapa Gink bertindak senekat itu seolah terobsesi pada sang kekasih?
Ini bukan semata usaha filmnya melucu. Demi memahami itu, kita perlu kembali ke
sekuen pembuka.
Semasa SMA, Gink, dengan bantuan
Palm, memergoki perselingkuhan sang ayah. Tidak lama berselang, kekasih Gink
berbuat hal sama kepadanya. Merujuk pada dua peristiwa tersebut, wajar jika
kini Gink bersikap paranoid. Saya suka bagaimana naskah buatan Pattaranad
Bhiboonsawade, Thodsapon Thiptinnakorn (SuckSeed,
May Who?), dan sang sutradara, Chayanop Boonprakob (SuckSeed, A Gift, May Who?) urung meneriakkan alasan itu
keras-keras. Bisa saja Gink tak menyadari bahwa trauma itu memantik
ketidakpercayaannya. Penonton dibiarkan melihatnya sebagai respon bawah sadar
karakternya.
Kemudian Friend Zone mengajak kita mengikuti perjalanan penuh tawa kedua
tokoh utama. Palm mampu membuat Gink tertawa guna menghapus kesedihannya, Gink
berbuat banyak kebodohan yang membuat Palm tertawa (sambil kerepotan luar
biasa), lalu tawa tersebut bertransformasi menjadi cinta. Cinta di antara Gink
dan Palm, juga saya kepada mereka.
Terasa romantis justru karena Friend Zone menolak berusaha secara
berlebihan agar tampil romantis. Terasa romantis karena Friend Zone memperlihatkan dua manusia yang saling bertindak selaku
sumber kebahagiaan masing-masing. Terasa romantis karena apabila kita
ditempatkan di tengah situasi serupa, besar kemungkinan kita pun akan jatuh
hati.
Baik Naphat maupun Baifern
sama-sama sempurna melakoni peran mereka. Dalam film yang dipenuhi humor over-the-top termasuk “momen imajinasi”
ketika salah satu karakter membayangkan sedang meluapkan amarahnya terhadap
karakter lain yang kerap kita saksikan di film setipe, keduanya tak pernah
gagal memancing tawa lewat chemistry komikal yang menyambar sekuat petir. Tentu
suplai materi kreatif dari naskah, juga ketepatan timing dalam penyutradaraan Chayanop berperan besar, tapi tanpa
Naphat dan Baifern yang tidak pernah takut mempermalukan diri sendiri di depan
kamera, hati saya takkan tercuri, dan aksi saling goda yang akhirnya terjadi bakal
kurang menggemaskan.
Kelebihan lain Friend Zone terletak pada penggambaran Ted sebagai sosok orang
ketiga. Dia pria baik sekaligus bertalenta, yang dengan kerennya sanggup mengatasi
permasalahan rumit di proses rekaman hanya dalam hitungan menit. Melihat itu,
saya pun paham mengapa Gink terpikat padanya. Sebagai pesaing cinta, Ted bukan “karakter
karikatur”, dan walau Gink senantiasa menaruh curiga, benar atau tidaknya ia
berselingkuh tidak bisa dipastikan sebelum filmnya mencapai paruh akhir.
Kita bisa menebak kalau Palm
nantinya akan mengakui perasaannya untuk akhirnya berhasil merebut hati si wanita
idaman. Tapi momen itu hadir dengan sedikit modifikasi, pula tanpa kesan
terburu-buru serta simplifikasi. Semuanya mengalir penuh kesabaran guna memaksimalkan
dampak emosi, yang muncul setelah Gink menyadari bahwa ada suatu “hal tertentu”
(tidak bisa saya sebutkan pastinya) yang mengingatkannya kepada dua rasa
berlawanan: kebahagiaan dan rasa sakit. Alhasil, mudah memahami pilihan yang
akhirnya ia ambil. Satu lagi kecakapan Friend
Zone mempresentasikan motivasi karakternya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:Tontonan wajib untuk saya yg juga sudah menjadi korban friend zone secara rutin :"
Smoga ending ga nyesek kayak one fine day itu...haha
One Fine Day? One Day kali maksudnya?!
ditunggu review US
sinting bener nih Jordan Peele
film debut-nya udah lewat 2 tahun masih bertahan 98% di RT
film keduanya 99%
buset dah, Nolan bisa lewat nih
Nunggu review US
Stelah kluar dr bioskop semalem br ngeh klo direc. Sama dgan " i fine thank u lov u" secara emang adegan konyol p**p dimunculkan kembali..
Karena ada yg nyinggung film "one day" yg mnrut sya merpkan film dgan penyutradaraan tingkat atas dri seorang banjong.. Alunan music selama film menarik untuk didownlod..
Dri itu please bang rasyid kasih saya masukan cela apa sja dr filmny..? karena saya masih beranggapan klo 1 day ini masih no. 1 thai film untuk genre love2an.. Film, music, endingnya masih membekas smpai skrag, mungkin sama ky baifern saat nangis di ending "first lov / little call lov"
Klo menyamakan frekuensi sm bang rasyid kasih nilai 4,5 , mgkin saya bisa nilai 1 day 5,5..hehe..IMHO
Thx alot bang...
Posting Komentar