REMBULAN TENGGELAM DI WAJAHMU (2019)
Rasyidharry
Desember 13, 2019
Anya Geraldine
,
Ari Irham
,
Arifin Putra
,
Ariyo Wahab
,
Bio One
,
Cornelio Sunny
,
Danial Rifki
,
Donny Alamsyah
,
Drama
,
Egy Fedli
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
REVIEW
,
Ricky Lionardi
,
Teuku Ryzki
,
Titien Wattimena
6 komentar
Rembulan Tenggelam di Wajahmu, selaku adaptasi novel berjudul sama
karya Tere Liye, adalah film yang terluka akibat kurang berhasilnya (tidak
pantas disebut gagal) naskah dalam merangkum cerita dengan cakupan bentuk dan
waktu yang luas. Sepanjang 90 menit durasi, berkali-kali penonton disuguhi
konflik-konflik dengan potensi tinggi melahirkan perenungan-perenungan sarat
makna tentang hidup, yang pengolahannya kurang matang, sebelum ditutup oleh cliffhanger dadakan, yang memberitahu
bila proses yang kita lalui berakhir separuh jalan, alias ada Rembulan Tenggelam di Wajahmu Part 2.
Saya bukan termasuk kaum penentang
metode tersebut. Potensi finansialnya memang menggiurkan, pun bisa dipakai
mengakali kisah yang dirasa terlalu panjang untuk dijadikan satu film,
sementara memangkasnya berisiko melemahkan kualitas. Masalahnya, Rembulan Tenggelam di Wajahmu tidak
memanfaatkan itu, dengan tetap terkesan memencet tombol fast forward. Ini kisah tentang Ray (Arifin Putra) yang terbaring
sekarat di rumah sakit, kemudian dikunjungi sosok misterius, atau dipanggil “pria
berwajah teduh” (Cornelio Sunny), yang mengajaknya mengunjungi babak-babak
penting di masa lalunya, dengan tujuan menjawab lima pertanyaan Ray terkait
kehidupan.
Sinopsis resminya mendeskripsikan
Ray sebagai pria berusia 60 tahun. Walau mengenakan riasan guna menambah kerut
wajah serta uban, Arifin, dengan postur tegapnya, masih tampak jauh lebih muda.
Setidaknya pemilihan Bio One sebagai Ray muda patut dipuji. Mereka punya kemiripan,
dan Bio tidak mengecewakan sebagai remaja bermasalah. Ya, sebelum Ray menjadi
pemilik perusahaan sukses, masa mudanya tidak berlangsung mulus. Dia dikenal
sebagai biang onar dan mesti berpindah dari satu rumah ke rumah lain, bahkan
terlibat kriminalitas.
Dari lima pertanyaan Ray, film ini menelusuri
dua di antaranya, yang berarti, kita diajak mengunjungi dua babak dalam hidup
sang protagonist. Pertama di panti asuhan tempat ia kerap jadi korban kekerasan
oleh bapak pengurus panti (Egi Fedly), kedua di rumah penampungan bernama “Rumah
Kita” yang dikelola Bang Ape (Ariyo Wahab), di mana Ray menjalin persahabatan
dengan anak-anak lain.
Kedua pertanyaan Ray bersifat
filosofis, menyentuh perenungan mengenai eksistensi manusia, yang berarti,
tidak bisa dijawab ala kadarnya. Sayangnya, demikianlah naskah buatan Titien
Wattimena (Minggu Pagi di Victoria Park,
Aruna & Lidahnya, Ambu) bergulir. “Rumah Kita” misalnya, yang disebut
jadi tempat Ray belajar banyak hal tak ternilai, namun kesan “tak ternilai” itu
urung terasa akibat paparan yang sebatas menyentuh permukaan. Persahabatan dengan
Natan (Teuku Rizky) si remaja bersuara emas dan Ilham (Ari Irham) si pelukis
yang konon begitu kuat hingga mendorong Ray melakukan tindakan nekat, tidak
pernah meyakinkan. Film ini juga urung lepas dari sederet hal yang membuat kita
mengernyitkan dahi (Mana mungkin polisi tak mendengar suara tembakan? Dan
sebagainya).
Padahal alurnya, dengan beberapa
kejutan yang meski dipenuhi kebetulan masih bisa diterima mengingat kisahnya
sendiri membahas misteri takdir, mampu membangun rasa penasaran terhadap apa
yang terjadi berikutnya, termasuk jawaban apa yang akan diperlihatkan si Pria
berwajah teduh pada Ray. Bahkan, walau keseluruhan filmnya agak mengecewakan,
saya tetap tertarik menantikan babak berikutnya yang menyoroti romansa Ray (Arifin
Putra dengan berewok aneh) dan Fitri (Anya Geraldine).
Selain naskah kurang mendalam, pengadeganan
Danial Rifki (Haji Backpacker, 99 Nama
Cinta) turut berkontribusi terhadap lemahnya dampak emosi yang dimunculkan,
tatkala sang sutradara masih belum mumpuni menerjemahkan momen-momen saat Ray
menyadari nilai-nilai hidup jadi suatu peristiwa menggetarkan. Pun penggarapan
adegan aksinya kerap canggung, meski dalam hal ini, penempatan dan pergerakan
kamera tak dinamis dari sinematografer Gunung Nusa Pelita (Bukan Cinta Biasa, Preman Pensiun) ikut bertanggung jawab. Padahal
Bio One, dan tentunya Donny Alamsyah sebagai Bang Plee yang sempat menampung
Ray, memiliki kapasitas menghidupkan baku hantam.
Membahas gagasan-gagasan “tinggi”,
wajar ketika Rembulan Tenggelam di
Wajahmu ingin tampil megah. Tata artistik tidak murahan, walau beberapa CGI
tampak kasar, ditambah musik orkestra gubahan Ricky Lionardi (trilogi Danur) cukup berhasil memenuhi target
tersebut. Semestinya Rembulan Tenggelam
di Wajahmu bisa lebih dari itu dan menyentuh kemegahan dalam wujud lain,
yaitu “rasa”.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:Kok review knive's out ilang ya bang? Atau gue yang ngga nemu?
Novel nya sendiri 400 halaman bang,,, seharus nya di jadikan satu film saja meski durasi yg panjang biar gak kehilangan inti ceritanya. novel nya saya suka sekali tapi melihat filmnya di garap oleh sutradara yg jejak filmnya blm ada yg bagus membuat saya ragu,,,,
Dan film ni kalau di tangani dgn baik bakal bagus sekali,, membuat perendungan dan hati teriris karena ada plot twist nya juga.
Film yg potensinya sangat bagus, mana ada film yg bakal mempunyai 5 plot twist
Ada kok, tapi emang udah lama
Filmografi Danial Rifki nggak jelek kok. 99 Nama Cinta oke, Haji Backpacker & Melbourne Rewind juga nggak jelek. Cuma di semua filmnya,selaku ketolong skrip, tapi directing lemah
Posting Komentar