Tampilkan postingan dengan label Robert Downey Jr.. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Robert Downey Jr.. Tampilkan semua postingan

DOLITTLE (2020)

Mengambil hati penonton anak lewat para binatang yang bisa bicara sembari menggoda penonton dewasa melalui keberadaan Robert Downey Jr.,—yang untuk pertama kalinya sejak The Judge (2014) melakoni peran selain Tony Stark—pada akhirnya Dolittle memang tidak kurang dan tidak lebih dari itu. Sebuah petualangan ringan, muda dinikmati oleh semua kalangan, biarpun mudah dilupakan pula.

Mengadaptasi petualangan Doctor Dolittle dari seri buku anak-anak karya Hugh Lofting terutama dari buku keduanya, The Voyages of Doctor Dolittle (awalnya juga dipakai sebagai judul film ini sebelum dilakukan penyederhanaan), kisahnya dibuka melalui intro berbentuk animasi soal bagaimana Dr. John Dolittle (Robert Downey Jr.) memukau seluruh negeri berkat kemampuannya berbicara dengan binatang. Berkat jasanya, Ratu Victoria (Jessie Buckley) bahkan menghadiahkan lahan besar untuk ditinggali Dolittle bersama binatang-binatang yang olehnya dan sang istri, Lily Dolittle (Kasia Smutniak), selamatkan dari seluruh penjuru dunia.

Malang, Lily tewas di tengah laut dalam sebuah penjelajahan. Dolittle pun berubah 180 derajat, mengurung diri, menutup akses dunia luar…..sampai kemunculan Tommy Stubbins (Harry Collett). Datang guna meminta bantuan menyelamatkan nyawa seekor tupai, Stubbins malah berujung tertarik menjadi penerus Dolittle, bahkan terlibat petualangan mengarungi samudera dalam rangka mencari buah dari pohon legenda untuk menyembuhkan penyakit misterius Ratu Victoria.

Kalau anda sebatas mengenal sosok karakter titularnya berdasarkan versi 1998 yang dibintangi Eddie Murphy (inilah alasan banyak orang mempermasalahkan mengapa Doctor Dolittle diubah jadi pria kulit putih tanpa memahami latar belakangnya), mungkin ada sedikit kekagetan mendapati bagaimana film ini menuturkan petualangan bersakal besar. Padahal versi 1967-nya mengambil pendekatan serupa (dikemas memakai sampul musikal).

Naskahnya, yang ditulis oleh duet Doug Mand-Dan Gregor (Most Likely to Murder) bersama sutradara Stephen Gaghan (Syriana, Gold), menawarkan metode cerdik terkait penggambaran transisi komunikasi Dolittle dengan para binatang. Kadang kita mendengar mereka berbicara menggunakan bahasa binatang, terkadang bahasa manusia. Penyutradaraan Gaghan pun mulus menangani transisi tersebut, yang sesekali dipakai menghadirkan efek komedik. Jajaran pengisi suaranya juga berjasa memberi nyawa, khususnya Emma Thompson sebagai Polynesia si burung macaw bijak selaku penasihat Dolittle dan Rami Malek yang memerankan gorila penakut bernama Chee-Chee.

Berkat mereka, ditambah CGI berkualitas memadai, kecanggungan interaksi antara manusia dengan karakter CGI mampu ditiadakan. Apalagi sang manusia dibawakan oleh Robert Downey Jr., yang berkat pengalamannya menjadi maskot MCU, tak lagi asing dengan tuntutan semacam itu. Saya sempat khawatir RDJ bakal bernasib seperti Johnny Depp yang terjebak dalam keeksentrikan monoton selepas memainkan karakter ikonik. Tapi saya akhirnya sadar, ada satu perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan yang membuat RDJ unggul sekaligus menjamin keawetan karirnya di luar skena film pahlawan super.

RDJ tidak pernah lalai urusan rasa. Karakter-karakter peranannya selalu dihantui duka atau kegamangan. Tidak terkecuali di sini, dan mata sang aktor kuat memancarkan rasa tersebut. Dari situlah sumber emosi utama Dolittle, tatkala kisah soal kematian Lily hanya berakhir sebatas hiasan semata, sedangkan baik departemen naskah maupun penyutradaraan gagal melahirkan momen penutup selaku payoff yang layak kepada romansa bittersweet karakter utamanya. Bahkan aksen Wales aneh RDJ tak sanggup menghalangi kita bersimpati ke protagonisnya.

Sementara penjelajahan Dolittle dan kawan-kawan, yang diharapkan sarat keajaiban, hanyalah petualangan medioker penuh pilihan-pilihan obligatif selaku pemenuhan formula. Anda bisa dengan mudah menebak kebenaran di balik penyakit Ratu Victoria, pula bakal dibawa ke mana sosok Dr. Blair Mudfly (Michael Sheen), yang sejatinya bisa dimaafkan, mengingat keklisean tersebut ditujukan bagi penonton anak. Bahkan ketimbang aksi mendebarkan, klimaksnya diselesaikan dengan sebuah operasi terhadap sesosok makhluk mitologi.

Teruntuk para bocah, apa yang Dolittle sajikan sudah cukup, biarpun orang dewasa bakal kebosanan menyaksikan repetisi alur yang seolah enggan beranjak dari pola “Dolittle dan teman-temannya tertangkap di tangan antagonis à berhasil kabur à ulangi”. Dan melihat gelaran aksinya, dengan kuantitas yang juga tidak seberapa, saya bisa memahami keputusan Universal Pictures meminta supervisi Jonathan Liebesman (Wrath of the Titans, Teenage Mutant Ninja Turtles) dan Chris McKay (The Lego Batman Movie) dalam proses reshoots. Gaghan, yang sebelumnya lebih banyak menggarap drama serius pengincar kejayaan di musim penghargaan, jelas punya banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kemampuannya menangani hiburan seru berbasis CGI. Tapi untuk sekarang, Dolittle tidaklah buruk bila dipandang semata sebagai hiburan para bocah.

SPIDER-MAN: FAR FROM HOME (2019)

Di Far From Home, Spider-Man (Tom Holland) terbebani untuk membuktikan kepantasannya menyandang status keanggotaan Avengers sekaligus penerus Tony Stark (Robert Downey Jr.). Tapi ini juga film soal fase remaja Peter Parker, khususnya perihal kehidupan cintanya. Dua hal di atas terdengar berlawanan. Poin pertama berskala besar juga menuntut tanggung jawab lebih tinggi, sedangkan yang kedua lebih ringan. Hebatnya, Far From Home sanggup mencampurkannya secara seimbang.

Delapan bulan pasca peristiwa di Avengers: Endgame, dunia masih belum sepenuhnya beranjak dari duka akibat kehilangan beberapa pahlawan, temasuk Tony Stark. Bahkan adegan pembukanya lagsung menawarkan penghormatan, yang meski menggelitik, nyatanya tetap menyentuh. Peter sendiri merasa selalu melihat wajah Tony ke mana saja ia pergi. Merasa perlu rehat, Peter mengesampingkan sejenak kehidupan sebagai pahlawan super selama mengikuti karyawisata ke Eropa, memilih fokus mengejar pujaan hatinya, MJ (Zendaya).

Tentu saja masalah terus mengikuti, kali dalam bentuk monster-monster Elemental yang menebar kehancuran di berbagai belahan dunia. Tapi Elemental bukan satu-satunya figur misterius yang muncul. Berusaha melawan mereka adalah Quentin Beck alis Mysterio (Jake Gyllenhaal), pahlawan super yang mengaku berasal dari semesta lain. Mysterio datang ke semesta ini (seperti komiknya, disebut Earth-616), bersatu dengan Nick Fury (Samuel L. Jackson guna membinasakan para Elemental.

Gyllenhaal menangani perannya secara menghibur, sesekali menampilkan kesan “larger than life” tanpa perlu berlagak berlebihan. Dan kita berkesempatan menyaksikan sisi lembut nan hangat milik Jake, khususnya kala Mysterio mengambil alih peran selaku guru sekaligus mentor bagi Peter.

Tapi Mysterio seorang tak cukup, sehingga Fury merekrut Peter, yang awalnya mengelak karena: (A) Dia belum merasa mampu menangani masalah sebesar itu, ditambah keberadaan Mysterio yang menurutnya lebih dapat diandalkan; (B) Rencana mengungkapkan cinta kepada MJ juga terancam. Spider-Man: Far From Home adalah film pahlawan super di mana sang jagoan bukan cuma meragukan diri, pula kukuh menolak panggilan menyelamatkan dunia karena ia ingin mendapatkan hati seorang gadis.

Apabila terdengar kurang heroik, wajar saja, sebab itulah yang remaja akan lakukan. Naskah buatan duet Erik Sommers dan Chris McKenna (Ant-Man and the Wasp, Jumanji: Welcome to the Jungle, The Lego Batman Movie) bertindak selaku pondasi yang solid, tapi keberhasilan Zendaya dan Tom Holland menghidupkan kecanggungan manis di antara Peter dan MJ adalah alasan terbesar yang menjadikan romansanya bekerja dengan baik.

Terdapat twist sebagai titik balik arah penceritaan. Keberadaannya tak mengejutkan jika anda mengenal lore Spider-Man, tapi tugas utamanya adalah membuka jalan untuk kejutan-kejutan lain. Bahkan dua credits scene-nya menyimpan daya kejut tinggi. Urusan menghibur, Far From Home memang peningkatan pesat dibanding Homecoming. Humornya masih cukup jenaka, sedangkan adegan aksinya (salah satu kelemahan Homecoming) tampil bertenaga, kreatif, dibarengi ragam variasi musik buatan Michael Giacchino (Up, Jurassic World, Spider-Man: Homecoming).

Salah satu sekuen aksinya menandingi suasana trippy milik Ant-Man dan Doctor Strange, yang membuktikan sempurnanya pemilihan antagonis film ini. Dia mempunyai kemampuan mengerikan (anggota Avengers siapa pun bakal kewalahan), pun memfasilitasi sang sutradara, Jon Watts (Cop Car, Spider-Man: Homecoming), membangun pertunjukan penuh kekayaan visual sekaligus jadi musuh yang cocok untuk Spidey hadapi di fase kehidupannya saat ini.

Seperti tertulis di paragraf pembuka, Far From Home menghadapi sukarnya menyeimbangkan dua sisi heroisme Peter Parker. Dituntut membuktikan kepantasan disebut “The Next Tony Stark”, Spider-Man harus melawan sesuatu yang benar-enar mengancam. Tapi di sisi koin lain, Peter masih remaja. Mustahil filmnya menempatkan si manusia laba-laba di pertarungan menghentikan invasi alien seorang diri. Dan kekuatan yang dimiliki sang antagonis memiliki kapasitas merangkum kedua sisi.

Bicara mengenai Peter sebagai penerus Tony, Far From Home menjalankan tugasnya mengoper tongkat estafet sambil mempersembahkan penghormatan bagi si “genius, billionaire, playboy, philanthropist”. Jangan khawatir, sebab film ini tetap milik Peter Parker, dan berkat Tom Holland, elemen di atas terasa lengkap. Baik Tony maupun Peter menghadapi pergulatan serupa, yakni ketakutan akan ketidakmampuan melindungi sosok-sosok tercinta. Setiap pergulatan itu menghampiri, kita bisa merasakannya dari mata Holland, bahwa Peter sungguh memedulikan orang-orang di sekitarnya.

Bahkan di salah satu adegan—yang jadi momen estafet plus penghormatan paling cerdik juga emosional sepanjang film—Holland menampilkan gestur menyerupai sang mentor. Sang aktor melakukan itu tanpa merendahkan aktingnya ke arah impersonasi murahan. Dia masih Peter Parker. Peter Parker yang amat terinspirasi oleh Tony Stark. Demikian pula Spider-Man: Far From Home. Film ini membuat ketiadaan Iron Man 4 tak perlu disesali, sembari tetap menjadi film Spider-Man yang mumpuni.

AVENGERS: ENDGAME (2019)

(JANGAN MEMBUKA KOLOM KOMENTAR KALAU BELUM MENONTON. 
IT'S A WILD JUNGLE FULL OF SPOILERS THERE!)
Merasa Infinity War merupakan keberhasilan mengeksekusi kemustahilan? Tunggu sampai anda menyaksikan sekuelnya. Marvel Cinematic Universe (MCU) adalah soal kesabaran dalam perencanaan. Total 21 film selama hampir 11 tahun dihabiskan demi membangun kisah, yang dibayar lunas lewat kulminasi epik bernama Avengers: Endgame. Hampir seluruh guratan emosi maupun pertarungan masif miliknya, berpijak pada pondasi yang disusun sekian lama. Begitu film usai (kali ini tanpa post-credits scene) wajar saat penonton bertepuk tangan melihat jajaran kredit, khususnya enam anggota “asli” Avengers.

Karena seperti telah dikonfirmasi, salah satu tujuan Endgame adalah memberi penghormatan bagi perjalanan yang telah dilalui Tony Stark (Robert Downey Jr.), Steve Rogers (Chris Evans), Thor (Chris Hemsworth), Bruce Banner (Mark Ruffalo), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), dan Clint Barton (Jeremy Renner). Saya takkan membocorkan sedikit pun poin plot, kecuali bahwa bersama nama-nama lain yang tidak menjadi debu, mereka berusaha memulihkan akibat perbuatan Thanos (Josh Brolin).

Melanjutkan atmosfer konklusi Infinity War, film ini dibuka dengan melankoli. Bahkan dibanding judul keluaran Marvel Studios lain, selama 181 menit durasinya, Endgame punya proporsi drama terbesar, tatkala duo penulis naskah, Christopher Markus dan Stephen McFeely (The Winter Soldier, Civil War, Infinity War), memilih banyak menggulirkan studi karakter, khususnya proses coping jagoan-jagoan kita pasca tragedi jentikkan jari Thanos. Beberapa menolak menyerah, beberapa tenggelam dalam amarah, ada pula yang coba meneruskan langkah.

Hal di atas bukan sebatas pernak-pernik. Di sinilah penanaman benih selama satu dekade menuai hasil. Kita mengenal karakternya, terikat pada mereka, sehingga memahami keputusan serta respon emosional yang muncul. Berkatnya, paparan dramatik Endgame pun menyentuh ranah detail, di mana tiap gestur, ekspresi, juga baris kalimat pendek, menyimpan makna kaya rasa, yang seringkali merujuk pada peristiwa film-film sebelumnya. Dan semuanya mustahil diraih tanpa kegemilangan jajaran pemain.

Chris Evans, Scarlett Johansson, Jeremy Renner, Mark Ruffalo, hingga Karen Gillan membuktikan diri telah melebur dengan sosok peranan masing-masing, sementara kepiawaian memadukan talenta komedi dan dramatik dipamerkan oleh Chris Hemsworth dan Paul Rudd (that “running scene” is really heartbreaking). Tapi bintang utamanya tetap sang maskot: Robert Downey Jr. Melalui performa yang layak diganjar nominasi Oscar, secara meyakinkan ia tunjukkan konflik batin seorang pahlawan yang dihantui kegagalan dan kehilangan. Apabila Infinity War menggiring Tony menuju tantangan fisik dalam pertarungan satu lawan satu menghadapi Thanos, maka Endgame memberinya ujian psikis terberat.

Ini memang cerita di mana status “pahlawan” para jagoannya diuji, kala pengorbanan mesti dilakukan dan egoisme bukan pilihan. Ketimbang melawan Thanos, Endgame cenderung menonjolkan pertarungan Avengers melawan musuh lain: diri mereka sendiri. Terdengar kelam, namun tak pernah depresif, mengingat jalinan humor tetap dapat ditemukan, yang penempatannya memperhatikan presisi, sehingga alih-alih mendistraksi, kita justru bakal dibuat tertawa sembari meneteskan air mata atau terpaku dalam cengkeraman ketegangan. Menyenangkan pula menyaksikan tokoh-tokoh yang baru bertemu seperti Nebula (Karen Gillan), Rhodey (Don Cheadle) dan Scott Lang (Paul Rudd) saling bertukar interaksi kasual.

Di samping deretan drama humanis, spektakel utama Endgame tetaplah soal mencari jalan “membatalkan” perbuatan Thanos. Beragam teori membanjiri internet. Beberapa jadi kenyataan, namun banyak kejutan masih tersimpan rapat. Akan sulit mempersiapkan hati menyaksikan kecerdikan Markus dan McFeely menyulap petualangan Avengers menjadi penghormatan bagi mereka, dengan membawa kita mengunjungi kumpulan momen (plus sosok) familiar, sementara karakternya coba berdamai dengan permasalahan silam yang belum usai.

Puncaknya adalah pertempuran epik yang menebus perencanaan jangka panjang Marvel Studios. Semua shared universe, tidak peduli dalam media apa pun, bermimpi mencapai titik ini. Russo Bersaudara mengangkangi pencapaian di Infinity War lewat kesuksesan memproduksi salah satu set piece terbesar dan tergila penuh momen fan service, yang berkat tangkapan kamera sang sinematografer langganan, Trent Opaloch, banyak menampilkan heroic money shot. Alhasil, tiap individu memperoleh kesempatan bersinar meski hanya sejenak, termasuk jajaran jagoan wanita. Walau mengharapkan porsi lebih bagi Captain Marvel (Brie Larson), saya bisa memaklumi mengingat Endgame mengutamakan pemberian spotlight untuk keenam anggota asli Avengers.

Belum cukup mendengar pujian? Tunggu sampai anda mendapati keberhasilan Endgame memberi konklusi yang pantas terhadap seluruh konflik personal menahun yang karakternya hadapi, sembari tak lupa menebar petunjuk terkait masa depan. Mungkin anda tak menganggap Avengers: Endgame sempurna, namun jika pulang tanpa merasakan kepuasan, mungkin film blockbuster memang bukan untuk anda.

AVENGERS: INFINITY WAR (2018)

Avengers: Infinity War bukanlah film pahlawan super pertama yang mencoba menerjemahkan crossover event dari buku komik ke layar lebar. Marvel Studios sendiri telah berulang kali melakukannya sejak The Avengers sampai Captain America: Civil War. Tapi baru Infinity War yang benar-benar memberi definisi sempurna, menontonnya menghadirkan perasaan serupa membaca crossover event. Fakta bahwa filmnya berjalan lancar merupakan buah kesabaran Kevin Feige dan tim membangun puluhan karakter beserta universe luas selama satu dekade lewat 19 film. Tanpanya, ditambah beberapa kekurangan yang tak bisa dihindari, Infinity War bakal berujung kekacauan besar yang mudah terlupakan. This is one of a kind.

Kalau familiar dengan komik superhero, tentu anda pernah menikmati crossover event seperti Infinity Gauntlet, Civil War, Secret Wars, dan lain-lain. Sedikit penjabaran bagi non-pembaca, sebuah even memiliki seri utama yang menuturkan konflik utama pula. Sebagai pengiring, dirilis tie-ins yang mengetengahkan kisah sampingan maupun detail peristiwa yang menimpa masing-masing tokoh. Bagi pembaca komik yang tak terlalu akut seperti saya, demi menghemat waktu, rasanya pernah melewatkan tie-ins dan langsung menyantap seri utama. Alhasil, garis besar cerita tetap bisa dipahami, namun terasa betul ada detail yang terlewat, emosi yang tak maksimal, atau kejadian yang sekelebat lalu. Inifnity War tampil demikian, sehingga bagi penonton yang asing dengan pengalaman membaca seperti itu, mungkin bakal tersisa ketidakpuasan.
Tapi jangan khawatir. Russo Brothers (The Winter Soldier, Civil War) paham betul bagaimana menampilkan momen-momen yang akan terus dikenang hingga tahun-tahun ke depan, dari kemunculan karakter dan aksi keren yang mampu memancing gemuruh tepuk tangan (ketika saya menonton sekitar 4-5 kali tepuk tangan penonton pecah) sampai perasaan tersentak mendapati jagoan-jagoan kita ditempatkan pada bahaya yang belum pernah mereka alami. Dibantu penataan kamera Trent Opaloch yang sudah berkolaborasi bersama Russo Brothers sejak The Winter Soldier, rentetan gambar ikonik pun diciptakan. Tapi sejak awal, tantangan terbesarnya adalah menyatukan sekian banyak tokoh dengan sekian banyak cerita. Dan duo penulis naskah Christopher Markus dan Stephen McFeely menyanggupi tantangan itu.

Avengers dibagi beberapa kelompok. Tim Iron Man (Robert Downey Jr.) menanti Thanos di Planet Titan, kampung halamannya, Captain America (Chris Evans) bersatu dengan Black Panther (Chadwick Boseman) guna menghadapi invasi keempat Black Orders yang menyebut diri sebagai anak-anak Thanos, Thor (Chris Hemsworth) bersama Rocket (Bradley Cooper) dan Groot (Vin Diesel) berusaha menciptakan senjata untuk melawan si Titan Gila, sedangkan Star-Lord (Chris Pratt) memimpin Guardians melakukan serbuan dadakn. Markus dan McFeely melakukan apa yang mereka bisa, menyatukan segala sub-plot serapi mungkin dibantu penyuntingan Jeffrey Ford dan Matthew Schmidt yang menghasilkan transisi mulus. Saya bersyukur kedua penulis naskah tetap memasukkan komedi yang masih efektif memancing tawa, meski penulisan humor mereka belum setajam Gunn atau Waititi. Sebab dengan tokoh-tokoh seperti Guardians of the Galaxy dan Iron Man, sepenuhnya melucuti komedi adalah bentuk menyia-nyiakan potensi. Sebagaimana aliran alur, perpindahan tone pun berlangsung mulus. Sesuatu yang awalnya bak kemustahilan, seperti halnya kesuksesan Russo Brothers mempertahankan ciri masing-masing franchise, misalnya Guardians dengan musik dan celotehannya.
Satu hal pasti, Thanos (Josh Brolin) menjadi sentral segalanya. Enam tahun pasca kemunculan perdananya, Thanos mulai bergerak mengumpulkan Infinity Stones. Power Stone di Xandar, Space Stone yang diam-diam dibawa Loki (Tom Hiddleston), Time Stone di bawah perlindungan Doctor Strange (Benedict Cumberbatch), Reality Stone di koleksi The Collector (Benicio del Toro), Mind Stone yang menghidupkan Vision (Paul Bettany), dan Soul Stone yang keberadaannya masih jadi misteri. Berbagai teori mengenai letak batu terakhir bertebaran di internet, dan semuanya meleset. Bahkan setelah merilis dua trailer plus setumpuk klip promosi, Infinity War masih sanggup menyimpan kejutan, baik soal alur, bagaimana sebuah adegan aksi dieksekusi, dan tentunya kematian (dan kembalinya) karakter.

Bukan spoiler bila saya menyebut ada karakter yang meregang nyawa. Tanpa itu, sulit menegaskan status Thanos sebagai musuh besar yang kehadirannya sudah dibangun bertahun-tahun. Tapi bukan (cuma) itu alasan Thanos layak masuk jajaran villain terbaik MCU, melainkan keberhasilan menjadikan ia sosok dengan kepribadian. Thanos tidak sepenuhnya jahat. Ambisinya bukan menguasai atau menghancurkan dunia, namun menyeimbangkannya, atau kalau boleh disebut, menyembuhkannya. Thanos bukan monster tanpa perasaan. Ada sensitivitas terselubung yang mampu Josh Brolin salurkan lewat ekspresi. Begitu film berakhir, kehilangan serta kehancuran yang Thanos rasakan sama besarnya dengan para superhero. Dia sosok sedih yang gila. Kegilaan selaku produk kekacauan dunia dan bisa kita temukan di keseharian. Bedanya, orang-orang di dunia nyata dengan pola pikir serupa takkan gamblang mengutarakan pemikirannya, sebab mereka akan dianggap gila dan berbahaya. Terlebih lagi, tidak ada infinity stones dalam genggaman untuk merealisasikan niat itu.
Membicarakan enam infinity stones akan terasa problematik. Muncul ambiguitas terkait seberapa jauh kapasitas tiap-tiap batu. Untungnya, Russo Brothers memastikan setiap Thanos memamerkan kekuatan batunya, sekuen yang dikemas apik ikut mengiringi. Karena soal adegan aksi, tiada satu pun yang tersia-sia berkat koreografi menawan yang makin memikat saat Russo Brothers sering menampilkan para superhero bekerja sama sebagai tim, juga kesan mengancam yang senantiasa menggelayuti. Bahkan The Outriders yang menyerbu Wakanda di klimaks bukan pasukan alien lemah macam Chitauri. Walau sejenak, The Outriders mampu menekan Avengers sampai ke titik batas mereka. Pun kualitas CGI-nya sesuai dengan bujet $300-400 juta yang dikeluarkan. Banyak mengunjungi ragam lokasi luar angkasa, masing-masing planet—khususnya jika anda menyaksikan film ini dalam format IMAX 3D—terlihat meyakinkan.

Bermodalkan lingkup besar yang mencakup berbagai sudut alam semesta, konsekuensi yang dipertaruhkan, juga ending yang akan selalu lekat di ingatan, Infinity War memang terasa seperti pertempuran menuju akhir dunia, kulminasi yang sesuai setelah perjalanan satu dekade, tepatnya separuh dari itu. Ya, biar bagaimana, kesan film ini merupakan paruh pertama dari satu babak epic tetap tertinggal. Apabila merujuk gaya drama tiga babak, maka 19 film sebelumnya adalah first act, Infinity War bertindak sebagai second act, sebelum akhirnya Avengers 4 (Avengers: Endgame sepertinya judul yang pas), menjadi third act sekaligus penutup. Avengers: Infinity War, dengan tetap memperhatikan kelemahan-kelemahannya, telah mengubah peta perfilman superhero. Film-film berikutnya, termasuk rilisan Marvel Studios, akan berada di bawah bayang-bayang film ini. 


Ulasan versi vlog bisa ditonton di sini:

SPIDER-MAN: HOMECOMING (2017)

Melahirkan inkarnasi layar lebar ketiga sang manusia laba-laba, Spider-Man: Homecoming mengemban satu tugas: menjadi berbeda. Jika versi Sam Raimi mengusung kisah kepahlawanan berasaskan petuah "with great power comes great responsibility", sementara The Amazing Spider-Man tentang percintaan remaja, maka Homecoming membawa penonton mundur lebih jauh kala Peter Parker (Tom Holland) masih pelajar 15 tahun dengan responsibility berupa mewakili sekolahnya dalam lomba decathlon dan hobi merangkai lego Death Star bersama sahabatnya, Ned (Jacob Batalon). Di sisi lain Bibi May (Marisa Tomei) adalah wanita paruh baya menawan idola para pria di Queens.

Sebagai pembeda lain yakni statusnya yang bukan origin movie. Asal kekuatan Peter dituturkan melalui percakapan singkat tanpa deskripsi detail. Civil War telah memberi informasi dasar yang kita perlu tahu, sehingga film pun dibuka oleh perkenalan bagi Adrian Toomes (Michael Keaton). Rasa dendam kepada Tony Stark (Robert Downey Jr.) mendorong pria pekerja biasa ini berubah menjadi penjahat super bernama Vulture. Bersama anak buahnya, ia mencuri beragam teknologi sisa pertempuran Avengers, memodifikasi, lalu menjualnya. Adegan pembuka ini meletakkan batu pijakan, menjelaskan bahwa dia bukan megalomania dengan hasrat menguasai dunia. Murni seseorang yang ingin menyambung hidup. Disokong akting lunatic Michael Keaton yang dapat mengintimidasi lewat seringai belaka, kita mendapat salah satu villain terbaik MCU yang dilengkapi penokohan dalam plus screen presence kuat.
Homecoming memang berusaha sekuat tenaga mengemas karakter beserta konfliknya serupa dunia nyata. Contoh lainnya Peter. Pasca menerima kostum canggih dari Tony, dia terjebak problema remaja yang berhasrat membuktikan diri pula mencuri hati gadis pujaannya, Liz (Laura Harrier). Baginya, mengejar penjahat adalah kegiatan menyenangkan, hingga aksinya justru kerap memancing kekacauan, mulai halaman rusak sampai mengancam nyawa ratusan orang di laut. Memperkenalkan Peter di tengah proses belajar menuju kematangan, membawa Homecoming menyentuh ranah dra-medi bernuansa coming-of-age

Marvel dikenal akan kebolehan memadukan kisah superhero dengan genre lain, alhasil tak mengejutkan kala DNA film remaja ala John Hughes (The Breakfast Club, Ferris Bueller's Day Off) mengalir deras di sini. Bahkan suatu adegan merupakan homage bagi salah satu karyanya. Dan layaknya remaja, semua tentang bersenang-senang. Baik sewaktu menangkap pencuri sepeda atau meringkus perampok ATM, Spidey yang ramah nan gemar bicara selalu hadir, melahirkan versi layar lebar Spider-Man terbaik yang mewakili image "friendly neighborhood". Pun itu didukung performa Tom Holland. Sisi nerd Peter ditampilkan tepat melalui penuturan kecanggungan yang bisa diterima pula mudah dipercaya tak ubahnya orang kebanyakan. He's a likeable guy that looks ecstatic at almost everything and stuttered in a stressful situation. Bertatapan dengan si pujaan hati misalnya.
Naskah yang digarap oleh enam penulis turut memanfaatkan tiap sisi kehidupan remaja untuk menyuntikkan bobot dalam spectacle aksi di mana selalu ada motivasi atau latar mengarah ke sana. Ketika momen di Washington jadi usaha Peter berjuang demi pujaan hati, set-piece di atas kapal ferry menggambarkan puncak gejolak teen angst soal pergulatan pembuktian kapasitas. Barulah pada klimaks, pembuktian Peter menemui hasilnya. Di luar aspek remaja, naskahnya tidak ketinggalan menampilkan beberapa kejutan penambah keseruan, entah yang substansial membangun alur atau bumbu penyedap seputar keberlanjutan franchise dan tie-in terkait MCU secara lebih luas. 

Sayang komedinya tak semulus itu. Berusaha menyesuaikan dengan nuansa film remaja, baris leluconnya urung punya "daya bunuh" maksimal. Keinginan memberi tekstur lain dibanding installment MCU biasanya membawa keenam penulis terjebak keklisean humor teen movie. Hilang keunikan humor Marvel, digantikan usaha melucu yang dipaksakan hadir sesering mungkin hingga mendistraksi narasi utama. Begitu film usai, bentuk lelucon macam kegagalan Spidey menemukan tempat mengaitkan jaring  which is Marvel kind of comedy  justru lebih memorable. Tapi Zendaya jadi penyelamat, bersenjatakan gaya deadpan membawakan celetukan-celetukan pedas menggelitik.

Fokus pada eksplorasi kehidupan remaja mau tidak mau mengurangi kuantitas aksi. Meski menyimpan motivasi, bicara tensi, deretan aksi Homecoming adalah yang terlemah sejak Thor: The Dark World (worst movie in MCU by far). Penyebabnya terkait visi Jon Watts yang terjangkit penyakit banyak mantan sutradara indie yang beralih menggarap blockbuster. Adegan aksinya adalah medioker minim kreativitas juga intensitas yang diperparah klimaks malas (juga kesalahan naskah) yang bergulir terlampau cepat. Sebagai kulminasi proses Peter, third act-nya tak menawarkan puncak heroisme yang semestinya merupakan resolusi. Walau kekurangan terkait action dan komedi menjauhkan Spider-Man: Homecoming dari kegembiraan luar biasa khas MCU, setidaknya tujuan menghidupkan lagi karakternya lewat versi berbeda telah terpenuhi.