GHOST WRITER (2019)

12 komentar
Apa yang lebih susah dari membuat komedi lucu? Membuat komedi lucu bertema unik seraya membangun humor sepanjang film berdasarkan tema tersebut. Debut penyutradaraan layar lebar Bene Dion Rajagukguk—sebelumnya menulis naskah dwilogi Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!, Stip & Pensil, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur—ini mampu melaksanakan tugas berat tersebut.

Sesungguhnya, dalam lingkup perfilman, konsep pertemanan atau romansa dua dunia jauh dari kesan baru. Baik vampir, monster, alien, zombie, sampai hantu, semua pernah menjalani hubungan dengan karakter manusia. Tapi Ghost Writer menyimpan kesegaran tersendiri berkat premisnya: What if your ghost writer is a real ghost?

Alkisah, Naya (Tatjana Saphira) adalah penulis yang tengah melalui masa sulit, meski membiayai hidupnya dan sang adik, Darto (Endy Arfian) selepas meninggalnya kedua orang tua. Pasca kesuksesan karya perdananya, ia belum juga menerbitkan novel baru. Alasannya, ia enggan menjual idealisme, menolak pendekatan opera sabun sebagaimana ditawarkan penerbitnya. Naya memang idealis bergengsi tinggi. Walau terhimpit urusan finansial, ia menolak bantuan kekasihnya, Vino (Deva Mahenra) dan ngotot memasukkan Darto ke sekolah bergengsi.

Itulah mengapa ia tak pikir dua kali kala menemukan rumah besar berharga murah. Sebaliknya, Darto curiga harga murah tersebut dikarenakan rumah itu angker. Naya bersikap skeptis menanggapi ketakutan Darto, namun setelah ia mengambil buku harian di loteng lalu berniat menjadikannya sebuah novel, peristiwa-peristiwa mistis mulai menimpanya. Rupanya buku itu milik hantu bernama Galih (Ge Pamungkas) yang meninggal bunuh diri di sana. Nasib tragis Galih menarik atensi penerbit, tapi si hantu menolak rencana mengangkat kisah hidupnya ke dalam novel.

Meski sempat takut, perlahan Naya mulai akrab dengan Galih, berusaha meminta persetujuannya, bahkan menawari posisi sebagai ghost writer. Serupa konsep Death Note Naya bisa melihat dan menyentuh Galih selama ia memegang buku harian tersebut. Hubungan keduanya menggemaskan, penuh kecanggungan menggelitik berkat kecerdikan naskah garapan Bene bersama Nonny Boenawan dalam mengimajinasikan interaksi kasual antara sosok hidup dan mati.

Penampilan dua pemeran utama juga banyak membantu, menghantarkan humor lewat gaya yang mencerminkan kondisi masing-masing karakter. Jika Tatjana begitu hidup, penuh semangat serta antusiasme, dan terkadang tidak tahu malu, Ge memaksimalkan metode deadpan. Kata-kata selalu meluncur dari mulut Naya, dan seringkali ucapan anehnya membuat Galih kehabisan kata. Kekontrasan-kekontrasan itu melengkapi dinamika kedua tokoh utama. Di luar lingkup Naya-Galih, naskahnya tetap konsisten melempar banyolan bertema hantu dan kematian. Contohnya melalui Abdul (Muhadkly Acho) dan Iwan (Arie Kriting), dua karyawan di kantor tempat Naya menerbitkan novelnya, yang tidak pernah jemu berdebat perihal mistis.

Selain penulisan cerdik, penyutradaraan Bene turut berjasa menambah kadar kelucuan. Mengawali karir sebagai komika membuktikan pemahaman Bene soal timing, yang nampak betul dalam caranya menyusun aliran adegan. Belum seluruhnya mulus, tapi secara umum, Bene tahu bagaimana agar saat suatu adegan berakhir, ada rasa penasaran tertinggal di benak penonton. Kita dipancing bertanya, “Kelucuan apa yang sedang menanti?”, sebelum melontarkan jawaban yang dibungkus ketepatan timing. Sayang, kebolehan serupa urung ditemukan kala ia mengarahkan situasi horor, yang mayoritas hadir medioker.

Kekurangan paling nyata dalam Ghost Writer sejatinya merupakan elemen yang kerap ditemukan pada produksi Starvision kebanyakan: Filmnya tampak murah. Misalnya riasan hantu yang kerap kurang merata. Benar bahwa Galih adalah hantu jenaka, tapi sumber kejenakaan itu tak seharusnya bersumber dari tata rias buruk. Berikutnya terkait transisi kasar antara adegan, sebuah penyakit yang bahkan gagal dihindari film-film kelas satu milik Starvision, semisal Cek Toko Sebelah.

Ghost Writer bermula ketika Ernest Prakasa (bertindak selaku produser di sini) membaca sinopsis buatan Nonny Boenawan, peserta kelas penulisan skenario yang ia adakan. Ernest langsung terpikat. Wajar saja, sebab ide Nonny memang brilian. Dan begitu sinopsis tadi berkembang menjadi film, terbukti betapa teknis murah tetap tak kuasa membendung kreativitas kaya.

12 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Mas Rasyid,
Thanks atas review film lebaran nya, ke 5 nya bikin bingung, dan sampai sekarang malah belom nuntun satupun, wkwkwkwk..

Oia, di Summary ini kok nggk ada bagus/lumayan/cukup'nya yak, soalnya gw pertama kali buka movfreak selalu liat bagian ini nya dulu, hehehehe..

Tinggal Single dan Kuntilanak nih, bistu langsung cus nuntun.. yeeay!!

Sekalian, maaf lahir batin ya klo keseringan komen, klo ada komen yg julid, wkwkwkwk..

Selamat Lebaraaaaan..

Chan hadinata mengatakan...

Ernest pernah ngomong kalo nda salah talkshow sm bu risma & pandji,, film ngenest dibilang kyk ftv.. kyknya emang starvision kalo bru mulai budgetnya minim..

Anonim mengatakan...

Setuju kalau produk starsvision di bilang "murah"
Padahal banyak film2 produksi mereka yg laris
Tapi kaya agak low budget ya?
Pengecualian buat Belok Kanan Barcelona yg tampil lebih "wah"
(Apa karena faktor sutradara nya ya?)

Lebih oke production value produksi Soraya atau Falcon

Makanya film Ernest walau laris manis dan banyak di kritik positif, tapi menurut saya gambarnya ga terlalu oke banget.



Rasyidharry mengatakan...

Ah thanks, lupa masukin tag, udah ngantuk.

Dua film itu paling nggak oke sih, apalagi Single.

Siip selamat lebaran juga!

Rasyidharry mengatakan...

Pak Parwez emang gitu. Urusan bujet dia coba nekan sebisa mungkin

Rasyidharry mengatakan...

Belok Kanan Barcelona itu mau nggak mau keluar bujet rada gede, karena scope cerita luas. Tapi itu pun kelihatan nggak mewah.

Oh jelas, kalau dari segi look, Soraya memang termasuk paling mewah bahkan di saat nggak perlu mewah hehe

Unknown mengatakan...

Kayaknya Koh Ernest emang harus buka rumah produksi sendiri yaa bang? Model kayak Angga Dwimas gitu dgn Visinemanya.

Apa jangan2 doi udah punya barangkali?😂

Rasyidharry mengatakan...

Saya percaya suatu hari dia bakal ke situ. Lewat Ghost Writer kan belajar jadi produser. Serap ilmunya Pak Parwez

Mahendrata Iragan Kusumawijaya mengatakan...

Kalau dibandingin ama Pocong juga Poconggg bagusan mana bang? Kan mirip tuh premis dasarnya.

Rasyidharry mengatakan...

Jauuuh banget kelasnya.

Mahendrata Iragan Kusumawijaya mengatakan...

Jadi bagusan mana?

Rasyidharry mengatakan...

Jelas Ghost Writer