Tampilkan postingan dengan label Robert Downey Jr.. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Robert Downey Jr.. Tampilkan semua postingan
DOLITTLE (2020)
Rasyidharry
Mengambil hati penonton anak lewat
para binatang yang bisa bicara sembari menggoda penonton dewasa melalui
keberadaan Robert Downey Jr.,—yang untuk pertama kalinya sejak The Judge (2014) melakoni peran selain
Tony Stark—pada akhirnya Dolittle memang
tidak kurang dan tidak lebih dari itu. Sebuah petualangan ringan, muda
dinikmati oleh semua kalangan, biarpun mudah dilupakan pula.
Mengadaptasi petualangan Doctor
Dolittle dari seri buku anak-anak karya Hugh Lofting terutama dari buku
keduanya, The Voyages of Doctor Dolittle
(awalnya juga dipakai sebagai judul film ini sebelum dilakukan penyederhanaan),
kisahnya dibuka melalui intro berbentuk animasi soal bagaimana Dr. John
Dolittle (Robert Downey Jr.) memukau seluruh negeri berkat kemampuannya
berbicara dengan binatang. Berkat jasanya, Ratu Victoria (Jessie Buckley)
bahkan menghadiahkan lahan besar untuk ditinggali Dolittle bersama binatang-binatang
yang olehnya dan sang istri, Lily Dolittle (Kasia Smutniak), selamatkan dari
seluruh penjuru dunia.
Malang, Lily tewas di tengah laut
dalam sebuah penjelajahan. Dolittle pun berubah 180 derajat, mengurung diri,
menutup akses dunia luar…..sampai kemunculan Tommy Stubbins (Harry Collett). Datang
guna meminta bantuan menyelamatkan nyawa seekor tupai, Stubbins malah berujung
tertarik menjadi penerus Dolittle, bahkan terlibat petualangan mengarungi
samudera dalam rangka mencari buah dari pohon legenda untuk menyembuhkan
penyakit misterius Ratu Victoria.
Kalau anda sebatas mengenal sosok
karakter titularnya berdasarkan versi 1998 yang dibintangi Eddie Murphy
(inilah alasan banyak orang mempermasalahkan mengapa Doctor Dolittle diubah jadi
pria kulit putih tanpa memahami latar belakangnya), mungkin ada sedikit
kekagetan mendapati bagaimana film ini menuturkan petualangan bersakal besar.
Padahal versi 1967-nya mengambil pendekatan serupa (dikemas memakai sampul musikal).
Naskahnya, yang ditulis oleh duet
Doug Mand-Dan Gregor (Most Likely to
Murder) bersama sutradara Stephen Gaghan (Syriana, Gold), menawarkan metode cerdik terkait penggambaran
transisi komunikasi Dolittle dengan para binatang. Kadang kita mendengar mereka
berbicara menggunakan bahasa binatang, terkadang bahasa manusia. Penyutradaraan
Gaghan pun mulus menangani transisi tersebut, yang sesekali dipakai
menghadirkan efek komedik. Jajaran pengisi suaranya juga berjasa memberi nyawa,
khususnya Emma Thompson sebagai Polynesia si burung macaw bijak selaku
penasihat Dolittle dan Rami Malek yang memerankan gorila penakut bernama
Chee-Chee.
Berkat mereka, ditambah CGI
berkualitas memadai, kecanggungan interaksi antara manusia dengan karakter CGI
mampu ditiadakan. Apalagi sang manusia dibawakan oleh Robert Downey Jr., yang
berkat pengalamannya menjadi maskot MCU, tak lagi asing dengan tuntutan semacam
itu. Saya sempat khawatir RDJ bakal bernasib seperti Johnny Depp yang terjebak
dalam keeksentrikan monoton selepas memainkan karakter ikonik. Tapi saya
akhirnya sadar, ada satu perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan yang
membuat RDJ unggul sekaligus menjamin keawetan karirnya di luar skena film
pahlawan super.
RDJ tidak pernah lalai urusan rasa.
Karakter-karakter peranannya selalu dihantui duka atau kegamangan. Tidak
terkecuali di sini, dan mata sang aktor kuat memancarkan rasa tersebut. Dari
situlah sumber emosi utama Dolittle, tatkala
kisah soal kematian Lily hanya berakhir sebatas hiasan semata, sedangkan baik
departemen naskah maupun penyutradaraan gagal melahirkan momen penutup selaku payoff yang layak kepada romansa bittersweet karakter utamanya. Bahkan
aksen Wales aneh RDJ tak sanggup menghalangi kita bersimpati ke protagonisnya.
Sementara penjelajahan Dolittle dan
kawan-kawan, yang diharapkan sarat keajaiban, hanyalah petualangan medioker
penuh pilihan-pilihan obligatif selaku pemenuhan formula. Anda bisa dengan
mudah menebak kebenaran di balik penyakit Ratu Victoria, pula bakal dibawa ke
mana sosok Dr. Blair Mudfly (Michael Sheen), yang sejatinya bisa dimaafkan,
mengingat keklisean tersebut ditujukan bagi penonton anak. Bahkan ketimbang
aksi mendebarkan, klimaksnya diselesaikan dengan sebuah operasi terhadap
sesosok makhluk mitologi.
Teruntuk para bocah, apa yang Dolittle sajikan sudah cukup, biarpun
orang dewasa bakal kebosanan menyaksikan repetisi alur yang seolah enggan
beranjak dari pola “Dolittle dan teman-temannya tertangkap di tangan antagonis à berhasil kabur à ulangi”. Dan melihat gelaran
aksinya, dengan kuantitas yang juga tidak seberapa, saya bisa memahami
keputusan Universal Pictures meminta supervisi Jonathan Liebesman (Wrath of the Titans, Teenage Mutant Ninja
Turtles) dan Chris McKay (The Lego
Batman Movie) dalam proses reshoots. Gaghan,
yang sebelumnya lebih banyak menggarap drama serius pengincar kejayaan di musim
penghargaan, jelas punya banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kemampuannya
menangani hiburan seru berbasis CGI. Tapi untuk sekarang, Dolittle tidaklah buruk bila dipandang semata sebagai hiburan para bocah.
Januari 16, 2020
Adventure
,
Cukup
,
Dan Gregor
,
Doug Mand
,
Emma Thompson
,
Fantasy
,
Harry Collett
,
Jessie Buckley
,
Kasia Smutniak
,
Michael Sheen
,
Rami Malek
,
REVIEW
,
Robert Downey Jr.
,
Stephen Gaghan
SPIDER-MAN: FAR FROM HOME (2019)
Rasyidharry
Di Far From Home, Spider-Man (Tom Holland) terbebani untuk membuktikan
kepantasannya menyandang status keanggotaan Avengers sekaligus penerus Tony
Stark (Robert Downey Jr.). Tapi ini juga film soal fase remaja Peter Parker,
khususnya perihal kehidupan cintanya. Dua hal di atas terdengar berlawanan.
Poin pertama berskala besar juga menuntut tanggung jawab lebih tinggi,
sedangkan yang kedua lebih ringan. Hebatnya, Far From Home sanggup mencampurkannya secara seimbang.
Delapan bulan pasca peristiwa di Avengers: Endgame, dunia masih belum
sepenuhnya beranjak dari duka akibat kehilangan beberapa pahlawan, temasuk Tony
Stark. Bahkan adegan pembukanya lagsung menawarkan penghormatan, yang meski
menggelitik, nyatanya tetap menyentuh. Peter sendiri merasa selalu melihat
wajah Tony ke mana saja ia pergi. Merasa perlu rehat, Peter mengesampingkan
sejenak kehidupan sebagai pahlawan super selama mengikuti karyawisata ke Eropa,
memilih fokus mengejar pujaan hatinya, MJ (Zendaya).
Tentu saja masalah terus mengikuti,
kali dalam bentuk monster-monster Elemental yang menebar kehancuran di berbagai
belahan dunia. Tapi Elemental bukan satu-satunya figur misterius yang muncul.
Berusaha melawan mereka adalah Quentin Beck alis Mysterio (Jake Gyllenhaal),
pahlawan super yang mengaku berasal dari semesta lain. Mysterio datang ke
semesta ini (seperti komiknya, disebut Earth-616), bersatu dengan Nick Fury
(Samuel L. Jackson guna membinasakan para Elemental.
Gyllenhaal menangani perannya
secara menghibur, sesekali menampilkan kesan “larger than life” tanpa perlu berlagak berlebihan. Dan kita berkesempatan
menyaksikan sisi lembut nan hangat milik Jake, khususnya kala Mysterio mengambil
alih peran selaku guru sekaligus mentor bagi Peter.
Tapi Mysterio seorang tak cukup, sehingga
Fury merekrut Peter, yang awalnya mengelak karena: (A) Dia belum merasa mampu
menangani masalah sebesar itu, ditambah keberadaan Mysterio yang
menurutnya lebih dapat diandalkan; (B) Rencana mengungkapkan cinta kepada MJ
juga terancam. Spider-Man: Far From Home adalah
film pahlawan super di mana sang jagoan bukan cuma meragukan diri, pula kukuh
menolak panggilan menyelamatkan dunia karena ia ingin mendapatkan hati seorang
gadis.
Apabila terdengar kurang heroik,
wajar saja, sebab itulah yang remaja akan lakukan. Naskah buatan duet Erik
Sommers dan Chris McKenna (Ant-Man and
the Wasp, Jumanji: Welcome to the Jungle, The Lego Batman Movie) bertindak
selaku pondasi yang solid, tapi keberhasilan Zendaya dan Tom Holland menghidupkan
kecanggungan manis di antara Peter dan MJ adalah alasan terbesar yang
menjadikan romansanya bekerja dengan baik.
Terdapat twist sebagai titik balik arah penceritaan. Keberadaannya tak
mengejutkan jika anda mengenal lore Spider-Man,
tapi tugas utamanya adalah membuka jalan untuk kejutan-kejutan lain. Bahkan dua
credits scene-nya menyimpan daya
kejut tinggi. Urusan menghibur, Far From
Home memang peningkatan pesat dibanding Homecoming.
Humornya masih cukup jenaka, sedangkan adegan aksinya (salah satu kelemahan Homecoming) tampil bertenaga, kreatif,
dibarengi ragam variasi musik buatan Michael Giacchino (Up, Jurassic World, Spider-Man: Homecoming).
Salah satu sekuen aksinya menandingi
suasana trippy milik Ant-Man dan Doctor Strange, yang membuktikan sempurnanya pemilihan antagonis
film ini. Dia mempunyai kemampuan mengerikan (anggota Avengers siapa pun bakal
kewalahan), pun memfasilitasi sang sutradara, Jon Watts (Cop Car, Spider-Man: Homecoming), membangun pertunjukan penuh
kekayaan visual sekaligus jadi musuh yang cocok untuk Spidey hadapi di fase
kehidupannya saat ini.
Seperti tertulis di paragraf
pembuka, Far From Home menghadapi
sukarnya menyeimbangkan dua sisi heroisme Peter Parker. Dituntut membuktikan kepantasan
disebut “The Next Tony Stark”, Spider-Man
harus melawan sesuatu yang benar-enar mengancam. Tapi di sisi koin lain, Peter
masih remaja. Mustahil filmnya menempatkan si manusia laba-laba di pertarungan
menghentikan invasi alien seorang diri. Dan kekuatan yang dimiliki sang
antagonis memiliki kapasitas merangkum kedua sisi.
Bicara mengenai Peter sebagai
penerus Tony, Far From Home menjalankan
tugasnya mengoper tongkat estafet sambil mempersembahkan penghormatan bagi si “genius, billionaire, playboy, philanthropist”.
Jangan khawatir, sebab film ini tetap milik Peter Parker, dan berkat Tom Holland,
elemen di atas terasa lengkap. Baik Tony maupun Peter menghadapi pergulatan
serupa, yakni ketakutan akan ketidakmampuan melindungi sosok-sosok tercinta. Setiap
pergulatan itu menghampiri, kita bisa merasakannya dari mata Holland, bahwa Peter
sungguh memedulikan orang-orang di sekitarnya.
Bahkan di salah satu adegan—yang jadi
momen estafet plus penghormatan paling cerdik juga emosional sepanjang film—Holland
menampilkan gestur menyerupai sang mentor. Sang aktor melakukan itu tanpa merendahkan
aktingnya ke arah impersonasi murahan. Dia masih Peter Parker. Peter Parker
yang amat terinspirasi oleh Tony Stark. Demikian pula Spider-Man: Far From Home. Film ini membuat ketiadaan Iron Man 4 tak perlu disesali, sembari
tetap menjadi film Spider-Man yang mumpuni.
Juli 03, 2019
Action
,
Bagus
,
Chris McKenna
,
Erik Sommers
,
Jake Gyllenhaal
,
Jon Watts
,
Michael Giacchino
,
REVIEW
,
Robert Downey Jr.
,
Samuel L. Jackson
,
Science-Fiction
,
Tom Holland
,
Zendaya
AVENGERS: ENDGAME (2019)
Rasyidharry
(JANGAN MEMBUKA KOLOM KOMENTAR KALAU BELUM MENONTON.
IT'S A WILD JUNGLE FULL OF SPOILERS THERE!)
Merasa Infinity War merupakan keberhasilan mengeksekusi kemustahilan?
Tunggu sampai anda menyaksikan sekuelnya. Marvel
Cinematic Universe (MCU) adalah soal kesabaran dalam perencanaan. Total 21
film selama hampir 11 tahun dihabiskan demi membangun kisah, yang dibayar lunas
lewat kulminasi epik bernama Avengers:
Endgame. Hampir seluruh guratan emosi maupun pertarungan masif miliknya,
berpijak pada pondasi yang disusun sekian lama. Begitu film usai (kali ini
tanpa post-credits scene) wajar saat
penonton bertepuk tangan melihat jajaran kredit, khususnya enam anggota “asli”
Avengers.IT'S A WILD JUNGLE FULL OF SPOILERS THERE!)
Karena seperti telah dikonfirmasi,
salah satu tujuan Endgame adalah memberi
penghormatan bagi perjalanan yang telah dilalui Tony Stark (Robert Downey Jr.),
Steve Rogers (Chris Evans), Thor (Chris Hemsworth), Bruce Banner (Mark
Ruffalo), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), dan Clint Barton (Jeremy
Renner). Saya takkan membocorkan sedikit pun poin plot, kecuali bahwa bersama
nama-nama lain yang tidak menjadi debu, mereka berusaha memulihkan akibat
perbuatan Thanos (Josh Brolin).
Melanjutkan atmosfer konklusi Infinity War, film ini dibuka dengan
melankoli. Bahkan dibanding judul keluaran Marvel Studios lain, selama 181
menit durasinya, Endgame punya proporsi
drama terbesar, tatkala duo penulis naskah, Christopher Markus dan Stephen
McFeely (The Winter Soldier, Civil War,
Infinity War), memilih banyak menggulirkan studi karakter, khususnya proses
coping jagoan-jagoan kita pasca
tragedi jentikkan jari Thanos. Beberapa menolak menyerah, beberapa tenggelam
dalam amarah, ada pula yang coba meneruskan langkah.
Hal di atas bukan sebatas
pernak-pernik. Di sinilah penanaman benih selama satu dekade menuai hasil. Kita
mengenal karakternya, terikat pada mereka, sehingga memahami keputusan serta
respon emosional yang muncul. Berkatnya, paparan dramatik Endgame pun menyentuh ranah detail, di mana tiap gestur, ekspresi,
juga baris kalimat pendek, menyimpan makna kaya rasa, yang seringkali merujuk
pada peristiwa film-film sebelumnya. Dan semuanya mustahil diraih tanpa kegemilangan
jajaran pemain.
Chris Evans, Scarlett Johansson, Jeremy
Renner, Mark Ruffalo, hingga Karen Gillan membuktikan diri telah melebur dengan
sosok peranan masing-masing, sementara kepiawaian memadukan talenta komedi dan dramatik
dipamerkan oleh Chris Hemsworth dan Paul Rudd (that “running scene” is really heartbreaking). Tapi bintang
utamanya tetap sang maskot: Robert Downey Jr. Melalui performa yang layak
diganjar nominasi Oscar, secara meyakinkan ia tunjukkan konflik batin seorang
pahlawan yang dihantui kegagalan dan kehilangan. Apabila Infinity War menggiring Tony menuju tantangan fisik dalam
pertarungan satu lawan satu menghadapi Thanos, maka Endgame memberinya ujian psikis terberat.
Ini memang cerita di mana status “pahlawan”
para jagoannya diuji, kala pengorbanan mesti dilakukan dan egoisme bukan
pilihan. Ketimbang melawan Thanos, Endgame
cenderung menonjolkan pertarungan Avengers melawan musuh lain: diri mereka
sendiri. Terdengar kelam, namun tak pernah depresif, mengingat jalinan humor
tetap dapat ditemukan, yang penempatannya memperhatikan presisi, sehingga
alih-alih mendistraksi, kita justru bakal dibuat tertawa sembari meneteskan air
mata atau terpaku dalam cengkeraman ketegangan. Menyenangkan pula menyaksikan
tokoh-tokoh yang baru bertemu seperti Nebula (Karen Gillan), Rhodey (Don
Cheadle) dan Scott Lang (Paul Rudd) saling bertukar interaksi kasual.
Di samping deretan drama humanis,
spektakel utama Endgame tetaplah soal
mencari jalan “membatalkan” perbuatan Thanos. Beragam teori membanjiri
internet. Beberapa jadi kenyataan, namun banyak kejutan masih tersimpan rapat.
Akan sulit mempersiapkan hati menyaksikan kecerdikan Markus dan McFeely menyulap
petualangan Avengers menjadi penghormatan bagi mereka, dengan membawa kita
mengunjungi kumpulan momen (plus sosok) familiar, sementara karakternya coba
berdamai dengan permasalahan silam yang belum usai.
Puncaknya adalah pertempuran epik
yang menebus perencanaan jangka panjang Marvel Studios. Semua shared universe, tidak peduli dalam
media apa pun, bermimpi mencapai titik ini. Russo Bersaudara mengangkangi
pencapaian di Infinity War lewat
kesuksesan memproduksi salah satu set
piece terbesar dan tergila penuh momen fan
service, yang berkat tangkapan kamera sang sinematografer langganan, Trent
Opaloch, banyak menampilkan heroic money
shot. Alhasil, tiap individu memperoleh kesempatan bersinar meski hanya sejenak,
termasuk jajaran jagoan wanita. Walau mengharapkan porsi lebih bagi Captain
Marvel (Brie Larson), saya bisa memaklumi mengingat Endgame mengutamakan pemberian spotlight
untuk keenam anggota asli Avengers.
Belum cukup mendengar pujian?
Tunggu sampai anda mendapati keberhasilan Endgame
memberi konklusi yang pantas terhadap seluruh konflik personal menahun yang
karakternya hadapi, sembari tak lupa menebar petunjuk terkait masa depan.
Mungkin anda tak menganggap Avengers:
Endgame sempurna, namun jika pulang tanpa merasakan kepuasan, mungkin film blockbuster memang bukan untuk anda.
April 24, 2019
Action
,
Brie Larson
,
Chris Evans
,
Chris Hemsworth
,
Don Cheadle
,
Fantasy
,
Jeremy Renner
,
Josh Brolin
,
Karen Gillan
,
Luar Biasa
,
Mark Ruffalo
,
Paul Rudd
,
REVIEW
,
Robert Downey Jr.
,
Russo Brothers
,
Scarlett Johansson
AVENGERS: INFINITY WAR (2018)
Rasyidharry
Avengers: Infinity War bukanlah film pahlawan super pertama yang mencoba menerjemahkan crossover event dari buku komik ke layar lebar. Marvel Studios
sendiri telah berulang kali melakukannya sejak The Avengers sampai Captain
America: Civil War. Tapi baru Infinity
War yang benar-benar memberi definisi sempurna, menontonnya menghadirkan
perasaan serupa membaca crossover event.
Fakta bahwa filmnya berjalan lancar merupakan buah kesabaran Kevin Feige dan
tim membangun puluhan karakter beserta universe
luas selama satu dekade lewat 19 film. Tanpanya, ditambah beberapa kekurangan
yang tak bisa dihindari, Infinity War
bakal berujung kekacauan besar yang mudah terlupakan. This is one of a kind.
Kalau familiar dengan komik superhero, tentu anda pernah menikmati crossover event seperti Infinity
Gauntlet, Civil War, Secret Wars, dan lain-lain. Sedikit penjabaran bagi
non-pembaca, sebuah even memiliki seri utama yang menuturkan konflik utama
pula. Sebagai pengiring, dirilis tie-ins yang mengetengahkan kisah sampingan maupun detail peristiwa yang menimpa
masing-masing tokoh. Bagi pembaca komik yang tak terlalu akut seperti saya, demi
menghemat waktu, rasanya pernah melewatkan
tie-ins dan langsung menyantap seri utama. Alhasil, garis besar cerita
tetap bisa dipahami, namun terasa betul ada detail yang terlewat, emosi yang
tak maksimal, atau kejadian yang sekelebat lalu. Inifnity War tampil demikian, sehingga bagi penonton yang asing
dengan pengalaman membaca seperti itu, mungkin bakal tersisa ketidakpuasan.
Tapi jangan khawatir. Russo Brothers (The Winter Soldier, Civil War) paham betul bagaimana menampilkan
momen-momen yang akan terus dikenang hingga tahun-tahun ke depan, dari
kemunculan karakter dan aksi keren yang mampu memancing gemuruh tepuk tangan
(ketika saya menonton sekitar 4-5 kali tepuk tangan penonton pecah) sampai perasaan
tersentak mendapati jagoan-jagoan kita ditempatkan pada bahaya yang belum pernah
mereka alami. Dibantu penataan kamera Trent Opaloch yang sudah berkolaborasi
bersama Russo Brothers sejak The Winter
Soldier, rentetan gambar ikonik pun diciptakan. Tapi sejak awal, tantangan
terbesarnya adalah menyatukan sekian banyak tokoh dengan sekian banyak cerita.
Dan duo penulis naskah Christopher Markus dan Stephen McFeely menyanggupi
tantangan itu.
Avengers dibagi beberapa kelompok. Tim Iron Man (Robert
Downey Jr.) menanti Thanos di Planet Titan, kampung halamannya, Captain America
(Chris Evans) bersatu dengan Black Panther (Chadwick Boseman) guna menghadapi
invasi keempat Black Orders yang menyebut diri sebagai anak-anak Thanos, Thor
(Chris Hemsworth) bersama Rocket (Bradley Cooper) dan Groot (Vin Diesel) berusaha
menciptakan senjata untuk melawan si Titan Gila, sedangkan Star-Lord (Chris
Pratt) memimpin Guardians melakukan serbuan dadakn. Markus dan McFeely
melakukan apa yang mereka bisa, menyatukan segala sub-plot serapi mungkin
dibantu penyuntingan Jeffrey Ford dan Matthew Schmidt yang menghasilkan
transisi mulus. Saya bersyukur kedua penulis naskah tetap memasukkan komedi
yang masih efektif memancing tawa, meski penulisan humor mereka belum setajam
Gunn atau Waititi. Sebab dengan tokoh-tokoh seperti Guardians of the Galaxy dan
Iron Man, sepenuhnya melucuti komedi adalah bentuk menyia-nyiakan potensi. Sebagaimana
aliran alur, perpindahan tone pun
berlangsung mulus. Sesuatu yang awalnya bak kemustahilan, seperti halnya
kesuksesan Russo Brothers mempertahankan ciri masing-masing franchise, misalnya Guardians dengan musik dan
celotehannya.
Satu hal pasti, Thanos (Josh Brolin) menjadi sentral
segalanya. Enam tahun pasca kemunculan perdananya, Thanos mulai bergerak
mengumpulkan Infinity Stones. Power Stone di Xandar, Space Stone yang diam-diam dibawa Loki
(Tom Hiddleston), Time Stone di bawah
perlindungan Doctor Strange (Benedict Cumberbatch), Reality Stone di koleksi The Collector (Benicio del Toro), Mind Stone yang menghidupkan Vision (Paul
Bettany), dan Soul Stone yang
keberadaannya masih jadi misteri. Berbagai teori mengenai letak batu terakhir
bertebaran di internet, dan semuanya meleset. Bahkan setelah merilis dua trailer plus setumpuk klip promosi, Infinity War masih sanggup menyimpan kejutan,
baik soal alur, bagaimana sebuah adegan aksi dieksekusi, dan tentunya kematian
(dan kembalinya) karakter.
Bukan spoiler bila
saya menyebut ada karakter yang meregang nyawa. Tanpa itu, sulit menegaskan status
Thanos sebagai musuh besar yang kehadirannya sudah dibangun bertahun-tahun. Tapi
bukan (cuma) itu alasan Thanos layak masuk jajaran villain terbaik MCU, melainkan keberhasilan menjadikan ia sosok
dengan kepribadian. Thanos tidak sepenuhnya jahat. Ambisinya bukan menguasai
atau menghancurkan dunia, namun menyeimbangkannya, atau kalau boleh disebut,
menyembuhkannya. Thanos bukan monster tanpa perasaan. Ada sensitivitas terselubung
yang mampu Josh Brolin salurkan lewat ekspresi. Begitu film berakhir,
kehilangan serta kehancuran yang Thanos rasakan sama besarnya dengan para superhero. Dia sosok sedih yang gila.
Kegilaan selaku produk kekacauan dunia dan bisa kita temukan di keseharian.
Bedanya, orang-orang di dunia nyata dengan pola pikir serupa takkan gamblang
mengutarakan pemikirannya, sebab mereka akan dianggap gila dan berbahaya.
Terlebih lagi, tidak ada infinity stones
dalam genggaman untuk merealisasikan niat itu.
Membicarakan enam infinity
stones akan terasa problematik. Muncul ambiguitas terkait seberapa jauh
kapasitas tiap-tiap batu. Untungnya, Russo Brothers memastikan setiap Thanos
memamerkan kekuatan batunya, sekuen yang dikemas apik ikut mengiringi. Karena soal
adegan aksi, tiada satu pun yang tersia-sia berkat koreografi menawan yang makin memikat saat Russo Brothers sering menampilkan para superhero bekerja sama sebagai tim, juga kesan
mengancam yang senantiasa menggelayuti. Bahkan The Outriders yang menyerbu
Wakanda di klimaks bukan pasukan alien lemah macam Chitauri. Walau sejenak, The
Outriders mampu menekan Avengers sampai ke titik batas mereka. Pun kualitas
CGI-nya sesuai dengan bujet $300-400 juta yang dikeluarkan. Banyak mengunjungi ragam lokasi luar angkasa, masing-masing planet—khususnya jika anda
menyaksikan film ini dalam format IMAX 3D—terlihat meyakinkan.
Bermodalkan lingkup besar yang mencakup berbagai sudut alam
semesta, konsekuensi yang dipertaruhkan, juga ending yang akan selalu lekat di ingatan, Infinity War memang terasa seperti pertempuran menuju akhir dunia,
kulminasi yang sesuai setelah perjalanan satu dekade, tepatnya separuh dari
itu. Ya, biar bagaimana, kesan film ini merupakan paruh pertama dari satu babak
epic tetap tertinggal. Apabila
merujuk gaya drama tiga babak, maka 19 film sebelumnya adalah first act, Infinity War bertindak sebagai second
act, sebelum akhirnya Avengers 4 (Avengers: Endgame sepertinya judul yang
pas), menjadi third act sekaligus penutup. Avengers:
Infinity War, dengan tetap memperhatikan kelemahan-kelemahannya, telah
mengubah peta perfilman superhero.
Film-film berikutnya, termasuk rilisan Marvel Studios, akan berada di bawah
bayang-bayang film ini.
Ulasan versi vlog bisa ditonton di sini:
April 26, 2018
Benedict Cumberbatch
,
Bradley Cooper
,
Chadwick Boseman
,
Chris Evans
,
Chris Hemsworth
,
Chris Pratt
,
Josh Brolin
,
REVIEW
,
Robert Downey Jr.
,
Russo Brothers
,
Sangat Bagus
,
Science-Fiction
,
Tom Hiddleston
,
Vin Diesel
SPIDER-MAN: HOMECOMING (2017)
Rasyidharry
Melahirkan inkarnasi layar lebar ketiga sang manusia laba-laba, Spider-Man: Homecoming mengemban satu tugas: menjadi berbeda. Jika versi Sam Raimi mengusung kisah kepahlawanan berasaskan petuah "with great power comes great responsibility", sementara The Amazing Spider-Man tentang percintaan remaja, maka Homecoming membawa penonton mundur lebih jauh kala Peter Parker (Tom Holland) masih pelajar 15 tahun dengan responsibility berupa mewakili sekolahnya dalam lomba decathlon dan hobi merangkai lego Death Star bersama sahabatnya, Ned (Jacob Batalon). Di sisi lain Bibi May (Marisa Tomei) adalah wanita paruh baya menawan idola para pria di Queens.
Sebagai pembeda lain yakni statusnya yang bukan origin movie. Asal kekuatan Peter dituturkan melalui percakapan singkat tanpa deskripsi detail. Civil War telah memberi informasi dasar yang kita perlu tahu, sehingga film pun dibuka oleh perkenalan bagi Adrian Toomes (Michael Keaton). Rasa dendam kepada Tony Stark (Robert Downey Jr.) mendorong pria pekerja biasa ini berubah menjadi penjahat super bernama Vulture. Bersama anak buahnya, ia mencuri beragam teknologi sisa pertempuran Avengers, memodifikasi, lalu menjualnya. Adegan pembuka ini meletakkan batu pijakan, menjelaskan bahwa dia bukan megalomania dengan hasrat menguasai dunia. Murni seseorang yang ingin menyambung hidup. Disokong akting lunatic Michael Keaton yang dapat mengintimidasi lewat seringai belaka, kita mendapat salah satu villain terbaik MCU yang dilengkapi penokohan dalam plus screen presence kuat.
Homecoming memang berusaha sekuat tenaga mengemas karakter beserta konfliknya serupa dunia nyata. Contoh lainnya Peter. Pasca menerima kostum canggih dari Tony, dia terjebak problema remaja yang berhasrat membuktikan diri pula mencuri hati gadis pujaannya, Liz (Laura Harrier). Baginya, mengejar penjahat adalah kegiatan menyenangkan, hingga aksinya justru kerap memancing kekacauan, mulai halaman rusak sampai mengancam nyawa ratusan orang di laut. Memperkenalkan Peter di tengah proses belajar menuju kematangan, membawa Homecoming menyentuh ranah dra-medi bernuansa coming-of-age.
Marvel dikenal akan kebolehan memadukan kisah superhero dengan genre lain, alhasil tak mengejutkan kala DNA film remaja ala John Hughes (The Breakfast Club, Ferris Bueller's Day Off) mengalir deras di sini. Bahkan suatu adegan merupakan homage bagi salah satu karyanya. Dan layaknya remaja, semua tentang bersenang-senang. Baik sewaktu menangkap pencuri sepeda atau meringkus perampok ATM, Spidey yang ramah nan gemar bicara selalu hadir, melahirkan versi layar lebar Spider-Man terbaik yang mewakili image "friendly neighborhood". Pun itu didukung performa Tom Holland. Sisi nerd Peter ditampilkan tepat melalui penuturan kecanggungan yang bisa diterima pula mudah dipercaya tak ubahnya orang kebanyakan. He's a likeable guy that looks ecstatic at almost everything and stuttered in a stressful situation. Bertatapan dengan si pujaan hati misalnya.
Naskah yang digarap oleh enam penulis turut memanfaatkan tiap sisi kehidupan remaja untuk menyuntikkan bobot dalam spectacle aksi di mana selalu ada motivasi atau latar mengarah ke sana. Ketika momen di Washington jadi usaha Peter berjuang demi pujaan hati, set-piece di atas kapal ferry menggambarkan puncak gejolak teen angst soal pergulatan pembuktian kapasitas. Barulah pada klimaks, pembuktian Peter menemui hasilnya. Di luar aspek remaja, naskahnya tidak ketinggalan menampilkan beberapa kejutan penambah keseruan, entah yang substansial membangun alur atau bumbu penyedap seputar keberlanjutan franchise dan tie-in terkait MCU secara lebih luas.
Sayang komedinya tak semulus itu. Berusaha menyesuaikan dengan nuansa film remaja, baris leluconnya urung punya "daya bunuh" maksimal. Keinginan memberi tekstur lain dibanding installment MCU biasanya membawa keenam penulis terjebak keklisean humor teen movie. Hilang keunikan humor Marvel, digantikan usaha melucu yang dipaksakan hadir sesering mungkin hingga mendistraksi narasi utama. Begitu film usai, bentuk lelucon macam kegagalan Spidey menemukan tempat mengaitkan jaring which is Marvel kind of comedy justru lebih memorable. Tapi Zendaya jadi penyelamat, bersenjatakan gaya deadpan membawakan celetukan-celetukan pedas menggelitik.
Fokus pada eksplorasi kehidupan remaja mau tidak mau mengurangi kuantitas aksi. Meski menyimpan motivasi, bicara tensi, deretan aksi Homecoming adalah yang terlemah sejak Thor: The Dark World (worst movie in MCU by far). Penyebabnya terkait visi Jon Watts yang terjangkit penyakit banyak mantan sutradara indie yang beralih menggarap blockbuster. Adegan aksinya adalah medioker minim kreativitas juga intensitas yang diperparah klimaks malas (juga kesalahan naskah) yang bergulir terlampau cepat. Sebagai kulminasi proses Peter, third act-nya tak menawarkan puncak heroisme yang semestinya merupakan resolusi. Walau kekurangan terkait action dan komedi menjauhkan Spider-Man: Homecoming dari kegembiraan luar biasa khas MCU, setidaknya tujuan menghidupkan lagi karakternya lewat versi berbeda telah terpenuhi.
Juli 06, 2017
Action
,
Jacob Batalon
,
Jon Watts
,
Laura Harrier
,
Lumayan
,
Marisa Tomei
,
Michael Keaton
,
REVIEW
,
Robert Downey Jr.
,
Tom Holland
,
Zendaya
Langganan:
Postingan
(
Atom
)