REVIEW - BODIES BODIES BODIES
Semasa kuliah dulu saya bisa menebak mana bisa mahasiswa baru, mana mahasiswa tua. Semakin sering memakai diksi ilmiah asing, kemungkinan semakin muda si mahasiswa. Penggunaan istilah yang tak jamak dipakai dalam interaksi kasual sehari-hari bukan membuktikan kepintaran atau pehamahan. Malah sebaliknya, menandakan masih hijaunya seseorang. Dia masih begitu passionate akan suatu topik, dan ingin nampak unggul.
Di lingkup sosial zaman sekarang, fenomena di atas juga nampak pada tuntutan Generasi Z untuk terlihat "woke". Kesadaran atas isu acap kali bukan dipicu ketulusan nurani, melainkan bentuk konformitas. Para remaja di Bodies Bodies Bodies garapan sutradara Halina Reijn ini contohnya. Di belakang, mereka saling "tusuk", saling membicarakan keburukan satu sama lain, namun kala berdebat, semua saling berlomba memamerkan politcal correctness masing-masing.
Bee (Maria Bakalova) datang ke pesta yang diadakan teman-teman sang kekasih, Sophie (Amandla Stenberg). Rumah mewah milik David (Pete Davidson) jadi lokasi. Turut hadir adalah Emma (Chase Sui Wonders), kekasih David yang juga seorang aktris; Alice (Rachel Sennott) si podcaster bersama pacarnya yang jauh lebih tua, Greg (Lee Pace); dan Jordan (Myha'la Herrold) yang nampak menyimpan rahasia.
Malam harinya, ketika tengah memainkan Bodies Bodies Bodies (tipikal permainan wink murder seperti Werewolf dan sebagainya), salah satu dari mereka justru benar-benar tewas terbunuh. Di saat bersamaan, terjangan badai, listrik mati, serta ketiadaan jaringan makin memperparah situasi. Apa yang muda-mudi ini dapat perbuat tanpa internet dan smartphone?
Sejatinya Bodies Bodies Bodies dibuka dengan tidak spesial, bahkan setelah beberapa korban telah berjatuhan. Naskah buatan Sarah DeLappe coba menerjemahkan cara tutur khas Agatha Christie ke era modern, termasuk bagaimana konklusinya memodifikasi twist salah satu karya terkenal si novelis, guna menyentil ketergantungan Generasi Z pada media sosial yang eksistensinya menentukan kepintaran/kebodohan mereka dalam menyikapi masalah.
Sayangnya DeLappe luput melibatkan penonton dalam proses menebak kebenaran kasus. Whodunit yang baik mampu mengombang-ambingkan perspektif, bahkan mengecoh, lalu menggiring penonton agar mengambil kesimpulan yang keliru. Bodies Bodies Bodies tidak demikian. Kita hanya menyaksikan tokoh-tokohnya saling melempar tuduhan. Sebatas debat kusir tanpa akhir alih-alih adu pikir. Mereka panik, berkeliling di rumah yang gelap, menemukan mayat, kemudian bertengkar. Repetitif, tak ubahnya slasher konvensional.
Satu yang menonjol di tengah repetisi tersebut adalah kemampuan Halina Reijn mengolah keterbatasan lokasinya. Dibantu sinematografi garapan Jasper Wolf, Reijn memaksimalkan pilihan shot sebagai jalan menjadikan lokasi tunggal yang sempit terasa amat luas. Caranya mengambil gambar dalam gelap pun mengagumkan. Latarnya gelap. Sangat gelap. Tapi kita selalu bisa memproses apa yang muncul di layar, pula mengenali tiap karakte, entah lewat kecerdikan permainan cahaya maupun pemakaian properti seperti aksesori glow in the dark.
Filmnya baru benar-benar menemukan pijakan di pertengahan babak kedua. Di situ jajaran pemainnya makin berkesempatan menunjukkan sinar mereka, walau sesungguhnya penokohan di naskah tak sebegitu segar apalagi mendalam. Rachel Sennott yang akhirnya kembali ke medium film panjang selepas mencuri perhatian di Shiva Baby (2020) tampil paling menonjol.
Babak keduanya turut membawa Bodies Bodies Bodies total dalam melontarkan sindiran menggelitik mengenai kultur sosial masa kini. Di tengah teror, tokoh-tokohnya berdebat. Mereka saling tuduh, tapi bukan soal identitas pembunuh, melainkan menyerang kesadaran sosial masing-masing. Kata-kata seperti gaslight, toxic, ableist, dan lain-lain terus diteriakkan.
Lucunya, tak satu orang pun selalu konsisten pada pendiriannya mengenai siapa salah dan siapa benar. Seolah ada tendensi bahwa sikap mereka ditentukan oleh arus "correctness" ketimbang ketulusan hati. Kalau begitu, apakah hubungan pertemanan sekarang juga tak lagi didasari ketulusan? Ketika "correctness" tersebut cenderung muncul dari kesepakatan bersama di media sosial, bagaimana cara menangani problematika dunia nyata kala media sosial direnggut dari mereka?
(Netflix)
REVIEW - JALAN YANG JAUH, JANGAN LUPA PULANG
Film dibuka oleh voice over Aurora (Sheila Dara), dan seolah ia sedang menerawang isi kenangan saya. Tapi tidak hanya di bagian itu, dan tidak hanya untuk saya. Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang bakal mewakili pergolakan hati para perantau yang menganggap sebuah tanah asing "lebih rumah" daripada rumah.
Melanjutkan Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020), dikisahkan Aurora telah menetap di London untuk berkuliah. Di sana, Aurora menemukan cintanya dalam diri Jem (Ganindra Bimo), seorang seniman asal Indonesia. Dia pun berteman dekat dengan Honey (Lutesha) dan Kit (Jerome Kurnia). Aurora menemukan habitatnya.
Tapi di Indonesia timbul kekhawatiran, karena si anak tengah sudah dua bulan tak memberi kabar. Maka datanglah Angkasa (Rio Dewanto) dan Awan (Rachel Amanda) mencari keberadaan Aurora. Sesampainya di London keduanya malah mendapati perbedaan dalam diri Aurora. Dia bukan lagi anggota keluarga seperti yang mereka kenal selama ini.
Apakah ia berubah, atau justru itu wajah Aurora sesungguhnya? Berangkat dari pertanyaan tersebut, naskah yang ditulis oleh sang sutradara, Angga Dwimas Sasongko, bersama M. Irfan Ramli, bak melahirkan biografi bagi individu yang pergi kemudian menemukan jati diri. Ingat, bukan "mencari" tapi "menemukan". Bisa jadi penemuan itu tak diniati. Kadang seseorang sudah mantap memandang identitasnya, tapi setelah lepas dari keluarga lalu memperjuangkan hidupnya sendiri, barulah wajah aslinya nampak ke permukaan.
Sebelum pergi, Aurora belum benar-benar mengenali dirinya. Terbukti, di Indonesia ia sempat iri pada Awan yang memperoleh seluruh perhatian, namun saat perhatian itu akhirnya didapat selepas pindah ke London, Aurora malah merasa jengah. Di mata Angkasa dan Awan, saudari mereka berubah, yang diartikan sebagai sebuah masalah. Adanya masalah berarti bantuan perlu diulurkan. Tapi ada kalanya bantuan yang diberikan justru berpotensi menimbulkan masalah. Pun bagi orang-orang seperti Aurora, ketimbang bantuan, pengertian atas pilihan hidup (berbeda) yang diambil lebih dibutuhkan.
Secara bentuk, Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang sejatinya tidak jauh beda dibanding deretan spin-off macam Story of Kale (2020) dan Story of Dinda (2021), di mana fokus juga diarahkan pada satu karakter. Tetapi ketimbang dua kompatriotnya, film ini tampil superior. Eksplorasinya lebih mendalam, didukung pemakaian narasi non-linear yang menjadikan flashback sebagai wujud rekoleksi kenangan tokoh-tokohnya.
Memang belum sempurna. Di beberapa titik, departemen penyuntingan kurang mampu mengawinkan dua linimasa secara mulus. Sedangkan beberapa dramatisasi yang Angga pakai, seperti dentuman musik intens dan/atau gerak lambat di beberapa situasi, kurang sinkron di tengah pendekatan filmnya yang cenderung intim.
Untunglah tidak semuanya demikian. Konklusinya mengembalikan momen emosional ala film pertama, berupa curahan hati antar tiga bersaudara, berlatar atap gedung dan langit senja. Pemandangan semacam itulah yang jadi kekuatan Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang. Kesediaan menilik lebih jauh, menyelami ruang intim manusia dalam kegundahan mereka.
Butuh pelakon handal agar eksplorasi tersebut berjalan maksimal, dan Sheila Dara menjawab kebutuhan itu. Sosoknya menyampaikan setumpuk kegelisahan yang sukar diutarakan. Sebagaimana Honey bagi Aurora, Lutesha merupakan pendukung sempurna bagi penampilan Sheila Dara. Sebuah flashback menampilkan keduanya menjalani keseharian berkeliling London, dan hanya lewat kesederhanaan itu saja kehangatan yang memancing senyum mampu dimunculkan.
Di flashback itu pula tampak sisi Aurora yang berbeda. Di hadapan Awan dan Angkasa selaku keluarga kandung, Aurora adalah sosok pendiam nan misterius. Tapi bersama Honey (chosen family), ia bisa tertawa lepas. Saya rasa kondisi itu kerap dialami para perantau. Di rumah amat tertutup, lalu kembali bersemangat kala kembali ke perantauan. Bukannya membenci keluarga di rumah. Mungkin mereka telah menemukan identitasnya yang kebetulan berlawanan dengan definisi ideal di mata keluarga. Ketertutupan tadi cuma ekspresi kerinduan atas kebebasan sebagai diri sendiri. Itu saja.
REVIEW - ADAGIUM
Lupakan trailer yang menjanjikan banyak keseruan seputar pertempuran sarat teknologi antara militer melawan teroris. Hanya untuk aksi tidak sampai 10 menit, Adagium mengharuskan penonton menunggu lebih dari 100 menit. Mestinya saya sadar ada yang tidak beres ketika prolognya diisi kalimat yang dibuka dengan kata "Benarkah", namun tidak ditutup oleh tanda tanya.
Alkisah ada tiga sahabat: Arga (Angga Asyafriena), Alenda (Jihane Almira), dan Bian (Pangeran Lantang). Arga seorang mahasiswa yang terlilit utang pinjol demi membiayai operasi sang ibu (Dayu Wijanto), Bian tengah meniti karir sebagai pelukis, sedangkan Alenda punya kemampuan hacking tingkat tinggi. Hubungan ketiganya amat erat, sampai Alenda dan Bian melanggar janji untuk tak menjalin asmara dalam persahabatan mereka.
Arga yang menyukai Alenda merasa terkhianati, lalu memutuskan ikut pelatihan Komcad (Komponen Cadangan), yakni pasukan militer yang terdiri atas warga sipil. Setelah lebih dari 30 menit akhirnya Adagium beralih dari cinta segitiga klise membosankan, dan memulai keseruannya. Bukankah begitu? Jawabnnya "tidak".
Durasi film ini mencapai hampir dua jam (118 menit) bukan karena kisahnya penuh, melainkan penuturan draggy dari Rizal Mantovani selaku sutradara. Dunia Adagium bak bergulir dalam gerak lambat. Apalagi naskah hasil tulisan Rizal bersama Titien Wattimena pun sangat bertele-tele, tampil layaknya individu yang terlalu ragu untuk melangkah.
Konflik memanas saat Alenda diculik oleh kelompok teroris bernama Organisasi X (tidak adakah nama fiktif yang lebih kreatif?) yang terpikat pada kemampuannya sebagai peretas. Sejago apa Alenda? Intinya ia berhasil meretas sistem pinjol tempat Arga meminjam uang. Kita tidak menyaksikan aksinya. Sewaktu peretasan diperlihatkan pun, Adagium masih terjebak keklisean. Adegan "hacking" sebatas diisi karakternya mengetik secepat kilat, kemudian tulisan "system hacked" muncul di layar komputer. Rizal tak meluangkan usaha lebih untuk membuat momen itu tampil intens.
Organisasi X dipimpin oleh Nosluc (Mike Lucock). Entah dari mana asal pria ini. Kepada Alenda ia mengaku belum lancar berbahasa Indonesia, tapi sejurus kemudian berbicara semulus warga lokal. Tanpa aksen, tidak pula terbata-bata. Sungguh konyol.
Di lain pihak, pelatihan Arga berjalan lancar. Rapor menembaknya luar biasa positif. Apakah berarti Adagium beralih menjadi film sniper seru? Sekali lagi jawabannya "tidak". Karena Adagium merupakan film "iklan", maka ia wajib mengikuti prosedur. Arga dan Bian melaporkan penculikan Alenda, yang selanjutnya diusut oleh tim siber TNI. Dari sanalah terungkap bahwa Organisasi X berniat melancarkan serangan EMP berbahaya yang dapat melumpuhkan Indonesia!
Sewaktu akhirnya dieksekusi, serangan super berbahaya itu rupanya cuma berlangsung beberapa menit. Saya paham adanya tujuan menggambarkan kehebatan tim siber TNI, tapi setelah pembangunan sedemikian lama, bukankah seharusnya ada payoff sepadan? Ketimbang membuat tim siber nampak jago, Adagium justru mengesankan betapa remehnya potensi serangan EMP.
Memasuki 15 menit terakhir, barulah pasukan khusus dikerahkan untuk menyerbu markas Organisasi X. Sekuen aksinya berlangsung 10 menit, minim intensitas, sebab lagi-lagi Rizal seolah tidak berusaha. Momen dramatis ketika Arga memamerkan kemampuan menembaknya pun berlalu begitu saja. Antiklimaks bak orgasme yang batal.
Satu-satunya poin positif di babak ketiga adalah keberhasilan Jihane Almira menuturkan emotional speech soal penolakan Alenda mengkhianati bangsa. Tidak spesial, tapi di antara keburukan-keburukan filmnya, penampilan Jihane memberi sedikit angin segar.
Sebenarnya film macam apa Adagium ini? Aksinya terlalu minim untuk bisa disebut "film action", sementara dramanya, baik mengenai pencarian jati diri maupun romansa berakhir setengah matang. Bahkan ia bukan iklan yang baik akibat gagal menjabarkan program Komcad secara jelas. Apakah Komcad hanya pelatihan sekali waktu? Ataukah pesertanya akan terus dipanggil guna menjalankan misi-misi berikutnya bak agen rahasia? Pastinya, Adagium dipenuhi banyak janji yang tak pernah dipenuhi.
REVIEW - OPERATION FORTUNE: RUSE DE GUERRE
Wrath of Man (2021) menandai kembalinya kolaborasi Guy Ritchie dengan Jason Statham. Kita pun diingatkan bahwa Statham berbeda dibanding jajaran jagoan aksi berkepala plontos lain. Sebagaimana kemunculannya dalam karya-karya awal karir Ritchie seperti Lock, Stock and Two Smoking Barrels (1998) dan Snatch (2000), Statham tampil lebih berkarakter.
Tiga judul di atas memperlihatkan apa jadinya saat Statham mengikuti gaya Ritchie. Operation Fortune: Ruse de Guerre tidak demikian. Menulis naskah bersama duo kolaboratornya sejak The Gentlemen (2018), Ivan Atkinson dan Marn Davies, kali ini seolah giliran Ritchie yang mengikuti Statham, walau hanya "setengah-setengah". Operation Fortune: Ruse de Guerre berdiri di antara suguhan nyeleneh khas sang sutradara dan action flick generik ala sang aktor.
Statham memerankan Orson Fortune, seorang prajurit bayaran yang kerap disewa jasanya oleh pemerintah Inggris. Hasil kerjanya memuaskan walau sosoknya merepotkan akibat punya banyak fobia. Klaustrofobia membuat Fortune hanya mau menaiki jet pribadi. Itu pun masih harus ditambah alkohol mahal untuk mengobati aerofobia miliknya. Apakah fobia tersebut punya dampak signifikan terhadap penokohan? Tidak. Apakah membantu efektivitas komedi? Juga tidak.
Misi terbaru Orson adalah mengusut pencurian benda misterius senilai miliaran dollar oleh mafia Ukraina. Benda yang tak diketahui wujudnya itu disebut "The Handle". Selain Fortune, tim turut diisi oleh Sarah Fidel (Aubrey Plaza) si peretas handal, serta J.J. Davies (Bugzy Malone) yang tak pernah jelas spesifikasi kemampuannya. Dia paham teknologi seperti Fidel, pula jago berkelahi layaknya Orson. Daripada "all rounder", ia malah terasa tanpa kekhasan.
Mengetahui barang curian itu bakal segera dijual melalui Greg Simmonds (Hugh Grant) si miliarder selaku perantara, Orson dan tim pun melakukan penyamaran. Danny Francesco (Josh Hartnett), seorang bintang film yang jadi idola Simmonds pun direkrut guna memuluskan aksi.
Seiring durasi, termasuk saat kita tahu wujud "The Handle" ternyata hanya satu lagi MacGuffin standar film spionase, alurnya tampil semakin klise. Tapi karya Ritchie memang tak pernah mengunggulkan perihal cerita. Bagaimana keklisean tampil menyenangkan berkat aksi stylish dan humor segar merupakan kunci. Operation Fortune kehilangan keduanya.
Cara Ritchie mengatur pacing tak se-engerik biasanya (aksi menyusup ke pesta Simmonds begitu membosankan), pun meski Statham tetap memamerkan ketangguhan, gelaran aksinya miskin imajinasi. Generik, tak ubahnya judul-judul medioker kepunyaan Statham. Kekurangan yang makin kentara kala memasuki klimaks, di mana Ritchie seolah ingin cepat-cepat menyelesaikan filmnya. Satu-satunya penyelamat di babak itu adalah penampilan karismatik Hugh Grant
Humornya tidak jauh beda. Cuma satu komedi gelap yang menggelitik, yakni saat melibatkan kematian salah seorang karakter pendukung. Sisanya hambar. Aubrey Plaza berusaha keras mengangkat filmnya, tapi naskahnya sendiri tak tahu cara membuat karakter yang memaksimalkan potensi sang aktris. Operation Fortune: Ruse de Guerre tetap memuaskan para penyuka "film aksi Jason Statham", namun penyuka gaya unik Guy Ritchie bakal pulang dengan tangan hampa.
REVIEW - MANGKUJIWO 2
Menonton Mangkujiwo 2 terasa seperti datang terlambat ke sebuah pertemuan, lalu diharuskan mengikuti obrolan peserta lain. Obrolannya menarik, kita terdorong ingin tahu lebih banyak, tapi keterlambatan tadi menyulitkan kita langsung bisa memahami apa yang mereka sampaikan.
Seperti pendahulunya, Mangkujiwo 2 yang naskahnya masih ditulis oleh Dirmawan Hatta, punya masalah di penceritaan. Jika banyak horor kita tersandung akibat kekosongan cerita, Mangkujiwo sebaliknya, terlalu berusaha tampil rumit. Ketika narasi non-linear jadi penyebab di film sebelumnya, kali ini kebingungan hadir akibat seringnya naskah melempar nama atau peristiwa secara campur aduk, beruntun, tanpa ada penjelasan bertahap.
Menonton film pertamanya adalah kewajiban. Bahkan kalau bisa, tonton sekali lagi sebelum melangkahkan kaki ke bioskop. Di sini Uma (Yasamin Jasem) masih bergulat dengan kemampuannya memanggil kuntilanak. Dia pun beberapa kali mendapat penglihatan mengerikan berupa kematian massal. Perihal melempar teror, Mangkujiwo 2 terlalu bergantung pada "pemandangan palsu". Apalagi, fotografer bernama Rimba (Marthino Lio) juga kerap mengalami mimpi aneh.
Mimpi dan penglihatan mistis merupakan amunisi khas horor, tapi saat digunakan terlampau sering, sense of urgency berkurang. Penonton bakal berpikir, "Ah paling cuma mimpi", dan tatkala kecurigaan itu terbukti, antisipasi terhadap teror-teror yang muncul berikutnya bakal berkurang. Mangkujiwo 2 mengalami itu, walau untungnya, Azhar Kinoi Lubis yang kembali duduk di kursi sutradara, cukup piawai mengolah banjir darah yang masih jadi senjata utama seri ini. Deretan pemandangan seperti jantung yang tercabut hingga wajah yang hancur bakal memuaskan para pencari gore.
Tapi 120 menit durasi film ini bukan didomonasi oleh teror, melainkan obrolan. Brotoseno (Sujiwo Tejo), Nyi Kenanga (Djenar Maesa Ayu), Karmila (Karina Suwandi), Jenderal Amperawan (Kiki Narendra) dan kekasihnya si bintang film, Maureen (Widika Sidmore), hingga Dargo Sentono (Yayu Unru) si pelaku pesugihan tikus, lebih sering saling berbalas kata. Di satu sisi, itu menguatkan identitas Mangkujiwo sebagai "cerita mistis" alih-alih horor tradisional, yang membedakannya dengan installment utama seri Kuntilanak. Tepatnya cerita mistis bernada politis.
Sayangnya seperti telah disinggung di atas, penataan obrolannya kurang rapi sehingga melahirkan kerumitan yang semestinya tidak perlu. Seiring waktu kesan repetitif ikut muncul. Kerap terjadi demikian: kita mengetahui suatu fakta, lalu fakta itu diceritakan ulang ke karakter lain dengan konten sama persis. Belum lagi kemasan Mangkujiwo 2 tidak memegang prinsip "show, don't tell". Bukan peristiwa yang sering kita saksikan, melainkan reaksi atau komentar tokoh-tokohnya atas peristiwa tersebut.
Beruntung Mangkujiwo 2 punya jajaran cast mumpuni. Nama-nama senior di dalamnya jelas punya kapasitas melakoni film berbasis dialog seperti ini, sedangkan sebagai junior, Yasamin Jasem menolak tenggelam meski porsi kemunculannya agak berkurang. Justru Marthino Lio yang tampil lemah. Semakin panjang kalimat yang harus diucapkan, pelafalannya semakin monoton. Semakin kentara, sebab ia mesti berbagi layar dengan semua pelakon seniornya.
Memasuki paruh akhir barulah Mangkujiwo 2 menunjukkan kekuatannya, sewaktu rangkaian tanda tanya mulai saling terhubung dan menjawab kebingungan-kebingungan yang sebelumnya menghantui. Secara khusus saya menyukai bagaimana klimaksnya bergulir, yang memantapkan pondasi tokoh-tokohnya, sebagai para pemilik kuasa penuh tipu daya. Pun jika anda teliti, sempat muncul cameo yang menciptakan koneksi antara seri Kuntilanak modern dengan versi Julie Estelle.
REVIEW - PATHAAN
"Still alive", ucap Pathaan pada sang lawan, sebelum sekuen aksi perdana filmnya dimulai, yang juga terdengar seperti pernyataan lantang seorang Shah Rukh Khan mengenai karirnya selepas absen selama hampir lima tahun. Blockbuster masif seperti Pathaan merupakan perayaan sempurna bagi comeback si "Raja Bollywood".
Alurnya memang klise, masih tersusun atas formula khas kisah spionase. Pathaan (Shah Rukh Khan), seorang agen RAW, mesti menghentikan aksi Jim (John Abraham), mantan agen yang kini menjadi teroris. Rencana Jim adalah menyebarkan sebuah virus misterius nan mematikan yang disebut "Raktbeej".
Naskah yang ditulis sang sutradara, Siddarth Anand, bersama Shridhar Raghavan tak berupaya menghindari keklisean, melainkan mengolahnya. Ambil contoh karakter Jim. Modus operandinya serupa jajaran antagonis film spionase kebanyakan, tapi motivasinya memberi bobot tambahan. Merasa dikhianati negara yang mati-matian ia bela, Jim ingin menuntut balas. Kejahatannya tak bisa dibenarkan, tapi begitu pengkhianatan yang dimaksud terungkap, kita bakal memahami sakit hatinya.
Pathaan pun mengikuti "kewajiban" suguhan spionase untuk tampil global, dengan membawa petualangannya melintasi delapan negara, yang turut menyokong keindahan visualnya. Tapi seeksotis apa pun lokasinya, tak ada yang mampu menghipnotis sekuat Rubina (Deepika Padukone), agen ISI yang membelot dan bekerja untuk Jim. Sejak muncul di lagu Besharam Rang, entah saat menari, berkelahi, atau sebatas terlibat interaksi kasual, Deepika Padukone ibarat magnet berdaya tarik luar biasa tinggi.
Perihal gelaran aksi, Siddarth Anand membawa satu gagasan: the bigger the better. Darat, udara, hingga danau es dijadikan latar, pun dengan kendaraan yang juga beragam, termasuk jetpack. Pathaan berambisi melakukan segalanya. Tapi ia tidak terjebak pemikiran "asal besar". Kreativitas turut digunakan dalam mengolah aksi over-the-top agar tampak segila mungkin. Tengok saat Pathaan dan Rubina bergelantungan di pesawat.
Beberapa CGI-nya memang belum mulus, tapi ingat, Pathaan dengan bujet sekitar 30 juta dollar tidak dibekali modal sebesar blockbuster Hollywood. Apalagi kepalsuan efek komputer berhasil ditutupi oleh sebuah hal nyata, yakni karisma jajaran pemainnya. Shah Rukh Khan dan John Abraham adalah lawan sepadan. "King Khan" tampil bak versi lebih liar dari Ethan Hunt, sementara John Abraham yang begitu enteng menarik dua helikopter hanya dengan seutas tali bakal membuat Steve Rogers minder. Dibarengi musik epik gubahan duet Sanchit dan Ankit Balhara, kedua aktor memamerkan machismo tanpa tanding.
Pathaan termasuk bagian YRF Spy Universe, tepatnya judul keempat, dan bukan rahasia lagi kalau film ini diisi penampilan spesial dari "wajah" franchise-nya. Tidak hanya muncul sekelebat, namun ia terlibat dalam satu set piece aksi raksasa yang mengajak penonton mencicipi potensi epik kala suatu hari nanti seluruh jagoan di semestanya bersatu.
Di antara barisan aksi masif miliknya, sekilas klimaks Pathaan mungkin terkesan biasa karena "cuma" menampilkan si protagonis dan antagonis bertukar pukulan. Tapi dari segi penulisan, justru sekuen ini paling spesial. Perhatikan latarnya. Sebuah kabin rapuh yang seiring berlangsungnya aksi, semakin mengalami kerusakan. Kabin itu bagaikan representasi "Mother India" yang porak-poranda akibat kekisruhan manusianya. Tapi akhirnya ia tidak runtuh, sebab sebagaimana perkataan sang atasan, Nandini (Dimple Kapadia), Pathan adalah emas yang menyatukan keping-keping bangsa yang berserakan, layaknya praktik kintsugi di masyarakat Jepang.
REVIEW - JUNG_E
Jung_E merupakan film terakhir Kang Soo-yeon, yang dirilis tidak sampai sembilan bulan pasca meninggalnya figur legendaris perfilman Korea Selatan tersebut. Pada tahun 1987, Kang Soo-yeon menjadi pelakon Korea pertama yang memenangkan penghargaan di festival film internasional bergengsi, kala menyabet gelar Aktris Terbaik di Venice International Film Festival lewat perannya dalam The Surrogate Woman.
Sempat absen hampir satu dekade tidak menurunkan kualitasnya. Soo-yeon adalah bagian terbaik dalam karya terbaru sutradara Yeon Sang-ho (Train to Busan, Peninsula) ini. Sebuah fiksi ilmiah yang berambisi jadi lebih dari blockbuster biasa, namun terlalu ragu untuk berkonsentrasi pada drama intim. Atau memang tidak mampu?
Berlatar abad 22, akibat perubahan iklim, umat manusia terpaksa hidup di luar angkasa dengan membangun sekitar 80 penampungan. Sampai perang sipil pecah, saat tiga penampungan membentuk republik sendiri dan melancarkan serangan ke penampungan lain. Pembangunan dunia itu hanya kita temui di intro, plus beberapa eksposisi pendek. Mayoritas durasi dihabiskan dalam laboratorium tempat Yun Seo-hyun (Kang Soo-yeon) memimpin sebuah eksperimen dengan kode JUNG_E.
Eksperimen itu bertujuan melahirkan prajurit AI sempurna, yang dibuat dengan mengkloning otak Yun Jung-yi (Kim Hyun-joo), seorang pahlawan perang yang tengah koma akibat cedera parah di misi terakhirnya 35 tahun lalu. Jung-yi adalah ibu Seo-hyun.
Naskah yang ditulis sendiri oleh Yeon Sang-ho melempar gagasan menarik melalui dinamika tadi. Di hari Jung-yi melakukan misi, Seo-hyun kecil (Park So-yi) sedang menjalani operasi pengangkatan kanker. Seo-hyun merasa bersalah, karena di matanya, sang ibu tak pernah menjalani hidup secara bebas, terpaksa bekerja sebagai prajurit bayaran demi membayar biaya pengobatannya. "Apakah ibu membenciku?", jadi pertanyaan yang terus menghantui hingga kini.
Eksperimen ini jadi cara Seo-hyun menyelami isi hati ibunya, dan Yeon Sang-ho mendesain Jung_E agar memfasilitasi proses tersebut. Di luar dugaan kuantitas adegan aksi filmnya tak begitu tinggi. Kecuali kilmaks, baku hantam hanya diisi oleh beberapa simulasi, di mana robot Jung_E mesti berkali-kali mengulangi misi terakhir Jung-yi. Mengingat ini bukan produk Hollywood berbiaya ratusan juta dollar (cuma 16 juta dollar), CGI miliknya tergolong mumpuni. Kim Hyun-joo pun meyakinkan sebagai pahlawan idola yang saking terkenal akan ketangguhannya, sampai dibuatkan action figure.
Sayangnya, walau sudah mengakomodasi ruang untuk drama, naskahnya tak pernah benar-benar menggali dinamika personal dua karakternya. Seo-hyun dan Jung-yi begitu minim diberi kesempatan berinteraksi, bahkan sewaktu kesempatan itu datang di paruh akhir, naskahnya gagal memunculkan dampak emosional berarti. Padahal Kang Soo-yeon telah membangun sensitivitas, kala tiap ekspresinya memancarkan pilu tak tertahankan.
Naskahnya justru menyibukkan diri melempar deretan pertanyaan lain. Ada perenungan mengenai "self", yang mempertanyakan apakah manusia benar-benar mengenal dirinya sendiri, hingga kritik terhadap eksploitasi serta seksualisasi idola yang terasa lebih relevan mengingat kultur populer Korea Selatan.
Persoalan-persoalan di atas berpotensi melahirkan eksplorasi menggigit, tapi masalahnya, Jung_E melupakan tugas utama sebagai cerita personal protagonisnya. Ditambah pilihan narasi klimaksnya yang menyia-nyiakan keberadaan Kim Hyun-joo, Jung_E makin kehilangan kemanusiaannya.
(Netflix)
REVIEW - SCANDAL MAKERS
Menonton Scandal Makers versi Indonesia terasa bak mengonsumsi imitasi hemat yang dibuat secara instan, dari sebuah produk orisinal yang punya kualitas tidak spesial. Jika ada pertanyaan, "Seperti apa remake yang tidak perlu?", maka inilah jawabannya. Tanpa penambahan value berarti, pula minim penyesuaian baik terkait latar waktu maupun lokasi. Seolah para pembuatnya tidak menyelipkan "suara" mereka dan hanya melakukan reka ulang.
Ceritanya masih sama. Oscar (Vino G. Bastian), mantan musisi yang kini tenar sebagai penyiar radio, didatangi oleh Karin (Beby Tsabina) dan Gempa (Jared Ali), yang ternyata adalah puteri dan cucunya. Meski awalnya enggan mengakui, bahkan menyembunyikan keberadaan mereka demi menjaga karirnya, perlahan tumbuh ikatan antara Oscar dengan dua "keluarga barunya".
Sekali lagi, sama persis. Well, menyebutnya 100% serupa mungkin agak berlebihan. Naskah buatan Jeihan Angga (juga selaku sutradara) bersama Alim Sudio menyelipkan segelintir perubahan, serta penambahan sekaligus pengurangan. Apakah deretan modifikasi tersebut signifikan dan tepat guna? Tidak seluruhnya.
Saya mengapresiasi keputusan menghapus lelucon "ayah-anak tidur bersama" yang sudah ketinggalan zaman. Tapi tanpa lelucon itu, momen Oscar dan Karin mabuk tak diperlukan. Apa perlunya dipertahankan, lalu mengganti alkohol dengan durian? Berbeda dibanding saat Alim Sudio mengubah profesi pendeta menjadi guru ngaji di Miracle in Cell No. 7, perubahan di atas bukan bentuk komparasi kultur yang pas, tidak pula substansial.
Sementara di babak ketiga, yang serupa versi Koreanya, masih diisi kekacauan yang membuat garuk-garuk kepala, naskahnya justru luput memberi resolusi bagi hubungan Oscar dan Mikha (Frederika Cull), kepala sekolah di TK tempat Gempa belajar. Kalau percintaan keduanya dirasa kurang penting, kenapa harus repot-repot disertakan dalam cerita?
Di atas kertas, penunjukkan Jeihan Angga untuk menangani film ini tampak sempurna. Dia pernah melahirkan keabsurdan menggelitik dalam Mekah, I'm Coming (2020), juga melodrama keluarga menyentuh di Just Mom (2022). Sayangnya di sini, Jeihan seperti "tanpa suara". Ciri khasnya lenyap. Scandal Makers seolah digerakkan oleh autopilot, di mana tiap humor maupun pemandangan emosional hanyalah kopian medioker dari film aslinya.
Penyelamat Scandal Makers adalah duo Vino G. Bastian dan Beby Tsabina. Vino mampu tampil lucu tanpa harus menjadi sosok brengsek seperti Cha Tae-hyun (not a fan of his 2000s era), sedangkan Beby punya kapasitas menghantarkan emosi secara memadai. Interaksi kasual keduanya pun tersaji natural. Mereka bukan imitasi medioker seperti filmnya.
(Prime Video)
REVIEW - BAYI AJAIB
Kecuali dilakukan modifikasi ekstrim, mustahil menandingi pesona teror vintage milik Bayi Ajaib (1982). Remake buatan Rako Prijanto (debutnya menyutradarai horor) ini tanpa modifikasi ekstrim, dan mendobrak pakem memang bukan tujuannya. Modernisasi aspek teknis serta menambal beberapa lubang penceritaan merupakan fokus, dan terkait hal-hal itu, Bayi Ajaib 2023 cukup berhasil menjalankan tugasnya.
Deretan karakternya masih sama. Kosim (Vino G. Bastian) adalah juragan serakah yang berambisi menancapkan kuasa dengan mencalonkan diri sebagai kepala desa. Pesaingnya adalah Soleh (Teuku Rifnu Wikana) yang dikenal bersih sekaligus amanah. Di sisi lain ada Dorman (Adipati Dolken) yang memakai ilmu hitam guna menumpuk kekayaan.
Penokohannya sekilas sama, tapi sesungguhnya berbeda. Dorman meminta bantuan arwah leluhurnya, seorang pria Portugis kejam bernama Albert Dominique (Willem Bevers) bukan agar memenangkan pemilihan kades, melainkan demi harta semata. Kosim pun lebih bengis. Hatinya tidak semudah itu tergetak untuk bertobat. Sederhananya, naskah buatan Alim Sudio tampil lebih masuk akal. Lebih matang. Seperti halnya karakter ustaz (Derry Oktami) yang tidak muncul secara mendadak di paruh akhir.
Upaya Dorman membangkitkan arwah Albert Dominique berujung pada gangguan mistis yang menimpa kehamilan Sumi (Sara Fajira), istri Kosim. Si bayi yang diberi nama Didi (Rayhan Cornelis Vandennoort) lahir dengan selamat, namun sosoknya diselimuti keanehan, yang makin kentara saat usianya menginjak tujuh tahun, tatkala masa kampanye pemilihan kades dimulai. Remake ini menambal plot hole milik film original, di mana proses kampanye (untuk lurah di versi 1982) berlangsung bertahun-tahun.
Kita pun diajak menemui Didi yang lebih berkarakter. Dia bukan lagi "wadah kosong" bagi Albert Dominique. Didi mempertanyakan kenormalan dirinya, dan ingin menjadi normal agar dapat hidup seperti bocah lain. Persahabatannya dengan Rini (Anantya Rezky Kirana), puteri Soleh, jadi salah satu pemicu. Bahkan di satu titik Didi berusaha melindungi sang ibu dari ancaman arwah Albert Dominique.
Terkait penokohan dan di banyak aspek penceritaan, remake ini unggul dibanding pendahulunya. Apalagi ia didukung oleh jajaran cast berkualitas. Sara Fajira tampil total, sedangkan dalam sebuah pemandangan langka, Vino G. Bastian dan Teuku Rifnu "bertukar citra". Vino memerankan pria berhati busuk, sementara Teuku Rifnu, seperti nama karakternya, adalah manusia soleh. Keduanya tampil apik.
Lain cerita bila membicarakan kualitas teror. Kita semua tahu momen ikonik nan menyeramkan saat kandungan Sumi pindah ke punggung. Momen itu kembali dimunculkan, sayangnya tidak dengan atensi memadai dari pembuatnya. Sangat buru-buru, tanpa shot maupun kalimat penegas. Mereka yang belum mengenal versi aslinya mungkin takkan menangnkap kegilaan yang coba diperlihatkan.
Itulah masalah terbesar Bayi Ajaib. Pergerakannya serba buru-buru, baik akibat penulisannya maupun pengadeganan sang sutradara. Dampak dari terornya ikut terpengaruh. Patut disayangkan, karena segala jenis teror, dari jump scare hingga gore dipersenjatai efek praktikal serta komputer mumpuni. Musik gubahan Andhika Triyadi pun memperdengarkan kemewahan bombastis. Bayi Ajaib adalah apa yang saya bayangkan saat mendengar kabar Falcon (tepatnya Falcon Black) merilis horor. Mahal. Sebuah horor blockbuster.
REVIEW - OMG! OH MY GIRL
"The Classic (2003) jahat pada karakternya", canda film ini di salah satu adegan. Di OMG! Oh My Girl memang tidak ada wanita yang dijodohkan atau pria yang kehilangan penglihatan di medan perang, namun Tuhan dalam semestanya pun tak kalah kejam soal mempermainkan suratan takdir. Setidaknya begitu menurut Guy (Wongravee Nateetorn).
Guy diam-diam menyukai teman sekampusnya, June (Plearnpichaya Komalarajun), tapi tidak berhasil memacarinya. Bukan karena Guy tak tahu cara mendapatkan hati wanita. Sebaliknya, ia cukup jago. Bahkan berkat saran dari Guy, Phing (Michael Pugh) bisa berpacaran dengan si pujaan hati. Masalahnya, tanpa Guy tahu, pujaan hati Phing adalah June.
Di satu titik, Guy sempat memacari gadis lain, tapi cintanya pada June menolak surut. Ketika June kerap terluka dalam hubungannya yang putus-nyambung, Guy selalu hadir sebagai tempat bersandar. Walau demikian, takdir Tuhan seolah enggan berpihak. Setiap Guy merasa telah maju satu langkah untuk merebut hati June, muncul peristiwa yang membuatnya mundur dua langkah.
Misal selepas sebuah malam romantis di tengah banjir, June yang sudah bukan lagi kekasih Phing justru jatuh ke pelukan pria baru bernama Pete (Pachara Chirathivat). Takdir bak mempermainkan hati Guy, dan itu berlangsung dalam hitungan tahun. Tapi benarkah demikian? Benarkah semua bentuk kekejaman takdir Tuhan, atau sebaliknya, murni kesalahan Guy?
Oh My Girl mengusung pendekatan khas komedi romantis Thailand melalui sentuhan humor konyol dengan wujud serta timing tak terduga. Siapa sangka filmnya bisa mengocok perut selama bermenit-menit hanya lewat satu kata: kentut.
Tapi tawa yang dihasilkan bukan tawa biasa. Sebagaimana deretan komedi romantis terbaik Thailand, Oh My Girl paham betul bahwa tiada romansa tanpa tawa. Dimotori chemistry Wongravee Nateetorn dan Plearnpichaya Komalarajun, dua karakternya bertingkah konyol di hadapan satu sama lain. Bukan kekonyolan kosong, melainkan paparan tentang keterbukaan, tentang kejujuran, tentang bagaimana individu bebas menanggalkan topeng saat bersama cintanya. Cinta yang tak memedulikan kepalsuan citra.
Pengarahan Thitipong Kerdtongtawee yang di sini melakoni debut sebagai sutradara pun mampu menyeimbangkan dua sisi filmnya: momen-momen romantis yang magis meski sebatas menampilkan peristiwa sederhana seperti tarian muda-mudi yang merasa dunia milik berdua, dengan komedi over-the-top.
Walau mulai goyah begitu alurnya memasuki paruh kedua yang mengambil latar 1001 hari pasca timeskip, pun durasi 124 menit sejatinya dapat dipangkas guna menguatkan efektivitas penuturan, naskah buatan sang sutradara bersama Thanaram Prameboon masih menyimpan amunisi lain. Sewaktu kegilaan tokoh-tokohnya sedikit memudar seiring pendewasaan usia, Oh My Girl menyodorkan kekuatan lain melalui perspektifnya soal kompleksitas hubungan percintaan.
Cinta segitiga Guy-June-Pete tidak seklise kelihatannya. Pete bukan pria berperangai buruk yang membuat penonton dengan gampang berpihak pada Guy. Saya bisa membayangkan bahwa di semesta lain, posisi kedua pria ini ditukar, di mana Pete menjadi protagonis yang juga mengutuk keusilan suratan takdir. Tapi sekali lagi, benarkah takdir patut disalahkan? Ataukah seperti namanya, Guy merupakan cerminan kebodohan para pria dalam asmara yang senantiasa ragu "bergerak", dan sekalinya mengambil langkah, gerakan itu penuh kecerobohan yang mengacaukan segalanya?
REVIEW - LAYAR
Layar memperkenalkan kita pada bioskop bernama Merapi. Sebuah bioskop dengan harga tiket 12 ribu rupiah, masih belum beralih ke proyektor digital, dindingnya pun berhiaskan poster film-film lawas. Apakah film ini membicarakan masa lalu? Rupanya tidak. Latarnya adalah masa kini, tepatnya di tengah pandemi.
Begitulah konstruksi dunia ciptaan oleh Ifa Isfansyah, yang menulis naskahnya bersama Ahmad Aditya, sekaligus menduduki kursi sutradara. Tidak sepenuhnya antah berantah. Eksistensi Piala Citra mengonfirmasi bahwa kita sedang menyaksikan Indonesia. Lebih tepatnya Indonesia versi fiktif, atau kalau mau lebih spesifik, Yogyakarta, mengingat pemilihan "Merapi" sebagai nama bioskop. Bentuk dunia tersebut membebaskan Ifa mempertemukan realita masa kini, kenangan masa lalu, serta harapan masa depan.
Protagonisnya adalah Ani (Siti Fauziah), seorang pegawai bioskop Merapi. Ayahnya seorang pecinta film, dan bisa ditebak nama Ani terinspirasi dari karakter peranan Yatie Octavia dalam film-film Rhoma Irama. Kecintaan sang ayah pun menurun kepada Ani, sehingga ia memilih mencari nafkah di bioskop.
Sampai hantaman pandemi memaksa Merapi tutup. Tidak hanya itu, Pak Bimo (Pritt Timothy) selaku pemilik berencana menjual bioskop, yang telah merugi selama bertahun-tahun bahkan sebelum pandemi. Bersama pegawai lain, Ani mulai mencari cara guna menyelamatkan Merapi.
Begitu realita masa kini. Bioskop independen di luar lingkaran jaringan raksasa sukar bertahan hidup, sekalipun tanpa terjangan pandemi. Sedangkan eksibitor yang menguasai industri, membangun bioskop mereka dalam pusat perbelanjaan mewah, pula dengan harga yang makin sukar dijangkau kalangan bawah.
Bioskop Merapi dengan harga belasan ribu, lokasi dekat area pemukiman warga, serta tata ruang sederhana (penggunaan gedung Societet di Taman Budaya Yogyakarta adalah keputusan sempurna) ibarat mesin waktu yang Ifa lahirkan untuk mengunjungi kenangan masa lalunya, kala kecintaan terhadap film tumbuh kala bioskop di tengah rakyat. Layar merupakan satu lagi surat cinta bagi sinema, tapi bukan sinema elitis.
Kita melihat tukang becak hingga penjual jajanan pasar menggantungkan penghidupan mereka dari Merapi. Dari situlah terpampang gambaran masa depan ideal yang Ifa dambakan, di mana bioskop dan film jadi kepunyaan bersama. Mungkin bisa disebut "sinema kerakyatan". Poin ini ditekankan di babak ketiga, dalam bentuk curahan hati pecinta sekaligus pelaku industri film, yang sayangnya lalai "dipercantik" sehingga tampil bak iklan layanan masyarakat.
Layar memang surat cinta yang masih memiliki cela. Progresi konfliknya terasa buru-buru. Alhasil masalah beserta solusi sering terasa datang dan pergi secara tiba-tiba tanpa dibarengi proses memadai. Pun beberapa subplot hanya menjadi sempilan minim signifikansi. Kelemahan itu sesungguhnya bisa dipahami, mengingat Layar adalah "produk OTT" yang serba terbatas, termasuk soal durasi (tidak genap 70 menit). Filmnya memang didesain sebagai suguhan ringan, singkat, yang dapat dinikmati di waktu senggang.
Gangguan lain muncul dalam hal bahasa. Naskah Layar menggabungkan Bahasa Indonesia dan Jawa dengan hasil yang timpang. Ketika Bahasa Jawa menghadirkan nuansa "gayeng" khas obrolan santai Yogyakarta, deretan kalimat Bahasa Indonesia terdengar seperti terjemahan kaku. Nampaknya ini upaya menciptakan kesan universal yang kurang sukses.
Interaksi jajaran pemainnya pun lebih nyaman disimak sewaktu mereka menggunakan Bahasa Jawa. Siti Fauziah yang akhirnya lepas dari bayang-bayang karakter Bu Tejo, Tuminten sebagai Mbok Giyem si penjual makanan, hingga Tri Sudarsono sebagai Pak Purnomo, adalah bagian ekosistem sinema yang acap kali dikesampingkan, dan Layar menuliskan surat cinta hangat untuk mereka semua.
(Klik Film)
10 FILM TERBAIK 2022
2022 bukan tahun yang mulus bagi kegiatan saya bersinema. Di saat kesibukan meningkat, begitu pula jumlah tontonan, mengingat rilisan layar lebar dan streaming kini eksis bersamaan. Film yang disantap menurun (sekitar 220-230 judul), pun tidak seluruhnya sempat dituangkan dalam bentuk ulasan di blog ini. Alhasil pembuatan daftar ini juga mengalami kemunduran.
Tapi apa pun kondisinya, rutinitas membuat daftar terbaik tiap tahun harus terus berjalan, bahkan jika kelak datang hari di mana kuantitas tulisan di blog ini makin menurun, atau tidak ada sama sekali.
Sebelum memasuki daftar utama, berikut adalah honorable mentions, yang terdiri atas lima judul dengan kualitas tidak jauh berbeda dibanding penghuni 10 peringkat teratas. Writing with Fire menghantarkan kisah empowerment menggugah berlatar jurnalisme rakyat; Marcel the Shell with Shoes On menyajikan kombinasi animasi dengan live action sebagai sampul ide cerita uniknya; RRR menghadirkan kehebohan di seluruh dunia melalui gaya filmmaking yang mendobrak batasan; Barbarian adalah horor penuh kelokan yang luar bisa intens sekaligus menyenangkan; dan Official Competition dipenuhi interaksi brilian sebagai bentuk sentilan menggelitik terhadap pelaku industri film.
Dan inilah 10 FILM TERBAIK 2022 versi Movfreak:
REVIEW - A MAN CALLED OTTO
Membawa sensitivitas Eropa ke Amerika cenderung berakhir buruk. Lihat apa yang terjadi saat Downhill (2020) me-remake Force Majeure (2014). Tendensi Hollywood mengubah suatu karya ke arah lebih komersil jadi alasan utama. A Man Called Otto sesungguhnya memakai pendekatan serupa. Bedanya, ia tahu apa saja yang bisa dimodifikasi, serta alasan mengapa modifikasi itu dilakukan.
Film aslinya adalah A Man Called Ove (2015), adaptasi novel berjudul sama yang mewakili Norwegia di Oscars 2017. Tom Hanks memerankan Otto, sosok yang secara sempurna merepresentasikan istilah "grumpy old man". Dia selalu bersikap ketus pada tetangga. Tata tertib pun amat ia junjung tinggi, sampai Otto rela tiap hari berpatroli mengontrol kerapian dan kebersihan lingkungan.
Bagi pecinta versi Norwegia akan butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan pembawaan Tom Hanks. Dia berbeda dibanding Rolf Lassgård yang seketika memancarkan ketidakramahan walau cuma berdiri diam. Bukan soal mana lebih baik. Sekali lagi, pendekatannya berbeda. Interpretasi Hanks sangat membantu ketika nantinya penonton mulai melihat sisi lain Otto, di mana kejengahan berubah jadi simpati. Karena saat itulah, lewat gaya yang "sangat Amerika", A Man Called Otto berupaya mengaduk-aduk emosi kita.
Selepas diberhentikan secara halus dari pekerjaannya, Otto memilih bunuh diri. Tapi semesta seolah enggan memberi restu dengan memperkenalkan Marisol (Mariana Treviño) dalam hidup Otto. Bersama Tommy (Manuel Garcia-Rulfo), suaminya yang canggung, beserta dua puterinya, Marisol tinggal berseberangan dengan Otto.
Otto dan Marisol bagai kutub yang berseberangan. Jika Otto sedingin es, maka Marisol meledak-ledak layaknya erupsi gunung berapi. Sewaktu Otto membangun tembok di antara mereka, Marisol terus mendobraknya, berharap si pria tua pemarah mau membuka hati. Marisol adalah sosok yang tricky untuk dimainkan. Meleset sedikit, ia bisa lebih menyebalkan daripada Otto, dan Mariana Treviño sanggup menghindari itu. Di tangan sang aktris, Marisol yang "sangat hidup" mengingatkan Otto akan arti hidup.
Otto memang kehilangan alasan untuk hidup pasca kematian istrinya, Sonya (Rachel Keller). Tidak ada Sonya, tidak ada kehidupan. Otto bahkan mengingat tiap detail momen hingga perkataan yang pernah diucapkan pada sang istri. Di sinilah perbedaan substansial A Man Called Otto dan A Man Called Ove terletak.
Kedua film memakai flashback sebagai alat bantu penonton menyelami ruang intim protagonisnya, yang sama-sama dirundung duka akibat kehilangan cinta sejati. Tapi tatkala flashback milik Ove mencakup perjalanan hidup karakternya secara menyeluruh, naskah buatan David Magee (Finding Neverland, Life of Pi, Mary Poppins Returns) total menaruh fokus pada romansa. Alhasil presentasinya lebih ringan (baca: sangat Amerika), lebih universal, tanpa mengubah pondasi karakternya.
Jadilah sebuah kisah mengenai pria yang memandang cinta sebagai nyawa hidupnya. Kesan universal itu memudahkan penonton kasual menjalin ikatan dengan karakternya. Apalagi didukung ketepatan Marc Forster (Finding Neverland, World War Z, Christopher Robin) mengolah rasa lewat pengarahannya. Emosi tersampaikan dengan cantik, menyentuh, tapi tidak berlebihan dalam meledakkan dramatisasi.
Bahkan di saat epilognya berlangsung agak terlalu panjang, tiada rasa keberatan. Saya betah berlama-lama menghabiskan waktu bersama orang-orang yang mampu mengubah dinginnya salju menjadi kehangatan melalui dekapan kemanusiaan mereka.
REVIEW - HIDAYAH
Seorang ustaz jago rukiah kembali ke pesantren tempatnya menuntut ilmu selepas mendekam dalam penjara akibat kematian salah satu pasien. Di sana, sang ustaz mesti menggunakan kemampuannya untuk menolong seorang wanita, walau kondisi imannya tengah ada di titik terendah.
Paragraf di atas bukan deskripsi untuk Qodrat, melainkan Hidayah, adaptasi dari sinetron berjudul sama, yang juga dibuat berdasarkan majalah religi bernama sama. Tambahkan fakta bahwa kiai pemimpin pesantren sekaligus guru si ustaz sedang sakit keras, pula bagaimana klimaksnya menampilkan aksi baku hantam melawan penyembah setan berlatar altar pemujaan, kemiripan kedua judul semakin kentara.
Saya takkan berasumsi soal siapa menjiplak siapa (atau apakah ada tindak penjiplakan). Tapi Qodrat jelas unggul. Sewaktu karya Charles Gozali tersebut merompak pakem horor religi Indonesia, Hidayah, walau punya intensi baik, pun bukan suguhan dengan kualitas tiarap, terasa digarap buru-buru, biarpun telah memundurkan jadwal tayang hampir tiga bulan.
Bahri (Ajil Ditto) nama protagonis kita. Dia seorang ustaz muda. Begitu muda sampai muncul keraguan akan kemampuannya. Filmnya pun gagal membangun rasa percaya penonton akibat tak pernah menonjolkan betapa mumpuni si Bahri. Benar bahwa tak semua praktisi rukiah di film harus sejago Qodrat yang bak pahlawan super, namun kemiripan alur membuat komparasi itu sukar dihindari.
Didorong permintaan sahabatnya, Hasan (Alif Joerg), Bahri bersedia pulang ke kampung halamannya guna menolong Ratna (Givina), gadis yang dahulu sempat dekat dengannya. Ratna menderita gangguan gaib misterius. Tubuhnya dipenuhi luka yang mengeluarkan belatung. Situasi makin rumit karena warga setempat memandang Ratna sebagai aib.
Jika familiar dengan materi asalnya, tidak sulit menebak penyebab kondisi Ratna. Hidayah bergulir serupa kisah-kisah di sinetron serta majalahnya. Bedanya, naskah buatan Baskoro Adi Wuryanto mencoba lebih ambisius. Tidak hanya perihal azab, ia turut menambahkan revenge horror, sampai perspektif religi tentang bagaimana kebaikan jiwa manusia takkan lenyap bahkan setelah raganya mati, yang diwakili oleh twist di pengujung durasi (tidak seberapa mengejutkan selama kalian jeli memperhatikan baju salah satu karakternya).
Sekali lagi, intensinya baik. Pun kalau dibandingkan, ini adalah naskah horor terbaik Baskoro yang sebelumnya menangani judul-judul semacam Sawadikap (2016), Gasing Tengkorak (2017), hingga Jailangkung (2017). Sayangnya ia keteteran menautkan beragam subplot tadi, sehingga Hidayah tampil bagaikan beberapa film yang dipaksa menyatu.
Setidaknya Hidayah tetap menyimpan beberapa teror yang cukup solid. Menyuradarai filmnya bersama Dedy Kopola, Monty Tiwa membuktikan bahwa ia salah satu sutradara yang paling piawai menangani pocong. Beberapa imageries-nya tampak creepy dan kreatif, termasuk sebuah momen di awal tatkala Monty coba melakukan "reka ulang" untuk salah satu penampakan pocong paling legendaris di Keramat.
Tapi performa departemen penyutradaraan pun tidak sempurna. Beberapa pengadeganan berlangsung jauh lebih lama dari kebutuhan, sebaliknya, klimaks film ini justru berakhir prematur dan kurang menggigit. Setengah matang seperti naskahnya. Sayang sekali. Hidayah hanya perlu dipoles sedikit lagi agar bisa tampil memuaskan.
4 komentar :
Comment Page:Posting Komentar