POCONG THE ORIGIN (2019)
Rasyidharry
April 19, 2019
Anggy Frica
,
Della Dartyan
,
Eric Tiwa
,
horror
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Monty Tiwa
,
Nadya Arina
,
REVIEW
,
Samuel Rizal
,
Surya Saputra
13 komentar
Pocong the Origin, selaku (meminjam istilah Monty Tiwa) “reinkarnasi” Pocong (2006) yang dilarang tayang oleh
LSF karena dianggap membangkitkan luka lama
terkait tragedi 1998 (konon film ini dibuat berdasarkan naskah sama), berusaha
mencampur elemen horor dengan komedi, mengingatkan akan judul-judul legendaris
Suzzanna. Tapi ada satu masalah besar: filmnya gagal tampil menyeramkan.
Adegan pembukanya menjanjikan, kala
pembunuh berantai bernama Ananta (Surya Saputra) sedang menanti waktu eksekusi
sambil mendengarkan lagu Di Bawah Sinar
Bulan Purnama milik Sundari Soekotjo. Saya menyukai keputusan film ini
memakai nomor-nomor keroncong, yang di balik keindahannya sebagai karya seni,
menyimpan mistisisme yang dapat menciptakan kengerian bila digunakan secara
tepat.
Selepas dieksekusi, jenazah Ananta
mesti dimakamkan di kampung halamannya sebelum lewat 24 jam. Jika tidak, ilmu
banaspati yang ia miliki akan terus bangkit. Karenanya, Sasthi (Nadya Arina), puteri
tunggal Ananta yang hidup menyendiri di bawah tekanan sosial akibat status sang
ayah, ditemani Yama (Samuel Rizal) si sipir penjara, mesti mengantar jenazah
itu, dalam sebuah perjalanan penuh gangguan gaib.
Jalur menarik ditempuh Pocong the Origin, sebagai horor lokal
langka (kalau bukan satu-satunya) yang meminjam unsur film road trip. Sayang, naskah besutan Monty bersama Eric Tiwa (Laskar Pemimpi, Barakati) tak cukup
kreatif dalam menangani elemen tersebut, dan berujung melahirkan repetisi.
Gangguan terjadi tiap Yama dan Sasthi menghentikan perjalanan, yang tidak
pernah jauh dari dua hal, yakni antara Yama ingin kencing atau mobil yang
rusak. Pun respon keduanya hampir selalu sama: membuka telepon genggam, lalu
mengeluhkan hilangnya sinyal.
Seperti telah saya sebut, Pocong the Origin berniat menciptakan
lagi sensasi horor-horor Suzzanna. Filmnya ingin memancing keriuhan penonton,
di mana kita diharapkan berteriak histeris sembari tertawa lepas. Tawa bisa
ditemukan berkat humor efektif berupa situasi jenaka saat tokoh-tokohnya dibuat
tunggang langgang oleh penampakan hantu, namun teriakan ketakutan urung hadir.
Menolak mengeksploitasi jump scare pantas diapresiasi, tapi
pilihan itu tak otomatis membuat terornya lebih berdampak. Padahal Monty adalah
orang di balik adegan penampakan pocong paling mengerikan sepanjang masa di Keramat (2009). Bukan cuma itu, kali ini
Monty sempat coba melakukan “reka ulang” terhadap adegan “keranda mayat” dari
film tersebut, tapi gagal memproduksi intensitas serupa. Terlebih, bagi
sebagian penonton, riasan bagi para hantu di momen tersebut mungkin bakal
tampak menggelikan.
Sedangkan perihal membangun
atmosfer melalui penerangan minimalis justru kerap menjadi bumerang. Tidak
jarang adegan tampil terlampau gelap, meski harus diakui, gambar-gambar memikat
masih bisa sesekali ditemukan, berkat kelihaian Anggi Frisca (Sekala Niskala, Negeri Dongeng, Night Bus)
selaku penata kamera bermain cahaya.
Jajaran pemain berusaha maksimal,
khususnya Samuel dan Nadya. Semenjak Target
tahun lalu, Samuel mengambil jalur tepat bagi babak baru karir layar
lebarnya, dengan menjauh dari peran “cowok keren”, dan berani memainkan sosok
konyol. Di sini ia tampil menghibur, meski saya bingung, bagaimana bisa momen
saat ia salah mengucap “mas” menjadi “mbak”, lolos dari penyuntingan. Sementara
Nadya cukup solid memerankan gadis yang terjebak di konflik batin. Biarpun amat
menyayangi sang ayah, ia tak bisa menyangkal
jika Ananta adalah pembunuh berantai. Sebuah dilema menarik yang tidak
sanggup dipresentasikan secara memuaskan oleh naskahnya.
“Lawan” Nadya adalah Jayanthi
(Della Dartyan), jurnalis yang diam-diam mengikuti Yama dan Sasthi demi
memperoleh berita, sambil mengusung alasan personal karena sahabatnya merupakan
salah satu korban Ananta. Ketimbang drama thought-provoking
berupa gesekan argumen dua pihak berlawanan, kita hanya disuguhi debat kusir
tanpa akhir maupun jiwa, tatkala hanya volume suara yang meninggi, bukan kadar
emosi.
Sebagaimana nasib banyak horor
belakangan baik dalam atau luar negeri, Pocong
the Origin kesulitan menciptakan babak ketiga yang mumpuni. Setelah lama
menanti, konfrontasi final ketika banaspati mencapai puncak kekuatan berkat
keberadaan blood moon, malah berujung
pertarungan canggung nan antiklimaks, yang gagal menangkap reputasi pocong
sebagai salah satu hantu Indonesia paling mengerikan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
13 komentar :
Comment Page:sayang zekali padahal gue menanti banget film ini
ya karena embel embel kalo film ini reinkarnasi pocong 2006
dan trailer yg menjanjikan
Endingnya gak ngerti gw. Tapi orang2 pada keluar bioskop dengan tenang. Apa ada lanjutannya ni film ?
Berarti masih bagusan Film Sunyi bang?
PR stunt aja kayaknya soal reinkarnasi itu
Endingnya kan dijelasin di dialog sebelumnya tuh, soal tujuan banaspati. Soal lanjutan, selama film sukses ya pasti ada
Jauuuuh
Reinkanasi kan belum tentu lebih baik. Tergantung amal perbuatan selama hidup.
Mas Rasyid, soal reinkarnasi film ini bukan PR Stunt deh karena sudah dijelaskan Mas Monty di Twitter. Dia bilang naskahnya modernisasi dengan membuang beberapa poin seperti latar 98 dan unsur kekerasan.
I know, tapi nggak bisa komen lebih jauh sih karena nggak nonton film aslinya. Mungkin memang aslinya beda dari sinopsis resmi yang beredar
Anda kira ini Cu Pat Kai???
Rumput tetangga bakal diulas kah? Hehe
Sayang banget kekuatan banaspati yg katanya tambah kuat saat bulan purnama gak terlalu dieksplor.. mungkin sengaja buat jadi sequel.
Posting Komentar