Tampilkan postingan dengan label Martin Anugrah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Martin Anugrah. Tampilkan semua postingan
EGGNOID: CINTA & PORTAL WAKTU (2019)
Rasyidharry
Saya yakin, di luar tujuan finansial, salah satu alasan Visinema
Pictures mengadaptasi berbagai judul webtoon dengan beragam imajinasi
liarnya—yang diawali oleh Terlalu Tampan Januari lalu—adalah memberikan
kesegaran bagi tema-tema usang. Demikian pula Eggnoid: Cinta & Portal
Waktu yang diadaptasi dari karya Archie The RedCat, di mana elemen fiksi
ilmiah disuntukkan dalam tuturan romansa remaja dan drama tentang proses individu
menyembuhkan duka.
Tepat di ulang tahunnya yang ke-17, Ran (Sheila Dara), gadis
SMA yang hidupnya dipenuhi kesedihan setelah kematian kedua orang tuanya akibat
kecelakaan, menemukan sebuah telur bercahaya misterius. Dari telur itu keluar
sosok seperti manusia yang disebut Eggnoid. Ternyata, Eggnoid yang olehnya
diberi nama Eggy (Morgan Oey) itu dikirim dari masa depan guna membahagiakan
Ran, menghilangkan kabut kelam bernama duka yang sudah terlalu lama menyelimuti
kesehariannya.
Kalau sudah membaca webtoon-nya, anda tahu naskah
buatan sutradara Naya Anindita (Sundul Gan: The Story of Kaskus, Berangkat!),
Nurita Anindita (Terlalu Tampan), Yemima Krisantina, dan Indriani
Agustina, melewatkan salah satu bagian paling menarik, yakni proses belajar pendewasaan
serta pembiasaan Eggy, dari bayi bertubuh pria dewasa yang hanya bisa berkata “mama”,
menjadi seperti manusia normal. Bahkan menyelipkan montage pun tidak. Agak
disayangkan, karena selain punya potensi tinggi memproduksi tawa, Morgan terbukti
mampu mengeluarkan kekonyolan di balik kepolosan kanak-kanak seorang pria
dewasa. Bayangkan melihat Eggy miliknya kesulitan belajar memakai baju dan lain
sebagainya.
Filmnya memilih langsung lompat menuju dua tahun berikutnya, sewaktu
Ran mulai membaik. Dengan kepolosannya, Eggy, yang tinggal bersama Ran dan Diany
(Luna Maya), tantenya—yang hanya mau dipanggil “kakak”—bisa mengembalikan tawa
sang gadis. Eggy sendiri mulai menyesuaikan diri dengan dunia luar, setelah
bekerja di toko es krim kepunyaan Tania (Anggika Bolsterli). Satu hal yang
mestinya di titik ini telah dipahami produser dan sineas. Menempatkan Anggika
Bolsterli dalam peran komedik dapat mengatrol daya hibur suatu film, yang
kembali dibuktikannya di sini melalui reaksi-reaksi komikal lovable, yang
membuat kita paham mengapa Zen (Reza Nangin) terpikat pada Tania di pandangan
pertama.
Zen dan Zion (Martin Anugrah) merupakan dua orang dari masa
depan yang bertugas mengawasi Eggy, menjaga si Eggnoid agar tidak menyalahi
aturan. Di situ pangkal permasalahannya. Eggnoid dilarang jatuh cinta apalagi
memacari majikannya. Dan Eggy, pasca mendapat kecupan di pipi, sadar bahwa ia
mencintai Ran. Mencapai musim keempat yang masih bergulir hingga sekarang, Eggnoid
versi Webtoon menyimpan mitologi menarik dan cakupan luas, yang
dibangun lewat penceritaan jangka panjang. Bisa diapahami ketika film ini memilih
menyederhanakannya.
Penyederhanaan yang naskahnya lakukan cukup banyak, tapi
poinnya bukan di “seberapa berbeda”, namun mampu atau tidaknya para penulis
mengubah tanpa menghilangkan esensi. Eggnoid: Cinta & Portal Waktu sukses
melakukan itu, menjalin sebuah romantika ringan yang menggunakan elemen fiksi
ilmiahnya sebagai faktor penyegar guna mengurangi familiaritas dengan deretan
film percintaan anak muda yang banyak bertebaran.
Tahun 2019 benar-benar titik lonjakan karir Sheila Dara. Setelah
sahabat yang mencuri perhatian di Bridezilla dan wanita misterius dalam Ratu
Ilmu Hitam, kali ini ia kembali memikat sebagai gadis kesepian yang seringkali
clingy setelah Eggy melenyapkan kesepian tersebut. Membuat kita
bersimpati terhadap Ran sehingga memberi nyawa kepada romansanya, Eggnoid:
Cinta & Portal Waktu adalah pembuktian dari Sheila, jika ia sudah lebih
dari siap mengemban posisi peran utama.
Kembali soal penyederhanaan, mencapai babak konklusi, naskahnya
seolah “kaget” ketika coba sedikit menggali perihal latar belakang Eggnoid.
Dari kisah cinta ringan, lompatan menuju unsur fiksi ilmiah yang menyelipkan
sekelumit filosofi soal ambiguitas benar/salah dalam hidup, gagal berjalan
mulus. Merangkum nilai yang sedikit kompleks lewat beberapa baris kalimat dari
mulut karakter yang baru muncul di akhir jelas bukan keputusan bijak. Apalagi
saat filmnya terkesan ditutup tiba-tiba oleh konklusi yang lebih banyak
memancing pertanyaan mengganjal ketimbang dampak emosi, biarpun niatnya memang
membuka jalan bagi sekuel.
Setidaknya kekurangan tersebut bisa dimaafkan, sebab Eggnoid:
Cinta & Portal Waktu punya salah satu momen paling emosional dalam film
Indonesia sepanjang tahun (bukankah ini selalu jadi kebolehan judul produksi
Visinema Pictures?), yang turut melibatkan Marissa Anita dalam penampilan
singkat namun berkesan lewat penanganan penuh rasa akan kalimat sederhana. Silahkan
berusaha menahan haru ketika filmnya mengungkap proses terciptanya foto
polaroid yang tergantung di kamar Ran. Melalui momen itu saja, meski melewati
banyak penyederhanaan, film ini sudah membuktikan kesuksesannya memanfaatkan
elemen fiksi ilmiah demi menunjang paparan drama.
Desember 07, 2019
Anggika Bolsterli
,
Drama
,
Indonesian Film
,
Lumayan
,
Luna Maya
,
Marissa Anita
,
Martin Anugrah
,
Morgan Oey
,
Naya Anindita
,
Nurita Anandia
,
REVIEW
,
Reza Nangin
,
Romance
,
Science-Fiction
,
Sheila Dara
MARS MET VENUS - PART COWO (2017)
Rasyidharry
Keputusan membagi Mars Met Venus menjadi dua bagian jelas berisiko. Masing-masing film harus mewakili tiap sisi guna menghadirkan perspektif berlainan namun saling melengkapi. Ibarat puzzle, Part Cewe dan Part Cowo mesti bisa menyatu menghasilkan gambaran besar utuh mengenai hubungan dua tokoh utama. Hasil akhirnya campur aduk. Serupa pendahulunya, Part Cowo amat menghibur, tapi menegaskan bahwa proses saling mengisi yang terjadi justru berbentuk tambal sulam. Walau kelemahan Part Cewe seputar dinamika mampu diperbaiki, Part Cowo bagai filler yang menyelip masuk di sela-sela kecil kisah, meninggalkan mayoritas gejolak substansial di film pertama.
Serupa Part Cewe, Part Cowo pun disusun berdasarkan stereotip mengenai gender, dan sebagaimana kita tahu, cowok dikenal atas kebodohan mereka (kami). Itulah mengapa kali ini komedi jauh lebih kental. Berbeda dengan sahabat-sahabat Mila (Pamela Bowie) yang menanggapi curahannya lewat saran, sahabat Kelvin (Ge Pamungkas) adalah apa yang bakal orang-orang definisikan sebagai "idiot". Tidak ada situasi berlalu tanpa tingkah konyol maupun komentar bernada mesum. Fokus pun condong ke komedi, yang akhirnya jadi pembeda urusan dinamika. Kala Part Cewe berisi pertengkaran beruntun nan melelahkan, Part Cowo lebih santai, di mana kebanyakan konflik adalah situasi menggelikan daripada perang urat syaraf.
Masuk akal mengingat Kelvin memandang kemarahan Mila dengan penuh kebingungan layaknya cowok yang selalu clueless terhadap kekesalan sang kekasih. Dan menyelami sisi cowok seolah memberi kesempatan pada sutradara Hadrah Daeng Ratu bersama penulis naskah Nataya Bagya untuk meluapkan hasrat menggila. "Boys are stupid" jadi kunci. Semisal, alih-alih berkata "ciee selamat ya" tatkala seorang teman berhasil jadian, mereka memilih berbuat konyol seperti tampak dalam salah satu adegan terlucu di film Indonesia tahun ini (let's call it "jangan berantem" scene) yang kemampuan memancing tawanya setingkat momen "sate padang" kepunyaan Part Cewe.
Tapi ide Nataya atau kemasan absurd Hadrah mungkin urung seefektif itu andai tanpa jajaran cast mumpuni. Keempat personil Cameo Project membuat tokoh pendukung tim Mars jauh lebih menarik dibandingkan tim Venus. Karena telah lama bersama, jalinan chemistry berupa lempar-tangkap lelucon berjalan mulus. Masing-masing memiliki ciri khas. Tingkah "kotor" Bobby (Ibob Tarigan), Martin (Martin Anugrah) yang kerap asal bicara, Steve (Steve Pattinama) dengan wajah sangar tapi hati "lembut", sampai Reza (Reza Nangin) yang paling bijak meski tak kalah bodoh. Sedangkan Ge Pamungkas masih ahli berekspresi. Sebagaimana "sate padang", lelucon "mie" takkan maksimal tanpa pembawaan ekspresifnya. Bahkan di sini Ge membuktikan punya jangkauan cukup baik menangani situasi dramatik.
Apakah Part Cowo sanggup mewakili perspektif para Mars? Ada detail menarik terkait itu. Mila di Part Cewe mungkin terasa berlebihan, tetapi karena kita terus mengikutinya, sedikit menyelami isi hatinya, sikapnya bisa dimaklumi. Berbeda dengan Mila di sini yang begitu menyebalkan. Bukan kesalahan karakterisasi, melainkan kesengajaan selaku usaha membawa penonton sepenuhnya ada di posisi Kelvin. Kita hanya tahu apa yang Kelvin tahu, sementara Mila jadi sosok asing di luar sana, berperan sebagai faktor eksternal pemicu masalah. Poin ini termasuk satu lagi keunggulan Part Cowo. Berbeda dengan film pertama yang meski menyoroti Mila dan kawan-kawan masih menjadikan Kelvin tokoh dominan hingga kurang pas disebut Part Cewe.
Seperti sudah disinggung di atas, Part Cowo bak filler bagi keseluruhan cerita. Memang ada beberapa peristiwa tambahan yang belum muncul di Part Cewe karena merupakan perspektif Kelvin seorang, namun tidak lebih dari peristiwa selingan, sebutlah soal apa yang terjadi sebelum Kelvin datang meminta nomor Mila. Sisanya, selaku garis besar cerita, sudah kita lihat di Part Cewe. Bahkan deretan konflik penting langsung masuk ke inti persoalan tanpa pembangunan terlebih dulu. Bertujuan menghindari repetisi bagi penonton yang telah menonton Part Cewe, keputusan itu berpotensi membingungkan bagi yang belum. Padahal "film paket" semacam ini mestinya dapat dinikmati secara terpisah. Alhasil sulit menghilangkan pemikiran bahwa Mars Met Venus akan lebih baik andai dilebur sebagai satu film. Di samping itu, Part Cowo tetap luar biasa lucu, pun sempat terasa manis. Jika pada Part Cewe ada pemberian bunga diiringi Dulu Kini Nanti yang dibawakan Citra Scholastika, kali ini versi Adis Putra menemani momen pameran foto yang tak kalah menyentuh.
Review film ini juga tersedia di: http://tz.ucweb.com/8_wEBN
Agustus 07, 2017
Comedy
,
Ge Pamungkas
,
Hadrah Daeng Ratu
,
Ibob Tarigan
,
Indonesian Film
,
Lumayan
,
Martin Anugrah
,
Nataya Bagya
,
Pamela Bowie
,
REVIEW
,
Reza Nangin
,
Romance
,
Steve Pattinama
Langganan:
Postingan
(
Atom
)