DOLITTLE (2020)

4 komentar
Mengambil hati penonton anak lewat para binatang yang bisa bicara sembari menggoda penonton dewasa melalui keberadaan Robert Downey Jr.,—yang untuk pertama kalinya sejak The Judge (2014) melakoni peran selain Tony Stark—pada akhirnya Dolittle memang tidak kurang dan tidak lebih dari itu. Sebuah petualangan ringan, muda dinikmati oleh semua kalangan, biarpun mudah dilupakan pula.

Mengadaptasi petualangan Doctor Dolittle dari seri buku anak-anak karya Hugh Lofting terutama dari buku keduanya, The Voyages of Doctor Dolittle (awalnya juga dipakai sebagai judul film ini sebelum dilakukan penyederhanaan), kisahnya dibuka melalui intro berbentuk animasi soal bagaimana Dr. John Dolittle (Robert Downey Jr.) memukau seluruh negeri berkat kemampuannya berbicara dengan binatang. Berkat jasanya, Ratu Victoria (Jessie Buckley) bahkan menghadiahkan lahan besar untuk ditinggali Dolittle bersama binatang-binatang yang olehnya dan sang istri, Lily Dolittle (Kasia Smutniak), selamatkan dari seluruh penjuru dunia.

Malang, Lily tewas di tengah laut dalam sebuah penjelajahan. Dolittle pun berubah 180 derajat, mengurung diri, menutup akses dunia luar…..sampai kemunculan Tommy Stubbins (Harry Collett). Datang guna meminta bantuan menyelamatkan nyawa seekor tupai, Stubbins malah berujung tertarik menjadi penerus Dolittle, bahkan terlibat petualangan mengarungi samudera dalam rangka mencari buah dari pohon legenda untuk menyembuhkan penyakit misterius Ratu Victoria.

Kalau anda sebatas mengenal sosok karakter titularnya berdasarkan versi 1998 yang dibintangi Eddie Murphy (inilah alasan banyak orang mempermasalahkan mengapa Doctor Dolittle diubah jadi pria kulit putih tanpa memahami latar belakangnya), mungkin ada sedikit kekagetan mendapati bagaimana film ini menuturkan petualangan bersakal besar. Padahal versi 1967-nya mengambil pendekatan serupa (dikemas memakai sampul musikal).

Naskahnya, yang ditulis oleh duet Doug Mand-Dan Gregor (Most Likely to Murder) bersama sutradara Stephen Gaghan (Syriana, Gold), menawarkan metode cerdik terkait penggambaran transisi komunikasi Dolittle dengan para binatang. Kadang kita mendengar mereka berbicara menggunakan bahasa binatang, terkadang bahasa manusia. Penyutradaraan Gaghan pun mulus menangani transisi tersebut, yang sesekali dipakai menghadirkan efek komedik. Jajaran pengisi suaranya juga berjasa memberi nyawa, khususnya Emma Thompson sebagai Polynesia si burung macaw bijak selaku penasihat Dolittle dan Rami Malek yang memerankan gorila penakut bernama Chee-Chee.

Berkat mereka, ditambah CGI berkualitas memadai, kecanggungan interaksi antara manusia dengan karakter CGI mampu ditiadakan. Apalagi sang manusia dibawakan oleh Robert Downey Jr., yang berkat pengalamannya menjadi maskot MCU, tak lagi asing dengan tuntutan semacam itu. Saya sempat khawatir RDJ bakal bernasib seperti Johnny Depp yang terjebak dalam keeksentrikan monoton selepas memainkan karakter ikonik. Tapi saya akhirnya sadar, ada satu perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan yang membuat RDJ unggul sekaligus menjamin keawetan karirnya di luar skena film pahlawan super.

RDJ tidak pernah lalai urusan rasa. Karakter-karakter peranannya selalu dihantui duka atau kegamangan. Tidak terkecuali di sini, dan mata sang aktor kuat memancarkan rasa tersebut. Dari situlah sumber emosi utama Dolittle, tatkala kisah soal kematian Lily hanya berakhir sebatas hiasan semata, sedangkan baik departemen naskah maupun penyutradaraan gagal melahirkan momen penutup selaku payoff yang layak kepada romansa bittersweet karakter utamanya. Bahkan aksen Wales aneh RDJ tak sanggup menghalangi kita bersimpati ke protagonisnya.

Sementara penjelajahan Dolittle dan kawan-kawan, yang diharapkan sarat keajaiban, hanyalah petualangan medioker penuh pilihan-pilihan obligatif selaku pemenuhan formula. Anda bisa dengan mudah menebak kebenaran di balik penyakit Ratu Victoria, pula bakal dibawa ke mana sosok Dr. Blair Mudfly (Michael Sheen), yang sejatinya bisa dimaafkan, mengingat keklisean tersebut ditujukan bagi penonton anak. Bahkan ketimbang aksi mendebarkan, klimaksnya diselesaikan dengan sebuah operasi terhadap sesosok makhluk mitologi.

Teruntuk para bocah, apa yang Dolittle sajikan sudah cukup, biarpun orang dewasa bakal kebosanan menyaksikan repetisi alur yang seolah enggan beranjak dari pola “Dolittle dan teman-temannya tertangkap di tangan antagonis à berhasil kabur à ulangi”. Dan melihat gelaran aksinya, dengan kuantitas yang juga tidak seberapa, saya bisa memahami keputusan Universal Pictures meminta supervisi Jonathan Liebesman (Wrath of the Titans, Teenage Mutant Ninja Turtles) dan Chris McKay (The Lego Batman Movie) dalam proses reshoots. Gaghan, yang sebelumnya lebih banyak menggarap drama serius pengincar kejayaan di musim penghargaan, jelas punya banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kemampuannya menangani hiburan seru berbasis CGI. Tapi untuk sekarang, Dolittle tidaklah buruk bila dipandang semata sebagai hiburan para bocah.

4 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

prediksi buat Oscar 2020 mana bang?

Mukhlis mengatakan...

Bagaimana tanggapan Mas Rasyid tentang Avengers and game yang hanya mendapatkan 1 nominasi Oscar

stanleu mengatakan...

sebagai fans bang depp sbenernya dia juga bakat buat main rasa klo bang rasyid udh nonton finding neverland nampol bgt disitu cuma ntah kenapa skarang kek ilang mgkin udh tenggelam dalam peran nyentrik gitu ya sampe ke lifestyle juga

Rasyidharry mengatakan...

Bener itu. Kurang lengkap sebenernya tulisan saya itu. Maksudnya pasca-Pirates. Sejak itu akting dia jadi stereotipikal. Sama kayak RDJ pasca Iron Man. Dari situ Depp hilang rasanya dan cuma eksentrik, beda sama RDJ