YOWIS BEN 2 (2019)
Rasyidharry
Maret 15, 2019
Anggika Bolsterli
,
Arief Didu
,
Bagus Bramanti
,
Bayu Skak
,
Brandon Salim
,
Comedy
,
Cukup
,
Cut Meyriska
,
Fajar Nugros
,
Indonesian Film
,
Joshua Suherman
,
Laura Theux
,
REVIEW
,
Richard Oh
,
Timo Scheunemann
,
Tutus Thomson
13 komentar
Sebuah band merantau dari kampung
halaman dan/atau mengganti manajer “asli” karena dianggap kurang kompeten
memfasilitasi ambisi mereka melompat lebih jauh adalah perkara umum. Biar
demikian, situasi itu sungguh rumit. Tapi dalam Yowis Ben 2, pesannya sederhana: Tindakan tersebut tidaklah bijak,
karena kita tidak seharusnya meninggalkan keluarga yang tumbuh bersama kita
sedari nol.
Tapi apakah anda mengharapkan
olahan cerita kompleks dari film begini? Rasanya tidak. Serupa keceriaan
lagu-lagu synth-pop berbahasa Jawa
milik Yowis Ben, filmnya pun tercipta demi menyulut keceriaan penonton. Kedalaman
dan kesubtilan mungkin tetap dirindukan, tapi takkan menghancurkan Yowis Ben 2. Sebab memasuki film kedua,
pijakannya makin mantap, sementara humor mengalir nyaman dan penuh percaya
diri.
Alkisah, setelah lulus SMA, para
personil Yowi Ben dihadapkan pada rentetan masalah. Bayu (Bayu Skak)
ditinggalkan kekasihnya, Susan (Cut Meyriska), yang memilih berkuliah di Jerman
bersama Roy (Indra Widjaya). Konflik yang dipresentasikan sambil lalu ini
sejatinya membuat segala perjalanan film pertamanya sedikit sia-sia. Bukan itu
saja, ia mesti membantu sang ibu (Tri Yudiman) melunasi kontrakan rumah.
Lalu ada Yayan (Tutus Thomson),
yang selepas menikahi Mia (Anggika Bolsterli) via taaruf, dituntut menanggung
perekonimian keluarga. Nando (Brandon Salim) masih kesulitan menerima papanya
(Richard Oh) berpacaran lagi, tapi hal ini tak berdampak besar akan keseluruhan
kisah, sedangkan Doni (Joshua Suherman).....well,
he’s just there.
Berangkat dari beberapa kegundahan
itu, Yowis Ben merasa Cak Jon (Arief Didu) tak lagi cocok menjadi manajer,
karena ia berulang kali memberi mereka gig absurd (sunatan massal, lapas, dan
lain-lain) yang gagal menghasilkan bayaran. Secara bersamaan, datanglah Cak Jim
(Timo Scheunemann) dan asistennya, Marion (Laura Theux), menawarikan diri
memanajeri Yows Ben asalkan mereka mau pindah ke Bandung. Cak Jim menjanjikan kehidupan
mewah serta kesuksesan kilat. Yows Ben tergiur.
Sesampainya di Bandung, semangat
keempatnya diuji, pula kebersamaan mereka tatkala idealisme dan tali
kekeluargaan berbenturan dengan kebutuhan material. Kembali, situasi tersebut
lebih kompleks dari sekedar “Jika memilih uang artinya kamu rakus dan tidak
berperasaan”. Tapi memang itulah pesan usungan film ini. Mau tidak mau kita
mesti menerimanya. Setidaknya itu pesan yang baik.
Seperti beberapa komedi yang juga
ditulis Bagus Bramanti belakangan ini (Yowis
Ben, Benyamin Biang Kerok, Love Reborn: Komik, Musik, & Kisah Masa Lalu),
jalinan ceritanya berceceran di segala penjuru bagai tak terstruktur. Kisahnya
penuh sesak—termasuk romansa Bayu dengan Asih (Anya Geraldine) si gadis Bandung—dan
bukan mustahil penonton melupakan intisari kisahnya, sebelum diingatkan lagi
oleh third act yang menyelesaikan
konflik dengan begitu sederhana, cenderung menggampangkan.
Walau menyoroti perjalanan sebuah
band, dan kita masih sering melihat mereka memainkan lagu-lagu yang tak kalah catchy dibanding film pertama, substansi
kisah Yowis Ben 2 adalah bagaimana sebuah
keluarga menghadapi perbedaan di antara mereka. Ujian itu juga saya rasakan
saat mendapati Yayan melakukan taaruf, suatu praktek yang saya kurang
sependapat. Tapi naskah Bagus Bramanti bukan propaganda taaruf (atau hal lain),
melainkan sekadar presentasi realita. Karena itu, saya pun tergerak untuk
menghormati karakter berbeda keyakinan seperti Yayan, membuktikan bahwa filmnya
cukup berhasil menyampaikan pesan.
Pesan baik tersebut (dan elemen
cerita lain) bakal makin berdampak andai penyampaian komedi dan dramanya tidak
terkesan berdiri sendiri-sendiri. Seolah saya bisa mendengar filmnya “ganti
gigi” kala melompat dari komedi menuju drama, dan sebaliknya. Pada mode komedi,
karakternya bersikap sekonyol mungkin, namun begitu menginjakkan kaki di area
drama, karakter yang sama mendadak bisa
bicara luar biasa serius, bahkan melontarkan petuah-petuah bijak yang
bepotensi membuat Yowis Ben 2
terdengar preachy bagi sebagian
penonton.
Beruntung, keceriaan “gojek kere” film ini mampu mengangkangi
kelemahannya. Bukan cuma materi yang makin segar, penyutradaraan Fajar Nugros (Yowis Ben, Moammar Emka’s Jakarta Undercover)
pun makin baik berkat kesediaan memperhatikan timing kala menghantarkan humor. Jajaran cast pun masih bersinar. Arief Didu berkesempatan memamerkan
kapasitas mengolah rasa, Bayu Skak makin nyaman menampilkan talenta komikal
lewat ekspresi dan penyampaian hiperbolis, sedangkan Anggika Bolsterli sekali
lagi membuktikan bahwa ia salah satu aktris paling “gila” saat ini.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
13 komentar :
Comment Page:Bang ada mau bikin artikel khusus buat IMMA ga bang?
saya Merasa IMMA ngak netral saat saya lihat koki koki cilik sebagai film terbaik menurut saya karena bikinan MNC pictures
Waah Anggika Bolsterli artis baru ya bang
Filmnya apalagi bang yg dia bintangin.yg aktingnya ga kalah keren dari di yowes band 2 inii?
Anggika itu yang maen Target filmnya Raditya Dika kan?
Di film Target kayanya B ajah..
anggika bosterly main di belok kanan barcelona
bagus banget doi disana
Nope, nggak ada yang menarik dibahas
Khusus untuk kategori film, cuma ada film terfavorit. Jadi murni vote audiens.
Anggika udah main dari 99% Muhrim: Get Married 5 (2015). Tapi baru bener-bener oke di Trinity The Nekad Traveler. Di Targer itu murni karena Dika nggak kasih materi yang fasilitasi mainnya Gika. Tapi di beberapa momen tetep kelihatan bakatnya.
Mas Rasyid,
Maaf yak kemaren bilang Anggika "B" ajah..
Di YB2 Anggika beneran kocak!!
Apa karena saya wwong Jowo yak, sampe ngakak sepanjang film..
Adegan sedihnya juga berhasil bikin mewek wong Jowo..
Mantep dah pokoke!!
Oia Mas,
Ngomong ngomong soal Dilan...
Kenapa?
Kayanya berat yak bisa ngalahin perolehan penonton Dilan 199o..
Padahal seminggu pertama pecahin rekor muluk..
Bangga sih film Indo bisa begitu..
Piye mas pendapat'e sampeyan?
Karena Dilan 1990 jalannya lapang,nggak ada pesaing hampir sebulan. Kalau Dilan 1991 baru seminggu udah ketemu Captain Marvel, berikutnya Yowis Ben 2. Makanya genjot di awal. Kalau pake taktik kayak biasa, paling mentok 4 juta. Sekarang bisa lah 5,5 ke atas dikit.
Ini filmnya beneran bahasa jatim? Gak pake bahasa indo? Terus yg gak ngerti gimana
Pake. Malang campur Sunda campur Indonesia. Bahasa daerahnya masih yang bisa dimengeryi orang luar daerah itu. Tapi efek jokesnya bakal beda dibanding yang native speakers
Ada subtitle bahasa indo nya juga kok masbro..
Saya wong Jowo juga nggk ngerti bahasa Sunda, makanya liat subtitle..
Lucu sih, anggep aja lagi nonton film komedi hollywood..
Tp memang lebih lucu kalo nggk perlu baca teks, wkwkwkkwk..
Posting Komentar