Tampilkan postingan dengan label Ferry Lesmana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ferry Lesmana. Tampilkan semua postingan

REVIEW - DEAR IMAMKU

Dua tahun belakangan, lebaran terasa berbeda. Banyak orang tidak mudik untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, hanya berkesempatan mengucap "mohon maaf lahir batin" lewat panggilan video. Beberapa yang bisa berkumpul dengan segelintir keluarga pun, mungkin merasa kemeriahannya berkurang. Tapi paling tidak, setelah sama sekali absen tahun lalu, akhirnya film lebaran kembali hadir.

Orang-orang datang ke bioskop, berharap bisa menemukan kehangatan yang hilang, atau minimal terhibur. Terobati kesedihannya akibat lebaran di tengah pandemi. Kemudian lampu studio padam, dan sekitar 30 menit berselang, mereka mendengar Dul Jaelani berkata, "Aku mau hijrah!", lewat akting yang patut membuat Al Ghazali lega, karena ternyata, di antara tiga bersaudara, bukan dia saja yang tidak bisa berakting. Bayangkan. Bagi para penonton, lebaran tidak pernah semenyedihkan ini. 

Jadi penonton bisa mengambil pelajaran apa dari adaptasi novel berjudul sama karya Mellyana Dhian ini? Pertama, bahwa bertobat amatlah mudah. Tidak peduli sebejat apa, dalam waktu singat, tanpa bantuan pihak lain, manusia bisa mengubah dirinya 180 derajat. Perkenalkan, Harris (Dul Jaelani). Pemuda yang lebih sering membasahi mulutnya dengan air vodka daripada air wudu. Bersama pacarnya, Alysa (Tissa Biani), ia membuat konten seputar kemesraan keduanya di Youtube. Kesuksesan pun diraih, termasuk keberhasilan mendapat satu juta subscribers. 

Tapi ada yang kurang. Keduanya belum berbuat zina! Ya, Harris, si tukang mabuk, si ahli maksiat dari ibukota, masih perjaka. Sewaktu keduanya memutuskan merayakan hari jadi dengan seks di hotel, Harris begitu cemas saat hendak memesan kamar. Entah dasar logika seperti apa yang dipakai penulis naskahnya. Oh, saya lupa menyebut bahwa Dear Imamku punya empat penulis, yakni Jujur Prananto (Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta?, Pendekar Tongkat Emas), Ferry Lesmana (Danur, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur), Surya Gemilang, dan Dian Sasmita (Dealova) yang turut berperan selaku sutradara. Empat penulis, tapi satu pun tak ada yang merasa janggal. 

Malang bagi Harris dan Alysa, sebelum sempat berbuat dosa, mendadak ibu Harris (Deivy Z Nasution) dibawa ke rumah sakit dalam kondisi kritis dan harus menjalani operasi. Sinopsis resminya menulis stroke sebagai penyebab, tapi filmnya sendiri tidak pernah menyebut itu. Merasa terpukul, Harris memutuskan hijrah. Motivasinya masuk akal, kalau tidak bisa disebut mulia (satu dari sedikit hal positif film ini selain penampilan Tissa Biani yang solid seperti biasa). Menjadi tidak masuk akal, saat filmnya membuat proses hijrah Harris berlangsung sangat mulus.

Cukup mendatangi sesosok ustaz, dia sudah membulatkan tekad, lalu rajin menjalankan salat, puasa sunah, sepenuhnya berhenti mabuk, dan puncaknya, menolak berpacaran dengan Alysa. Sungguh saya ingin belajar pada Harris. Saya sudah bertemu ustaz, kiai, sampai pak haji, tapi sampai sekarang bibir ini lebih sering terkena basuhan abidin daripada air wudu. 

Sampai suatu malam, tatkala rindu menguasai hati, melalui pengadeganan luar biasa konyol di mana mobil kedua karakternya berhadapan di tengah jalan bak mau berciuman, Dian Sasmita menyediakan panggung bagi Harris dan Alysa untuk menyatakan cinta, lalu memutuskan menikah muda.

Apakah pernikahan itu berjalan mulus? Tentu tidak. Alysa kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan baru sang suami. Dia tidak kuat menjalankan puasa sunah, pula mendapat hujatan akibat pakaian yang dianggap terbuka. Hujatan dari siapa? Apakah ibu Harris? Oh bukan, melainkan dari Bi Umi (Melly Saripah), ART Harris, yang berujar, "Astaghfirullah, kalau ini sudah keterlaluan!". 

Menyusul berikutnya adalah rentetan konflik, yang bertujuan mempertanyakan, bentuk hijrah seperti apakah yang terbaik? Saya akui, ada niat baik mengutarakan bahwa hijrah bukan berarti menolak kompromi. Tapi pada akhirnya semua terasa semu. Tetap Alysa yang harus lebih banyak berkorban. Dia yang lebih banyak mengikuti cara hidup Harris. Sedangkan Harris merupakan satu lagi figur laki-laki mokondo khas film religi tanah air. Laki-laki yang bersenjatakan maskulinitasnya, merasa harus membuktikan kalau dialah kepala keluarga. Kalau dialah si pencari nafkah. Apa pengorbanan yang Harris berikan? Merelakan Alysa menggapai mimpinya? Eat shit dude. 

Dear Imamku adalah film seputar anti-pacaran, di mana seorang marbut masjid (diperankan Fadly Padi), mendukung keputusan Harris berhenti pacaran, lalu malah menyarankannya menjalin hubungan dengan wanita lain yang lebih salihah. Dear Imamku adalah film seputar anti-maksiat, yang mengajari penonton, bahwa ceramah dapat dilakukan di mana saja, termasuk di kelab malam. "Jangan nilai buku dari sampulnya" berlaku di sini. Mungkin suatu hari Boshe bisa beralih fungsi jadi pondok pesantren atau TPQ? 

Tapi Dear Imamku memiliki salah satu quote paling romantis yang pernah saya dengar di film Indonesia mana pun: 

Look at the hidden sеcret, odd eye

Get deeper into it, look at it

Everything is a plausible lie

Overshadowed by sweetness

Eyes that break boundaries

Despair to face me to till end

There will be an end

Back and forth

Here isn't what I've been looking for

No more Utopia

Maaf, ternyata itu lirik lagu Odd Eye-nya Dreamcatcher. Saya terdistraksi karena leader mereka, Kim Min-ji, juga memanggil saya sebagai "imamku".  Sudahlah, jangan pedulikan opini reviewer halu dan ahli maksiat seperti saya. Tonton saja filmnya, dan selamat berhijrah!


JERITAN MALAM (2019)

Megah dan dramatis. Sepertinya Soraya Intercine Films ingin kesan tersebut lekat dengan mereka, sekalipun di film horror, yang biasanya identik dengan kesederhanaan (baca: murah). Contohnya adalah Suzzanna: Bernapas dalam Kubur tahun lalu. Mengadaptasi cerita karya meta.morfosis yang sempat ramai dibicarakan warganet dan konon berasal dari kisah nyata, Jeritan Malam mengambil jalur serupa. Berambisi tampil dramatis, menit-menit awalnya bahkan bak tersusun atas cuplikan opera sabun yang berlangsung terlalu panjang.

Ketimbang langsung menghadapi teror, kita lebih dulu disuguhi perjuangan karakter utamanya, Reza (Herjunot Ali), yang setia menarasikan kisahnya bahkan di titik-titik yang tak perlu lagi dijelaskan (naskahnya terlalu literal dalam menerapkan cara bertutur materi aslinya), dalam perjuangannya mencari kerja. Setelah ditolak belasan kali, akhirnya ia diterima bekerja di Jawa Timur. Masalahnya, itu berarti Reza mesti meninggalkan Bogor beserta kedua orang tua, juga kekasihnya, Wulan (Cinta Laura Kiehl). Jelang keberangkatan Reza, filmnya didominasi perpisahan mengharu biru, yang entah berapa kali memperdengarkan kalimat cringey, “Aku bakal kangen luar biasa”.

Kalau anda penasaran mengapa durasi Jeritan Malam bisa mendekati dua jam (119 menit), di situlah jawabannya. Naskah buatan Ferry Lesmana (Danur, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur) dan Donny Dhirgantoro (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Antologi Rasa) gemar menyelipkan drama berlarut-larut yang hanya membengkakkan film ketimbang mencuri hati, akibat paparan dangkal yang hanya bersenjatakan kalimat (sok) romantic, yang di realita, mungkin cuma bakal jadi status Facebook remaja pengidap cinta monyet.

Sebelum berangkat, oleh sang ayah (Roy Marten), Reza dibawakan sebuah kujang sebagai alat pelindung. Berkebalikan dengan ayahnya, Reza bersikap skeptis terhadap hal gaib. Ditambah peristiwa tragis masa kecilnya, ketidakpercayaan Reza berkembang jadi kebencian. Bahkan ketika dua teman kantornya, Indra (Winky Wiryawan) dan Minto (Indra Brasco) menceritakan fakta horor terkait mess yang ketiganya tempati, Reza menolak percaya. Bukan saja enggan percaya, Reza cenderung meremehkan, menendang sesajen, lalu menantang para “penghuni mess”.

Jeritan Malam memang didesain supaya penonton berharap si protagonis tertimpa hukuman atas kesombongannya. Alhasil, bila mengandalkan Reza semata, alurnya takkan menyenangkan diikuti. Karena itulah filmnya mengambil bentuk crowd pleasure, di mana serupa Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, humor turut diterapkan lewat kekonyolan dua teman Reza, khususnya Minto, dalam menghadapi kengerian di mess. Jelas bukan komedi cerdas, namun memadai sebagai penambah daya hibur.

Begitu teror dimulai, gerak alur Jeritan Malam sebenarnya sempat repetitif, kala berkali-kali kita disajikan adegan Reza terbangun di tengah malam, minum, sebelum akhirnya diganggu sosok tak kasat mata. Beruntung pengulangan itu tak berlangsung seterusnya, sebab semakin kisahnya bergulir, varian peristiwanya cukup kaya, dari “perjalanan sukma” Reza hingga ritual misterius yang jadi penyebab rentetan tragedi pada babak ketiga.

Jump scare tidak dikesploitasi, biarpun efektivitas kemunculan hantunya tergolong inkonsisten. Misalnya, setelah penampakan sesosok nenek di atas pohon yang punya tata rias lumayan baik, intensitas langsung dirusak oleh serbuan pasukan tuyul dengan kualitas CGI menyedihkan. Tapi satu hal yang cukup menarik adalah bagaimana Rocky, dibantu sinematografi garapan Muhammad Firdaus (My Stupid Boss, Ikut Aku ke Neraka), di beberapa kesempatan, sukses membangun atmosfer bersenjatakan sudut pandang orang pertama. Saya pernah terlibat menggarap acara penelusuran mistis, dan menonton Jeritan Malam rasanya seperti dibawa kembali ke suasana itu, kala menyusuri lokasi-lokasi gelap nan menyesakkan, yang memancing kecemasan karena dari balik kegelapan itu, seolah ada figur menyeramkan tengah mengintai.

Seperti telah disebut sebelumnya, horor satu ini ingin betul terlihat (lebih) mahal, dan itu nampak dari penataan set dan properti, color grading khas Soraya yang memakai kontras rendah, juga musik garapan Andhika Triyadi (Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, Dua Garis Biru) yang mengandalkan suara biola menyayat ala horor/thriller klasik. Di antara semua itu, justru akting Herjunot Ali yang nampak paling murah, sebab lagi-lagi ia masih bermasalah dalam mengekspresikan emosi melalui mimik wajah “besar” yang selalu berlawanan dengan definisi “natural”.

Kecintaan Rocky terhadap gore, yang secara mengejutkan kuantitasnya tidak seberapa, menguatkan kesan tragis dari salah satu kematian karakternya. Andai filmnya ditutup tak lama setelah itu. Sayangnya tidak. Jeritan Malam justru menambahkan epilog dramatik cenderung menggurui yang merusak bangunan intensitasnya. Sesungguhnya epilog ini bisa menambah kengerian (menegaskan bahwa iblis yang karakternya hadapi teramat licik dan kejam) sekaligus memantapkan status filmnya sebagai tragedi (sejalan dengan image dramatis Soraya yang saya singgung), jika narasi terkait sebuah ritualnya dikemas lebih rapi dan jelas.

ANTOLOGI RASA (2019)

“Selamat datang di kehidupan cinta gue yang berantakan”, sapa Keara (Carissa Perusset) pada penonton. Dan memang pernyataan itu paling pas, sebab Antologi Rasa sungguh menghadirkan kisah cinta segiempat luar biasa rumit nan berantakan. Begitu berantakan, pesan yang filmnya hendak sampaikan soal hubungan pun bak hilang ditelan keruwetannya. Atau memang tiada pesan apa pun? Ketika pikiran para karakter semakin jernih jelang kisah berakhir, tidak demikian halnya penonton.

Tapi jika anda memandang Antologi Rasa hanya sebagai satu lagi film tentang betapa resahnya mencintai seseorang yang tak dapat dimiliki, adaptasi novel berjudul sama karya Ika Natassa ini sesungguhnya bekerja cukup baik. Saya bisa memahami mayoritas rasa sakit karakternya, bahkan nyaris menitikkan air mata tatkala konflik lagi-lagi dibawa menuju resolusi di bandara, yang mana telah dipakai menutup ribuan drama romantika.

Keara, Harris (Herjunot Ali), Ruly (Refal Hady), dan Denise (Atikah Suhaime) adalah sahabat yang mencari nafkah di satu kantor, bahkan sama-sama datang terlambat di hari pertama bekerja. Ada persamaan lain di antara mereka, di mana masing-masing saling memendam cinta. Harris mencintai Keara yang mencintai Ruly yang mencintai Denise yang sudah menikah. Rumit memang. Antologi Rasa seperti antologi hal-hal menyakitkan yang terjadi saat cinta bertepuk sebelah tangan.

Begitu banyak hal menyakitkan muncul membuat paling tidak ada satu-dua peristiwa yang pernah penonton alami, sehingga merasa terikat terhadapnya. Cukup ambil contoh perasaan Harris. Dia terjebak di friendzone, terlanjur jadi tempat Keara mencurahkan isi hati soal pria lain yang ia cintai. Fisik sang gadis amat dekat, namun tidak hatinya, yang digambarkan oleh suatu malam di Singapura, kala Keara berbaring di perut Harris, sementara si pria hidung belang mengaku sudah menemukan wanita yang sempurna baginya. Tentu Keara tak tahu bahwa wanita itu adalah dirinya.

Paruh pertama, yang menjabarkan perjalanan Keara dan Harris ke Singapura untuk menyaksikan balapan F1 (Ruly membatalkan keikutsertaannya demi menemani Denise), merupakan bagian paling bernyawa berkat keberhasilan Junot sejenak mengesampingkan persona “cowok cool” yang lekat padanya (AKHIRNYA!). Kepribadian unik dan cerianya membawa energi serta getaran menyenangkan, bukan hanya dalam hidup Keara, juga bagi pengalaman menonton kita. Walau sewaktu dipaksa melakoni adegan serius, kecanggungan kaku khasnya kembali lagi.

Carissa, dalam penampilan layar lebar perdana, menunjukkan kualitas yang hanya bisa dideskripsikan melalui kalimat Ruly untuk Keara berikut: “Efek lo ke cowok itu luar biasa”. Bukan cuma soal paras cantik. Ada aura menghipnotis yang memancing ketertarikan. Sesuatu yang mustahil dilatih, dan kelak bakal menjadikannya bintang besar selama jeli memilih peran. Di situasi dramatik, konsistensi Carissa perlu diperbaiki, tapi caranya menghantarkan kalimat emosional di “adegan bandara” cukup membuktikan potensinya. Sebuah kalimat yang lama saya nantikan keluar dari mulut karakter saat menghadapi perpisahan. Kalimat kuat yang bertindak selaku ungkapan perasaan jujur, sehingga saya memaafkan bagaimana Antologi Rasa tenggelam dalam kerumitannya sendiri.

Fase berikutnya, yang menampilkan perjalanan bisnis Keara bersama Ruly ke Bali, sayangnya tak seberapa menarik. Refal membuktikan kapasitasnya memerankan pria baik kharismatik, tapi fakta bahwa Ruly adalah pria kalem yang kurang jago menyegarkan suasana lewat lelucon seperti Harris, menjadkan interaksinya dengan Keara seringkali hampa. Terlalu banyak kekosongan di paruh kedua Antologi Rasa.

Film ini disutradarai Rizal Mantovani (Kuldesak, 5 cm, Eiffel...I’m In Love 2), yang saya percaya, senantiasa memiliki visi ciamik perihal merangkai gambar cantik meski pengadeganannya kekurangan sensitivitas (itu sebabnya kebanyakan horor Rizal berakhir buruk). Rizal tak kuasa mengangkat bobot emosi adegan, tapi lebih dari mampu untuk membuatnya nampak elegan sekaligus mewah. Dibantu sinematografi garapan Muhammad Firdaus (Sang Kiai, My Stupid Boss, Target), semua selalu terlihat cantik, baik pemandangan (Singapura, Bali, bahkan nuansa malam Jakarta) maupun tokoh-tokohnya. Walau akan lebih baik andai Rizal tak terlalu bergantung pada jajaran pemain atau benih-benih yang ditanam naskah buatan Donny Dhirgantoro (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh) dan Ferry Lesmana (Danur, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur).