YOWIS BEN (2018)
Rasyidharry
Februari 23, 2018
Bagus Bramanti
,
Bayu Skak
,
Brandon Salim
,
Comedy
,
Cukup
,
Cut Meyriska
,
Fajar Nugros
,
Gea Rexy
,
Indonesian Film
,
Joshua Suherman
,
REVIEW
,
Tutus Thomson
10 komentar
Saya—dan mungkin banyak dari kalian—pernah merasa jadi manusia
paling kreatif ketika mencetuskan nama-nama nyeleneh
seperti “Tambal Band”, “Elek Yo Band”, “KepriBand”, dan sebagainya untuk nama
band, tanpa menyadari ribuan orang lain di seluruh penjuru Indonesia menyimpan
ide serupa. Dalam prosesnya, dengan tujuan utama: a) Mengejar mimpi bermusik,
dan b) Memikat hati wanita, studio-studio pun dijajah, panggung demi panggung dijamah.
Sampai tujuan kedua terpenuhi dan salah seorang anggota membawa pacar barunya
ke latihan selaku ajang pamer, di situ awal perpecahan bermula.
Yowis Ben, yang merupakan debut penyutradaraan
Bayu Skak di mana ia berduet dengan Fajar Nugros (Cinta Selamanya, Moammar Emka’s Jakarta Undercover), berpotensi
jadi gambaran akurat nan menggelitik soal lika-liku perjalanan band anak SMA
kalau bukan karena fokus cerita yang melucuti spesifikasi tersebut. Naskah
buatan Bagus Bramanti dan Gea Rexy memilih jalur formulaik from zero to hero. Yowis Ben
lebih menyoroti berbagai implikasi dari terciptanya band ketimbang seluk-beluk
internal band tersebut, yang mana lebih menarik, unik, dan menggelitik.
Bayu (Bayu Skak) yang dijuluki “Pecel Boy” karena tiap hari
membantu ibunya berjualan pecel di sekolah jengah dianggap remeh serta ingin
memikat hati Susan (Cut Meyriska). Doni (Joshua Suherman) tidak jauh berbeda, coba
membuktikan pada orang tuanya bahwa dia mampu meraih kesuksesan. Akhirnya
tercetus ide membuat band guna memenuhi mimpi keduanya. Yayan (Tutus Thomson)
si penabuh beduk dan Nando (Brandon Salim) sang keyboardist yang berharap
dikenal lewat karya daripada wajah ganteng belaka pun direkrut. Terciptalah Yowis
Ben.
Panggung pertama Yowis
Ben berujung kegagalan tatkala banyak film memilih langsung menonjolkan
para tokoh utama sebagai rising star yang
talentanya langsung mencuri perhatian publik di percobaan perdana. Pilihan realistis
yang sayangnya ditinggalkan pada fase-fase berikutnya. Yowis Ben tiba-tiba
sukses lewat YouTube berkat video klip ratusan ribu penonton yang menampilkan
Yowis Ben bernyanyi di hadapan puluhan orang. Bagaimana band SMA melarat mampu
merekrut talenta sebanyak itu? Bagaimana lagu-lagunya tercipta? Bagaimana latihan
di studio yang tentunya penuh intrik sekaligus kejenakaan berlangsung? Film ini
tak mempedulikan proses-proses itu, sehingga sulit pula mempedulikan perjuangan
serta merayakan kesuskesan karakternya.
Hambar pula romantika Bayu dan Susan, meski pembawaan membumi,
seringai naif, ditambah bakat alam Bayu Skak melucu, memudahkan kita tersenyum.
Berstatus penulis cerita, entah seberapa banyak masukan yang Bayu berikan
terkait penulisan naskah khususnya bumbu komedi, tapi memang humornya paling
efektif tatkala Bahasa Jawa memainkan peranan besar khususnya sewaktu
umpatan-umpatan dan selorohan menyeruak masuk. Ganti dengan Bahasa Indonesia,
kelucuannya dipastikan menurun drastis. Unsur Jawa akhirnya lebih berperan
menguatkan komedi ketimbang alur yang minim kekhasan dan bisa dipindah ke
balahan dunia manapun tanpa menimbulkan perbedaan signifikan.
Yowis Ben menyasar banyak hal, mulai pembuktian
orang-orang yang dipandang sebelah mata—termasuk Bahasa Jawa yang disebut
kampungan oleh netizen—percintaan, persahabatan,
hubungan anak dan orang tua, hingga band SMA, tanpa ada yang benar-benar tampil
solid. Setidaknya keempat tokoh utamanya amat menghibur berkat ciri
masing-masing, terlebih Yayan dengan kebiasaannya meminum kuah pop mie memakai
sedotan. Ya, menghibur. Jangan berharap lebih dari itu bagi sebuah film tentang
band beraliran musik pop-punk “towat-towet”
yang gemar melafalkan “t” sebagai “c”.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
10 komentar :
Comment Page:Klo menurut mqs rasyid sisi komedi film ini lebih ngenak ke orang jawa timur aja, atau semua daerah?
Cocok ke semua kok, universal. Walau jelas, lebih bisa ngena ke orang Jawa
bang rasyid seberapa miripkah film ini dengan suckseed, soalnye menurut ane ide pembuatan film ini terinspirasi dari film itu deh soalnya sinopsisnya sama gitu..?
Bukan mirip Suckseed, tapi Yowis Ben & Suckseed yang ngikuti formula. Suckseed lebih unik, soalnya anggota bandnya kacrut semua main musiknya
film ke dua dengan latar tempat dan bahasa jawa setelah punk in love. menghibur sih film, tp q menyoroti kritikan nitizen soal penggunaan bahasa jawa, padahal klu film ini sukses memikat byk orang se indonesia, bisa jadi menambah inspirasi orang2 untuk bikin film mungkin dengan bahasa daerahnya masing2.
Saya juga berpikir, Humor di film ini kuat karena faktor bahasa jawa.. mungkin jika film ini berbahasa Indonesia, Humornya ga akan semeledak itu.. Dan yang pasti seperti promo yg di gaungkan "FILM PERTAMA BERBAHASA JAWA" adalah faktor utama yang dapat menarik khalayak untuk menonton selain faktor pemain..
Yep, kalau diganti Indonesia bakal garing. Sejauh ini udah tembus 100 ribu penonton, semoga terus rame, biar dibungkam itu yang bilang Jawa bahasa kampungan
Bayu skak jga jdi sutradara d film ini?
@Taufik Ya, duet sama Fajar Nugros
Diganti bahasa banyumasan.. dijamin lebih melebarkan tawa riang
Posting Komentar