REVIEW - HERE
Guliran waktu seringkali terasa menyeramkan akibat kemampuannya merenggut hal-hal berharga dalam hidup manusia. Tapi terkadang ia juga konsep romantis yang membawa seseorang mengenang baris-baris memori masa lalu, memutar kembali serangkaian cerita yang terekam oleh tempat-tempat sampai sang waktu pun tak kuasa membuatnya terlupakan.
Melalui Here yang mengadaptasi novel grafis buatan Richard McGuire, Robert Zemeckis berupaya memotret gagasan di atas. Gagasan yang cenderung abstrak, sehingga guna merealisasikannya, sang sutradara merasa perlu bereksperimen, yang mana sudah berulang kali ia lakukan sepanjang karirnya yang membentang lebih dari empat dekade.
Kali ini Zemeckis (juga menulis naskah bersama Eric Roth) meminta sang sinematografer, Don Burgess, untuk meniadakan gerak kamera. Selama 104 menit durasinya, Here cuma menampilkan satu titik. Penonton diajak mengobservasi bagaimana titik tersebut berevolusi seiring pergerakan waktu. Berawal dari sepetak tanah di era dinosaurus, sebelum kemudian menjadi tempat tinggal manusia dari beragam era. Dia pernah jadi hunian suku Indian, jalan menuju kediaman William Franklin, rumah seorang pilot di era pandemi influenza, tempat penemu dan istrinya bermesraan, hingga tempat berteduh bagi Keluarga Young.
Al Young (Paul Bettany) dan Rose Young (Kelly Reilly) membeli rumah tersebut pasca Perang Dunia II. Di sanalah keduanya melewati masa-masa sulit sembari membesarkan tiga anak mereka. Richard (Tom Hanks) si putra tertua kelak menikahi Margaret (Robin Wright) dan turut membangun keluarga di situ.
Kita pun menyaksikan dinamika kehidupan. Kelahiran, kematian, perubahan budaya, perkembangan teknologi, tumbuhnya harapan, hingga kandasnya impian. Era mana pun yang tengah kita saksikan, hal-hal tersebut senantiasa terjadi. Mungkin memang ada yang tidak pernah berubah dalam kehidupan.
Eksperimen yang Zemeckis lakukan rupanya tidak sebatas menghapus gerak kamera. Dia pun menguji coba teknik unik untuk departemen penyuntingan lewat transisi berbentuk (semacam) kolase, yang membuat lebih dari satu era bisa muncul secara bersamaan. Ada kalanya pilihan itu melahirkan adegan unik. Misal momen pernikahan Richard dan Margaret yang diiringi oleh penampilan The Beatles di televisi, atau ketika Zemeckis mencetuskan cara baru untuk memvisualkan adegan mimpi.
Sayangnya ada efek negatif yang juga diperoleh. Ketika dikombinasikan dengan penuturan non-linear yang bisa tiba-tiba melompat secara acak dari satu zaman ke zaman lain, teknik penyuntingan itu mengganggu aliran waktu yang semestinya bisa penonton resapi (padahal bukankah itu tujuan awal Zemeckis bereksperimen dengan kameranya?). Ditambah peralihan yang begitu cepat, Here tampil bak kolase yang kacau.
Presentasinya enak dipandang, namun sulit dirasakan. Kisah yang terus menyediakan varian berbeda membuat pengalaman menontonnya tidak terasa membosankan, tetapi melelahkan. Pengolahan tempo Zemeckis yang tak mengenal kesabaran mungkin bertujuan untuk mewakili kelakar "time flies". Poin itu mampu diwakili, tapi kita jadi kehilangan kesempatan meresapi momen.
Tapi keberanian eksperimen Zemeckis tetap patut dipuji. Tanpa eksperimen, sinema akan mengalami stagnasi. Apalagi sang sineas nampak tak terbatasi oleh sudut kamera yang tak pernah beranjak, layaknya seorang sutradara teater handal yang piawai mengatur blocking dan membuat aktor-aktornya berdinamika dengan ruang serta benda mati di atas panggung.
Teknologi de-aging yang dipakai untuk memudakan para aktor, juga tata rias yang membuat mereka tampak lebih tua, memang tidak selalu terlihat meyakinkan, namun kekuatan akting mampu menutupi sedikit kelemahan itu. Khususnya Tom Hanks yang secara gradual membuat gestur karakternya bertransformasi, dari remaja canggung menjadi pria paruh baya yang lelah dihantam oleh kehidupan.
Menyebut Here sama sekali tidak pernah menggerakkan kamera sejatinya kurang tepat. Kelak pergerakan itu bakal terjadi pada waktu yang tepat. Sangat tepat sampai mampu memberi dampak emosi signifikan. Rumah memang indah. Sebuah bangunan yang meskipun kecil, nyatanya bisa menampung segunung peristiwa, juga kenangan milik manusia-manusia yang mendambakan kata "bahagia".
REVIEW - HIS THREE DAUGHTERS
His Three Daughters karya Azazel Jacobs (menjadi sutradara, produser, penulis naskah, juga editor) adalah salah satu film terhangat tahun ini. Sebuah potret kesatuan yang tak melupakan individualitas. Suatu pengingat bahwa keluarga diisi oleh manusia-manusia dengan segala perbedaan masing-masing.
Kepekaan sang sineas segera nampak sedari momen pembuka, ketika tiga anak perempuan yang disebut di judulnya tengah terlibat obrolan. Katie (Carrie Coon), Christina (Elizabeth Olsen), dan Rachel (Natasha Lyonne) berkumpul lagi setelah sekian lama, ketika sang ayah yang sakit keras divonis bakal segera meninggal. Hal-hal seperti rencana pemakaman pun mulai dibicarakan.
Tata kamera arahan Sam Levy membantu sang sutradara untuk mengenalkan penonton kepada tiga saudari tersebut. Setiap karakter mendapat jatah shot individual, seolah diberi ruang personal khusus. Karena sekali lagi, Jacobs hendak mengingatkan bahwa meski ketiganya merupakan kakak-beradik, mereka tetaplah individu yang berbeda-beda.
Masalah muncul tatkala Katie, yang nampak memimpin semua obrolan, merasa Rachel terlalu egois. Dia merokok ganja di dalam rumah, menyimpan apel busuk di kulkas, dan ditengarai hanya tertarik pada apartemen sang ayah yang akan diwariskan untuknya. Mereka berdua memang bukan saudara kandung. Jika Katie dan Christina adalah putri dari istri pertama, Rachel merupakan anak bawaan dari istri kedua.
Tapi seiring makin dalam naskah buatan Jacobs melakukan penelusuran, semakin kentara bahwa kita belum mengetahui segala hal mengenai tiga tokoh utamanya. Mereka pun sama, sehingga tak semestinya penghakiman dilakukan sedemikian instan. Katie bukan bersikap keras tanpa alasan, Rachel tidaklah seegois kelihatannya, sedangkan hidup Christina tidak sesempurna anggapan orang.
Jacobs mengemas dinamika mereka dengan sangat elegan. Rangkaian peristiwa yang di film lain bakal dieksploitasi demi banjir air mata, di sini justru tak dimunculkan. Di sisi lain, musik gubahan Rodrigo Amarante yang mengutamakan denting piano minimalis hanya terdengar lembut sesekali, bak dijaga supaya tidak mencuri fokus dari para manusianya, yang dihidupkan secara luar biasa oleh Coon, Olsen, dan Lyonne. Begitu hebat ketiga aktrisnya mengolah rasa, mereka bisa mengubah emosi secepat menjentikkan jari.
Ada kalanya pendekatan Jacobs yang menjauh dari dramatisasi tersebut mengingatkan pada karya-karya Yazujirō Ozu. Termasuk soal caranya menerapkan visual storytelling. Di satu titik, selepas menjadikan manusia sebagai sentral di mayoritas durasi, Jacobs menempatkan kameranya untuk menangkap ruang-ruang kosong dalam apartemen, dari sofa yang tak diduduki, hingga sudut ruangan yang tak dijamah manusia.
Hadirlah komparasi yang berfungsi untuk mengajak penonton memahami, bahwa seringkali kita baru benar-benar mengenali eksistensi seseorang selepas ia tiada. Saat itu terjadi, yang tersisa tinggal benda-benda atau lokasi yang merekam setumpuk kenangan tentang seseorang itu dalam diam.
(Netflix)
REVIEW - MY ANNOYING BROTHER
Adakah urgensi yang dapat menjustifikasi penciptaan remake ini? Mungkin tidak, tapi jika kita ubah perspektifnya menjadi "menghadirkan tontonan crowd-pleaser ringan", maka My Annoying Brother telah mencapai tujuannya. Sebuah contoh tentang bagaimana cara membuat ulang sesuatu yang telah memiliki pondasi solid.
My Annoying Brother versi orisinal (rilis 2016) adalah film yang "aman" sekaligus universal, sehingga remake-nya tidak memerlukan banyak modifikasi bersifat kultural. Ditangani naskahnya oleh Deliesza Tamara, Tumpal Tampubolon, dan Sheila Timothy, alurnya masih menggunakan templat serupa.
Alkisah ada dua kakak-beradik dengan perangai serta kehidupan bertolak belakang. Kemal (Angga Yunanda) merupakan atlet judo muda harapan bangsa, sementara kakaknya, Jaya (Vino G. Bastian) justru mendekam di penjara. Sudah bertahun-tahun mereka berpisah sejak Jaya kabur dari rumah, yang membuat Kemal, di usia 15 tahun, mesti menguburkan kedua orang tuanya sendiri.
Ketika cedera di suatu pertandingan merenggut penglihatan Kemal, Jaya mengajukan pembebasan bersyarat dengan alasan ingin merawat sang adik. Tapi Jaya, sebagai si "annoying brother" justru memakai kebebasan itu untuk bersenang-senang semaunya, sedangkan Kemal terjerumus dalam depresi akibat kehancuran karirnya. Amanda (Caitlin Halderman) selaku pelatihnya pun kesulitan mendorong Kemal supaya bangkit dan berpartisipasi di ajang Paralimpiade.
Satu yang langsung mencuri perhatian saya sejak reuni kakak-adik ini adalah, bagaimana Jaya, semenyebalkan dan sejahat apa pun dia, sudah menunjukkan secercah kebaikan sedari awal durasi. Berbeda dengan sosok Go Doo-shik (Jo Jung-suk) di versi asli, hal-hal kecil yang Jaya lakukan sejak kepulangannya, menampakkan jejak-jejak kasih sayang kepada sang adik.
Hal di atas membuat transformasi Jaya nantinya tidak terkesan tiba-tiba, dan terasa sebagai bagian natural sebuah proses. Saya menikmati betul dinamika dua manusia yang sejatinya sama-sama mendambakan kasih sayang namun terhalang oleh luka masa lalu ini. Apalagi Vino G. Bastian dan Angga Yunanda tampil dengan love-hate chemistry yang mengalir mulus.
Angga tidak tampak kagok maupun dibuat-buat kala memerankan individu dengan kebutaan, pun kembali membuktikan kapasitasnya selaku salah satu aktor muda yang jago mengolah rasa. Di sisi lain, Vino begitu jago dalam misinya mengaduk-aduk emosi penonton. Lihat aktingnya di "adegan karaoke" yang mampu memaksimalkan iringan lagu Ruang Baru milik Barsena Bestandhi.
Kristo Immanuel sebagai Fauzan, kawan sekaligus lawan dari Jaya, turut mencuri perhatian, berkontribusi memaksimalkan elemen komedinya. Saya menyukai penokohan Fauzan di sini. Berbeda dengan Dae-chang (Kim Gang-hyun) dari versi Korea, sosok Fauzan yang bukan muncul secara acak menekan sisi absurd yang mungkin kurang sesuai bagi selera penonton Indonesia.
Sebenarnya tak ada yang benar-benar menonjol dari cara sang sutradara, Dinna Jasanti, mengarahkan filmnya. Baik adegan drama, komedi, maupun pertandingan judo, semua diarahkan sesuai formula. Bahkan harus diakui ada kalanya ia terlalu memaksa penonton meneteskan air mata. Tapi "sesuai formula" adalah kata kuncinya. Dinna tahu My Annoying Brother tak memerlukan modifikasi atau balutan gaya eksentrik. Dia biarkan semua mengalir apa adanya, sesuai pondasi yang memang sudah kokoh.
Berkatnya, semua bekerja dengan baik. Penonton kasual bakal membanjiri filmnya dengan sebutan "menyentuh" dan "lucu". Sebuah tontonan yang mengingatkan penontonnya untuk jangan menyia-nyiakan momen kebersamaan dengan orang-orang tercinta. Kita tidak tahu kejutan apa yang sudah disiapkan sang takdir.
REVIEW - VENOM: THE LAST DANCE
Venom: The Last Dance diniati sebagai babak akhir perjalanan Eddie Brock (mengetahui bagaimana Hollywood bekerja, pernyataan itu patut diragukan). Tapi bahkan setelah tiga film, Sony Pictures masih belum benar-benar yakin tentang cara menangani sang "Lethal Protector". Alhasil penutup trilogi ini bak dihinggapi oleh simbiot yang membuat inangnya terjangkit krisis jati diri.
Kelly Marcel kembali menulis naskah layaknya dua film pertama, namun kini sembari melakoni debut sebagai sutradara. Dia masih belum juga menemukan titik tengah terkait bentuk terbaik bagi karyanya. Pertama kali kita menemui Eddie dan Venom (Tom Hardy), keduanya tengah buron hingga ke Meksiko, terlibat perkelahian dengan kriminal setempat, kemudian menggigit kepala masing-masing dari mereka hingga putus.
Apakah adegan tersebut hendak dikemas menjadi sadisme serius atau gore hiperbolis yang konyol? Sang sineas gagal memberi jawaban pasti. Lalu kita belajar bahwa ancaman terbesar bagi Bumi berikutnya berasal dari Knull (Andy Serkis) sang Dewa Kegelapan yang juga merupakan pencipta para simbiot.
Setiap kali Knull (yang di film ini sebatas mengintai dari balik kegelapan layaknya Thanos di fase pertama MCU) muncul di layar, aura kelam menyelimuti filmnya. Serius. Masalahnya, serupa dua pendahulunya, The Last Dance selalu terasa membosankan ketika tampil serius. Kunjungan ke Area 51 untuk menemui Dr. Teddy Payne (Juno Temple) dan Rex Strickland (Chiwetel Ejiofor) senantiasa mendatangkan rasa kantuk.
Sebaliknya, tatkala fokus beralih ke bromance Eddie dan Venom dengan segala banter menggelitik mereka, daya hibur filmnya berangsur pulih. Filmnya menyenangkan tiap tidak menganggap dirinya terlampau serius. Termasuk saat membawa Eddie dan Brock dalam road trip guna kabur dari kejaran pasukan monster kiriman Knull, yang berujung mempertemukan mereka dengan Martin Moon (Rhys Ifans) beserta keluarga hippie-nya yang terobsesi pada alien.
Keluarga Moon mengajak Eddie menyanyikan Space Oddity milik David Bowie dalam van mereka, menciptakan "adegan musik" yang jauh lebih menghibur ketimbang pemakaian lagu-lagu populer lain yang diselipkan paksa bak daftar putar jukebox di sepanjang durasi.
Sampai datanglah rentetan pemandangan konyol, yang sejatinya didasari niat baik. Di situlah filmnya tak lagi memandang dirinya terlampau serius. Sayangnya timbul beberapa lubang. Pertama, penulisan yang kurang mumpuni membuat dua tone yang berseberangan itu saling bertabrakan dan memunculkan inkonsistensi.
Kedua, kekonyolan yang sang sineas hadirkan tak dibarengi kreativitas. Salah satu yang paling menonjol adalah saat protagonisnya bereuni dengan Mrs. Chen (Peggy Lu) di Las Vegas, yang berujung pada momen absurd kala Venom dan si perempuan paruh baya pemilik minimarket itu berdansa diiringi lagu Dancing Queen. Sudah berapa juta kali adegan menari konyol diselipkan secara acak dalam film untuk menyegarkan suasana?
Ketiga, jika Marcel sadar bahwa filmnya perlu lebih bersantai supaya menyenangkan untuk ditonton, mengapa tidak sekalian total menjadikannya suguhan konyol tak berotak? Keraguan tersebut membuat Venom: The Last Dance tak memiliki jati diri. Dia bukan film superhero serius, bukan pula presentasi konyol bernuansa so-bad-it's-good yang bersikap peduli setan pada pakem-pakem filmmaking.
Pengarahan sang sutradara di klimaks cukup berhasil membangun puncak pertempuran chaotic yang seru, meski di saat bersamaan, sekali lagi minimnya kreativitas membuatnya menyia-nyiakan potensi dari kemunculan beragam simbiot. Sewaktu ending yang digarap bagai video klip cheesy nan murahan untuk lagu Memories tiba, mungkin banyak orang bakal menyesali keputusan meluangkan uang dan waktu bagi Venom: The Last Dance. Sebuah penutup trilogi yang hanya menjadi jembatan butut alih-alih babak pamungkas epik.
REVIEW - WOMAN OF THE HOUR
Woman of the Hour memotret aksi Rodney Alcala (diperankan Daniel Zovatto), pembunuh berantai yang diduga telah merenggut nyawa sekitar 130 perempuan (hanya delapan yang dapat dikonfirmasi). Mudah menjadikannya kisah sensasional nan eksploitatif, namun seperti judulnya, yang diglorifikasi dan diberi ruang bersinar oleh debut penyutradaraan Anna Kendrick ini bukanlah si pelaku, melainkan para korbannya. Para perempuan.
Naskah buatan Ian McDonald enggan memandang perempuan-perempuan ini hanya sebagai bagian statistik yang bisa begitu saja dilupakan. Cheryl Bradshaw (Anna Kendrick) misalnya. Dia bukan siapa-siapa. Jangankan selebritis, upayanya mewujudkan mimpi menjadi aktris saja selalu menemui jalan buntu. Berbagai audisi ia lalui, hanya untuk menerima cap "kelihatan marah" oleh para laki-laki pemegang keputusan. Apalagi Cheryl menolak melakoni adegan telanjang.
Tanpa harus berurusan dengan Rodney sekalipun, Cheryl sudah terjebak dalam paham misoginis yang menjangkiti masyarakat. Sewaktu ia menerima tawaran tampil di acara televisi The Dating Game, dengan harapan itu bakal membuka pintu kesuksesan, Cheryl yang pintar hanya diberi instruksi untuk tersenyum. "Laki-laki tidak suka dan bakal terintimidasi oleh perempuan yang pintar", ucap Ed Burke (Tony Hale) selaku pembawa acara.
Melalui The Dating Game itulah Cheryl berkenalan dengan Rodney yang merupakan salah satu kontestan. Terdapat tiga kontestan laki-laki, dan ironisnya, Rodney terdengar sebagai sosok terbaik di antara mereka berkat jawaban-jawabannya yang tak merendahkan perempuan. Sisi manipulatif Rodney terpampang jelas di situ. Kalau pembunuh mesum seperti Rodney saja sanggup berpura-pura dengan sebegitu meyakinkan, laki-laki mana yang bisa dipercaya? Mungkin memang tidak ada.
Di sisi lain, Laura (Nicolette Robinson) yang duduk di kursi penonton secara kebetulan mengenali Rodney, yang ia yakini telah membunuh sahabatnya. Laura berupaya memperingatkan tim produksi, namun tak ada yang mendengarnya. Sama seperti para polisi yang selama bertahun-tahun kurang menyeriusi laporannya. Satu lagi contoh bagaimana laki-laki mengerdilkan ucapan perempuan.
Naskahnya mampu memberi peran signifikan bagi mayoritas karakter perempuannya. Termasuk Amy (Autumn Best) yang bertemu Rodney pada tahun 1979 (peristiwa The Dating Game terjadi pada 1978) setelah kabur dari rumah.
Di satu sisi, keputusan Woman of the Hour untuk tidak cuma berkutat di satu latar waktu dan tempat mampu menampilkan gambaran menyeluruh mengenai kasusnya, pula isu seksisme yang diusung. Karakter perempuan dengan ragam peranan penting pun akhirnya mampu disertakan.
Tapi di sisi lain, skala besar ditambah gaya non-linear miliknya kerap mengganggu fokus penceritaan, dan sesekali mencuatkan pertanyaan perihal signifikansi. Contohnya kasus pembunuhan terhadap pramugari bernama Charlie (Kathryn Gallagher) pada 1971 yang tak benar-benar memberi dampak bagi keseluruhan alur.
Sementara di kursi penyutradaraan, Anna Kendrick membuktikan talentanya. Pengarahannya elegan. Penonton mampu dibuat memahami betapa brutal aksi Rodney tanpa harus mengeksploitasi pembunuhan dan pemerkosaan yang ia perbuat, entah dengan membuatnya terjadi secara off-screen, atau menangkapnya dari kejauhan.
Pengarahan Anna paling menonjol ketika Cheryl dan Rodney akhirnya bertatap muka selepas pengambilan gambar. Setelah sempat minum bersama, Cheryl mulai menyadari ketidakberesan dalam diri Rodney. Keduanya berjalan melintasi malam, lalu tiba di lahan parkir studio. Dipandu tata kamera arahan Zach Kuperstein, Anna memakai wide shot guna memberi informasi pada kita tentang betapa kosong tempa tersebut. Cuma ada Cheryl dan Rodney di area seluas itu. Musik pun absen mengiringi adegan. Sepi. Sunyi. Mencekam.
Sedangkan konklusinya patut dibanjiri tebuk tangan. Di situlah Woman of the Hour menegaskan bagaimana laki-laki, sesadis atau seberkuasa apa pun dia, tetaplah bocah dalam tubuh orang dewasa, sehingga dapat dengan mudah bertekuk lutut di bawah kontrol perempuan yang cerdas. Jangan pernah memercayai anggapan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pintar.
(Netflix)
REVIEW - TEBUSAN DOSA
Rasanya kata "dosa" sekarang sudah terdengar murah. Apa yang semestinya dihindari, menjadi sesuatu yang begitu jamak dialamatkan terhadap hal-hal remeh sekalipun. Melalui Tebusan Dosa, Yosep Anggi Noen seolah ingin mengembalikan kesakralan kata tersebut. Mengingatkan betapa tidak semestinya manusia dengan gampang menuduhkan dosa kepada sesamanya.
Selepas peristiwa yang belum diungkap, Wening (Happy Salma) memulai hidup baru bersama putrinya, Nirmala (Keiko Ananta), dan sang ibu, Uti Yah (Laksmi Notokusumo), di kota fiktif bernama Majakunan. Suami keduanya, Suleiman (Eduward Manalu), yang dahulu berjanji memperbaiki hidup Wening, hilang pasca serangkaian kekerasan yang ia lakukan.
Tebusan Dosa diawali dengan agak terbata-bata. Alur dalam naskah yang Anggi Noen tulis bersama Alim Sudio terkesan melompat-lompat akibat pergerakan yang terlampau cepat. Pengarahan Anggi Noen di sini seperti berusaha lebih menyesuaikan diri dengan selera pasar, dan ironisnya, pacing lambat penuh kesabaran sebagaimana karya-karya arthouse miliknya bakal mengeliminasi masalah penceritaan di atas.
Tapi seiring waktu penceritaan Tebusan Dosa semakin stabil, terutama setelah kecelakaan yang Wening sekeluarga alami. Uti Yah meninggal di tempat, sedangkan Nirmala secara misterius menghilang. Nirmala diduga telah terseret arus sungai. Ketika pihak kepolisian dan tim SAR dirasa kurang dapat diandalkan, Wening mulai meminta bantuan dari orang-orang di sekelilingnya. Ada Tirta (Putri Marino) si guru renang yang tertarik menjadikan Wening sebagai bintang tamu di siniarnya, juga Tetsuya (Shogen), pria asal Jepang yang mempekerjakan Uti Yah sebagai asisten rumah tangga.
Tebusan Dosa memang bagai sebuah usaha berkompromi dengan pasar, baik oleh Anggi Noen maupun Palari Films selaku rumah produksi. Termasuk perihal elemen horornya, yang bak ditambahkan paksa ke sebuah naskah misteri yang sejatinya telah utuh. Beberapa penampakan dan jumpscare pun akhirnya jadi selipan yang tidak perlu hadir.
Apakah berbagai penampakan itu memang benar terjadi, sebatas representasi rasa bersalah tokoh-tokohnya, atau malah keduanya? Naskahnya kurang mumpuni dalam memainkan tanda tanya tersebut. Belum lagi jika membahas lemahnya Anggi Noen kala mengemas teror. Triknya cenderung murahan, dan didominasi oleh jumpscare berisik berupa kemunculan hantu yang bahkan tidak karakternya sadari. Seolah si hantu hadir hanya untuk meneror penonton alih-alih si protagonis.
Lain cerita jika membicarakan unsur lainnya. Setiap horornya absen, Tebusan Dosa bertransformasi menjadi karya yang sama sekali berbeda. Kualitasnya melonjak seketika. Investigasi misteri yang tersaji rapi serta efektif memancing rasa penasaran, juga drama sarat makna mengenai proses karakternya, saling berkelindan dengan apik.
Seperti telah disinggung di awal tulisan, Anggi Noen membawa perspektif menarik perihal dosa manusia. Seiring rasa frustrasi akibat kesulitan menemukan putrinya, Wening menerima saran Tirta untuk mendatangi dukun bernama Mbah Gowa (Bambang Gundhul), yang kemudian menyuruh Wening untuk menebus dosanya terlebih dahulu.
Tapi benarkah Wening berdosa? Bila benar demikian, apakah dosa Wening sedemikian besar sampai membuatnya kehilangan Nirmala? Ataukah sesuatu yang dianggap "dosa" itu sesungguhnya adalah wujud ketidakadilan perspektif masyarakat, yang punya tendensi menyalahkan perempuan?
Happy Salma tampil kuat menghidupkan sesosok individu yang makin lama makin tersudut, terhimpit di antara keputusasaan, namun menolak mengibarkan bendera putih. Demikian pula Putri Marino, yang seperti biasa mampu memberi ragam warna serta bobot pada situasi dan kalimat "seremeh" apa pun.
Tebusan Dosa turut mengingatkan soal dualisme yang setia menghiasi semesta. Air misalnya, yang dapat menjadi sumber kehidupan, tapi juga berpotensi mematikan. Sama halnya dengan karakter Tirta (namanya juga berarti "air") beserta siniar miliknya, yang bisa merugikan atau menguntungkan tergantung pemanfaatannya. Perihal mistis pun tidak jauh beda. Apakah sekadar teror mengerikan sebagaimana diperlihatkan oleh kebanyakan film horor, atau bagian dari semesta yang memiliki perannya sendiri? Selalu ada dua wajah dalam semua hal di kehidupan.
REVIEW - SMILE 2
Berbeda dengan film pertamanya (saya termasuk minoritas yang tidak begitu memujanya), Smile 2 bukan menitikberatkan pada mitologi "senyuman terkutuk" maupun investigasi terhadapnya, melainkan penelusuran psikis yang terasa jauh lebih personal. Apa yang Parker Finn, selaku sutradara sekaligus penulis naskah, ingin capai di Smile dua tahun lalu (dan kurang berhasil), akhirnya berhasil diwujudkan oleh sekuelnya.
Menyaksikan sekuen pembuka yang dipresentasikan dalam format single take, juga dilengkapi atmosfer penuh ketidaknyamanan di tengah tumpukan salju yang memenuhi latarnya, daripada sekuel bagi horor populer arus utama, saya seolah tengah menyaksikan suguhan alternatif yang jadi idola di kalangan penikmat festival film.
Setelahnya, barulah kita berkenalan dengan Skye Riley (Naomi Scott), bintang pop ternama yang baru kembali muncul ke publik setelah setahun absen akibat kecelakaan maut yang menewaskan kekasihnya. Saat itu keduanya tengah mabuk, serta berada di bawah pengaruh narkoba. Kini Skye berusaha membangkitkan lagi karirnya, termasuk dengan melanjutkan tur yang sempat tertunda.
Hanya ada satu masalah: Skye belum benar-benar pulih. Selain luka fisik di punggung yang rasa sakitnya acap kali kambuh, trauma pun masih menghantui hari-hari sang bintang. Individu dengan kondisi seperti Skye memang mangsa empuk bagi si entitas penyebar kutukan. Benar saja, selepas menjadi saksi kematian kenalannya, kutukan itu pun berpindah ke dirinya.
Smile 2 tetap memberi ekspansi pada mitologinya, terutama selepas pertemuan Skye dengan Morris (Peter Jacobson) yang mengaku dapat membantunya lepas dari kutukan, namun secara keseluruhan, cakupan alurnya lebih kecil, lebih intim, dan terpenting, lebih terfokus, sehingga penceritaannya pun tampil solid. Biarpun tidak jarang saya berharap Finn bersedia memangkas beberapa menit durasinya, supaya mengurangi eksistensi beberapa titik yang terasa draggy.
Proses Skye menangani trauma jadi sorotan utama. Mengenai industri hiburan yang cuma ingin mengeksploitasi tanpa memedulikan kondisinya, juga soal kegagalan (atau keengganan?) sang ibu (Rosemarie DeWitt) yang juga menjadi manajernya, dalam memahami luka yang Skye rasakan, baik fisik maupun psikis.
Beruntunglah Smile 2 memiliki Naomi Scott yang mempunyai kapasitas untuk mengemban beban memerankan karakter utama dengan gejolak batin teramat berat. Scott mampu menampilkan transformasi Skye, yang pelan-pelan runtuh dan terjerumus dalam jurang di mana kewarasan semakin menghilang.
Memiliki penceritaan apik tidak membuat Smile 2 melupakan hakikatnya sebagai horor. Mempertahankan pendekatan teknis penuh gaya di film pertama, Finn, dibantu Charlie Sarroff selaku sinematografer, kembali menerapkan berbagai tata kamera kreatif. Pendekatan tersebut bukan gaya-gayaan semata, sebab kreativitas sang sutradara berpengaruh besar dalam membangun ketidakterdugaan kala filmnya menebar teror.
Alhasil, jumpscare dalam Smile 2 punya daya kejut luar biasa. Tidak hanya karena pilihan shot-nya, juga ketepatan timing, kejelian Finn mengecoh penonton lewat mise-en-scène rumusannya, sampai keunikan bentuk terornya (that "car" jumpscare tho!). Deretan kebrutalan yang menghiasi kematian tokoh-tokohnya pun terasa berdampak dan begitu menyakitkan berkat pemanfaatan tata suara secara efektif.
Smile 2 menutup penceritaan setelah melewati sebuah twist yang cukup berisiko. Sebuah bentuk twist yang tidak jarang menunjukkan kemalasan sekaligus kecurangan penulis cerita. Tapi di sini, Finn memastikan bahwa kejutan tersebut memang mendukung penceritaan. Konklusinya jadi pengingat tegas tentang betapa mematikannya trauma apabila dipandang sebelah mata, dan bagaimana di era modern seperti sekarang, selalu ada cara untuk menularkan trauma menyakitkan tersebut.
REVIEW - THE SHADOW STRAYS
Melalui The Shadow Strays, Timo Tjahjanto telah menyusun surat cinta membara untuk sinema aksi Hong Kong (terutama karya-karya John Woo), dengan beberapa jejak berdarah dari "Negeri Sakura" ala Takashi Miike turut terpatri di situ. Banyak sineas telah melayangkan surat cinta serupa, namun jarang yang melakukannya setegas dan sebebas Timo.
Di dunia baru ciptaan Timo ini, eksis suatu organisasi rahasia bernama "The Shadow", berisi para pembunuh bayaran mematikan. Gadis berusia 17 tahun dengan kode nama 13 (Aurora Ribero) termasuk salah satunya. Baru-baru ini, akibat kesalahannya, 13 nyaris mengacaukan sebuah misi di Jepang, hingga harus mendapatkan bantuan dari sang mentor, Umbra (Hana Malasan).
Blunder apa yang 13 lakukan? Dia menunjukkan belas kasihan kepada orang tak bersalah. Sederhananya, tidak seperti para pembunuh lain, ia masih memiliki hati. Selepas misi, Umbra pun menceramahi anak asuhnya panjang lebar, dalam rangkaian kalimat yang terdengar kaku nan janggal, bak terjemahan kasar dari Bahasa Inggris. Satu kekurangan yang acap kali muncul ketika Timo menulis naskahnya sendiri.
Setelahnya, 13 yang diminta rehat sejenak bertemu dengan bocah bernama Monji (Ali Fikry), yang baru kehilangan sang ibu akibat kekejaman gembong kriminal penguasa kota. Tidak lama berselang Monji mendadak hilang, dan 13 pun tidak ragu mengobrak-abrik seisi dunia bawah tanah "hanya" demi seorang bocah yang baru dikenalnya selama beberapa hari.
The Shadow Strays mungkin belum sebrutal atau se-inventif The Night Comes for Us (2018), tapi ia tetaplah gelaran aksi di atas rata-rata, bukan cuma dalam konteks sinema Indonesia, pula dunia. Melanjutkan kolaborasinya dengan Batara Goempar selaku penata sinematografi, Timo nampak sudah paham betul akan ilmu perihal tata kamera seperti apa yang dapat memaksimalkan dampak sebuah baku hantam.
Aurora merupakan sentral dari segala darah yang Timo tumpahkan. "Mati-matian" mungkin kata yang paling pas menggambarkan performa sang aktris muda. Aurora menyalurkan luapan amarah 13 ke arah gerakan-gerakan mematikan nan meledak-ledak, yang membuktikan bahwa dalam seni peran, olah rasa dan olah raga sejatinya saling berkaitan.
Di ranah penceritaan, tuturan kekeluargaan, hubungan guru-murid, hingga ikatan pertemanan (13 juga mendapat bantuan dari seorang preman bernama Jeki yang diperankan Kristo Immanuel) jadi berbagai elemen yang mengisi 144 menit The Shadow Strays. Hal-hal tersebut jamak kita temui di suguhan aksi khas Hong Kong, atau dengan kata lain, Timo bukan cuma "meniru" gaya pengadeganan Woo (gerak lambat dramatis menjadi primadona), pula cara berceritanya. Kelam, tragis, terkadang seperti tak menyisakan ruang bagi cahaya harapan.
Timo bukan pencerita yang luar biasa. Durasi yang nyaris menyentuh dua setengah jam tersebut pun salah satunya dipicu oleh penulisan yang kurang efektif, sehingga intensitas kerap menurun tatkala adegan aksi absen dari layar. Tapi bukan berarti alurnya tak mempunyai keunggulan.
Satu poin yang cukup menarik adalah bagaimana Timo menggunakan baku hantamnya sebagai alat bercerita. Pada dasarnya The Shadow Strays adalah kisah pendewasaan seorang gadis remaja dengan ketidakstabilan emosinya. Setiap pukulan, tendangan, bahkan tusukan yang 13 terima menempanya jadi makin kuat. Sebagai jagoan di film aksi, alasan 13 nampak keren bukan soal bagaimana ia mustahil dikalahkan, melainkan karena tidak peduli seberapa mematikan serangan yang diterima, ia tetap berdiri.
Tengok klimaks yang mempertemukan Aurora Ribero dengan Hanah Malasan. Di salah satu shot paling epik filmnya, satu orang mendapati jarinya terputus, satu orang lagi mencabut katana dari dadanya. The Shadow Strays bukanlah tentang siapa yang paling jago berkelahi, tapi siapa yang sanggup bertahan paling jauh, dan terus bangkit walau seluruh aspek kehidupan berusaha menghabisinya.
(Netflix)
REVIEW - BOLEHKAH SEKALI SAJA KUMENANGIS
Manusia bukan ilmu pasti yang menjamin bahwa "1+1 = 2". Terinspirasi dari lirik lagu Runtuh yang dibawakan Feby Putri bersama Fiersa Besari, Bolehkah Sekali Saja Kumenangis jadi film yang memahami kompleksitas tersebut. Ketika batasan benar-salah memudar dan jalan keluar akan masalah tak pernah jelas, sehingga ada kalanya, yang seseorang bisa (dan perlu) lakukan "hanya" menangis.
Tari (Prilly Latuconsina) merupakan anggota support group yang ada di bawah koordinasi Nina (Widi Mulia). Mereka rutin berkumpul untuk menuangkan dan mendengarkan luka hati masing-masing. Ada Agoy (Kristo Immanuel) yang menyesal tak menggubris permintaan mendiang ayahnya, hingga Ica (Ummi Quary) yang selalu dituntut tampil ceria oleh lingkaran pertemanannya hanya karena ia berprofesi sebagai komika.
Setumpuk kisah tersebut mungkin tak mendapat eksplorasi (dan memang tidak perlu), tapi eksistensinya diharapkan membuat penonton yang memiliki problematika serupa merasa terwakili, lalu meyakini bahwa mereka bukan anomali.
Bagaimana dengan Tari? Dia tinggal bersama kedua orang tuanya, di mana ibu Tari, Devi (Dominique Sanda), kerap jadi korban tindak kekerasan sang suami, Pras (Surya Saputra). Surya Saputra menghidupkan figur antagonis yang mudah kita kutuk perbuatannya. Cara Surya memberatkan tarikan napas tiap amarahnya meledak sampai membuat bicaranya terbata-bata, menyiratkan adanya gangguan emosi dalam diri Pras.
Sudah berkali-kali Tari mengajak pergi dari rumah, namun ibunya tetap yakin bahwa rumah tangganya baik-baik saja, dan Pras bakal segera berubah. Dari situlah naskah buatan Junisya Aurelita, Santy Diliana, Rezy Junio, dan Alim Sudio mulai menggali kompleksitas manusia. Apakah penolakan Devi untuk pergi membuatnya bertanggung jawab atas luka-luka yang Tari alami? Apakah keengganannya meninggalkan Pras adalah bentuk kebodohan? Apakah Devi patut disalahkan?
Deretan pertanyaan di atas (menjadi) bukan pertanyaan tertutup yang dapat dijawab dengan "ya" atau "tidak". Perlu ada elaborasi lebih lanjut karena kita tengah membicarakan individu beserta segala kerumitannya. Tidak kalah rumit adalah situasi Baskara (Pradikta Wicaksono), karyawan baru di kantor Tari. Di masa mudanya, Baskara dikenal sebagai calon bintang basket potensial yang digadang-gadang bakal mengikuti jejak ayahnya, hingga sebuah kesalahan menghancurkan semuanya.
Saya sempat membaca tulisan seseorang di X, yang mengaku sulit memahami permasalahan Baskara. Sebab tidak seperti Tari, keluarganya cenderung harmonis. Bolehkah Sekali Saja Kumenangis kembali memperlihatkan kompleksitasnya. Diajaknya penonton untuk memahami bahwa interpretasi tiap orang akan kata "masalah" bisa jadi berbeda-beda. Tatkala orang lain memusingkan sesuatu yang bagi kita sepele, bukan berarti kita berhak mengerdilkan kegundahannya.
Berbekal naskah yang begitu piawai merangkai kata (bukan sekadar cantik atau quotable, tapi dapat secara tepat menjabarkan sudut pandang filmnya yang memanusiakan manusia), Bolehkah Sekali Saja Kumenangis menyatukan dua karakternya yang sama-sama terluka. Tentu romansa bakal tumbuh, tapi interaksi Tari dan Baskara menolak jatuh ke dalam kemesraan picisan.
Didukung chemistry natural Prilly dan Dikta, fokus hubungan keduanya bukan sebatas pertukaran kata-kata manis. Bahkan tidak jarang mereka terkesan bak pasangan "anti-romansa" yang menampik segala ciri-ciri interaksi orang yang sedang jatuh cinta (sekali lagi penulisan kalimat naskahnya patut dipuji). Tari belajar mengeluarkan isi hati, Baskara belajar menahan diri. Proses keduanya saling melengkapi.
Di kursi penyutradaraan, Reka Wijaya konsisten membawa filmnya tampil elegan, tanpa upaya mengeksploitasi ledakan-ledakan emosi demi membanjiri wajah penonton dengan air mata. Sang sineas menangani luapan rasa di film ini dengan prinsip "secukupnya". Penceritaannya pun rapi, dengan pacing yang terasa nyaman dan memudahkan penonton tanpa sadar terhanyut dalam 100 menit durasinya.
Ada kesan ending-nya memaksakan diri menumpuk terlampau banyak konklusi, tapi itu cuma kekurangan (sangat) minor yang sudah dibayar lunas oleh kehebatan momen pamungkasnya. Di situ, Bolehkah Sekali Saja Kumenangis kembali mengajak kita memahami kompleksitas manusia beserta perasaannya, yang tak semestinya dipaksa melangkah dengan buru-buru.
REVIEW - THE SUBSTANCE
Puas. Begitulah kesan yang muncul selepas menonton pemenang naskah terbaik di Festival Film Cannes 2024 ini. Ibarat makanan, The Substance memiliki segalanya, dari kelezatan cita rasa, gizi memadai, hingga porsi mengenyangkan. Wajar jika durasinya menyentuh 141 menit, dan selepas filmnya usai, karya terbaru Coralie Fargeat ini bakal membuat sebagian besar penonton berujar, "I couldn't ask for more".
Mendesain filmnya sebagai body horror, Fargeat menumpahkan segala macam teror yang bisa dihasilkan oleh subgenre tersebut, dari luka-luka menyakitkan, hingga serangkaian transformasi aneh nan menjijikkan yang tubuh karakternya alami.
Tapi tanpa transformasi itu pun, Elisabeth Sparkle (Demi Moore) telah menganggap tubuhnya menjijikkan karena faktor usia. Seorang bintang Hollywood di masa jayanya, kini di usia 50 tahun, Elisabeth hanyalah pembawa acara aerobik di televisi. Bahkan pekerjaan itu juga lepas dari genggamannya, akibat sang produser, Harvey (Dennis Quaid), ingin mencari sosok baru yang jauh lebih muda.
Kita tahu mengapa Fargeat menamai karakternya "Harvey". Perangai eksentrik cenderung cartoonish, serta sikap merendahkan perempuan yang kerap sang produser tampakkan, membuatnya seperti peleburan antara Harvey Weinstein dan Vince McMahon. "Perempuan berumur 50 tidak lagi menarik", ucapnya sembari mengunyah udang dengan amat agresif sampai mengotori meja dan pakaian. Harvey tidak sadar bahwa dialah yang lebih menjijikkan.
Agresivitas sang produser ditekankan oleh pemakaian close-up ekstrim, sebagai cara menyimbolkan, bahwa tendensi laki-laki menghakimi tubuh perempuan adalah tindakan yang menginvasi privasi. Sebagai perempuan, Elisabeth didorong untuk membenci dirinya sendiri oleh para laki-laki, yang kebetulan banyak memegang kuasa sehingga mampu menyetir perspektif publik.
Elisabeth pun merasa kesepian. Kita melihat bagaimana semua orang, dari sang produser hingga dokter, cenderung menghindari interaksi dengannya dan pergi secara tiba-tiba kala menemuinya. Dari situlah Elisabeth tergoda untuk mencoba serum "The Substance" yang menjanjikan terciptanya versi lebih sempurna dari sang pengguna. Maka lahirlah sosok baru yang jauh lebih muda. Dia dipanggil Sue (Margaret Qualley). Semua berjalan mulus di awal, sampai perubahan-perubahan fisik yang tak menyenangkan mulai terjadi.
Cara kerja serum "The Substance", yang memiliki aturan jelas berkat terjabarkannya detail secara menyeluruh, menunjukkan betapa kuat naskah buatan Fargeat dalam mengembangkan konsepnya. Seperti telah disebutkan, durasinya yang cukup panjang benar-benar dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Pecinta film genre akan dibuat kagum oleh keliaran body horror yang tak menahan diri, sedangkan penyuka karya artsy bakal terpuaskan oleh eksplorasi isu yang relevan, serta tergalinya aspek psikolgosi si tokoh utama yang memberi peluang bagi Demi Moore untuk menggila. Tatkala Margaret Qualley sempurna mewujudkan konsep "kecantikan yang mematikan", Demi Moore (terutama di babak akhir) menanggalkan semua citra elegan miliknya, guna menumpahkan seluruh luka yang Elisabeth alami, baik fisik maupun psikis.
The Substance bukan suguhan blockbuster, namun Fargeat memastikan bahwa theatrical experience merupakan cara terbaik untuk menikmati karyanya. Visualnya cantik. Sinematografi arahan Benjamin Kracun mampu menangkap tata artistiknya yang indah tetapi kosong, sama seperti gemerlap dunia hiburan yang memenuhi pikiran Elisabeth. Tata suaranya di luar dugaan terdengar bombastis. Berkatnya, terbangun atmosfer yang dapat menenggelamkan penonton dalam mimpi buruk bernama "standar kecantikan".
Babak ketiganya jadi panggung bagi semua departemen yang terlibat. Sebuah panggung berisi pertunjukan body horror sinting yang takkan nampak kerdil di hadapan karya-karya David Cronenberg sekalipun. Anggota tubuh yang berubah wujud secara berkala, dari sekadar kerutan biasa hingga transformasi bak monster, menjadi sajian utama. Didukung efek praktikal kelas wahid, Coralie Fargeat menumpahkan banjir darah yang mengalir sederas judul-judul ikonik seperti Evil Dead (2013) dan Braindead (1992).
REVIEW - UPRISING
Teks mengenai bagaimana filsuf Jeong Yeo-rip menyuarakan kesetaraan antara semua manusia, termasuk bangsawan dan budak, membuka Uprising. Penonton seolah digiring untuk berasumsi kalau film yang tengah ditonton adalah kisah inspiratif tentang perjuangan sang filsuf menghapus jurang kelas. Kemudian kamera bergerak ke bawah, memperlihatkan sosok Jeong Yeo-rip dari belakang, dengan pedang terhunus di leher. Dia bunuh diri saat pasukan kerajaan hendak menangkapnya atas tuduhan pengkhianatan.
Hanya dalam waktu sekitar 10 detik, Uprising sudah berhasil melempar twist cerdik. Wajar saja, mengingat Park Chan-wook terlibat dalam proses penulisan naskah (bersama Shin Cheol). Sedangkan kursi sutradara ditempati Kim Sang-man, yang pernah beberapa kali bekerja di bawah Park Chan-wook, termasuk sebagai penata artistik di Joint Security Area (2000).
Alurnya mengambil latar pada masa pemerintahan Raja Seonjo (Cha Seung-won) di akhir abad 16, ketika perbudakan masih jamak terjadi. Jika salah satu orang tuanya adalah budak, maka seorang anak otomatis juga menjadi budak. Cheon Yeong (Gang Dong-won) bernasib serupa. Uniknya, Cheon Yeong menjalin pertemanan dengan Lee Jong-ryeo (Park Jeong-min), putra dari bangsawan yang memperbudak dirinya.
Pertemanan tersebut menghadapi ujian seiring keduanya tumbuh dewasa. Cheon Yeong mengharapkan kebebasan, Jong-ryeo mulai mendapat posisi tinggi di kerajaan. Suatu peristiwa yang terjadi berdekatan dengan invasi pasukan Jepang terhadap Joseon akhirnya membuat mereka bermusuhan. Cheon Yeong dengan jubah birunya, Jong-ryeo dengan seragam kebesaran merahnya. Keduanya berlawanan sekaligus saling melengkapi, layaknya konsep taegeuk yang terpampang di bendera Korea Selatan.
Bukankah warna biru di taegeuk menyimbolkan energi negatif? Di situlah perspektif film ini menampakkan daya tariknya. Kelak Cheon Yeong bergabung dengan kelompok militan yang tak hanya berperang melawan tentara Jepang, pula berusaha meruntuhkan sistem perbudakan. Bagi pemerintahan Seonjo tentu eksistensinya bersifat negatif. Pertanyaannya, apakah sesuatu yang buruk di mata penguasa juga buruk bagi rakyat jelata?
Film ini menolak sedikitpun menjustifikasi kebobrokan monarki yang begitu mendewakan sang raja. Tidak ada kata "tapi", tidak ada romantisasi. Uprising adalah suguhan yang mengubah perspektif konservatif genre sageuk menjadi sebuah karya progresif. Maka tidak heran ketika musik gubahan Cho Young-wuk pun menolak pakem konvensional kala meleburkan nada-nada tradisional khas genrenya dengan distorsi rock yang lebih modern, dan sedikit bumbu noir.
Naskahnya gemar memunculkan komparasi. Salah satu teknik yang paling sering dipakai adalah saat beberapa kali, dua peristiwa yang terkesan berlawanan dijahit secara bergantian. Sewaktu sang raja memusingkan pembangunan ulang istana supaya lebih megah, rakyatnya bingung mencari cara bertahan hidup. Tatkala pasukan budak berjuang membantai penjajah, prajurit kerajaan malah sibuk membantai rakyat.
Di satu titik, rakyat yang sudah jengah terhadap sikap sewenang-wenang raja yang kabur meninggalkan mereka di tengah serangan Jepang, melampiaskan amarah dengan membakar pusat kota. Dari kejauhan, Raja Seonjo melihat kobaran api tersebut lalu berujar, "Kenapa rakyatku melakukan itu?". Bagi sang raja ia tidak berdosa, walau pada kenyataannya, si penguasa lalim sama saja dengan para penjajah.
Kekuatan penceritaan Uprising disempurnakan oleh pengarahan Kim Sang-man yang penuh gaya. Selain gelaran aksi yang tak ragu membanjiri layar dengan kekerasan berdarah, sang sutradara pun berulang kali melempar kejutan (mayoritas adalah kejutan yang menyakitkan) secara cerdik, entah dengan bantuan gerak kamera dalam sinematografi garapan Ju Sung-rim, maupun departemen penyuntingan yang ditangani Han Mi-yeon.
(Netflix)
REVIEW - PULAU HANTU
Film Pulau Hantu orisinal populer karena alasan yang keliru. Meraup lebih dari 634 ribu penonton (tertinggi keenam ditahun 2007), ia pun berkembang menjadi trilogi yang berkontribusi mempopulerkan formula horor seksi. Selepas turun layar, kaset VCD-nya jadi primadona banyak rental film untuk menggaet perhatian remaja laki-laki yang ingin melihat para aktris berbikini berlarian di pantai.
Selang 17 tahun kemudian, remake-nya dirilis dengan tujuan modernisasi. Digarap oleh Ferry Pei Irawan yang melakoni debut sebagai sutradara, adegan seksi serba nanggung bukan lagi fokus utama. Pulau Hantu versi baru ini adalah contoh kasus di mana eksistensi sebuah remake patut dijustifikasi.
Setup yang dipakai sejatinya masih familiar. Dara (Taskya Namya), Noah (Bukie B. Mansyur), Lathi (Hannah Hannon), Niki (Cindy Nirmala), dan Pandu (Samo Rafael) tengah berlibur sebelum kapal yang mereka naiki karam di sebuah pulau asing yang tak terdeteksi oleh GPS. Bedanya, alih-alih bermain air di pantai, mereka masih punya cukup akal sehat untuk menghabiskan waktu dengan berusaha mencari jalan keluar.
Di sisi lain, naskah buatan Erwanto Alphadullah sesekali mengajak kita kembali ke masa lalu guna mempelajari sejarah pulau tersebut, yang dahulu adalah lokasi sebuah rumah sakit jiwa. Mala (Amanda Green) yang sejak kecil kerap jadi korban tindak kekerasan sang ayah (Verdi Solaiman) merupakan salah satu pasien. Dialah orang di balik sosok "hantu mangap" legendaris yang bakal menghabisi karakternya satu demi satu.
Ambisi film ini menaikkan derajat seri Pulau Hantu memang kentara. Hilangnya keseksian tanpa arti, ditambah pemberian latar belakang bagi si hantu, adalah beberapa cara yang dipakai. Alur yang enggan terlalu lama berkutat di satu karakter dan secara rutin berganti sudut pandang pun menunjukkan upaya sang penulis naskah menghindarkan kesan monoton.
Masalahnya, efektivitas trik di atas tidak bertahan lama. Penceritaan ala kadarnya yang cuma menampilkan penelusuran lima orang (dengan penokohan dangkal) mengelilingi pulau, tanpa misteri dan urgensi, bakal segera terasa membosankan. Di sinilah semestinya elemen horor datang sebagai penyelamat.
Sedari dulu hantu mangap bukanlah antagonis yang kreatif. Modus operandinya sederhana: membunuh mangsa satu per satu. Mungkin itulah yang melandasi keputusan untuk semakin mendekatkan Pulau Hantu ke ranah slasher. Tapi patut diingat, mencampurkan formula horor supernatural dengan slasher tidak segampang kelihatannya, dan sayangnya, poin tersebut menjadi batu sandungan untuk Pulau Hantu.
Naskahnya sendiri seolah terjebak di tengah percabangan dua subgenre tersebut. Hasilnya adalah sebuah konklusi yang terasa menggelikan, sebab naskahnya bak kebingungan mencampuradukkan keduanya (orang bodoh mana yang coba meledakkan hantu?). Bahkan penampilan kuat Taskya Namya, yang kembali piawai menyalurkan rasa takut lewat totalitasnya, sehingga membuat penonton percaya bahwa si karakter tengah mengalami teror luar biasa mengerikan, tak mampu membuat saya melupakan kebodohan itu.
Kemudian terkait hal terpenting dalam film slasher, yakni "teknik membunuh". Kecuali sebuah pemandangan brutal yang melibatkan tabung gas di babak ketiga, Pulau Hantu terkesan kurang kreatif dalam mengemas adegan kematiannya. Walau dibekali kekuatan supernatural, si hantu mangap nyatanya adalah pembunuh yang miskin kreativitas. Ditambah lagi, Ferry Pei Irawan seperti malu-malu dalam mengolah kebrutalan sang hantu.
Mungkin Ferry ingin filmnya tampil elegan, sehingga tak menampilkan kematian dengan gamblang, pula menolak buru-buru memunculkan wajah si hantu. Tidak banyak sutradara horor kita memedulikan citra "elegan", tapi mungkin bukan itu yang Pulau Hantu butuhkan. Mungkin ia justru memerlukan pendekatan "trashy" agar bisa memberi hiburan secara maksimal.
REVIEW - KEMAH TERLARANG: KESURUPAN MASSAL
Film yang terkesan kebingungan menentukan judul ini mengangkat kisah nyata mengenai kesurupan massal yang terjadi di Yogyakarta pada 2016 silam. Entah seberapa autentik alurnya dalam menuturkan realita, tapi setidaknya Kemah Terlarang: Kesurupan Massal bersedia mengusahakan kesan autentik terkait sisi kultural.
Tidak perlu menelisik terlalu jauh. Cukup simak pengucapan Bahasa Jawa tokoh-tokohnya yang terdengar nyaman di telinga. Banyak cast-nya memang berasal dari Jawa, sedangkan para aktor "luar" tidak asal membuka mulut. Misal Derby Romero, yang meski masih sesekali keceplosan mengeluarkan logat Jakarta, secara keseluruhan cukup apik berbicara kromo (Bahasa Jawa halus).
Derby memerankan Heru, pembina bagi para murid yang hendak menjalankan kegiatan kemah. Miko (Fatih Unru) bertindak selaku ketua acara, yang turut diikuti Rini (Callista Arum). Miko menyukai Rini, yang dikenal sebagai gadis lemah karena menderita asma. Rini berambisi menanggalkan anggapan tersebut, dan kemah kali ini hendak ia jadikan ajang pembuktian.
Salah satunya melalui pementasan drama panggung mengenai kisah legenda Roro Putri (Nihna Fitria) yang diarahkan oleh Heru. Rini naik pangkat menjadi cadangan pemeran utama, setelah Heru mengetahui weton miliknya. Salah satu poin menarik dalam Kemah Terlarang: Kesurupan Massal adalah bagaimana naskah yang ditulis oleh Lele Laila bersama sang sutradara, Ginanti Rona, benar-benar memberi peran sentral kepada elemen klenik Jawa, ketimbang sebatas menjadikannya pernak-pernik belaka.
Sayang, begitu kemah dilaksanakan, alurnya cenderung stagnan. Padahal kesan mencekam mampu dibangun tatkala peristiwa kesurupan pertama terjadi. Skenario "siswa kesurupan jadi jago semafor" yang di atas kertas terdengar konyol, nyatanya mampu dikemas secara mengerikan oleh Ginanti Rona. Ada perasaan pedih membayangkan seorang bocah tak berdosa dibuat tidak berdaya lalu melukai diri sendiri dengan sedemikian brutal. Ginanti pun memilih untuk menjaga kesehatan telinga penonton dengan tak bergantung pada jumpscare berhiaskan efek suara berisik.
Sisanya? Membosankan. Lele dan Ginanti seperti cuma merampungkan daftar jenis-jenis kesurupan yang wajib ditampilkan. Kesurupan sambil menari? Ada. Kesurupan sambil meminta dipakaikan kafan? Ada juga. Satu hal yang tidak ada di rentetan kejadian tersebut adalah intensitas, yang senantiasa absen hingga babak puncaknya yang antiklimaks. Tidak ada build-up memadai maupun urgensi di tiap situasi.
Sekali lagi, naskahnya patut dipuji terkait penerapan elemen kleniknya. Kesan autentik dalam pemakaian Bahasa Jawa pun tak lepas dari departemen penulisan. Kapan terakhir kali ada film produksi ibukota dengan latar Yogyakarta, membuat karakternya saling memanggil memakai kata "dab"?
Andai saja penceritaannya lebih kuat. Ada potensi besar. Salah satunya mengenai pementasan drama garapan Heru, yang kalau saja mendapat eksplorasi mendalam, bisa menghadirkan penelusuran tentang relasi kesenian dengan budaya mistis. Sebuah dinamika yang "sangat Jogja".
Andai saja itu yang naskahnya lakukan, alih-alih menciptakan kopian bagi KKN di Desa Penari (muda-mudi mengunjungi desa penuh misteri, hantu perempuan jago menari yang doyan memuji aroma tubuh korbannya, ular sebagai salah satu sumber teror), dengan format alur yang mengundang tanda tanya seputar substansi.
Di adegan pembuka, kita melihat seorang jurnalis mewawancarai Miko guna menggali informasi perihal kesurupan massal yang ia alami (keseluruhan kisah film ini adalah flashback). Tapi Kemah Terlarang: Kesurupan Massal tak mengambil format investigasi, sebab sebelum ending tak sekalipun kita kembali ke momen wawancara tersebut. Hanya ada voice over suara Miko yang sekali terdengar, seolah diselipkan paksa supaya penonton ingat bahwa alur film ini merupakan flashback yang ia tuturkan. Sungguh janggal.
REVIEW - LOVE IN THE BIG CITY
Ketika memutuskan menonton Love in the Big City, saya cuma berharap disuguhi komedi romantis ringan nan manis khas Korea Selatan. Semua berawal sesuai ekspektasi. Heung-soo (Noh Sang-hyun) yang cenderung tak menonjol, diam-diam mengamati Jae-hee (Kim Go-eun) yang menarik perhatian semua orang lewat sikap semau sendiri miliknya. Mereka sama-sama mahasiswa Sastra Prancis.
Terkesan seperti intro komedi romantis pada umumnya, yang membuat penonton menantikan meet cute kedua tokoh utama. Sampai naskah buatan Kim Na-deul, yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Sang Young Park, melempar kejutan. Suatu malam, Jae-hee yang tengah mabuk menggoda dua laki-laki yang sedang berciuman di jalan. Salah satunya adalah Heung-soo.
Sejak itulah Love in the Big City berevolusi. Heung-soo dan Jae-hee memang takkan bercinta, namun tetap ditakdirkan bersama. Laki-laki gay yang menyembunyikan preferensi demi menghindari persekusi, dan perempuan berjiwa bebas yang mendapat cap "nakal". Persahabatan pun tumbuh. Mereka tinggal bersama, kerap bertukar cerita, sambil sesekali bersantai memakai masker sembari mendengarkan lagu Bad Girl Good Girl dari Miss A. Tiada kekhawatiran benih cinta bakal tumbuh dan mengancam jalinan persahabatan.
Masing-masing menyimpan kegamangan. Sebagai closeted gay, Heung-soo tak bisa dengan bebas menjalin asmara meski telah menemukan sosok yang ia cinta. Sedangkan kegemarannya mabuk-mabukan di klub malam membuat Jae-hee acap kali digosipkan bergonta-ganti pacar. Dia dipanggil "murahan", di saat laki-laki hidung belang justru dianggap keren karena mampu merebut hati banyak perempuan.
Love in the Big City memperlihatkan betapa jahatnya masyarakat terhadap individu yang dirasa "berbeda", entah terkait preferensi seksual maupun peran gender. Presentasinya cerdas, begitu pula caranya menyeimbangkan elemen drama dan komedi lewat penulisan jeli, maupun penyutradaraan dengan sensitivitas tinggi dari E.oni. Lihat bagaimana dalam adegan "darah di toilet", filmnya mampu dengan cepat beralih dari kesan tragis menjadi jenaka.
Dualitasnya memang mengagumkan. Misal seputar kebiasaan ibu Heung-soo (Jang Hye-jin) pergi ke gereja lalu berdoa setiap pagi buta supaya sang putra "sembuh" dan tak lagi menyukai sesama laki-laki. Ada kalanya situasi tersebut hadir untuk ditertawakan, namun ada pula momen ketika itu menjadi sesuatu yang menyakitkan.
Akting dua pemeran utamanya pun membawa semangat serupa. Noh Sang-hyun dan Kim Go-eun begitu jago "berganti wajah". Di satu titik mereka menyulut tawa, lalu beberapa saat kemudian berubah memancing haru. Di balik gelas demi gelas alkohol yang rutin menemani malam hari mereka, ada kepedihan terpancar dari mata masing-masing. Karena itulah semesta menyatukan Heung-soo dan Jae-hee. Supaya ketika rasa pedih itu tak lagi terbendung, keduanya bisa berlari ke pelukan satu sama lain.
REVIEW - THE WILD ROBOT
Visual The Wild Robot yang menyerupai sapuan cat air membuatnya seperti lukisan bergerak. Sebuah dongeng yang dihidupkan di layar perak. Indah. Tapi di bawah arahan Chris Sanders (Lilo & Stitch, How to Train Your Dragon) keindahan itu merasuk jauh ke dalam, melebihi tampilan luar semata.
Kisahnya berasal dari buku berjudul sama buatan Peter Brown, di mana seperti judulnya, berpusat pada proses sebuah robot beradaptasi di alam liar. ROZZUM Unit 7134 (Lupita Nyong'o) adalah nama sang robot, tapi kita sebut saja dia "Roz", sesuai dengan nama panggilan yang diberikan para hewan di pulau tempatnya terdampar. Ya, Roz terdampar di pulau terpencil pasca pesawat kargo yang membawanya mengalami kecelakaan.
Di pulau itulah mayoritas kisahnya bakal dituturkan, walau kita juga bakal berkesempatan mengintip ke luar, dalam momen yang filmnya pakai untuk memberi gambaran singkat mengenai dunia seperti apa yang menjadi latar The Wild Robot. Film ini memberikan contoh terkait teknik worldbuilding yang cerdik sekaligus efektif.
Roz diciptakan dengan tujuan membantu manusia. Alhasil, di tempat tanpa manusia tujuan itu jadi tak berarti. Apalagi para hewan takut pada Roz dan menganggapnya monster. Dia pun hanya bisa terus berjalan, sementara kita diajak menikmati indahnya goresan warna yang menghidupkan alam tempat kaki Roz berpijak. Bukan semata karena pemakaian tekstur ala cat air, keindahan visualnya juga berasal dari kepekaan sang sutradara dalam hal membingkai "shot".
Serupa manusia yang dilepaskan ke alam liar bernama "realita", Roz pun harus belajar dari nol, guna menguasai hal-hal yang tak tertanam dalam programnya. Kemiripan itulah yang membuat proses Roz berkembang dari "sebuah" menjadi lebih dekat ke arah "seorang" terasa emosional. Penonton dapat dengan mudah terhubung dengannya. Ditambah lagi kuatnya isian suara Lupita, yang seiring berjalannya waktu, pelan-pelan semakin terdengar tidak robotik dan lebih manusiawi.
Proses terberat yang Roz lalui bermula saat ia harus merawat angsa kecil yang diberi nama Brightbill (Kit Connor), dengan hanya dibantu oleh Fink (Pedro Pascal) si rubah merah licik. Roz kini menjadi layaknya seorang ibu, yang mendidik Brightbill supaya dapat segera terbang guna bermigrasi bersama angsa lain sebelum musim dingin tiba.
Interaksi ketiganya tersaji menarik. Bahkan secara lebih luas, interaksi semua penghuni hutan disusun dengan begitu baik oleh naskah buatan Chris Sanders. Cara mereka bertukar kalimat tidaklah monoton, di mana sesekali selipan humor, yang tidak ragu melangkah ke ranah yang lebih gelap, hadir menyegarkan suasana.
Jatuh bangun Roz merawat Brightbill. Berbagai bahaya mereka lewati, dan sedikit demi sedikit besi yang menyusun tubuhnya mulai keropos. Roz melemah, dan pikiran banyak penonton bakal segera dipenuhi gambaran ibu masing-masing, yang tanpa kita sadari semakin menua. Uban di rambut serta keriput wajahnya bertambah, namun kasih sayangnya kepada kita tak berkurang. Kesedihan menyesakkan kala melepas sang buah hati untuk terbang melihat dunia luas pun enggan ia perlihatkan.
Chris Sanders berhasil menciptakan banyak pemandangan mengharukan berbasis hubungan ibu-anak tersebut, yang tidak hanya didukung kekuatan visual, tapi juga audio. Sebuah montase berhiaskan lagu Kiss The Sky dari Maren Morris jadi salah satu contoh terbaik. Ada kalanya kesan buru-buru muncul dari penceritaannya, tapi itu tidak sebanding dengan rangkaian pencapaian yang mampu film ini raih.
REVIEW - KUASA GELAP
Di balik peningkatan kualitas yang beberapa tahun terakhir makin kentara, sejatinya film kita belum sepenuhnya lepas dari keseragaman "warna", di mana hal-hal seperti latar/karakter Pulau Jawa dan pemakaian adat Islam cenderung dominan. Para mayoritas (terlalu) diutamakan. Kuasa Gelap memang masih menerapkan pakem horor standar melalui parade jumpscare miliknya, namun setidaknya ia melukiskan warna berbeda.
Sejak kemunculan pendeta pembawa salib raksasa di Ranjang Setan (1986), akhirnya ada lagi horor Indonesia yang memakai imageries religius selain Islam. Masjid tempat salat digantikan gereja untuk misa, doa Bahasa Arab berubah jadi Bahasa Latin, sedangkan eksorsisme menggantikan peran rukiah selaku cara mengusir iblis.
Segala permasalahan bermula saat Kayla (Lea Ciarachel) dan sahabatnya, Cilla (Freya JKT48), memainkan jelangkung di kuburan. Kayla ingin berkomunikasi dengan arwah mendiang ayahnya, berharap ia bisa memisahkan sang ibu (Astrid Tiar) dengan pacar barunya yang tak Kayla sukai. Terdengar bodoh? Ya, dan itu wajar, alias sama sekali bukan wujud kelalaian naskah. Ketidakstabilan emosi remaja, apalagi jika dibumbui kebencian, memang kerap mendorong mereka berbuat tindakan bodoh tanpa pikir panjang.
Alih-alih arwah ayah Kayla, jelangkung tersebut justru dirasuki oleh murid Lucifer yang bernama Zababel, yang nantinya bakal menebar teror. Di situlah Pastor Rendra (Lukman Sardi) selaku ahli eksorsis mulai berperan, dibantu oleh Thomas (Jerome Kurnia), pastor muda yang tengah mengalami krisis iman pasca kematian tragis ibu dan adiknya.
Di luar angin segar yang berembus dari pernak-pernik budaya Katolik miliknya, Kuasa Gelap juga ditunjang oleh penceritaan yang bersedia memfokuskan diri pada dinamika batin manusia. Naskah buatan Andri Cahyadi, Vera Varidia, dan Robert Ronny mengajak penonton menghabiskan waktu cukup lama bersama karakter-karakternya, lalu mengenali luka-luka yang mereka derita, khususnya luka akibat kehilangan orang tercinta. Film ini lebih mengakrabkan diri dengan manusia (serta Tuhan) daripada setan.
Terkait cara menakut-nakuti, Kuasa Gelap sesungguhnya cenderung generik dalam mengolah penampakan Zababel, namun Bobby Prasetyo yang duduk di kursi sutradara memastikan bahwa jumpscare garapannya efektif dalam hal mengageti penonton. Setumpuk pengalaman Bobby telah mengasah kejeliannya merumuskan timing penampakan.
Di sisi lain, kurangnya pengalaman sang sutradara menangani horor eksorsisme (juga diakibatkan minimnya eksistensi tema tersebut di Indonesia), membuat deretan adegan pengusiran setannya, yang menyertakan elemen aksi, belum seberapa menggigit, karena berbagai pilihan shot yang kurang mendukung. Kuasa Gelap memang masih jauh dari sempurna, tapi saya lebih suka memandangnya sebagai awal yang menjanjikan. Awal dari upaya berkelanjutan untuk menambah warna-warni perfilman Indonesia.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar