LOVE FOR SALE 2 (2019)

9 komentar
Berlandaskan premis unik, akting ciamik, dan departemen artistik menarik, tahun lalu Love For Sale mampu mencuri perhatian, walau berbeda dengan pandangan umum, saya beranggapan naskah buatan sutradara Andibachtiar Yusuf (Hari Ini Pasti Menang, Bridezilla) dan M. Irfan Ramly (Cahaya dari Timur: Beta Maluku, Surat dari Praha) kurang matang dalam menangani konsep, khususnya di fase konklusi. Love For Sale 2 berhasil memperbaiki itu.

Idenya masih serupa, yakni mengenai “kunjungan” Arini (Della Dartyan) dari aplikasi kontak jodoh Love Inc., ke kehidupan protagonis. Bedanya, tidak ada usaha setengah-setengah menjelaskan soal Love Inc. sebagaimana film pertama. Lubang alur diminimalisir, dan sewaktu konflik menemukan resolusi, tidak ada distraksi. Konsentrasi sepenuhnya tercurah pada permainan rasa dalam drama keluarga yang kini jadi fokus utama.

Dibuka oleh pesta pernikahan beradat Minang yang dibungkus menggunakan satu take panjang, kita segera tahu masalah macam apa yang segera menjelang. Ican (Adipati Dolken) terus didorong oleh sang ibu, Rosmaida (Ratna Riantiarno), agar segera menikah. Berulang kali Rosmaida berusaha menjodohkan Ican, tapi berulang kali pula puteranya itu menolak. Berbanding terbalik dengan Richard (Gading Marten) di film pertama, Ican doyan berganti-ganti pasangan, namun enggan melakoni hubungan serius.

Tekanan dari orang tua agar segera menuntaskan masa lajang tentu terdengar familiar sebab banyak terjadi di sekitar kita, bahkan mungkin menimpa kita sendiri. Love For Sale 2 merupakan satir menggelitik atas problematika tersebut. Tentang urgensi menikah. Kunci sindirannya terletak pada kontradiksi dalam kata-kata maupun perilaku karakter. Rosmaida terus meminta Ican menikah, tapi saat melihat puteranya itu berbicara dengan wanita, ia buru-buru berujar “Jangan deket-deket. Nanti fitnah”. Timbul pertanyaan, “Apakah Rosmaida (dan para orang tua lain) ingin anaknya menikah, atau MENIKAHI PILIHAN MEREKA?”.

Cara pandang masyarakat soal pernikahan juga tidak ketinggalan disentil. Misalnya saat Ndoy (Ariyo Wahab), kakak Ican, menyindir seorang karakter yang memasang wajah kucel seorang karakter akibat ditinggal pergi istrinya, lalu sejurus kemudian menyarankan Ican segera menikah supaya hidupnya tentram. Lagi-lagi komedi satir berbasis kontradiksi.

Meski melempar sindiran, Love For Sale 2 menolak tampil berat sebelah. Rosmaida sekilas menyebalkan, layaknya banyak sosok ibu, menyuruh Ican segera menikah, selalu cerewet menasihati agar anak-anaknya rajin salat dan berbagai petuah lain. Rosmaida juga bukan mertua yang menyenangkan bagi istri Ndoy, Maya (Putri Ayudya), yang walau tengah hamil tua, tetap mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Tapi layaknya seorang ibu pula, selalu ada cinta, dan film ini tidak lupa menekankan cinta itu. Karena mungkin, Rosmaida hanya butuh ditemani dan dimengerti. Di situlah Arini berperan.

Demi membahagiakan ibunya, Ican menggunakan layanan Love Inc., memesan calon istri palsu sesuai preferensi sang ibu. Jika film pertama mengetengahkan peran Arini menumbuhkan semangat hidup Richard, di sekuelnya, giliran harmoni keluarga Ican yang ia pupuk. Tertinggal kekecewaan di fase ini, karena proses “perbaikan” yang Arini lakukan cuma nampak di permukaan, biarpun gagasan “Arini membawa kebahagiaan sebagai alat menyembuhkan” telah tersampaikan.

Satu lagi keunggulan sekuel ini dibanding pendahulunya adalah penokohan Arini. Menampilkan Della Dartyan dengan senyum yang bisa membuat siapa saja seketika jatuh hati, Arini masih gadis dengan sensitivitas tinggi, sehingga tahu bagaimana memberi respon yang diinginkan lawan interaksinya. Kali ini ruang personal Arini mulai dikunjungi. Sosoknya makin dimanusiakan. Sebuah obrolan Arini dengan Rosmaida di suatu subuh—yang juga jadi ajang pembuktian kepiawaian Della mengontrol luapan emosi—menyiratkan bahwa kunjungan kali ini terasa lebih personal bagi Arini. Dugaan jika Love Inc. bukan sekadar tempat Arini bekerja turut menguat.

Andibachtiar Yusuf mengulangi pencapaiannya di departemen penyutradaraan lewat kepekaan menangkap emosi suatu momen, dan menjadikan filmnya tidak semata pameran gambar cantik. Tidak kalah mengagumkan adalah perhatian Andibachtiar terhadap detail peristiwa yang bertempat di belakang fokus kamera. Contohnya di adegan pembuka. Daripada hanya memakai figuran, ia menempatkan Buncun (Bastian Steel) si putera bungsu bersama istrinya, Endah (Taskya Namya). Keduanya cuma duduk menikmati makanan , tapi itu saja sudah cukup menghidupkan sebuah peristiwa. Atau sewaktu Ican mengobrol dengan Ibrahim (Yayu Unru) sementara di belakang, orang-orang asyik bermain domino, dengan gestur serta suara yang tidak terlalu besar sampai mengganggu fokus, namun tidak terlalu kecil agar penonton bisa menyadari eksistensi mereka.

9 komentar :

Comment Page:
Bayu mengatakan...

Ada twist nya ga bang..?

4869 mengatakan...

Penonton macem apa yg nanya "ada twist nya engga?" -____-

Eldwin Muhammad mengatakan...

Gak sabar Kamis besok nonton ini

Alvi mengatakan...

kayaknya aman ya bang dari love scene, ga seperti film pertama. mau nonton sama gebetan soalnya hha

Heru mengatakan...

hadir sob salam kenal

Anonim mengatakan...

Bingung mau nonton film ini apa bebas huffttt cebel

hilpans mengatakan...

Ramaikan Kamis sore...cussss

rahmadamazing mengatakan...

Ada adegan ngeW?

Anonim mengatakan...

Emang love for sale pertama ada adegan sex nya? Saya nonton dinetflix sih. Apa mungkin di-cut? Soalnya gak liat ada adegan sexual, padahal rating 21+ ��