JERITAN MALAM (2019)
Rasyidharry
Desember 14, 2019
Andhika Triyadi
,
Cinta Laura Kiehl
,
Cukup
,
Donny Dhirgantoro
,
Ferry Lesmana
,
Herjunot Ali
,
horror
,
Indonesian Film
,
Indra Brasco
,
Muhammad Firdaus
,
REVIEW
,
Rocky Soraya
,
Roy Marten
,
Winky Wiryawan
14 komentar
Megah dan
dramatis. Sepertinya Soraya Intercine Films ingin kesan tersebut lekat dengan
mereka, sekalipun di film horror, yang biasanya identik dengan kesederhanaan
(baca: murah). Contohnya adalah Suzzanna:
Bernapas dalam Kubur tahun lalu. Mengadaptasi cerita karya meta.morfosis
yang sempat ramai dibicarakan warganet dan konon berasal dari kisah nyata, Jeritan Malam mengambil jalur serupa.
Berambisi tampil dramatis, menit-menit awalnya bahkan bak tersusun atas
cuplikan opera sabun yang berlangsung terlalu panjang.
Ketimbang
langsung menghadapi teror, kita lebih dulu disuguhi perjuangan karakter
utamanya, Reza (Herjunot Ali), yang setia menarasikan kisahnya bahkan di
titik-titik yang tak perlu lagi dijelaskan (naskahnya terlalu literal dalam
menerapkan cara bertutur materi aslinya), dalam perjuangannya mencari kerja. Setelah
ditolak belasan kali, akhirnya ia diterima bekerja di Jawa Timur. Masalahnya,
itu berarti Reza mesti meninggalkan Bogor beserta kedua orang tua, juga
kekasihnya, Wulan (Cinta Laura Kiehl). Jelang keberangkatan Reza, filmnya
didominasi perpisahan mengharu biru, yang entah berapa kali memperdengarkan
kalimat cringey, “Aku bakal kangen
luar biasa”.
Kalau anda
penasaran mengapa durasi Jeritan Malam bisa
mendekati dua jam (119 menit), di situlah jawabannya. Naskah buatan Ferry
Lesmana (Danur, Suzzanna: Bernapas dalam
Kubur) dan Donny Dhirgantoro (Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, Antologi Rasa) gemar menyelipkan drama berlarut-larut
yang hanya membengkakkan film ketimbang mencuri hati, akibat paparan dangkal
yang hanya bersenjatakan kalimat (sok) romantic, yang di realita, mungkin cuma
bakal jadi status Facebook remaja pengidap cinta monyet.
Sebelum
berangkat, oleh sang ayah (Roy Marten), Reza dibawakan sebuah kujang sebagai
alat pelindung. Berkebalikan dengan ayahnya, Reza bersikap skeptis terhadap hal
gaib. Ditambah peristiwa tragis masa kecilnya, ketidakpercayaan Reza berkembang
jadi kebencian. Bahkan ketika dua teman kantornya, Indra (Winky Wiryawan) dan
Minto (Indra Brasco) menceritakan fakta horor terkait mess yang ketiganya
tempati, Reza menolak percaya. Bukan saja enggan percaya, Reza cenderung
meremehkan, menendang sesajen, lalu menantang para “penghuni mess”.
Jeritan Malam memang didesain supaya penonton
berharap si protagonis tertimpa hukuman atas kesombongannya. Alhasil, bila mengandalkan
Reza semata, alurnya takkan
menyenangkan diikuti. Karena itulah filmnya mengambil bentuk crowd pleasure, di mana serupa Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, humor
turut diterapkan lewat kekonyolan dua teman Reza, khususnya Minto, dalam
menghadapi kengerian di mess. Jelas bukan komedi cerdas, namun memadai sebagai
penambah daya hibur.
Begitu
teror dimulai, gerak alur Jeritan Malam sebenarnya
sempat repetitif, kala berkali-kali kita disajikan adegan Reza terbangun di
tengah malam, minum, sebelum akhirnya diganggu sosok tak kasat mata. Beruntung
pengulangan itu tak berlangsung seterusnya, sebab semakin
kisahnya bergulir, varian peristiwanya cukup kaya, dari “perjalanan sukma” Reza
hingga ritual misterius yang jadi penyebab rentetan tragedi pada babak ketiga.
Jump scare tidak
dikesploitasi, biarpun efektivitas kemunculan hantunya tergolong inkonsisten.
Misalnya, setelah penampakan sesosok nenek di atas pohon yang punya tata rias
lumayan baik, intensitas langsung dirusak oleh serbuan pasukan tuyul dengan kualitas
CGI menyedihkan. Tapi satu hal yang cukup menarik adalah bagaimana Rocky,
dibantu sinematografi garapan Muhammad Firdaus (My Stupid Boss, Ikut Aku ke Neraka), di beberapa kesempatan, sukses
membangun atmosfer bersenjatakan sudut pandang orang pertama. Saya pernah
terlibat menggarap acara penelusuran mistis, dan menonton Jeritan Malam rasanya seperti dibawa kembali ke suasana itu, kala menyusuri
lokasi-lokasi gelap nan menyesakkan, yang memancing kecemasan karena dari balik
kegelapan itu, seolah ada figur menyeramkan tengah mengintai.
Seperti telah
disebut sebelumnya, horor satu ini ingin betul terlihat (lebih) mahal, dan itu
nampak dari penataan set dan properti, color
grading khas Soraya yang memakai kontras rendah, juga musik garapan Andhika
Triyadi (Suzzanna: Bernapas dalam Kubur,
Dua Garis Biru) yang mengandalkan suara biola menyayat ala horor/thriller klasik. Di antara semua itu,
justru akting Herjunot Ali yang nampak paling murah, sebab lagi-lagi ia masih
bermasalah dalam mengekspresikan emosi melalui mimik wajah “besar” yang selalu
berlawanan dengan definisi “natural”.
Kecintaan
Rocky terhadap gore, yang secara
mengejutkan kuantitasnya tidak seberapa, menguatkan kesan tragis dari salah
satu kematian karakternya. Andai filmnya ditutup tak lama setelah itu.
Sayangnya tidak. Jeritan Malam justru
menambahkan epilog dramatik cenderung menggurui yang merusak bangunan
intensitasnya. Sesungguhnya epilog ini bisa menambah kengerian (menegaskan
bahwa iblis yang karakternya hadapi teramat licik dan kejam) sekaligus
memantapkan status filmnya sebagai tragedi (sejalan dengan image dramatis Soraya yang saya singgung), jika narasi terkait sebuah
ritualnya dikemas lebih rapi dan jelas.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
14 komentar :
Comment Page:Kalau saya sih suka sama film ini
Kemegahan khas Soraya
Boleh dibilang ini film Rocky Soraya favorit saya selain Suzzana
Karena saya ga suka sama karya2 beliau sebelumnya di Hitmaker
Dan film horor ini terasa beda dengan film horor yang pernah saya tonton sebelumnya
Narasi panjang ala2 film romantis Tenggelamnya Kaval van der wijk
Walau ada bagian yang saya kurang paham
Dan sempet bikin ngantuk ditengah2
Tapi overall oke lah filmnya
Horor yang beda dan berkesan
Bang, bagaimana caranya menjadi Review film..apa boleh mulai dari LK21 dulu? Atau langsung otw bioskop? Apa harus menjadi objektif? berpikir kritis?
Pokoknya banyakin nonton, baca & nulis. Soal nonton di mana, selama akses ke platform legal (bioskop & legal streaming service) ada ya di yang legal.
Satu-satunya objektivitas yang murni di review film itu "Review nggak dipengaruhi hal-hal di luar film, misal mau pansos, film temen sendiri, jadi buzzer)
Setiap ada yg review film bioskop, jatuhnya suka malah jadi penasaran pengen nonton, sayang kalau dilewatkan, ya meski ada sedikit spoiler....
Kujang ga disita ama petugas bandara?
Spoiler?
Naik kereta dia
Bang nggak ngereview triple frontier ama the light house? Ditunggu reviewnya ya bang
Sebenarnya ritual apa sih yang dilakukan oleh Reza Bang. Kok saya gak ngerti?
Sampai harus mengorbankan tiga nyawa itu kenapa.
Kalo untuk tumbal, bukannya orangnya yang milih sendiri siapa tumbalnya? Lha ini mahluk gaibnya yang suka2 milih korban.
Terus hasil dari ritual yang katanya kena tipu itu apa?
Apakah Reza ditipu ikut pesugihan jadi kaya? Pelihara tuyul? atau ilmu pelet Bang :-D
Oh iya satu lagi, jadi dukun yang di hutan itu manusia atau bukan Bang? Kok bisa bikin orang tersesat atau linglung di hutan.
Mas Rasyid,
Setelah baca review'an ini, ane bakal nuntun nih Jeritan Malem, kayanya seru, wkwkkwkwk..
Pertanyaan'nya:
Mimik wajah "besar" maksudnya apa yak?
Maturnuwun..
U bukannya pansos di cinecrib ��️��️
Lho, baca review dari awal, kok mirip bgt sama salah satu cerita horor di kaskus yaa...
Hmmm...
Emang adaptasi
Setidaknya, menurut saya, ini adaptasi yang lumayan oke.,kalau dibandingkan dengan adaptasi Keluarga Tak Kasat Mata yang..yah gt lah ya..
Posting Komentar