YOWIS BEN (2018)

10 komentar

Saya—dan mungkin banyak dari kalian—pernah merasa jadi manusia paling kreatif ketika mencetuskan nama-nama nyeleneh seperti “Tambal Band”, “Elek Yo Band”, “KepriBand”, dan sebagainya untuk nama band, tanpa menyadari ribuan orang lain di seluruh penjuru Indonesia menyimpan ide serupa. Dalam prosesnya, dengan tujuan utama: a) Mengejar mimpi bermusik, dan b) Memikat hati wanita, studio-studio pun dijajah, panggung demi panggung dijamah. Sampai tujuan kedua terpenuhi dan salah seorang anggota membawa pacar barunya ke latihan selaku ajang pamer, di situ awal perpecahan bermula.

Yowis Ben, yang merupakan debut penyutradaraan Bayu Skak di mana ia berduet dengan Fajar Nugros (Cinta Selamanya, Moammar Emka’s Jakarta Undercover), berpotensi jadi gambaran akurat nan menggelitik soal lika-liku perjalanan band anak SMA kalau bukan karena fokus cerita yang melucuti spesifikasi tersebut. Naskah buatan Bagus Bramanti dan Gea Rexy memilih jalur formulaik from zero to hero. Yowis Ben lebih menyoroti berbagai implikasi dari terciptanya band ketimbang seluk-beluk internal band tersebut, yang mana lebih menarik, unik, dan menggelitik.
Bayu (Bayu Skak) yang dijuluki “Pecel Boy” karena tiap hari membantu ibunya berjualan pecel di sekolah jengah dianggap remeh serta ingin memikat hati Susan (Cut Meyriska). Doni (Joshua Suherman) tidak jauh berbeda, coba membuktikan pada orang tuanya bahwa dia mampu meraih kesuksesan. Akhirnya tercetus ide membuat band guna memenuhi mimpi keduanya. Yayan (Tutus Thomson) si penabuh beduk dan Nando (Brandon Salim) sang keyboardist yang berharap dikenal lewat karya daripada wajah ganteng belaka pun direkrut. Terciptalah Yowis Ben.

Panggung pertama Yowis Ben berujung kegagalan tatkala banyak film memilih langsung menonjolkan para tokoh utama sebagai rising star yang talentanya langsung mencuri perhatian publik di percobaan perdana. Pilihan realistis yang sayangnya ditinggalkan pada fase-fase berikutnya. Yowis Ben tiba-tiba sukses lewat YouTube berkat video klip ratusan ribu penonton yang menampilkan Yowis Ben bernyanyi di hadapan puluhan orang. Bagaimana band SMA melarat mampu merekrut talenta sebanyak itu? Bagaimana lagu-lagunya tercipta? Bagaimana latihan di studio yang tentunya penuh intrik sekaligus kejenakaan berlangsung? Film ini tak mempedulikan proses-proses itu, sehingga sulit pula mempedulikan perjuangan serta merayakan kesuskesan karakternya.
Hambar pula romantika Bayu dan Susan, meski pembawaan membumi, seringai naif, ditambah bakat alam Bayu Skak melucu, memudahkan kita tersenyum. Berstatus penulis cerita, entah seberapa banyak masukan yang Bayu berikan terkait penulisan naskah khususnya bumbu komedi, tapi memang humornya paling efektif tatkala Bahasa Jawa memainkan peranan besar khususnya sewaktu umpatan-umpatan dan selorohan menyeruak masuk. Ganti dengan Bahasa Indonesia, kelucuannya dipastikan menurun drastis. Unsur Jawa akhirnya lebih berperan menguatkan komedi ketimbang alur yang minim kekhasan dan bisa dipindah ke balahan dunia manapun tanpa menimbulkan perbedaan signifikan.

Yowis Ben menyasar banyak hal, mulai pembuktian orang-orang yang dipandang sebelah mata—termasuk Bahasa Jawa yang disebut kampungan oleh netizen—percintaan, persahabatan, hubungan anak dan orang tua, hingga band SMA, tanpa ada yang benar-benar tampil solid. Setidaknya keempat tokoh utamanya amat menghibur berkat ciri masing-masing, terlebih Yayan dengan kebiasaannya meminum kuah pop mie memakai sedotan. Ya, menghibur. Jangan berharap lebih dari itu bagi sebuah film tentang band beraliran musik pop-punk “towat-towet” yang gemar melafalkan “t” sebagai “c”.

10 komentar :

Comment Page:
Alvan Muqorrobin Assegaf mengatakan...

Klo menurut mqs rasyid sisi komedi film ini lebih ngenak ke orang jawa timur aja, atau semua daerah?

Rasyidharry mengatakan...

Cocok ke semua kok, universal. Walau jelas, lebih bisa ngena ke orang Jawa

SALEMBAY mengatakan...

bang rasyid seberapa miripkah film ini dengan suckseed, soalnye menurut ane ide pembuatan film ini terinspirasi dari film itu deh soalnya sinopsisnya sama gitu..?

Rasyidharry mengatakan...

Bukan mirip Suckseed, tapi Yowis Ben & Suckseed yang ngikuti formula. Suckseed lebih unik, soalnya anggota bandnya kacrut semua main musiknya

feri alfredo mengatakan...

film ke dua dengan latar tempat dan bahasa jawa setelah punk in love. menghibur sih film, tp q menyoroti kritikan nitizen soal penggunaan bahasa jawa, padahal klu film ini sukses memikat byk orang se indonesia, bisa jadi menambah inspirasi orang2 untuk bikin film mungkin dengan bahasa daerahnya masing2.

Unknown mengatakan...

Saya juga berpikir, Humor di film ini kuat karena faktor bahasa jawa.. mungkin jika film ini berbahasa Indonesia, Humornya ga akan semeledak itu.. Dan yang pasti seperti promo yg di gaungkan "FILM PERTAMA BERBAHASA JAWA" adalah faktor utama yang dapat menarik khalayak untuk menonton selain faktor pemain..

Rasyidharry mengatakan...

Yep, kalau diganti Indonesia bakal garing. Sejauh ini udah tembus 100 ribu penonton, semoga terus rame, biar dibungkam itu yang bilang Jawa bahasa kampungan

Taufik Adnan mengatakan...

Bayu skak jga jdi sutradara d film ini?

Rasyidharry mengatakan...

@Taufik Ya, duet sama Fajar Nugros

Kasamago mengatakan...

Diganti bahasa banyumasan.. dijamin lebih melebarkan tawa riang